Tuesday, October 18, 2005

Setahun SBY-Kalla A La Epistoholika Jenaka

Oleh : Bambang Haryanto
Esai Epistoholica No. 28/Oktober 2005
Email : epsia@plasa.com
Home : Epistoholik Indonesia




BANGGA PUNYA MAFIA. Komedian AS terkenal Will Rogers (1879–1935) pernah bilang, dirinya tidak melucu tetapi hanya mewartakan apa-apa yang dikerjakan oleh pemerintah. Begitulah kiranya sebaiknya sikap kita dewasa ini. Daripada stres memikirkan kehidupan yang semakin sulit pasca kenaikan BBM dan segala produk dan jasa, lebih baik bersikap mirip Rogers tersebut tadi. Ramai-ramai, tidak memberontak, melainkan menertawakan pemerintah.

Salah satu amunisi untuk melucukan mereka adalah perkataan Ronald Reagan (mantan presiden Amerika Serikat), bahwa di pemerintahan itu tidak ada orang-orang yang cerdas. Karena bila cerdas, mereka sudah disabet oleh fihak swasta. Pemerintahan kita saat ini tampak juga seperti itu. Mereka ibarat hanya memiliki sebuah palu sehingga semua masalah selalu cenderung dianggap sebagai paku.

Pukul, pukul dan pukul.

Pemerintah tidak kreatif menggali sumber-sumber dana alternatif yang tidak membebani rakyat. Pemerintah hanya punya satu resep, naikkan harga dan nasib rakyat kebanyakan, silakan berserah diri saja pada Tuhan. Tidak aneh bila saat kenaikan harga elpiji yang lalu, tanpa memiliki seulas empati dengan enak seorang Menko Perekonomian bilang, “kalau tak mampu beli gas ya tak usah pakai gas”. Ucapan itu bisa diperluas : “kalau tak mampu beli beras atau minyak tanah ya tak usah makan pakai beras dan tak usah memakai minyak tanah !”

Kehidupan kita jelas makin sulit. Mungkin hari-hari ini kita terpaksa harus mau belajar dari rakyat bekas Uni Soviet saat diperintah rejim komunis yang represif dengan kehidupan perekonomian yang sulit dan morat-marit. Mereka mampu bertahan antara lain dengan humor, termasuk menghumori pemerintah dan pejabat-pejabatnya.

Salah satu lelucon paling lucu saat itu adalah ketika mereka, dalam kemelaratan dan ketertindasannya, tetapi tidak mau kalah gengsi atau kalah bersaing melawan negara seterunya saat itu, Amerika Serikat.

Orang dari negeri Beruang Merah itu berkata dengan bangga : “Orang Amerika boleh bangga memiliki Mafia. Kami juga memilikinya. Namanya, prikaziwat. Pemerintah !” (Dimuat di kolom Surat Pembaca, Harian Kompas Jawa Tengah, Sabtu, 8 Oktober 2005) ***


SMS PAK SBY. Anda pernah mengirim SMS ke nomor 9949, yaitu nomor milik Presiden SBY yang mengingatkan akan tanggal, bulan dan tahun kelahirannya ? Saya belum pernah. Sebab saya takut memperoleh balasan, termasuk takut bila mendapatkan info-info berbau spam, alias info-info yang tidak saya inginkan.

Saya hanya membayangkan betapa riuhnya SMS yang masuk ke nomornya Pak SBY ini. Tetapi modus komunikasi satu-ke-satu (one-to-one) ini sifatnya eksklusif. Masyarakat luas tidak tahu, karena isinya tidak menjadi pengetahuan bersama. Mirip ilmu dukun, di mana hanya pak dukun dan kliennya saja yang tahu.

Tetapi ijinkanlah saya mengira-ira isi pesan yang masuk. Misalnya, ketika tanggal 9 September 2005, saat Pak SBY berulang tahun ke 56, pastilah SMS yang ramai masuk seputar mengucapkan agar beliau sehat wal afiat dan panjang umur.

Lalu apa kira-kira kebanyakan isi SMS yang masuk pasca 1 Oktober 2005, saat pemerintah menaikkan harga BBM, terutama harga minyak tanah secara keterlaluan ? Kabar burung menyebutkan bahwa nomor HP yang 9949 tersebut kini sementara tidak lagi menjadi nomornya HP-nya SBY. Melainkan nomor HP-nya Menko Perekonomian, Aburizal Bakrie ! ***


IT’S ONLY WORDS = RA ISO NGLIWET ! Menjelang pemilihan presiden secara langsung yang pertama kali di negeri kita ini, saya mengirimkan resensi saya mengenai para calon presiden, ke Harian Kompas. Tulisan saya itu dimuat dalam kolom “Mimbar Demokrasi” (Sabtu, 15 Mei 2004 : Hal. 8). Kutipannya :


INDONESIAN IDOL 2004 DAN LAGU FAVORITNYA.

MEGAWATI SOEKARNOPUTRI : Don’t Let Me Down (The Beatles).

SUSILO BAMBANG YUDHOYONO : Words (The Bee Gees, “It’s only words/And words are all I have/To take your heart away”

AMIEN RAIS : Here’s Come The Sun (The Beatles). Tapi, sorry, George Harrison, liriknya kuubah menjadi : Here’s come the sunset, little darling”

W I R A N T O : We Will Rock You (Queen, “You got blood on your face/You big disgrace/Waving your banner all over the place/We will, we will rock you”). Tapi yang menyanyikannya justru mahasiswa dan pejuang HAM.

PRABOWO SUBIANTO : Army Dreamers (Kate Bush, Should have been a politician ? But he never had a proper education...What a waste/Army dreamers, army dreamers”)

AKBAR TANJUNG : I Will Survive (Gloria Gaynor).

Setelah setahun apa yang terjadi ? Ralat sedikit, dalam realitas Megawati Soekarnoputri yang saat itu menjabat sebagai presiden, memiliki lagu kesayangan, yaitu My Way dari Frank Sinatra yang terkenal itu.

Tetapi menjelang pemilihan presiden tersebut ia sepertinya enggan untuk menyanyikannya. Kita bakal tahu apa kira-kira rahasianya, kalau Anda jeli menyimak lirik awal lagu indah tersebut :

“And now, the end is near,
and so I face the final curtain....”

”Dan sekarang, masa akhirku semakin mendekat
Dan kan kujelang masa turun tirai panggungku”


Orang bilang itulah self-fulfiling prophecy. Atau ibaratnya Megawati telah meramalkan nasibnya sendiri. Mega akhirnya kalah dan SBY yang naik daun menjadi presiden.

Presiden gagah asal Pacitan itu sejak muda dikenal suka bermain musik. Ia suka kelompok Koes Plus, dan juga suka menyanyikan lagu Words-nya The Bee Gees :


“It’s only words
And words are all I have
To take your heart away”

”Hanyalah kata-kata
Semata kata-kata yang aku punya
Untuk merampas seluruh cintamu”


Self-fulfiling prophecy kembali terjadi. Pemerintahan SBY-Kalla gemar beretorika, berkata-kata, bahkan sering menteri-menterinya tak menaruh empati terhadap penderitaan rakyat. Sementara menurut pengamatan kalangan ahli ternyata janji-janji dalam kampanyenya hanyalah omongan kosong belaka hingga saat setahun pemerintahannya saat ini. Mereka sudah menaikkan harga BBM dua kali, yang terakhir disebut sebagai keterlaluan.

Tidak ayal lagu favoritnya SBY, yaitu Words itu, akan semakin sering dilagukan oleh rakyat kecil sebagai lagu rintihan dalam mengarungi kehidupan sehari-hari mereka :

”Ra isoh ngliwet”
Urip terus dadi susah
Kabeh mergo SBY”

”Tak bisa menanak nasi
Hidup semakin susah
Akibat ulah SBY”


DIKTATOR MENUNGGU DI POJOKAN. Bangsa ini adalah bangsa yang teledor. Demikian penilaian Guru Besar Psikologi Universitas Indonesia, Sarlito W. Sarwono, terkait dengan beruntunnya kecelakaan pesawat terbang di Indonesia akhir-akhir ini.

Keteledoran yang kurang lebih sama kini semakin terkuak, ketika terjadi kekisruhan parah dan meluas menyangkut penyaluran dana kompensasi BBM. Data penduduk miskin yang menjadi dasar pemberian dana kompensasi itu simpang-siur, tidak akurat, dan akhirnya memicu gesekan sosial di tingkat bawah.

Di luar tidak akuratnya data tersebut, ada bahaya besar lain yang mengintai. Mungkin tidak disadari, pemberian dana kompensasi dari pemerintah itu ibarat mengoleskan balsem pada kulit untuk penyakit dalam yang serius. Dengan olesan itu, rakyat akan merasakan kenyamanan yang bersifat sementara, tetapi semu, sementara penyakit yang sebenarnya tidak tersentuh sama sekali.

Hari-hari ini rakyat Indonesia, selain tergerusnya harga diri, seperti mengulang nasibnya di bawah tindakan represif pemerintahan Orde Baru. Rakyat Indonesia hari-hari ke depan nanti dikuatirkan semakin dikondisikan untuk selalu tergantung kepada kemurahan hati pemerintah.

Pada hal Mantan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Henry Cabot Lodge, Jr pernah memperingatkan :

“Apabila terlalu banyak rakyat suatu bangsa tergantung kepada pemerintah untuk kehidupannya, maka demokrasi akan terbantai, kebebasan hilang, dan kehadiran diktator telah mengintai di pojokan !”

Lalu bagaimana memaknai sinyalemen Lodge di atas sementara di Indonesia saat ini lagi gencar wacana menghidupkan lagi komando teritorial, formula militeristik model Orde Baru yang senyatanya memberangus kehidupan berdemokrasi, dengan dalih sebagai upaya menangkal aksi terorisme ?



Wonogiri, 18 Oktober 2005

No comments:

Post a Comment