Saturday, December 25, 2004

Mandom Resolution Award 2004 (2)

Oleh : Bambang Haryanto
Pemenang Mandom Resolution Award 2004
Esai Epistoholica No. 15/Desember 2004
Home : Epistoholik Indonesia


Hot News : Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono, Ketua Dewan Juri Mandom Resolution Award 2004 dan Totot Indrarto, Creative Director SatuCitra Advertising bersedia menulis komentar atas isi situs blog ini :

"Mas Bambang,
Waah...asyik juga baca "blog"nya. Rupanya banyak sekali anekdote yang bisa Anda rekam, yang kalau dibiarkan akan hilang ditelan bayu, dan tidak akan menambah khasanah KM (Knowledge Management) kita. But for your knowledge. Dr. Bisono yang itu jelas bukan bapaknya Tika Bisono, sebab ayah TB adalah orang minyak (pegawai Stanvac)".

SARLITO
(Emailnya tertanggal : 26 Desember 2004.

"Terima kasih, Prof ! Sungguh surprise Anda sudi memberikan komentar yang membahagiakan saya !" (BH).


"Halo Mas BH,
Wah, Anda memang luar biasa. Amat sangat rajin mencatat, berpikir, dan menuliskannya buat banyak orang. Sejak hari pertama saya perhatikan Anda memang sibuk dengan notes dan tape mini tape recorder itu. Mengingatkan saya pada tekab, eh... wartawan. Hahaha....

Saya senang membaca-baca Blog Anda, sudah saya feed dengan RSS menggunakan Bloglines. Terus lanjutkan perjuangan, Mas! Di atas bintang masih ada bintang!

BTW, kalau ada finalis MRA 2004 lain yang memiliki Blog, tolong beritahu saya".

Wassalam,

Totot Indrarto
www.pakde.com
Celebrating Life
(Emailnya tangggal 2 Januari 2005)


Dear Mas Totot Indrarto,
Salam sejahtera. Terima kasih untuk hadiah email dan komentar Anda atas isi blog saya. Mumpung ingat, maka harus ditulis, agar tidak hilang ditelan bayu (kata Mas Ito).

Bab bawa-bawa bloknot kesana-kemari ala WTS (wartawan tanpa surat kabar), itu dapat ilham dari turis Jepang. Yang bocorin info itu Harry Davis, pengajar MBA di Sekolah Bisnis Harvard. Kata Pak Davis, turis Jepang keliling dunia, catat ini dan itu, lalu datanya dihimpun, dianalisis, jadilah produk Jepang membanjiri dunia. Selain itu, ini yang belum banyak diajarin di sekolah kita, yaitu belajar untuk mengamati.

Nah di MRA 2004 yang lalu, saya belajar mengobservasi dan hebatnya Dimas Deworo juga belajar hal yang sama,hingga muncul kesimpulan kompak bahwa sampeyan itu temannya Will Smith dan Tommy Lee Jones : Man In Black ! (Para finalis MRA 2004 adalah para alien-nya ?)
Bab blog, ya saya penginnya mengajak banyak orang untuk mau bikin blog, termasuk rekan-rekan alumni MRA 2004 yang luar biasa resolusinya itu, seperti yang Anda tulis dalam situs blog Anda. Jadi, kita sejalan, bukan ?
Sekian dulu. Salam dari Wonogiri !

Bambang Haryanto
Epistoholik Indonesia



Pengantar : Setelah terpilih dari 923 peserta se-Indonesia, saya, Bambang Haryanto, mengikuti babak final Mandom Resolution Award 2004 di Hotel Borobudur International, Jakarta, 23 - 26 November 2004 yang lalu.

Untuk menyebarluaskan spirit "Human and Freedom" dari kontes ini, dan cerita suka duka ketika mengikutinya, saya telah menuliskan beberapa sketsa-sketsa cerita. Ini adalah himpunan sketsa bagian kedua. Isinya meliputi judul :

MRA 2004 MINUS BUZZ
GERTAK SAMBAL WONG WONOGIRI
TARJUM DAN HARI EPISTOHOLIK INDONESIA
HEBOH KASET SEKS PROF. SARLITO
LAKON NUR NGUNGUN
HIPOKONDRIAK, MY DARLING
MAIN SAX MAS ITO VS AK-47

Selamat membaca. Terima kasih untuk atensi Anda.

Bambang Haryanto

--------------------

MRA 2004 MINUS BUZZ. Nama Mandom kurang terkenal. Begitulah Tarjum dari Subang mengatakan hal itu ketika ke-19 finalis MRA 2004 dijamu jajaran direksi PT Mandom Indonesia Tbk. di pabriknya, Sunter, Jakarta Utara, 26/11/2004.

Sementara Soleman Betawai (di kartu nama tertulis demikian, tapi ia tetap rendah hati dan tidak protes mendengar namanya puluhan kali salah disebut sebagai Solleman Betawi) boleh kita sebut sebagai “Pria Mandom” di antara finalis MRA 2004. Arsitek gagah yang berasal dari Pulau Yapen, Papua, mengaku sebagai pemakai fanatik after shave lotion buatan Mandom. Ia pun mengeluh, bahwa dirinya kini kesulitan mencari produk kesayangannya tersebut di pasaran.

Sementara Bagyo Anggono, warga berstatus WNA (WoNogiri Asli), mengaku sudah lama mengenal nama Mandom. Bahkan ia masih ingat sosok macho bintang film almarhum Charles “Death Wish” Bronson (Goenawan Mohamad pernah menyebutnya sebagai sosok “biar jelek asal sadis”) yang menjadi bintang iklan Mandom.

“Sedang memecah kayu, bukan ?” sergah saya. “Ya. Dan pula kemudian bersuit memanggil anjingnya”, imbuh Bagyo Anggono yang masih ingat detil iklan Mandom bersangkutan.

Mengapa Tarjum, Soleman Betawai dan Bagyo Anggono punya kesenjangan informasi terhadap Mandom ? Kalau pengin dapat jawaban serius, tanyalah kepada pemenang Nobel Ekonomi 2001, Joseph Stiglitz, yang mengajukan tesis mengenai asimetri informasi. Lulusan MIT dan kini profesor di Universitas Columbia, New York, yang menyarankan pemerintah Indonesia untuk menomorsatukan pendidikan, baru saja (14/12/2004) berceramah di Jakarta.

Dialog siang itu berlangsung menarik. Ada Nurhayati yang menanyakan proses pengolahan limbah pabrik, Hisyam Zamroni dengan “celeb”-nya memberikan info intelejensi pasar bahwa di Karimunjawa banyak nelayan perlu masker untuk melindungi sengatan ultraviolet (bayanganku : bintang iklan Cut Tari akan segera syuting di Karimunjawa untuk mempromosikan Pixy UV), juga Bagyo Anggono, guru SMK Negeri I Wonogiri, yang mengusulkan agar siswa-siswanya berpeluang sebagai ujung tombak pemasaran produk-produk kosmetika Mandom. Mungkin memasarkannya dengan memakai bahasa Inggris ?

Muncul kemudian permohonan kontroversial dari Hariyadi, asal Yogyakarta, pemenang “perbatasan dan pinggiran” (peringkat ke-10) MRA 2004, yang mencoba menjajagi apakah Mandom bersedia jadi sponsor penerbitan kartu-kartu Supermasinya.

Di urutan buncit, saya memaksa mBak Dewi untuk memberikan waktu. Saya cerita hal ringan. “Saya memperoleh pemahaman filosofis dari Mandom setelah melihat lebih pelannya jalan ban berjalan pada proses pembuatan lipstick Pixy Colors of Delight yang kaya nutrisi itu. Pelannya ban berjalan itu menunjukkan bahwa sebagai pria agar memperoleh sensasi puncak yang maksimal, lipstick itu memang harus dinikmati secara pelan-pelan. Bila eksekusinya cepat, grusa-grusu, pasti akan melukai bibir wanita pemakainya”. “Pengamatan yang luar biasa !”, cetus Mas Ricky Pesik dari Satucitra sambil terbahak, bersama seisi ruangan pula..

Disamping menghumori lipstick tadi, diam-diam, saat ngobrol di bagian belakang ruang pertemuan saya telah mengusulkan gagasan kepada Pak Hongki, Advertising Manager. Usul saya, agar pada pelaksanaan MRA 2005 (“ide Tika Bisono kan MRA dilangsungkan hingga 10 tahun ke depan !”), setiap finalis memperoleh kaos atau jaket yang bertuliskan Mandom Resolution Award 2005.

Kalau mBak Dewi, MC saat itu mengharap agar para finalis MRA dapat menceritakan (“sebagai duta besar Mandom”, celetuk Bagyo) hal-ihwal Mandom kepada masyarakat dan lingkungan asal para finalis, maka kaos dan jaket yang saya usulkan itu adalah otomatis sebagai walking billboard, iklan berjalannya korporasi PT Mandom Indonesia Tbk. Ini hal yang sungguh sederhana, hingga mudah terlupakan ya ? Mandom Resolution Award harus ditiupkan nyawa tersendiri dalam dirinya.

Bahkan ketika mendapatkan pemberitahuan di bulan Maret 2004 lalu bahwa aplikasi saya untuk mengikuti MRA 2004 telah tercatat, saya pun spontan mengirimkan email ke panitia, di award@mandom.co.id, guna mengajukan usul-usil kreatif lainnya.

Usul saya, sebaiknya kepada 923 pengirim aplikasi MRA 2004 tidak hanya dikirimkan surat, tetapi berilah piagam. Belasan tahun lalu, ketika saya berkali-kali menjadi penyelenggara lomba lukis anak-anak di Solo, semua peserta juga memperoleh piagam. Penghargaan berwujud kertas ini amatlah berharga di mata tiap peserta.

Minimal mereka merasakan impiannya memperoleh apresiasi yang cantik dan simpatik dari Mandom. Monumen kertas ini dapat menghiasi rumah dan kenangan mereka, sepanjang hayat, dan dalam perspektif kepentingan Mandom ia dapat menjadi sumber buzz, desas-desus, bahan obrolan dengan masyarakat sekitar dan kerabat. Semua itu berpotensi mengangkat nama baik Mandom di dalam benak masyarakat, bila merujuk kepada ampuhnya getok tular, word of mouth dalam menyebarkan informasi atau pun pesan-pesan komersial.

Bagi saya pribadi, selama mengikuti dan mengamati kontes-kontes semacam MRA, kiat-kiat membangun buzz kebanyakan sama sekali tidak masuk radar biro iklan atau pun fihak korporasi penyelenggara untuk mereka eksploitasi.

Akibatnya, ketika pulang dari pabrik Mandom di Sunter, saya merasa tidak dibekali dengan momen atau happening yang layak atau pun menarik untuk jadi buzz, bahan-bahan cerita menarik untuk kerabat dan lingkungan.

Mungkin Mandom dalam hal ini dapat belajar dari Ilham Prayudi. Di bagian sebalik kalender Mandom 2005, Ilham meminta sesama para finalis untuk mengguratkan kata-kata kenangan dan tanda tangannya. (Makasih Ilham, kreasimu itu mampu memicu banyak sekali gagasan kreatif untuk mensukseskan kontes semacam MRA 2004 ini).

Ide Ilham itu segera memantik ilham sederhana di kepala saya : umpama saja PT Mandom Indonesia Tbk saat itu menyediakan kanvas, atau dinding dari kantornya, lalu para finalis ramai-ramai membubuhkan tanda tangan, itu sudah bisa jadi tambahan bahan cerita manis untuk dibawa pulang.

Sokur-sokur kalau mau mengadopsi ide Walk of Fame. Bagi mereka yang pernah mengunjungi resto Planet Hollywood akan pula maklum. Yaitu dengan menyediakan adukan semen, kemudian masing-masing finalis mencapkan telapak tangannya di permukaan adukan tersebut. Sesudah kering, koleksi cap-cap itu dapat dipajang, dengan diberi keterangan secukupnya, pada dinding strategis salah satu ruangan pabrik Mandom ini.

Monumen ini berpotensi menjadi buzz yang heboh. Terlebih lagi bila dipadukan dengan kedigdayaan Internet, memanfaatkan situs PT Mandom Indonesia (www.mandom.co.id) secara kreatif (“situs ini molek, tetapi kontennya kurang energik, belum menarik, baru berstatus sebagai corporate web yang kurang bertenaga, dan masih jauh untuk didaulat sebagai marketing web yang andal”), ia berpeluang jadi sumber pengeras suara ekstra yang berguna untuk membangun reputasi dan citra PT Mandom Indonesia Tbk. Bukankah begitu, Mas Totot Indrarto, Mas Ricky, mBak Dian Utari dan Pak Hongki ?

(P.S. : Tulisan ini sebagai salah satu akibat samping setelah saya “mabuk” membaca bukunya Al Ries & Laura Ries, The Fall of Advertising & The Rise of PR, 2002).


GERTAK SAMBAL WONG WONOGIRI. Ilmu baru knowledge management yang ditularkan Tika Bisono kepada saya, diam-diam, ternyata dalam kontes Mandom Resolution Award 2004 ini adalah dr. Erwin S. Setiawan, SpJP sebagai aplikatornya yang pertama.

Dokter lulusan Universitas Indonesia dan spesialis jantung ini, membikin saya agak shock ketika mendengar resolusinya. Ia telah menolong seorang pasien tak mampu hingga jantungnya yang sudah parah, kritis, menjadi sehat kembali. Upaya humanis yang mengeluarkan biaya puluhan juta rupiah dan melibatkan banyak kalangan. Dokter yang ramah ini rupanya punya sentuhan malaikat yang membuatku dan finalis lainnya menjadi terkagum-kagum.

Mengesankan. Banyak di antara finalis MRA 2004 adalah pribadi-pribadi menarik. Untuk semakin mengenalkan keunikan masing-masing pribadi itu, kembali pak dokter kita ini ambil prakarsa. Ia telah mem-print daftar finalis dan resolusinya dari situs PT Mandom Indonesia Tbk, meminta kita melengkapi dengan data alamat (“hanya Bagyo Anggono yang alamatnya misterius”), lalu membagikan fotokopinya kepada semua finalis MRA 2004. Terima kasih, dr. Erwin.

Kreasinya itu membuat masing-masing resolusi peserta MRA 2004 menjadi terpetakan secara jelas (“ini kan sudah aplikasi knowledge management lho”), dan yang mungkin tak kentara bahwa kemudian nilai-nilai positifnya berosmosis kepada peserta lainnya.

Kebetulan, saya pun melengkapi ikhtiar dr. Erwin tersebut. Dari rumah, saya sudah berniat menyebarkan virus epistoholik kepada para finalis MRA 2004. Faham saya, mereka adalah orang-orang pilihan, punya ide-ide gemilang, berasal dari pelbagai penjuru tanah air, dan terutama (menurut Seth Godin dalam bukunya The Unleashed of IdeaVirus, “hallo Bambang Kartono dan Dimas Deworo, sudahkan Anda membaca anotasi buku ini dalam situs blog saya Kubuku Tubuku (http://kutubukuku.blogspot.com ?”) mereka berpotensi sebagai sneezers, tukang bersin-bersin (“ingat salah satu dari 7 orang kerdil di dongeng Putri Salju dan 7 Orang Kerdil-nya Hans Christian Andersen ?”) yang dapat menularkan virus epistoholik ke publik seputar lingkup gaul mereka.

Saya menulis ringkasan resolusi saya (“isinya dahsyat, idealis, sekaligus intimidatif”) dalam satu halaman, bersama segepok kartu nama, saya menemui setiap finalis untuk mengenalkan diri. Dalam istilah perang, inilah saat saya melakukan ofensif. Menyerang musuh dalam perang satu lawan satu.

Kartu nama itu pun dibuat dadakan. Dirancang adik saya yang suka bikin kartun dan otak-atik desain grafis (“kalau Anda melihat logo Gallery Nasional di seputar stasiun Gambir, itu buatannya”). Saya pengin punya kartu nama, habis, dua tahun lalu saya sempat “disemprot” oleh Ibu Mien Uno, gara-gara saya kurang tampil profesional karena tidak memiliki kartu nama.

Ketika saya membagikan selebaran dan kartu nama ke pematung Nurhayati, rupanya usulan Ibu Mien Uno itu menular. “Saya nanti akan membuat kartu nama juga”, begitu janji Nurhayati yang rajin dan baik hati memotret-motret kita dengan kamera digitalnya. “Kalau ia sudah mengeluarkan kamera, kita harus bersiap-siap ngeceng”, begitu celetuk Prasetya Marsianta yang kartu namanya bergambar Metromini.

Aksi “perangku” membagi selebaran dan kartu nama itu dalam konteks coopetition, koperasi sekaligus kompetisi, dapat dimaknai sebagai upaya tombak bermata ganda. Bisa sebagai sarana menggalang silaturahmi, menggalang koneksi, sekaligus dalam konteks persaingan memperebutkan pemenang MRA 2004, yach, katakanlah bisa juga sebagai sarana bluffing. Gertak sambal. Untuk menggetarkan, sekaligus menciutkan nyali lawan dan saingan.

Tetapi bila aksiku itu benar-benar gertak sambal, yakinlah, itu semata suguhan sambel wijen, sambal langka yang enak tapi tak pedas. Sambalnya wong asli Wonogiri yang khas !


TARJUM DAN HARI EPISTOHOLIK INDONESIA. Seseorang tertusuk pisau di perutnya, terjerembab bermandikan darah, di selokan. Kemudian lewatlah dua orang psikolog yang tertegun mengamati kejadian mengerikan itu. Satunya cepat-cepat berbisik kepada sejawatnya : “Kita harus segera menemukan si pelaku penusukan. Dia pasti sangat, sangat, memerlukan pertolongan kita !”

Ketika Tarjum mengalami depresi, apa yang bakal terjadi bila ia ketemu dengan dua orang psikolog tadi ? Saya tidak tahu. Mungkin Tarjum tak memerlukan bantuan mereka. Tak percaya ? Mari kita baca dari situs web resmi PT Mandom Indonesia Tbk (“kalau tak dapat email dari Nurhayati, info penting ini bakal tak aku ketahui. Makasih, Nur”) yang menulis tentang diri sahabat kita dari Subang itu :

“Pemenang pertama, Tarjum, seorang penggembala domba, anak petani, yang tinggal jauh dari kemajuan kota dan hanya tamat SMA, mampu membuat website tentang yang kejiwaan dan kesehatan mental dengan tampilan yang menarik dan isi yang berbobot, lengkap, dan variatif.

Tarjum dahulu pernah menderita gangguan kejiwaan yang berat (manic depressive). Tetapi karena tidak ada biaya untuk berobat ke psikolog, dari bacaan majalah, koran, dan buku, dia berhasil mengatasi depresinya. Keinginan Tarjum sangat kuat untuk membantu orang lain memupuk optimisme dalam hidup Di website ini Tarjum menceritakan pengalamannya dan membuka ruang konsultasi kejiwaan. Menurut pakar psikologi, pemikiran Tarjum ternyata setara dengan lulusan S-2”

Dua jempol untuk Tarjum. Ketika profil Tarjum ditulis secara menyentuh dan indah oleh Maria Hartiningsih di Kompas, kita dapat membaca apa yang kemudian terjadi pada dirinya seperti yang ia tulis dalam e-mailnya (16/12/2004) : “Maaf aku baru bisa nyapa Anda semua, aku sibuk ngurusin situs nih. Pengunjungnya lumayan banyak, ada yang curhat dan minta saran, ada yang ngirim surat bahkan ada yang mau datang ke rumah, aku kewalahan menanggapinya.”

Tarjum yang berhasil. Tetapi situs resmi Mandom itu, hemat saya, kurang sedikit jeli dan detil. Karena saya yakin, tidak hanya dari aktivitas membaca saja, melainkan juga dari aktivitas menulis (“kata Tarjum, situsnya kini sudah menghimpun lebih dari 75 halaman tulisan !”), yang membuat Tarjum meraih solusi pribadi yang semestinya bagi dirinya seperti saat ini.

Kita tahu, menulis punya daya pengobatan, terapeutik, yang ampuh. Dengan menuliskan uneg-uneg, stres seseorang dapat banyak berkurang. Sel-sel darah putih, antibodi, dalam tubuh meningkat pula. Saya sebagai seorang epistoholik mempercayai hal itu, dan selalu mengobarkan serta mengabarkan efek pengobatan dari aktivitas menulis ini.

Bahkan kampanye agar seseorang terbiasa untuk menulis, melahirkan gagasan dalam bentuk bahasa, selain untuk motif pengobatan, kini semakin mendekati momentum bersejarah bagi komunitas saya, Epistoholik Indonesia. Sebagai pendiri, saya akan mengajak seluruh warga saya untuk ramai-ramai mencetuskan Hari Epistoholik Indonesia di tahun 2005 mendatang.

Kita akan bareng-bareng menciptakan sejarah. Siapa tahu, ini canda sekaligus seurieus, bahwa suatu saat nanti Hari Epistoholik Indonesia akan diakui sebagai salah satu hari libur nasional kita. “Jangkau Impian Setinggi Bintang !”, bunyi tulisan di trophy MRA 2004 berbentuk tangga indah berwarna tosca yang nongkrong di meja di hadapan saya, yang juga ampuh memotivasi saya.

Anda, para alumni MRA 2004, ingin bergabung dengan saya guna menoreh sejarah ? Peluang ini tidak hanya terbuka untuk 19 finalis, tetapi juga semua unsur pendukung sukses MRA 2004. Kirimkan segera fotokopi 2-3 surat pembaca Anda (plus salinannya dalam bentuk digital, yaitu email atau tersimpan di disket), biodata ringkas, ceritakan apa visi dan misi Anda menulis surat pembaca dan keinginan Anda menjadi deklarator Hari Epistoholik Indonesia.

Tidak dipungut biaya apa pun.

Nama-nama deklarator akan tertulis dalam sebuah prasasti. Sokur-sokur kalau Anda bisa datang (sambil reuni alumni MRA 2004), direncanakan, Insya Allah, acara deklarasinya akan berlangsung di Solo. Atau di Wonogiri.

Ayo jangkau impian setinggi bintang !


HEBOH KASET SEKS PROF. SARLITO. Menjadi mahasiswa Universitas Indonesia itu sulit masuk, tetapi mudah keluarnya. Tetapi bila menjadi mahasiswa ITB, mudah masuk tetapi sulit keluarnya. Tetapi khusus untuk Prof. Sarlito, yang masuk UI, ternyata sampai kini tak pernah keluar-keluar juga.

Mungkin nanti kalau sudah emeritus, ia akan mengalami apa yang pernah dihumorkan oleh komedian Kanada, Stephen Leacock (1869-1944), bahwa “Saya kini disebut sebagai profesor emeritus. Berasal dari kata latin, e yang berarti keluar, dan meritus yang berarti memang dia begitu seharusnya (keluar)”.

Ketika membaca pemberitahuan bahwa saya terpilih sebagai finalis MRA 2004 dan melihat daftar nama para juri, saya mencari-cari apa strategi ice breaking terbaik untuk “melumpuhkan” mekanisme bela diri para juri itu. Terutama ketuanya, Prof. Sarlito. Mengapa ice breaking itu aku anggap perlu ?

Prof. Sarlito, kita tahu, sangat terkenal. Tetapi walau kampus Fakultas Psikologi UI dan Fakultas Sastra UI itu hanya sepelemparan batu, sama-sama di Rawamangun sebelum tahun 1986, dia adalah tetap orang asing di mata saya. Pasti pula sebaliknya. Terus terang, saya hanya merasa dekat Prof. Sarlito setelah mengenal dirinya dari sebuah kaset berisi omongan tentang seks !

Begini story-nya. Prof. Sarlito kiranya pernah berceramah tentang pendidikan seks di FSUI. Dalam rekaman, banyak suara audiens yang riuh-rendah, penuh gelak tawa. "Penampilan alat kelamin pria lebih sederhana...", begitu cuplikan dari shownya Mas Ito. Audiens pun gerrr. Rupanya show seks model stand-up comedian versi Sarlito sukses. Saya dapat kasetnya dari petugas lab bahasa FSUI. Saat itu, tahun 1984, saya menggunakan fasilitas studio rekaman lab bahasa FSUI karena saya mengajar Teknologi Media sebagai asisten dosen di jurusan saya.

Ketika ngobrol sama Dian Utari Prabowo, bagian iklan PT. Mandom Indonesia Tbk, yang alumnus FSUI dari Jurusan Sastra Belanda, ia dapat menyebut beberapa nama yang pernah menjadi mahasiswa saya. Pendek kata, hanya dari kaset seks itu saya pertama kali mengenal agak dekat dengan sosok Mas Ito.

Kembali ke strategi ice breaking. Masak upaya memecah kekakuan perkenalan dengan menu utama omongan tentang seks ? Saya pikir itu bukan ide baik. Sokurlah, saya ingat data lain. Saya ingat bahwa istrinya, mBak Pratiwi, adalah senior saya di Jurusan Ilmu Perpustakaan Fakultas Sastra UI. Ini bisa jadi akses obrolan yang menarik, bukan ? Apakah pilihan saya ini justru keliru ?

Inilah kemudian bencana yang terjadi. Ketika di awal presentasi saya sebutkan bahwa saya adik kelas dari “mBak Pratiwi, yang tercintanya Prof. Sarlito”, suasana ruang presentasi rada geger. Pasalnya, Prof. Sarlito justru terang-terangan melakukan aksi denial, penyangkalan atas pernyataanku itu. Beliau bilang, yang menjadi “tercintanya kini bukan sang istri, tetapi para cucu-cucunya”.

Aduh. Strategi memecah es-ku hampir gagal. Kalau tahu seperti ini mungkinkah sebaiknya aku ngobrolin soal seks saja ? Tetapi apa pantas seorang kakek dan bujangan tua terlibat asyik mengobrolkan tentang serrr-nya bulu dan buntut cucak rowo, eh, seks ?


LAKON NUR NGUNGUN. “Anda kenal sama Constantin Brancusi ?” Itulah pertanyaan untuk membuka obrolan dengan Nurhayati, finalis MRA 2004, yang resolusinya ingin sebagai pematung terkenal. Sekadar obrolan, Brancusi adalah pematung terkenal asal Rumania, hidup tahun 1876-1957. Karyanya yang saya sukai adalah seri patungnya berjudul Birds (Burung-burung). Karyanya terbuat dari logam, seperti patungnya Nur, mengesankan kesederhanaan dan keindahan yang prima.

“Kalau pematung luar negeri, saya tidak tahu”, jawab Nurhayati saat itu, terus terang. Ketika melihat-lihat dokumentasi foto karya-karya patungnya, saya melihat karya yang menarik. Ada bentuk-bentuk abstrak, kaya ornamen, yang terbuat dari perunggu. Bambang Kartono Kurniawan, finalis MRA 2004 yang berasal dari Jepara dan mengelola klinik desain, nampak tertarik terhadap karya-karya Nurhayati. Ia terlibat dalam diskusi ingin mengaplikasikan karya Nurhayati sebagai ornamen dalam desain, seperti meja atau pun kursi.

Nurhayati yang unik. Tetapi dalam MRA 2004 ia belum beruntung. Lalu apa yang terjadi dengan dirinya ? Dalam e-mailnya (14/12/2004) ia pun cerita : “Hi everybody...Seneng banget, ternyata ada juga yg email gue. Kabar baik semuanya toch ...? toooch.....he he he. Aku juga asik-asik aja nich” Betul, begitu Nur ? Kita nanti bisa baca pesan dan pengakuan pribadi yang Nur tinggalkan di situsnya Mas Totot Indrarto.

Tunggu dulu. Saya boleh menepuk dada sebagai penemu pertama situsnya Mas Totot ini. Siapa dia ? Creative Directornya Satucitra Advertising, orang yang berdiri di belakang layar lahirnya Mandom Resolution Award 2004. Kita sebagai finalis MRA 2004 memang hanya sekilas-lintas melihat figurnya di tengah penyelenggaraan MRA 2004. Dalam istilah film, ia hadir sebagai cameo. Orang terkenal tetapi rela jadi figuran. Aku ingat dirinya hadir hanya ketika welcome dinner di Restoran Bruschetta.

Ketika MRA 2004 usai, dari Hotel Borobudur aku cabut ke Bogor. Mampir ke rumah adik saya. Mengambil laptop yang aku serviskan di sini. Sekaligus membayar kangen untuk bisa kembali jalan kaki pagi di kota IPB yang pernah jadi kampusnya Dimas Deworo Puruhito ini. Motif lain : untuk melakukan detoksifikasi, membuang racun-racun kemewahan MRA 2004, sebelum aku kembali ke dunia normal, hidup di kota kecil Wonogiri.

Tanggal 30 November 2004, aku main ke warnet BogorNet, Jl. Pajajaran Bogor. Rada narkisistik, aku mengetikkan namaku di mesin pencari Google. Sungguh surprise, namaku, Tarjum, Soleman Betawai, Hariyadi, Hisyam Zamroni, Dian Safitri, juga Deny Wibisono, Slamet Sudarmadji, Ilham Prayudi, dan Bagyo Anggono (“Wonogiri lagi !”) muncul dalam situsnya Mas Totot Indrarto (www.pakde.com) ini.

Setelah menjelajah situs ini, aku baru ngeh tentang siapa dia. Aku ternyata pernah membaca artikelnya yang panjang dan inspiratif di harian Kompas ketika membahas film-filmnya Garin Nugroho. Saking senangnya membaca berita seputar MRA 2004, aku pun tak sungkan menulis pesan dan kesan dalam buku tamu situs blognya tersebut. Alamat situs ini pun kemudian aku sebar-sebarkan kepada para finalis MRA 2004 lainnya.

Masih ingat Nurhayati ? Ia rupanya termakan bujukanku. Ia pun mengunjungi situs blognya Mas Totot. Bahkan ia sudi menulis (“ia pemurah dan baik hati”) di halaman komentar situs blog canggih model Movable Type 2.661 karya Ben dan Mena Trott dari Six Apart ini :

“Dear Mas Totot,

Saya salah satu finalis Mandom Resolution Award 2004 yang masuk dalam 20 besar (tapi tidak terpilih menjadi 10 Pemenang lho...) Sangat mengharukan membaca uraian Mas Totot tentang MRA 2004 di website ini.

Karena memang ketika saya bergabung dalam karantina di Hotel Borobudur beberapa waktu lalu, saya mempunyai kesan mendalam: betapa, saat itu saya berada diantara orang2 sederhana yang sangat memikirkan orang lain. Betapa, ternyata teman2 kita dari daerah nun jauh di sana di pelosok dan di sebrang lautan.... mempunyai pemikiran yang "lebih memikirkan" orang lain dalam mencapai resolusinya di tahun 2004. Sedangkan saya sendiri memikirkan diri sendiri...

Sangat2 mengharukan dan membanggakan memang. Tapi sayang sekali kisah2 kecil yang penuh kerja keras, keringat dan air mata ini kurang terekspos ke masyarakat luas. Bahkan kata "resolusi" sendiri masih sedikit asing di telinga beberapa orang....”

Salam,
-Nurhayati-
email : nurhayati@tppi.co.id


Apa pendapat Anda tentang revelation-nya Nur ini ? Menurut bahasa Jawa, khusunya bahasa wayang, Nurhayati sedang ngungun. Suatu aksi inner journey yang berupa perpaduan antara introspeksi, kontemplasi, sekaligus pencerahan. Aksi yang bagus untuk seorang artis, seperti dirinya. Dan itu mengilhami kita semua.

OK Nurhayati, masih terbuka banyak peluangmu untuk berprestasi. Kabari kami, selalu. Kita semua selalu mendukungmu. Dari komputerku terdengar lirih lagu lamanya Spice Girls, “Goodbye”. Ini adalah suaranya Scary, cocok kukira untuk Nurhayati :

Look for the rainbow in every storm
find out for certain
love is gonna be there for you
you will alway's be someone baby

Goodbye my friend
(I know your gone you said your gone
but I can still feel you here)
It's not the end
(gotta keep strong before the pain turns into fear)


HIPOKONDRIAK, MY DARLING. Kalau Tarjum berhasil keluar dari belitan manic depressive, terus terang, saya masih punya gangguan yang disebut sebagai hipokondriak. Yaitu kekuatiran bahwa diri saya sakit atau mengidap sesuatu penyakit. Jenis sakitnya pun macam-macam. Dari yang biasa seperti demam berdarah, muntaber, sampai jantung, meningitis, dan yang paling favorit adalah kanker. Oh, my God. Gangguan itu menurutku tidak parah, tetapi mengganggu kesejahteraan jiwa.

Tetapi saya justru pernah memperoleh segi positifnya. Tahun 1989, di puncak malam, tiba-tiba saya merasakan dada saya perih. Istilah disiplin ilmunya dr. Erwin adalah angina, terganggunya aliran oksigen ke jantung. Bila semakin parah, dan tak dicermati, bisa menjadi ancaman cardiac arrest atau serangan jantung.

Saat itu saya tinggal di Rawamangun, Jakarta Timur. Sendirian malam itu saya ke RS Persahabatan, Rawamangun, Jakarta Timur. Segera hidung saya memperoleh pasokan oksigen, di kaki, tangan dan dada terpasang kabel-kabel yang terhubung ke monitor untuk menayangkan irama denyut jantung.

Dalam adegan klise sinetron-sinetron kita, bila irama di monitor itu menjadi datar dan disusul suara tiiiit yang panjang, maka Tuhan telah memanggil kembali satu lagi makhluknya ke haribaannya.

Pendek kata, jantung saya ternyata tak ada masalah. Dokter yang memeriksa rada bingung. Tiba-tiba ia bertanya : “Anda merokok ?”. Aku menjawab ya, karena aku sebagai perokok aktif sejak tahun 1973. “Anda harus berhenti merokok”, nasehatnya yang ia ulang dua kali. Sejak momen itu saya memutuskan untuk berhenti merokok. Berhasil, hingga kini. Berhenti merokok ini mungkin salah satu prestasi hidup saya yang terbesar.

Tetapi hipokondriak saya belum sembuh-sembuh jua. Beberapa bulan kemudian, aku kembali ke rumah sakit yang sama, mengeluhkan gangguan yang serupa. Kembali diperiksa dengan EKG, irama denyut jantuku pun normal adanya. Kalau saran dr. Erwin bilang, sebaiknya dicek dengan treadmill, tetapi hal itu belum pernah aku lakukan. Dokter pun kembali bingung. Ia bilang, bahwa jantung saya normal.

“Mengapa Anda menguatirkan jantung dan kesehatan Anda ?”, selidiknya.
“Saya ingin berumur panjang, dok”, kataku. Ia manggut-manggut.
“Anda suka main perempuan ?”, tiba-tiba ia bertanya hal aneh ini.
“Tidak, dok”
“Anda suka berjudi ? Suka sama uang ?”
“Tidak, dok”
“Anda suka minuman keras ?”
“Tidak, dok”
“Anda masih suka merokok ?”
“Sudah berhenti, dok”

Dokter pun melontarkan nasehat pamungkasnya : “Kalau Anda tidak menyukai hal-hal itu semua, apa gunanya umur panjang ?”

(P.S. Paparan kisah ini diilhami oleh guru komedi saya, Judy Carter : ”We funny people are a strange sort. Most people hide their defect ; we comics show them to the world”. Obat ampuh untuk hipokondriak saya ya suasana seperti saat hari-hari mengikuti final MRA 2004. Obat yang amat muaaahal ya ?).


MAIN SAX MAS ITO VS AK-47. Kalau Anda menonton film Family Business yang dibintangi Sean Connery , yang bercerita tentang kakek, ayah dan cucu yang merencanakan merampok bank, lagu Danny Boy mengalun pula dari sana. Apakah ini termasuk lagu rakyat Irlandia ? Sebuah lagu sedih, yang digunakan untuk mengiringi ritual pemakaman ?

Saya tak tahu pasti. Tetapi memutar kembali tape recorder mini saya, yang merekam saat ketua dewan juri kita, Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono, dengan PD-nya menenteng saxophone ke atas panggung, yang melintas di pikiran saya adalah judul dramanya Arthur Miller. The Death of Salesman (1947). Karena saya ingin mem-plesetkannya sebagai judul buku tentang masa depan diri saya bila berlaku seperti PD-nya Prof. Sarlito di malam Anugerah Mandom Resolution Award 2004 itu.


Sebut saja ini kisah fiktif. Sebut saja ini gagasan impulsif seseorang yang berobsesi menjadi stand-up comedian, tetapi maju-mundur dalam upaya menggapai mimpinya. Yang pasti, bila saja di malam Anugerah Mandom Resolution Award 2004 itu memberi waktu, saya akan maju ke depan mik. Show time !.

“Kalau saja saya belum diumumkan secara resmi sebagai pemenang Mandom Resolution Award 2004 yang bergengsi ini, saya tidak akan berani mengatakan hal ini. Karena saya ingin mengomentari permainan dahsyat saxophone dari ketua dewan juri, Prof. Sarlito yang terkenal ini. Terus terang, saya kagum atas keberanian Prof. Sarlito manggung malam ini, melantunkan lagu Danny Boy yang indah.

Mengapa ia begitu gagah berani ? Saya berspekulasi : karena malam ini masih belum jauh dari suasana Hari Lebaran. Dengan demikian, masing-masing dari kita yang hadir dalam gedung ini masih tersedia stok maaf yang sebesar-besarnya, untuk siapa saja. Termasuk untuk Prof. Sarlito.

Prof. Sarlito, jangan kecil hati. Anda masih beruntung.

Di kampung saya, Wonogiri, saya pernah mencoba belajar meniup saxophone pula. Saya berlatihnya di malam hari. Esoknya, tetangga sebelah segera membeli AK-47. Ketika saya berlatih, setiap kali tiupan saya meleset nadanya, di luar terdengar AK-47 itu menyalak. Dor !

Begitu berkali-kali.

Hingga muncul suara tegas : Kalau kayak gitu sih menghambur-hamburkan peluru saja. Sebaiknya persoalan itu dituntaskan langsung pada sumbernya !.

Sejak saat itu saya harus mengubur bakat main musik saya selamanya. Saya takut bernasib menjadi tokoh novel atau drama berjudul The Death of Saxophone Man.”

(Doa dan harapanku : semoga Prof. Sarlito lain kali dapat tampil yang tidak mendekati suasana Hari Lebaran. Tulisan ini diilhami oleh kata-kata komedian AS, George Carlin : “I think it’s the duty of the comedian to find out where the line is drawn and cross it deliberately”).


Wonogiri, 25-26 Desember 2004
(Artikelku berjudul "Ketika Televisi Mengancam Buku", dimuat di Solopos, hari ini, Minggu, 26 Desember 2004.

No comments:

Post a Comment