Sunday, April 23, 2006

Love Will Find A Way : Impian Saya dan Komunitas Epistoholik Indonesia

Oleh : Bambang Haryanto
Esai Epistoholica No. 36/April 2006
Email : epsia@plasa.com
Home : Epistoholik Indonesia



Yth. Sobat warga Epistoholik Indonesia,
juga sahabat dan handai taulan yang saya kenal,

Salam Episto ergo sum.
Saya menulis surat pembaca karena saya ada.


The Butterfly Effect. Adegan mana dalam film Jurassic Park yang paling Anda ingat ? Bagi saya, adalah omongan ilmuwan yang dibintangi Jeffrey Goldblum mengenai apa yang terkenal dengan sebutan teori “efek kupu-kupu”. Atau Butterfly Effect. Teori yang terkenal dalam disiplin ilmu klimatologi. Ilmu iklim.

Ringkasnya, alam ini memiliki saling ketergantungan. Sehingga kepak sayap kupu-kupu di Beijing dikisahkan akan mampu menghadirkan topan badai di pelabuhan Sydney, Australia. Kalau boleh dianalogikan, tangis, doa dan bisikan cinta seseorang di Bromley, Inggris, juga akan mampu menjangkau anak-anak yatim, dhuafa, baik di Aceh, Poso, Ambon, Wonogiri (saya juga anak yatim piatu kini) atau pun di Bosnia.

Adegan menarik lainnya dari Jurassic Park adalah tentang dinosaurus-dinosaurus yang ditangkarkan, di mana menurut rencana hanyalah berkelamin jantan semata. Tetapi di hutan, para ilmuwan dari situs penangkaran dinosaurus yang dimiliki jutawan eksentrik (dimainkan oleh aktor Inggris, Sir Richard Attenborough), mereka menemukan telur-telur dinosaurus.

Salah satu ilmuwan itu (dimainkan oleh aktor Australia, aku lupa. Sam... ), kemudian bilang bahwa, Life will find a way. Kehidupan akan selalu menemukan jalannya sendiri.

Bagi saya, love will find a way, too. Ini pepatah Inggris dari abad l6. Cinta akan menemukan jalannya tersendiri, pula. Pepatah tersebut, bagi saya, hari-hari ini ternyata sangat terkait dengan kiprah-kiprah saya dan kita sebagai kaum epistoholik, yaitu mereka yang kecanduan dan menikmati hidup dengan menulis surat-surat pembaca. Baik mereka yang tergabung dalam komunitas Epistoholik Indonesia, atau belum. Saya akan bercerita di bawah ini tentang kebahagiaan di jalan-jalan cinta itu untuk Anda semua.


Jeplak Dan Jejak Di Jakarta. Anda kenal dengan komunitas Jeplak ? Ini merupakan singkatan “Jaringan Epistoholik Palmerah Kompas”. Jangan percaya dulu, komunitas itu hanya ada dalam bayangan saya.

Yang kini sedang dirintis adalah Jejak (Jaringan Epistoholik Jakarta). Pelopornya, pengusaha agen media yang inovatif, Budi Purnomo. Beliau belum saya kenal. Beliau telah kirim SMS kepada saya, mencari tahu keberadaan cabang komunitas Epistoholik Indonesia (EI) di Jakarta.

Saya jawab, di Jakarta memang ada warga EI di sana. Ibu Asrie M. Iman, lulusan FEUI, mantan eksekutif HRD perusahaan minyak internasional. Juga ada Dr. Pudyanto, dokter di RS Sint Carolus, penulis surat pembaca yang saya kenali karyanya sejak 1980-an, saat saya berkuliah di UI Jakarta. Beliau lulusan Kedokteran UGM.

Kedua beliau tersebut pernah saya kontak, tetapi, ah, itu sudah lama sekali. Tetapi cabang EI di Jakarta memang belum ada. Lalu saya ajukan usul, bagaimana kalau Mas Budi memeloporinya.

Benih baik kita ternyata jatuh di tanah yang baik, di tangan petani yang inovatif. Mas Budi segera meluncurkan ide Jejak Saya mendukung penuh. Sekadar info, perusahaan keagenan medianya, Mediaku Agency (http://www.mediakuagency.com/) saya bayangkan kantornya penuh pelbagai macam media cetak, termasuk majalah Playboy Indonesia :-)) yang heboh itu.

Saya usulkan ke Mas Budi (emailnya : mediaku@gmail.com / SMS Kantornya : 08888-077878) agar menghimpun beberapa peminat penulisan surat pembaca. Baik pelajar atau mahasiswa. Atau kaum pensiunan. Silakan mereka memilih media yang ia sukai. Lalu Mas Budi yang punya blog Surat Pembacaku (http://suratpembacaku.blogspot.com), dapat membimbing mereka.

Kalau dimuat, si penulisnya bisa dikontak. Sokur kalau dirinya lalu membeli media bersangkutan. Mas Budi silakan tersenyum, karena dapat konsumen langsung ya. Atau mereka boleh menfotokopinya.

Saya punya impian (jangan lupa motto hidup saya : dreams is my business) bahwa komunitas ini bisa dirancang untuk membesar, bahkan dapat menjadi gerakan hebat dan unik guna mencerdaskan bangsa, melalui aktivitas penulisan SP-SP yang bermanfaat.

Boleh jadi, berpeluang akan lahir “institusi pers” yang baru, orisinal, bahkan yang pertama di dunia, tentu saja, komunitas kaum epistoholik seperti EI kita selama ini.

Go Ahead, Mas Budi Purnomo !


Kini Saya Akan Membicarakan Purnomo Yang Lain. Yaitu Mas Purnomo Iman Santoso. Blognya : http://purisa.blogspot.com. Emailnya : Niewdelars@telkom.net. Priyayi penyuka sepakbola, suka main di kiri luar, bergelar MBA. Berdomisili di Semarang dan bengkelnya di Kebumen. Memproduksi kerajinan kain unik. Untuk ekspor.

Tanya sedikit sama Mas Pur : Anda punya data tentang pemain-pemain sepakbola kita yang berasal dari etnis Tionghoa ? Pertanyaan kedua : mengapa kini mereka nyaris tak ada di kancah sepak bola kita ? Ketiga : apa solusi Anda ?

Suatu kebetulan, di Kompas Jawa Tengah (21 April 2006) saya menulis surat pembaca berjudul “Kartini Seorang Epistoholik” dan Mas Purnomo menulis surat pembaca berjudul “Kliping Sepak Bola.”


Kartini Seorang Epistoholik


Ibu Kartini adalah seorang epistoholik. Umpama semasa hidupnya beliau sudah terpapar surat kabar atau media komunikasi lainnya, boleh diperkirakan beliau akan menuangkan gagasannya yang jauh ke depan itu di kolom-kolom surat pembaca. Atau dalam bentuk artikel. Yang pasti, gagasannya menjadi lebih tersebar sejak dini dan sejarah perkembangan kehidupan perempuan di negeri ini juga akan berbeda.

Kegetolan Kartini itu haruslah terus diteladani. Terus dikobarkan. Aktivitas menulis, baik surat atau tulisan lain, adalah suatu perjuangan mulia menuangkan gagasan untuk kemudian dikomunikasikan dengan fihak lain. Sebuah langkah demokratisasi ilmu pengetahuan.

Sebagai warga komunitas Epistoholik Indonesia (EI), saya mengajak lebih banyak kaum perempuan menulis surat-surat pembaca. Mengapa perempuan harus semakin banyak berekspresi, aktif memberikan gagasan, dan mengambil peran bagi masyarakat luas ?

Karena menurut linguis Deborah Tannen, pendekatan wanita itu saling meneguhkan, sementara pendekatan lelaki berkutat pada konfrontasi. Aksi demo, sweeping, saling hujat sampai tawuran, semua fenomena yang semakin marak di negara kita tersebut merupakan ciri-ciri penanganan masalah menurut cara laki-laki. Pendekatannya mencari kalah atau menang.

Sementara itu kaum perempuan lebih menekankan dialog untuk bisa saling meneguhkan. Bahkan seperti dikatakan oleh Anita Roddick bahwa wanita tidak suka hirarki yang pendekatannya atasan vs bawahan. Wanita lebih piawai membina hubungan jaringan yang melihat fihak lain secara setara. Akibatnya, konflik cenderung lebih mudah diselesaikan karena tak ada fihak yang dikalahkan.

Semoga semakin banyak perempuan menulis surat pembaca. Seperti halnya keteladanan Kartini, suara kaum perempuan semakin penting bagi kita semua !

Bambang Haryanto
Warga Epistoholik Indonesia
Jl. Kajen Timur 72 Wonogiri 57612


Di kolom yang sama, ada surat pembaca berjudul “Melestarikan Bahasa Daerah”, tentang bahasa Banyumasan yang ngapak-ngapak, ditulis oleh Mustikaningsih (emailnya : emtieka23@yahoo.com). Ia bekerja di perusahaan plastik Solo. Juga bergelar MBA.

Pembaca kolom SP di Kompas Jawa Tengah pasti mencatat meroketnya pamor karya-karya SP dia. Saya mengenalnya lewat surat, SMS, dan terakhir dirinya saya paksa untuk belajar Internet. Sokurlah, ia mau, walau masih nanak-nunuk, candanya. Ia memanggil saya boss (boss EI). Kalau ada SP saya dimuat, ia sering yang lebih duluan lapor.

Matur nuwun, mBak Mustika !

Tanggal 21 April itu pula Mustikaningsih saya kirimi SMS, berisikan data no. HP-nya Mas Purnomo IS (Semarang) yang juga pernah menulis SP tentang orang-orang Banyumas.

Maksud saya, sesama kaum epistoholik dan sesama pemilik gelar MBA (Menungso Banyumas Asli, kiye...), semoga dapat saling bersilaturahmi. Untuk bersatu mem-Banyumas-kan Solo dan Semarang. Tetapi mereka akan saya larang bila masuk ke Wonogiri, sebab di sini hutannya sudah kritis. Jadi tak boleh ada oknum yang mau ngapak-ngapak kayu di Wonogiri !


Menengok Sebentar Ke Solo. Hallo Mas Tryas, semoga sehat-sehat dan mendapat respons memadai dari PT KAI, Solo. Saya salut dengan surat pembaca komplain Anda. Moga pula makin banyak anak didik Anda di SMA St. Joseph yang menulis di media massa, termasuk surat-surat pembaca.

Oh ya, kalau ada waktu, silakan main ke Warga EI terbaru dari Solo : Bapak Soenoto Pringgohardjo (69). Punggawan. Ia entah pramugara atau mantan pilot Garuda, tapi dari bio datanya terdapat data belasan kota-kota besar dunia yang sudah beliau jelajahi.

Sayang tulisan beliau yang hebat hanya nyantol di Solopos, di mana kapling SP di sana digerogoti habis oleh kolom kritik/keluhan melalui SMS.

Sementara itu, salah satu motor penggerak EI di awal berdirinya, sobat kita Wahyu Priyono, lama sekali hilang dari peredaran. Seperti ditelan bumi. Mungkin ia sudah lulus sebagai sarjana arsitektur. Lalu konsentrasi ke kerja atau karier, sekaligus meliburkan olah kreativitasnya di bidang esai budaya, puisi dan penulisan surat-surat pembaca.

Hello Wahyu, where are you ?

Kini Ayo Pindah Ke Kendal. Dari sana, Mas Joko Suprayoga, membocori saya info menarik. Dirinya menghimpun pencinta penulisan surat pembaca dan penulisan kreatif lainnya untuk bareng-bareng mancing. Juga mancing ilham (jayakesuma ?). Mungkin diilhami cerita Moby Dick, pemancing yang memancing ikan hiu, itu ya ? Inilah bunyi emailnya untuk saya :

Yang datang 10 orang, antara lain Mas Agus M Irkham (Semarang), mBak Siti Jazimah (Magelang), Pak Suprayitno (Semarang), dan 2 penulis Forum: Mas M Fahmi dan Mas Edi Winarso AW (keduanya asal Semarang), serta para penggembira lainnya.

Sementara yang lain, lewat SMS memberitahukan: Pak Purnomo Iman Santoso (Semarang, maaf lagi di Kebumen), Pak Fx Triyas Hadiprihantoro (Solo, ijin mertuanya sakit), M. Fahrudin Hidayat (Batang, mau berangkat mendadak anaknya rewel), Aryo Widiyanto (Kendal, mendadak ada tugas ke Kalimantan), Indra Ari (Demak, masih kerja praktek di Solo).

Inilah uniknya EI kita, susah banget ngepasin waktu kalau mau kumpul-kumpul.

Juga mas Azka dari Tabloid Seputar Semarang yang salah lokasi. Tahunya di pemancingan Tirto Arum, padahal acaranya di Pemancingan Aldilla, hahahahaha...................................

Hehehe.... mancing di pemancingan malah sedih kalau dapat, soale harus bayar! Setelah bakar ikan lalu ngobrol ngalor-ngidul. Akhirnya memunculkan gagasan:

1. Memulai "Sekolah Menulis" yang akan di gawangi Mas Agus M Irkham. Namanya sekolah tapi praktiknya nanti hanya work shop untuk menularkan virus menulis. Embrionya sudah mulai jalan.

2. Ada rencana mau membuat semacam "sekretariat" EI untuk wilayah Kedungsepur. Sementara ini masih by email dan sms.

3. Karena warga EI maupun penulis lain ibarat "kucing" bukannya bebek yang mudah diajak kesana-kemari, disepakati untuk mengintensifkan pertemuan lewat dunia maya saja (dirancang untuk membuat milis EI). Tapi problemnya, masih banyak yang malas ke warnet. Akhirnya disepakati menerapkan manajemen pembiaran, ben sakarep-karepe dewe. (Nurun caranya si BH, kan ? – BH).

Demikian laporan singkat pertemuan informal kemarin.

OK, Mas Joko. Sudah bisa bertemu semacam yang Anda adakan itu sudah rahmat. Semoga ada tindak lanjutnya. Saya mendorong semua aktivitas Anda.

Terima kasih untuk Agus M. Irkham dan mBak Siti Jazimah yang sudi merangkul komunitas EI untuk berbuat sesuatu yang inovatif dan mulia. Oh ya, mBak Siti ini, penulis buku produktif dan SP ini, pernah saya minta untuk mewakili saya sebagai nara sumber wawancara tentang EI di Radio Muntilan. Ini acara radionya Mas Gunawan Julianto, dari Perpustakaan Rumah Pelangi di Muntilan.

Komunitas Mas Gunawan ini masuk jaringan komunitas 1001Buku (Jakarta), yang berskala nasional. Salah satu pelopor kunci Komunitas 1001Buku ini adalah Dian Safitri. Pada bulan November 2004, Dian ini pernah sengaja tidur satu hotel, di Hotel Borobudur, bersama saya. Tentu saja beda kamar. Beda blok lagi.

Saat itu kami sama-sama mengikuti Mandom Resolution Award 2004. Dian Safitri menang. Saya juga ikut menang. Saat itu mBak Dian yang eksekutif perusahaan semen internasional itu sedang hamil (“gara-gara suka main semen sih”, canda saya di blog dan membuat Mas Ito, alias Prof. Sarlito Wirawan Sarwono tertawa-tawa”) saya candai agar anaknya kelak diberi nama : Mandomya Awardya. Ia setuju. Tetapi suaminya, Mas Bowo, juga saya kenal, memilih nama lain.


Oh ya, tentang acara di Radio Muntilan itu, sayang, jam acaranya kemalaman ya mBak Siti ya ? Sementara itu diri saya, kalau mau tur ke Muntilan dari Wonogiri, ya kejauhan. Ada solusi : wawancara lewat telepon. Dulu pernah ada tawaran wawancara live jarak jauh via telepon untuk saya dari Radio Delta-Medan. Topiknya “Komedi Indonesia” (saya kan punya blog Komedikus Erektus ! : http://komedian.blogspot.com ), sayang ada miskomunikasi. Akibatnya, acara itu tidak jadi berlangsung untuk diri saya.


Pindah Lagi, Kini Ke Jombang Dan Malang. Di Malang, menyapa Mas Kukuh Widyatmoko. Moga kabarnya baik-baik. Anak-anak didiknya semoga ada yang mengikuti Eric, gencar menulis surat-surat pembaca pula.

Di Jombang, saya menemui E. Musyadad. Aktivis LSM, menerbitkan majalah advokasi untuk masyarakat kelas bawah, supir becak, petani, pedagang kaki lima. Judulnya Media Sipil. Tata letaknya sangat elegan. Ditangani secara profesional. Canggih, walau pun berasal dari Jombang. Organisasi LSMnya bernama Yamajo (www.yamajo.or.id).

Makasih Mas Mus, untuk kiriman majalahnya. Moga kritik dan masukan yang saya kirimkan itu tidak jadi beban ya. Sukses untuk Anda dan kawan-kawan di Jombang !


Kini Saya Mau Ke Cirebon. Gara-gara beternak blog di Internet, antara lain Esai Epistoholica (http://esaiei.blogspot.com) ini, saya menambah silaturahmi dengan kenalan baru. Mas Eska Wiraman, ahli minyak di Pertamina, Cirebon. Beliau sudah lama saya kompori agar mau menulis, tetapi masih mogok pula.

Padahal ketika menulis surat biasa untuk saya, atau mengomentari isi blog saya (“katanya, telah ia anjurkan agar blog saya itu dipelajari oleh putra beliau yang baru lulus sarjana”), bahasanya bagus. Sudut pandangnya tajam. Pertanyaannya kreatif dan menggigit.

Kemarin, 21 April 2006, beliau sudi mampir ke Wonogiri. Beliau bilang, hmm-hmmm, pengin menemui “idolanya dari dunia maya”. Di area rekreasi tepian waduk Gajah Mungkur, dengan latar belakang genangan air, juga aroma ikan bakar, saya terus mengompori agar Mas Eska itu mau menulis. Saya usulkan, sebagai ahli teknologi perminyakan, silakan berkolaborasi dengan penulis. Untuk menghasilkan buku.

Semoga provokasi saya ini akan membuahkan hasil. Begitu kan, Mas Eska ? Salam untuk mBak dan Alya kecil (2 tahun) yang gaul dan pemberani itu. Di rumah saya, Alya suka difoto dengan gaya saat menabuh gong. Mungkin kelak Alya berbakat jadi calon pejabat :-))


Obrolan Di Luar Komunitas EI. Sokurlah, saya rupanya kini bisa tercatat sebagai warga komunitas praktisi periklanan. Saya tercatat sebagai pelanggan majalah gratis komunitas dunia para pembujuk tersembunyi ini (istilah dari Vance Packard). Majalahnya bernama AdDiction. Pemimpin Redaksinya saya kenal hanya dengan saling memandang, belum pernah ngomong langsung, lalu disusul via email dan menulis pesan di masing-masing blog kita. Namanya : Totot Indrarto. Makasih, Pakde, sebutan akrabnya.

Gara-gara majalah itu saya sempat bernostalgia. Karena di tahun 1984, kalau saya nekad DO dari UI, pekerjaan saya adalah sebagai copy writer untuk biro iklan Dentsu, yang klien besarnya antara lain Toyota.

Majalah gratis lain yang sebelumnya sudah masuk orbit hidup saya, adalah majalah sepakbola FreeKick. Saya sudah tiga bulan ini (edisi Feb, Maret dan April 2006), menjadi kolumnisnya. Pemimpin redaksinya Andi Bachtiar Yusuf, sineas yang getol sepakbola, berpangkalan di London. Ia temannya Totot Indrarto di atas, yang juga krtitikus film.

Totot pernah baca blog-blog saya, termasuk blog Suporter Indonesia (http://suporter.blogspot.com). Ketika Andi Bachtiar Yusuf dkk mau bikin majalah sepakbola, saya pun diajak. Alhamdullilah, dengan beberapa kali komunikasi email antara Wonogiri-London, saya lalu menjadi mitra kerja mereka.

Tendangan kejutan dari Freekick untuk saya berlanjut. Swastika, istri Andi BY, saat itu sedang pula sekolah film di London. Ketika bulan lalu mudik ke Jakarta, ia punya job untuk memfilmkan suka-duka penjual jamu di Jakarta. Ia mengikuti asal-usul mBak Lasmi, si penjual jamu itu, sampai di daerahnya, di Puhgogor, Sukoharjo, 20 km utara Wonogiri.

mBak Swastika mengirim SMS kepada saya, pengin temu. Titik rendezvous di Perlimaan Sukoharjo. Saya candai, itu Piccadily Circusnya Sukoharjo. Oh ya, Piccadily Circus adalah (kalau tak keliru sih) jalanan elit simpang lima di kota London.

Singkat cerita, pertemuan kita ternyata meleset. Angkot yang membawa mBak Tika, babls, tak jadi berhenti di titik pertemuan. Brief Encounter in Piccadily Circus, gagal. Tapi akhirnya kita bisa ketemu juga.

mBak Swastika itu ternyata dititipi oleh Andi Bachtiar Yusuf agar memberikan buku untuk saya. Buku itu karya Eduardo Galeano, asal Uruguay, berjudul Football In Sun and Shadow (2003). Buku yang menggelitik dan hebat. Sepakbola Indonesia ia sebut tiga kali dalam konteks Piala Dunia, tetapi dengan tinta hitam semuanya.

Saya sebagai tukang dongeng sepakbola (baca Laurence Prusak dkk. dalam bukunya Storytelling in Organization, 2005, yang menjelaskan bahwa apa yang membuat CEO dibayar mahal : mereka bercerita !), rujukan baru ini ibarat aki intelektual saya memperoleh recharge yang menggairahkan. Terima kasih, bung Andi !

Dari rumah, saat itu, saya telah memutuskan untuk minta tanda tangan dan pesan dari warga London ini. mBak Tika, yang kayaknya pemuja klub Arsenal, segera menulis pesan menggetarkan untuk saya pribadi : “Untuk Mas Bambang. Sampai jumpa lagi di Highbury.”

Saya terpana. Apa mungkin.

Lalu saya pikir-pikir. Mengapa tidak menuruti impian, termasuk bercita-cita menonton sepakbola di Stadion Highbury ? Apa ruginya melambungkan impian. Apalagi semalam, saya juga nonton saat Arsenal membungkam Juventus, 2-0, di Liga Champions. Apalagi ada pula orang bijak telah bilang : bermimpilah yang paling tinggi, karena ajaibnya, cita-cita yang paling tinggi itulah yang lebih mudah untuk dicapai !


Cita-Cita Tinggi Saya Saat Ini : EI Ada Di London Nanti. Saya sedang merintis impian itu. Dan, sekali lagi, gara-gara cinta pula yang kembali menunjukkan jalan ajaibnya. Kembali terbukti, gara-gara kesaktian blog pula, saya dipandu getar-getar kosmik untuk bisa mengenal seseorang yang mempesona. Rayuan awalnya sudah hebat. Ia bilang, bahwa isi blog-bog saya seperti ditulis oleh orang yang tinggal di Amerika, Australia atau pun Eropa.

Dirinya telah sekitar 20 tahun tinggal di London sana. Tetapi hatinya, derai air matanya dan senyumnya menyertai anak-anak yatim, para janda, kaum dhuafa di Aceh, daerah konflik di Poso, Ambon, dan bahkan Bosnia.

Ia mengerahkan segala macam daya dan dana, di Inggris sana, lalu terjun untuk menyantuni mereka-mereka yang papa. Langsung di tengah-tengah mereka. Ia kini ibarat menjadi album berisi rekaman tragika dan selaksa kepedihan sebagian anak bangsa kita yang terlalu mudah untuk dilupakan.

Dirinya tidak. Ia terus berpikir. Juga terus bekerja. Ia tak mau dikenal secara umum. Ia agak alergi terhadap publisitas media. Ia maunya hanya bekerja dan bekerja, katanya, agar kelak mampu mengantarnya ke emperan jannah.

Saya tidak tahu isyarat langit apa yang telah terjadi, karena kini saya bisa mengenalnya. Mengetahui impiannya. Mengetahui kegelisahannya. Ia saat-saat ini akan saya bujuk agar ada tulisan warga EI yang ditulis dari London sana. The stakes are high. The risk are enormous. Taruhannya besar. Resikonya besar.

Tetapi secara bercanda, ia itu, anehnya, ibaratnya mau saya ajak berjalan berdua ke bibir jurang. Lalu, bersama, let’s jump ! Keberanian memang memiliki power dan magisnya tersendiri, demikian kata Johann Wolfgang von Goethe (1749–1832), sehingga membuat kami tidak terantuk cadas atau bebatuan hitam di dasar jurang.

Kami berdua kini justru mampu terbang.

Bahkan baru jadian yang belum lama, sudah muncul kecenderungan yang mudah mengingatkan kata novelis Inggris, Jane Austen (1775–1817) : A lady’s imagination is very rapid; it jumps from admiration to love, from love to matrimony in a moment. Kami mengibarkan “We’ve Only Just Begun”-nya Carpenters sebagai lagu kebangsaan. Agreed we just begun, tulisnya dalam SMS.

Begitulah akibatnya, hari-hari ini komunikasi kami selalu diwarnai istilah ILU atau IMU. Mungkin tidak termuat dalam kamus-kamus standar. Ritus penggunaan istilah itu sebenarnya juga sudah belasan tahun terbengkalai di padang dried loneliness, di hati saya.

Tetapi, oh, kini kami sering dan wajib memakainya. Di SMS, email, juga obrolan real time di pucuk malam dengan pesan bolak-balik yang melintasi benua. Memang benarlah, love will find a way.


Terakhir : bagi saya, berkiprah dengan landasan cinta, baik ketika sebagai warga EI dan ketika mengelola blog-blog saya, juga berinteraksi dan bersahabat dengan Anda semua, sungguh merupakan berkah hebat dan penuh makna bagi hidup saya. Terima kasih.

Ayo terus mengamuk, menulis surat-surat pembaca. Salam episto ergo sum. Saya menulis surat pembaca, karena saya ada.



Bambang Haryanto
Wonogiri, 23 April 2006.


PS : (1) Di blog EE ini ada pesan di sidebar : “berkat panjenengan-panjenengan, kini kolom surat pembaca lebih berharga untuk dibaca. Teruskan !” Penulisnya Aulia Muhammad, Redaktur Harian Suara Merdeka. Alhamdullilah !

(2) Untuk Anda yang ingin tahu akronim dari ILU dan IMU, silakan bertanya kepada mereka yang sedang jatuh cinta. :-))


ee

1 comment:

  1. saya suka bahasan anda tentang 'buterfly effect' menarik :)

    ReplyDelete