Oleh :Bambang Haryanto
Esai Epistoholica No. 2/JULI 2004
Home : Epistoholik Indonesia
Keuntungan apa yang sudah diterima dari kegemaran menulis surat-surat pembaca ? Itulah salah satu dari sebelas butir pertanyaan yang diajukan oleh A. Bimo Wijoseno, reporter majalah Intisari, yang dikirimkan melalui e-mail, April 2004 yang lalu.
Saya jawab, bahwa seperti halnya hobi lainnya, the reward is in the doing. Pahala atau keuntungan itu kita nikmati ketika kita mengerjakannya, yaitu ketika menulis surat-surat pembaca itu. Menyelesaikan sebuah surat pembaca nikmatnya setara saat kita usai berolah raga, yaitu ketika otak kecil kita mengeluarkan endorphins atau encephalins (morfin alamiah, pain-relieving substances yang dikeluarkan oleh otak) yang memberikan rasa nikmat, segar, sejahtera dan diimbuhi perasaan berguna bagi orang lain (pembaca).
Terlebih lagi, aktivitas menulis itu juga punya berkah otomatis lainnya : ilmu atau pengetahuan yang baru kita tuliskan itu segera semakin menjadi milik pribadi kita. Pengetahuan itu lebih dalam membekas pada memori kita, dibanding bila kita hanya membacanya.
Thomas L. Madden dalam bukunya F.I.R.E - U.P. Your Learning : Bangkitkan Semangat Belajar Anda - Petunjuk Belajar Yang Dipercepat Untuk Usia 12 Tahun Keatas (Gramedia, 2002), memberi petunjuk hebat : gunakan segera pengetahuan baru Anda itu agar tidak mudah lupa. Gunakan info yang sama lewat cara yang berbeda-beda, sebab semakin variatif pemanfaatannya akan semakin banyak tercipta koneksi dalam otak kita yang semakin memudahkan kita bila diperlukan untuk mengingatnya kembali.
Apalagi bila tulisan kita itu bisa dimuat, dipublikasikan, muncul kenikmatan ekstra lainnya. Semua itu, terentang dari aktivitas membaca, menulis dan menikmati publikasi, ibaratnya berpadu menjadi candu yang teramat mengasyikkan. Bukankah novelis Perancis, Stendhal (1783-1842), telah berujar bahwa : for those who have tasted the profound activity of writing, reading is no more than a secondary pleasure ?
Hadiah Mang Usil. Keuntungan yang saya fikir juga amat membanggakan adalah, bila surat pembaca kita memperoleh tanggapan dari fihak yang kita kritisi, penulis surat pembaca lainnya atau dari media bersangkutan.
Empat belas tahun lalu, saya pernah menulis surat pembaca berjudul Adopsi Satwa Ragunan (Kompas, 12/1/1990) yang diilhami aksi International Fund for Animal Welfare (IFAW) di Massachusetts (AS) yang mengadopsi ikan-ikan paus yang berkeliaran di Cape Cod. Di sana setiap anak yang mengadopsi atau jadi orang tua angkat sang paus diminta mendonasikan dana sebesar 10 dollar dan mendapat sertifikat dan foto anak angkatnya tersebut.
Bagaimana, usul saya, hal mulia semacam ini juga dicoba diterapkan untuk Kebun Binatang di Ragunan, Jakarta ?
Esoknya, di kolom “Mang Usil/Pojok Kompas” (Kompas, 13/1/1990), tertulis tanggapan : Seorang pembaca mengusulkan agar di Indonesia didirikan klub bapak/ibu angkat untuk satwa- terutama yang besar-besar dan banyak makannya- yang dipelihara di KB Ragunan, untuk membantu pemeliharaan dan perawatan mereka. Mang Usil setuju banget.
Surat pembaca saya lainnya, bahkan pernah bikin kepala ini rada melar sedikit, karena diulas secara khusus dalam kolom tajuk rencana Harian Bernas.
Keuntungan lainnya yang muncul, walau tidak kelihatan dan jarang disadari pentingnya, adalah makin luasnya jaringan pergaulan. Gara-gara saya merintis Epistoholik Indonesia,
teman saya bertambah banyak dari pelbagai kota, bahkan juga dari luar negeri.
Baru-baru ini, surat pembaca saya yang menjual gagasan pentingnya kampanye melek komputer dan Internet bagi kaum manusia lanjut usia/lansia (Media Indonesia, 18/7/2004 dan Suara Merdeka, 20/7/2004), mendapat respons dari Yanny Mulyana dan Bambang Tri Subeno (Semarang). Saya mendapat teman-teman baru. Menggembirakan !
Ada juga repotnya. Misalnya, untuk keperluan mengisi dan memperkaya situs Epistoholik Indonesia itu saya harus mengetik ulang (dengan dua buah jari !) arsip kiriman berupa puluhan judul surat-surat pembaca warga EI lainnya. Terutama karya para senior yang belum kenal akrab dengan komputer. Semua kerepotan ini malah tak sengaja membuat saya jadi bertambah ilmu dan wawasan yang ditularkan oleh mereka.
Pengin putus pacaran. Ada juga k e u n t u n g a n yang unik, tapi berupa kebanjiran salah faham. Terutama dari kalangan awam media. Karena seringnya nama kita muncul di surat kabar, membuat para kaum awami itu berkesimpulan bahwa kita adalah wartawan koran bersangkutan. Kisah nyata :
Di Jakarta, tahun 1985-an, saya pernah menulis surat pembaca mengenai anak tetangga saya yang menjadi korban tabrak lari. Dengan menghimpun data dari para saksi saat kejadian, lokasi, data mobil yang menabrak, baik warna, merek dan model, saya tulis peristiwa itu di surat kabar Kompas, saat itu. Surat itu dimuat, tetapi toh sang penabrak lari itu tetap tidak muncul untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya kepada keluarga korban.
Tetapi diri saya malah terkena ekses lain. Saudara perempuan dari ibu korban, seorang wanita muda, meminta saya agar kisah hidupnya juga dimuat di koran. Motif terselubungnya, ia ingin keluhannya dibaca oleh si pacar yang saat ini sangat ingin ia jauhi.
Parade puluhan blangkon. Kisah nyata lagi, juga tentang salah faham lagi dan tergolong parah. Terjadi baru-baru ini, di Wonogiri. Bermula saat pemilu legislatif, 5 April 2004, saya menemukan adegan ger-geran di TPS tempat saya nyoblos. Suasana itu saya tuangkan dalam surat pembaca berikut ini :
Menggojlok Caleg Model Wonogiri
(Dimuat di Solopos, 4 Juni 2004)
Seorang jenderal yang pernah menguatirkan Pemilu 2004 akan berdarah-darah, sokurlah keliru. Di daerah saya, di TPS 18, Kajen, Giripurwo, Wonogiri Kota , Pemilu berlangsung aman, tertib, bahkan suasananya jadi lebih bergairah saat penghitungan suara caleg Dewan Perwakilan Daerah (DPD) terjadi. Dimotori Mas J, yang Ketua KPPS dan seorang guru yang jenaka, ditimpali anggota PPS dan warga Kajen lainnya, membuat caleg-caleg DPD itu dibanjiri kado, yaitu beragam julukan. Sumber idenya dari foto-foto diri mereka yang mengundang rangsang untuk dikomentari secara bebas, cerdas dan sebisanya jenaka..
Ada caleg gondrong, berpeci, dijuluki Wiro Sableng. Tapi ia tak sakti, muncul beberapa kali, lalu menghilang. Diganti tokoh Taksi Gelap, sebutan sinis untuk bekas pejabat yang sarat isu bahwa korupsinya waktu menjabat dipakai berbisnis taksi. Tokoh ini karismanya sudah jauh memudar. Muncul kemudian tokoh yang fotonya memakai caping, memancing gojlokan sebagai Tukang Mancing. Sayang, pancingannya hanya menghasilkan teri saja di TPS kami.
Yang mendapat suara banyak adalah tokoh kontraktor asal Semarang, yang konon royal menyumbangkan puluhan titik lampu penerangan jalan di Wonogiri dengan lampu merkuri. Ia yang pernah berkampanye di Wonogiri itu langsung dijuluki sebagai Kapten Merkuri. Ia cukup sakti, julukannya muncul berkali-kali.
Tetapi Kapten Merkuri tidak mampu mengalahkan tokoh tampan dan berkarisma, walau tak pernah berkampanye langsung di Wonogiri. Di fotonya, dia tampil beda : berbusana Jawa lengkap dan berblangkon-ria. Dia adalah Sri Paduka Mangkunegoro IX. Tak pelak kado nama gojlokan untuk beliau muncul meriah puluhan kali di TPS kami :
Blangkon !
Blangkon !
Blangkon !
Blangkon !
Blangkon !
dst.
Bikin bangkrut koran.Surat pembaca itu saya fotokopi, kemudian saya berikan kepada petugas KPPS dan terutama kepada Mas J selalu ketua KPPS. Beberapa hari kemudian, di pagi hari, saya dicegat oleh Mas J yang nampak mau pergi mengajar. Di balik helm cakilnya dan nongkrong di sadel motor, saya mendengar pertanyaannya yang sungguh tak terduga : “Kok saya hanya diberi fotokopian (surat pembaca), lalu mana bayarannya untuk saya ?”
Saya super bingung saat itu. Lalu saya katakan, bahwa untuk menulis dan dimuat dalam kolom surat pembaca di koran itu tidak ada bayarannya. Tidak ada honornya. Maksudnya, saya pun sebagai penulis surat pembaca juga tidak mendapatkan bayaran apa pun.
Rupanya Mas J itu belum memahami penjelasan saya ini. Nyatanya, beberapa hari kemudian ketika ia memberikan undangan untuk nyoblos di pemilu presiden, ia pun masih mengeluarkan uneg-uneg ganjilnya itu yang sama kepada saya. Menurutnya, di luaran sana pasti ada lembaga atau seseorang yang harus membayar sejumlah uang karena nama dirinya (!) telah masuk dalam kolom surat pembaca. Mungkin ia merasa sudah seperti selebritis, dimana seseorang yang mengutip namanya harus memberikan royalti kepadanya. Paham semacam ini apa engga bikin bangkrut koran ? Sekaligus jadi ancaman baru bagi pers di Indonesia ? What can I do ?
Terancam kecanduan. Bagi kebanyakan pembaca, kolom surat pembaca itu ibaratnya hanya sebagai trivia, hal remeh-temeh, dari pelbagai suguhan informasi sebuah media. Sangat sering dibaca tetapi jarang mendapatkan perhatian, atau dimasukkan ke dalam hati. Walau pun demikian, di AS saat kampanye pemilihan kandidat dari Partai Demokrat ada sekelompok simpatisan Howard Dean, salah satu kandidat, telah bergabung dan menamakan diri sebagai Dean Defence Corps. Salah satu gebrakan mereka, bila ada media massa atau pendapat yang mereka pikir kurang berlaku fair terhadap Howard Dean, mereka tidak segan segera memberondongkan respons bantahan berupa pengiriman surat-surat pembaca !
Keterampilan menulis surat membaca memang tak sepenting keterampilan menulis surat-surat bisnis atau merancang teks iklan. Tetapi, anjuran saya kepada Anda, kuasailah keterampilan satu ini. Siapa tahu, suatu saat dokter, bank, politisi, toko swalayan, kantor pajak atau polisi memperlakukan Anda secara tidak fair, maka janganlah marah atau mengamuk. Tempuh jalan cerdas, jalan demokrasi. Tuangkan saja secara runtut dan jernih kasus itu dalam sebuah surat pembaca. Segera kirimkan ke pelbagai media massa !
Kalau nantinya surat itu dimuat, Anda jadi terkenal di lingkungan Anda, dan Anda kena efek samping kiri, samping kanan dan depan berupa kecanduan menulis dan menulis surat pembaca, itulah resiko berat yang harus Anda tanggung sendiri seumur hidup. Yang pasti, sebelum keburu sembuh dan kembali normal, jangan segan untuk segeralah bergabung bersama kami, di EI !
Ini dia PPPK (Pertolongan Pertama Pada Kecanduan), idiom terkenal dari Lasma Siregar, Melbourne, Australia, yang Anda butuhkan dengan mengontak : epsia@plasa.com. Atau silakan meng-klik untuk menuliskan comment di akhir tulisan ngalor-ngidul ini.
Terima kasih untuk atensi Anda.
Salam : Episto ergo sum !
Saya menulis surat pembaca karena saya ada !
Wonogiri, 26 Juli 2004
No comments:
Post a Comment