Saturday, May 07, 2005

Revolusi Blog dan Epistoholik Indonesia

Oleh : Bambang Haryanto
Esai Epistoholica No. 20/Mei 2005
Home : Epistoholik Indonesia


MELONCAT JURANG. Anda pernah mendengar nama Roy Suryo ? Nama priyayi Yogya yang masih berdarah biru dari Kraton Pakualaman ini, pernah terkenal ketika membeberkan hasil analisisnya terhadap suara seorang tokoh penegak hukum tingkat tinggi di negeri kita yang terkait dengan perbuatan korupsinya.

Analisis itu ia lakukan dengan sarana komputer. Kali lain, Roy Suryo diminta melakukan verifikasi guna menentukan asli atau palsu sesuatu foto adegan seronok antara seorang artis belia (kini almarhumah) bersama pacarnya, yang saat itu beredar di Internet.

Roy Suryo boleh dibilang sebagai seorang gadgetmania, pencandu benda-benda elektronik yang canggih dan terbaru. Kalau menurut tesis ahli pemasaran dari Lembah Silikon, Geoffrey A. Moore yang terkenal dengan bukunya Crossing The Chasm : Marketing and Selling Technology Products to Mainstream Customers (1999), ia pantas digolongkan sebagai early adopters, pengguna awal. Yaitu sekelompok kecil orang-orang nerds, penggila teknologi baru, yang gatal atau gelisah berat bila tidak memiliki produk-produk teknologi baru yang masih "kebul-kebul" keluar dari pabriknya.

Kelompok konsumen sekaliber Roy Suryo ini berada di depan kelompok early majority, mayoritas awal dan late majority, mayoritas belakangan, yaitu kelompok konsumen teknologi yang gemuk, potensial, dan terdiri dari kebanyakan orang-orang yang biasa saja. Di ujung ekstrim terdapat kelompok yang paling buncit dan terlambat dalam memanfaatkan teknologi, disebut sebagai kelompok laggards, terbelakang.

Inklinasi kuat seorang Roy Suryo terhadap pernak-pernik perangkat elektronik itu muncul ketika kami kebetulan sama-sama menulis artikel tentang teknologi informasi di harian Media Indonesia, Jakarta, tahun 1995-an. Saat itu saya menulis topik seputar bisnis TI, penerimaan awam terhadap TI, manfaat Internet untuk bisnis dan periklanan, sementara Roy Suryo banyak menulis tentang peranti-peranti keras.

BERTUKAR PLESETAN. Tahun 1998, Roy Suryo berceramah tentang Internet di kampus UNS, Solo. Dengan mengontak panitia, saya ikut nimbrung dalam aktivitas seminar tersebut : berpameran koleksi buku-buku dan majalah saya yang bertopik Internet dan komputer.

Dengan bangga saya memamerkan beberapa majalah gaya hidup Internet seperti Wired, Internet Today, Internet Magazine sampai Time Digital, yaitu suplemen berisikan seluk-beluk Internet dan TI dari majalah Time. Buku yang saya andalkan saat itu adalah katalog yang memuat anotasi ribuan situs web, NetGuide : Your Complete Guide to Internet and Online Services (1995). Buku setebal 713 halaman ini oleh-oleh adik saya, Broto Happy W., sepulang meliput sukses tim bulutangkis Indonesia merenggut Piala Thomas dan sekaligus Piala Uber 1996, di Hongkong.

Di tengah Roy Suryo berceramah, sebagai orang yang pernah bersekolah di Yogya, saya beberapa kali nyeletuk secara plesetan dan tentu saja mendapatkan balasan darinya. Penceramah lainnya adalah tokoh TI dari Bogor, Michael B. Sunggiardi.

Saya kebetulan suka mengamati dan mencatat dalam hati beberapa detil seputar sepak-terjang tokoh-tokoh tertentu. Termasuk pula kali ini, tentang Roy Suryo dan Michael B. Sunggiardi. Sungguh menyenangkan menikmati rasa kaget dan senang di wajah-wajah mereka, ketika di depan forum tersebut saya bisa rada detil mengungkapkan prestasi-prestasi mereka berdua.

Untuk Michael B. Sunggiardi, kebetulan saya pernah menyinggahi stan penjualan CD-nya bermerk Syuga di IndoComtech, Balai Sidang Senayan Jakarta (1996). Lalu mengikuti berita tentang warnetnya di Bogor, BoNet, yang dibobol maling. Tentu saja ia jadi surprise ketika data diri dan sepak terjang Michael Sunggiardi saya ungkapkan di tengah seminar itu.

Beberapa tahun kemudian, 2001-2002, warnet BoNet tersebut malah menjadi tempat saya ber-Internet. Juga beberapa kali saya bertukar obrolan via email dengan Michael B. Sunggiardi dan Roy Suryo.

ANJING KENCING DI KEBUN RAYA BOGOR. Sebagai seorang epistoholik, saya pernah mendiskusikan dengan Michael B. Sunggiardi seputar isi surat pembaca yang saya kirimkan ke harian Radar Bogor dan Koran Tempo.

Sebelumnya harian Radar Bogor (15 Juli 2002) memuat keprihatian Kepala Jasa Ilmiah Kebun Raya Bogor (KRB), Ir. Sugiarti, mengenai makin maraknya tindak vandalisme pengunjung di KRB tersebut. Untuk mengeliminasi tindakan vandal seperti coreng-moreng grafiti di batu, bangku taman dan pepohonan di KRB (saya suka jalan kaki pagi di sini) saya telah mencoba memberi masukan.

Hemat saya, tindakan semacam adalah "penghargaan" dari pengunjung terhadap KRB dengan cara yang keliru. Pengunjung yang vandalis itu berperilaku seperti anjing yang kencing di pohon atau tembok. Mereka kebelet ingin meninggalkan kenangan, mejeng guna mengomunikasikan eksistensi dan ekspresinya, walau dengan cara yang keliru, kerdil dan kurang terpuji.

Solusinya, menurut saya, sebaiknya KRB menyediakan papan khusus untuk coreng-moreng bagi pengunjung KRB, sehingga enerji dan rasa kebelet mereka dapat tersalurkan. Saya usulkan gagasan lanjutannya : bagaimana kalau papan khusus itu tampilnya di dunia maya, berupa situs web di Internet, sehingga mereka dapat berbangga menyebarkan "bau kencing"-nya tersebut ke seluruh dunia ?

Ide itu sebelumnya saya konsultasikan lewat email dengan Michael B. Sunggiardi. Ia setuju. Tetapi ketika surat saya yang berisikan gagasan ini saya kirimkan kepada Ir Sugiarti, Kepala Jasa Ilmiah Kebun Raya Bogor (KRB), ternyata tak ada tanggapan apa pun. Ide itu pun terhenti di sini.

TELEMATIKA AWARD 2003. Tanggal 11 Oktober 2003, saya mengirimkan email kepada Roy Suryo :

"Salam sejahtera. Sebagai salah satu dari buanyak fans Anda, bersama ini saya mengucapkan selamat atas penganugerahan Telematika Award 2003 untuk Mas Roy. Saya ikut senang dan bangga, karena berkat virus gairah dan wawasan mengenai TI di Indonesia yang selama ini terus gigih Anda sebarkan, telah membuat diri saya kini bisa termasuk sebagai orang yang ikut tertular karenanya.

Oh ya, ini sekedar mengingatkan. Pada tahun 1998 di UNS Solo saya memproklamirkan diri sebagai fans Anda dan fans-nya Pak Michael B. Sunggiardi (berkali-kali saya main Internet di warnetnya Jl. Pajajaran, Bogor, tetapi belum ketemu muka, karena beliau lebih banyak jam terbangnya ; walau dulu ada rumor, "batu tulis-"nya akan diakuisisi oleh Bill Gates karena banyak harta karunnya !).

Temu lagi sama Mas Roy, saat peluncuran MASIF (Slogannya : "Satu keluarga, satu komputer") di Jakarta. Ide MASIF-nya Adhisakti Komputer itu bagus, sayang eksekusinya jeblok, karena mereka kurang sabar. Maunya langsung dagang komputer secara kreditan, tetapi mereka ogah melakukan investasi, berupa edukasi dan populerisasi, hingga akhirnya (apa betul ?) ide mulia itu keburu mati muda.

Dari diskusi saat itu, kalau menurut idiomnya Geoffrey A. Moore dalam bukunya Crossing The Chasm, para penggagas MASIF dan peserta diskusi saat itu mayoritasnya adalah para Innovator dan Early Adopter. Sementara pasar keluarga yang dibidik MASIF itu tergabung dalam kelompok Early Majority dan Late Majority) yang secara fundamental berbeda dengan mereka.

Ada jurang (chasm) di antara keduanya, dan kiranya MASIF enggan terlebih dulu membangun "jembatan"-nya. Sorry, menurut saya pula, bahasan di acara yang Mas Roy pandu, E-Lifestyle (Metro TV), itu juga masih masuk domain para Innovator dan Early Adopter.

Oh ya, ada usul-usil. Pemunculan Mas Roy di aneka media dan aneka masalah, itu menggembirakan. Tetapi, sayang, seusai acara itu buah fikiran yang berharga dari Anda sulit dilacak dan ditemukan lagi. Apa Mas Roy sudah punya situs pribadi ? Kalau sudah, mohon saya diberitahu. Syukur-syukur kalau di situ ada schedule ceramah Mas Roy.

Menurut saya, sayang kalau pencapaian Mas Roy selama ini mudah hilang atau terlupakan, kurang terdokumentasikan. Prestasi Mas Roy membongkar suara Andi Ghalib, seharusnya itu sudah jadi satu buku best seller. Atau saat Mas Roy ikut dalam tim melacak komunikasi seluler-nya buronan Tommy Soeharto.

Atau, semuanya ini usul-usil : Mas Roy rasanya sudah saatnya seperti Ilham Bintang, membikin aneka program TV berisi seluk-beluk TI dalam kemasan model infotainment. Misalnya Roy’s Tech Toy untuk para geeky dan inerds, sementara program Roy’s TechnoTainment untuk liga awami, kaum awam, dengan nara sumbernya meliputi antara lain :

Pak Michael "RT/RW-Net" B. Sunggiardi, Mas Onno "Pegel Linux" W. Purbo, Rene-nya Kompas, Ibu Betty "IBM" Alisjahbana, Nicholas "Internet : Gempa Bumi 10,5 Skala Richter" Negroponte, Esther "Release 1.1." Dyson, Stewart Alsop, Linus Torvald, Scott "Sun" McNealy, Budiono "detik.com" Dharsono, dan lainnya.

Email ini yang tembusannya (CC) saya kirimkan kepada Michael B. Sunggiardi, Onno W.Purbo, hal-ti@kompas.com (Rene L. Pattirajawane, wartawan khusus TI di Harian Kompas) tidak memperoleh balasan.


BLOG ITU NORAK. Baru-baru ini nama Roy Suryo muncul di kolom surat pembaca Harian Suara Merdeka (2/2/05) dan Solopos (1/2/2005). Dengan judul "Friendster dan Blog Palsu", ia menyarankan pembaca agar tidak menjadi korban penipuan dari media berbasis Internet tersebut. Ia tegaskan, "kini banyak upaya untuk merusak citra Internet dengan membuat hal negatif lewat berbagai cara"

Lebih lanjut, Roy juga menulis : "bahwa saya sengaja tidak membuat blog atau homepage pribadi, apalagi email gratisan, karena memang sudah tidak merasa perlu ikut beberapa fasilitas yang mungkin masih dianggap tren bagi seseorang, tetapi sudah dianggap norak oleh masyarakat lain"

Bagi saya, surat pembacanya Roy Suryo tersebut cukup mengganggu pikiran saya beberapa hari. Sungguh kebetulan, ternyata saya tidak sendirian. Secara tak sengaja saya menemukan situs blog bernama Blog Pemilu 2004 ("untuk menemukannya , masukkan nama ini ke dalam mesin pencari Google, pasti akan ketemu !") yang memajang komentar mereka terhadap sikap Roy tersebut.

Dalam terbitan yang bertepatan Hari Valentine, 14 February 2005, dengan judul "From Blogger Indonesia With Love" inilah pesan mereka untuk Roy Suryo :

"Sehubungan dengan berbagai komentar KRMT Roy Suryo Notodiprojo akhir-akhir ini di berbagai media, kami, komunitas blog Indonesia berkesimpulan bahwa beliau kekurangan informasi atau bahkan menerima informasi yang tidak benar tentang blog. Kami sendiri memandang bahwa blog adalah hasil dari evolusi bertahun-tahun di Internet, yang semakin menunjukkan bahwa Internet adalah wadah nyata untuk saling menghubungkan orang-orang di dunia nyata.

Pesan Cinta lengkap yang juga di-release ke media-media massa dapat kamu temukan disini: Pesan Cinta Blogger Indonesia.

Kami juga yakin bahwa KRMT Roy Suryo sebagai seorang manusia tentulah sangat membutuhkan kasih sayang dari orang lain. Oleh karena itu, kami, komunitas blog Indonesia pada bulan penuh cinta ini sepakat untuk mendedikasikan hari Valentine tahun 2005 khusus untuk KRMT Roy Suryo Notodiprojo"

Tertanda,
Komunitas Blog Indonesia

Saya pun, untuk membuat netral hati yang selama ini gatal, ikut menorehkan komentar di situs blog bersangkutan dan sekaligus mempromosikan slogan komunitas Epistoholik Indonesia :

3. 20:57 on 17 February 2005 by bambang haryanto

"Saya setuju komentar Anda bab Roy Suryo yang rupanya kekurangan info tentang situs blog. Ia rupanya belum pernah dengar kiprah Joe Trippi saat melambungkan Howard Dean di Pemilu AS 2004 yl. dengan situs blog. Belum pernah pula dengar-dengar atau baca bukunya Dan Gilmor.

Mas Roy saya sarankan membaca dulu majalah Fortune edisi Januari 2005, di mana situs blog jadi nomor satu untuk trend TI pada tahun 2005 !

Sukses untuk para blogger !
Salam episto ergo sum !"
BH


SERENDIPITY DIGITAL ECONOMY !. Tulisan ini mulai saya tulis tanggal 3 Mei 2005, pagi hari. Sungguh suatu kebetulan, malamnya, melalui fasilitas radio FM dari ponsel, saya mengikuti siaran Radio Nederland Siaran Indonesia (Ranesi) yang dipancarkan ulang oleh Radio Solopos FM. Saya tidak biasa mengikuti siaran Radio Nederland ini, karena yang rutin saya ikuti adalah Radio BBC Siaran Indonesia yang dipancarkan ulang oleh Radio Karavan FM Solo.

Mungkin hunch atau intuisi yang menuntun saya saat itu. Sebab dalam kilasan berita ekonomi diwartakan mengenai laporan utama edisi terakhir majalah bisnis utama dunia, Business Week, yang membahas seluk-beluk manfaat dan revolusi blog bagi dunia bisnis.

A-ha !. Eureka !. Lagi-lagi suatu serendipity, kebetulan yang ibarat mukjijat bagi saya, terutama terkait dengan informasi teknologi informasi selama ini, menyapa diri saya lagi. Saya suka mencatatnya dan sekaligus menikmatinya !

Sekadar ilustrasi : ketika "nabi digital" dari Massachusetts Institute of Technology (MIT), AS, Nicholas Negroponte, berceramah di Jakarta, 30 September 1996, beberapa hari kemudian saya memperoleh honor untuk artikel saya berjudul "Lowongan Kerja di Internet" yang dimuat di majalah Jamsostek No.6/Agt-Sept 1996. Honor itu pula pada tanggal 9 Oktober 1996 di Times Bookshop, Indonesia Plaza, saya belikan buku Being Digital-nya Nicholas Negroponte.

Buku lainnya, The Digital Economy : Promise and Peril In The Age of Networked Intelligence-nya Don Tapscott, bisa saya beli juga berkat dituntun nasib-nasiban lagi.
Awal 1998, karena ikut jadi korban krismon, susah jadi penulis bebas di Jakarta karena koran-koran saat itu tidak menerima tulisan dari luar, memaksa saya mudik ke Wonogiri. Pada tanggal 5 Desember 1998, saya ke Bogor untuk jadi saksi perkawinan adik saya. Saya menggunakan kesempatan itu untuk main ke kantorpos Rawamangun, Jakarta Timur, guna melihat-lihat isi kotakpos yang saya sewa sejak tahun 1983 dan terbengkalai sejak awal tahun 1998 ini.

Saya memperoleh setumpuk surat. Termasuk, yang tak terduga, terdapat surat pemberitahuan dari Redaksi Harian Suara Karya. Isinya : saya diminta untuk mengambil honor untuk tiga tulisan saya bertopik teknologi informasi. Pendek cerita, setelah ambil honor dan melongoki toko buku Gunung Agung di Kwitang, sebagian honor itu kini berwujud buku karya Don Tapscott tersebut.

Ternyata serendipity belum berakhir. Ketika jalan-jalan ke toko buku Gramedia Matraman, saya menemukan majalah Fortune (7 Desember 1998) dengan laporan yang artikel utamanya ditulis oleh Gary Hamel dan Jeff Sampler, keduanya profesor dari London Business School. Di sampulnya tertulis :

INTERNET or BUST ! : Don’t get left in the dust. The smartest companies are using the Net to create a whole new way of doing business. Call it the E-Corporation.


MABUK BLOG DI CHANGI. Saya mulai mengenal seluk-beluk situs blog atau weblog sekitar Agustus 2003. Suatu pencerahan. Tanpa pemahaman mengenai kemudahan mengelola blog dan manfaat hebatnya, pasti komunitas Epistoholik Indonesia masih terkubur dalam angan-angan belaka sampai saat ini. Fenomena situs blog tersebut membangunkan impian saya sejak tahun 1992 tentang komunitas penulis surat pembaca dan mengubahnya menjadi kenyataan.

Potensi revolusioner situs blog semakin menggoda saya ketika mengikuti gejolak pemakaian teknologi informasi dalam proses kampanye pemilihan presiden di Amerika Serikat. Tokoh yang paling moncer adalah : Joe Trippi. Lalu mengenai apa dan bagaimana revolusi blog untuk bisnis ? Sekali lagi, serendipity menyatroni diri saya lagi. Sebagai orang Wonogiri, info dahsyat tersebut ternyata harus dipergoki, diweruhi, di tempat yang jauh dan tak terduga sama sekali !

Di Terminal 1, Bandara Internasional Changi, Singapura, 17 Januari 2005, saya memasuki toko buku Times Newslink. Setelah sebelumnya terpikat di antara lautan buku di toko buku Borders di Orchard Road, kali ini aku tak bisa menahan diri untuk membeli buku tersebut : Blink : The Power of Thinking without Thinking (2005). Karya Malcolm Gladwell. Ini buku keduanya, setelah Tipping Point, yang juga saya miliki.

Godaan lain yang juga tidak bisa aku bendung adalah saat membuka-buka majalah Fortune, edisi khusus Januari 2005. Pada halaman depan terpampang tulisan 10 TECH TRENDS TO WATCH IN 2005. Pada bagian kanan bawah mencolok blok merah bertuliskan : Trend No. 1 : WHY YOU CAN’T IGNORE BLOGGERS.

Ilustrasi sampul lainnya adalah enam wajah para kampiun atau sebutlah para blogger warriors di Amerika Serikat : Mena Trott, Xeni Jardin, Steve Hayden, Jason Calacanis, Marissa Mayer dan Ben Trott. Majalah Fortune ini dijual seharga 12.38 dollar Singapura, yang kalau dirupiahkan saat itu menjadi sekitar Rp. 70.000. Padahal, kalau harga resmi banderol di Indonesia hanya : Rp. 28.000 !


BLOG GUNCANG MEDIA MASSA. Informasi mengenai manfaat blog bagi dunia bisnis dari Radio Nederland Siaran Indonesia tersebut membuat saya bergegas mencari info komplitnya di Internet. Ketemu. Di sampul majalah Business Week itu terpampang proklamasi :

Blog will change your business. Look past the yakkers, hobbyists, and political mobs. Your customers and rivals are figuring blogs out. Our advice : Catch up...or catch you later.

Ketika mengklik lebih lanjut, sudah diduga, gagal akses. Peminat memang harus membeli majalah bersangkutan. Tentu saja, kendala ini membikin saya agak frustrasi, karena di Wonogiri jelas-jelas tidak ada kios yang menjual majalah Business Week edisi bahasa Inggris. Tetapi, tunggu dulu, bukankah majalah ini sudah terbit dalam bahasa Indonesia ?

Sebelum mengubernya lebih lanjut, mungkin harus main ke Solo, sementara ini saya cukup senang menemukan artikel dari pelbagai situs blog yang mengomentari edisi spesial majalah Business Week tersebut.

Di situs BlogAds (http://weblog.blogads.com/comments/P1029_0_1_0/), tersimpulkan bahwa blog merupakan LEDAKAN PALING DAHSYAT DALAM DUNIA INFORMASI SETELAH INTERNET ITU SENDIRI. Blog akan mengguncangkan semua dunia bisnis. Blog adalah fenomena yang tidak dapat Anda cuekkan, tunda atau Anda delegasikan.

Misalnya dalam dunia penerbitan. Mesin cetak Johann Gutenberg di tahun 1440 telah menghadirkan boom publikasi dan revolusi informasi, yang mengarah terjadinya Reformasi Protestan dan hadirnya negara demokrasi di negara Barat. Sejalan dengan itu dalam masyarakat terbentuk kelompok elit yang memiliki hak dan dapat mengatur siapa-siapa saja yang mampu membeli mesin cetak serta mengolah kayu-kayu hutan menjadi kertas.

Percetakan membentuk model untuk media massa. Mereka yang beruntung memiliki mesin-mesin cetak dapat mengontrol informasi. Di Indonesia, kita mengenal Harmoko yang memiliki kelompok penerbitan Pos Kota, BM Diah dengan Merdeka, Jakob Oetama dengan KKG/Kelompok Kompas-Gramedia, Surya Paloh dengan Media Indonesia, Hetami dengan Suara Merdeka, sampai Dahlan Iskan dengan Jawa Pos Group. Dapat dikatakan, merekalah yang menentukan apa yang dikonsumsi oleh massa.

Kehadiran situs blog membuat dunia penerbitan media massa jadi jungkir balik. Kini Anda, sebagaimana saya mengelola puluhan situs blog bagi warga komunitas Epistoholik Indonesia dan belasan situs blog saya pribadi, dengan memanfaatkan fasilitas dari Blogger.com, biaya untuk mempublikasikan gagasan yang mendunia praktis gratis. Dengan komputer di kamar yang tersambung ke Internet, dalam waktu 10 menit siapa saja dapat menjadi penerbit di dunia.

Situs blog itu merepresentasikan kekuatan. Di era media massa, penerbitlah yang menerbitkan berita. Pelbagai sumber warta dikutip pendapatnya, tetapi penerbitlah yang menentukannya. Bahkan demikian pula surat pembaca. Kini, di era blog, peran penerbitan semacam itu telah dilewati. Kini siapa saja dapat menyuarakan opininya melalui situs blog. Dan kalau yang bersangkutan cukup terampil serta menguasai tekniknya, dirinya berpotensi mampu mengumpulkan pembaca dalam jumlah yang besar.


PEDANG BALMUNG SIAP MENEBAS ANDA !. Kalau Roy Suryo mengeluhkan "kini banyak upaya untuk merusak citra Internet dengan membuat hal negatif lewat berbagai cara", kira-kira siapakah dia ? Menurut saya, mereka adalah fihak yang terancam dengan kehadiran Internet, dan kini blog. Mereka itu mungkin saja justru pemerintah. Ingat kebijakan pemerintah RRC, Singapura sampai Iran yang menahan para blogger di negerinya. Fihak lainnya, adalah penerbitan yang berbasis atom, atau kertas, yang semakin tergerogoti eksistensinya. Untuk mengetahui lanskap terbarunya, silakan baca tulisan Enin Supriyanto, "Rias Wajah di Tubuh Sekarat ?" di lembaran Bentara, Kompas, 4 Mei 2005 : hal. 41

Tetapi roda revolusi digital tak bisa dihindari. Dengan menggulirkan Epistoholik Indonesia, mencoba mengenalkan warga EI terhadap situs blog dan mendorongnya untuk melakukan eksplorasi terhadapnya, saya merasa bangga sebagai bagian dari revolusi digital yang sedang membara saat ini. Epistoholik Indonesia dengan otot situs-situs blognya, saya cita-citakan, sebagai salah satu pilar untuk ikut menegakkan demokrasi di negeri ini.

Memang tidak semua warga EI menyadari revolusi dengan bergulirnya misi yang diemban oleh EI. Yang pasti, saya seringkali kecewa terhadap mereka, generasi yang jauh lebih muda dari saya, tetapi rupanya lebih senang berlaku model burung unta, menenggelamkan kepalanya ke tanah dan berharap semua problem akan berlalu, ketika tantangan digital yang ringan-ringan saja menghadang di depan mereka.

Memanglah, dewasa ini, sebagian besar dari kita, tidak merasakan atau tidak mampu mendeteksi adanya perubahan. Termasuk perubahan yang dipicu oleh revolusi digital. Kita cenderung tidak mampu mendeteksi perubahan bila tidak meninggalkan situasi yang ada saat ini, hingga ketika pelbagai asumsi dan harapan yang melindungi hidup kita selama ini terpergok dengan realitas yang sama sekali baru.

Mungkin dongeng tentang pedang Balmung milik hero Jerman Siegfried yang terkenal, cocok untuk menggambarkan "masa depan" mereka. Yang mendongengkan adalah William Bridges dalam bukunya JobShift : How To Prosper In A Workplace Without Jobs (1995). Buku ini juga oleh-oleh adik saya, Broto Happy W., yang ia beli di Birmingham, Inggris, 19 Maret 1995.

Pedang Balmung adalah pedang sakti, teramat sangat tajam. Sekali tebas, ia dapat membelah tubuh prajurit yang memakai baju besi, dari kepala sampai ujung kakinya. Tetapi karena saking tajamnya, sampai-sampai si prajurit bersangkutan tidak merasakannya. Hanya saja, bila ia bergerak, maka tubuhnya segera berdebam jatuh ke bumi menjadi dua bagian.


PERANG SUCI REVOLUSI BLOG ! Terakhir, kita dapat mendengar pendapat Dave Wiener seperti dikutip oleh Deborah Branscum (Newsweek, 12/3/2001 : hal. 53). Wiener adalah seorang veteran entrepreneur Lembah Silikon dan pendiri perusahaan peranti lunak Userland Software yang mengutak-atik situs blog Scripting.com miliknya sejak 1997.

Wiener mengibaratkan, blog baginya merupakan suatu perang suci. "Saya tertarik menciptakan bentuk jurnalisme baru. Saya tidak mempercayai sumber-sumber media, seperti jaringan televisi dan majalah-majalah. Kita butuh memperoleh kesadaran sebagai sebuah masyarakat dan salah satu cara terbaik untuk hal penting tersebut bahwa kita harus mulai bicara dan juga mendengar. Kini terdapat 6 milyar penghuni dunia dan bila semua mereka memiliki situs blog, dunia bakal menjadi lebih baik karenanya !"

Terima kasih, Pak Wiener. Bagaimana dengan Anda, Mas Roy Suryo ? Bagaimana pula dengan Anda, warga Epistoholik Indonesia ?

Wonogiri, 3-5 Mei 2005


P.S. Tulisan terkait isu yang sama telah saya paparkan dalam Esai Epistoholica No. 09/September 2004, berjudul "Nubuat Nabi-Nabi Tertulis Di Tembok-Tembok Subway"

No comments:

Post a Comment