Oleh : Bambang Haryanto
Esai Epistoholica No.6/Agustus 2004
Home : Epistoholik Indonesia
SAKITNYA SAKAW TELEVISI. “Kebisingan dan suara televisi yang tak henti-hentinya mirip obat. Begitu kau terbiasa menggunakannya, kau akan tergantung kepadanya”. Itulah kata Susanna Tamaro dalam novelnya yang indah, Pergilah Kemana Hati Membawamu, Va’Dove Ti Porte Il Cuore, yang dimuat bersambung di Harian Kompas mulai awal Februari 2004 yang lalu.
Sedikit banyak, kata Susanna Tamaro itu terjadi pada diri saya. Sejak 19 Agustus 2004 lalu, saya menyadari kuatnya ketergantungan diri ini untuk menikmati televisi. Ketika dipaksa tidak dapat menontonnya, muncul perasaan kehilangan, rada kesakitan, semacam sakaw, yang menggelisahkan.
Gara-garanya, asesoris yang disebut tv tuner, perangkat sehingga dapat menghadirkan siaran televisi dan radio di komputer saya, rusak. Saya pernah kuliah di Teknik Mesin, tapi sejatinya saya bukan makhluk techie yang suka otak-atik memperbaiki benda-benda teknik. Jadi, menyerah sajalah. Dibumbui frustrasi.
Maka, seperti lajimnya manusia menghadapi masalah, menurut istilahnya Stephen R. Covey, yang segera muncul pada diri saya adalah apa yang disebut sebagai >circle of concern, lebih menekankan pada kekurangan-kekurangan. Bila televisi rusak maka saya banyak kehilangan tontonan, juga kenikmatan.
Tidak bisa nonton Ally McBeal di pucuk hari Kamis malam, tak bisa ketemu Joe Rogan (bila di Sunda akan disebut “Juragan”) di Fear Factor, tak bisa mengikuti acara Journal VOA jam 5 pagi di MetroTV dan terputus dari siaran Radio BBC pagi dan petang. Kehilangan adalah kesedihan.
Sebenarnya saya bukanlah penonton televisi yang fanatik, aktivitas yang menurut Joko Suprayoga di Suara Merdeka (29/7/2004) sebagai kegiatan “konyol” karena menghabiskan waktu tanpa ada manfaatnya yang produktif bagi asupan otak kita. Maklum, Joko sedang memperbandingkannya dengan aktivitas intelektual yang dinilainya lebih berguna : membaca.
Saya merasa sakaw terutama karena hari-hari ini saya terancam tidak dapat menjadi saksi “pemuatan” tulisan yang saya kirimkan ke Radio Voice of America (VOA) di Washington, DC (AS) dan Radio BBC dari London. Keinginan merasakan kegembiraan dan kebanggaan bila tulisan surat pembaca kita muncul di koran-koran, terancam sirna. Sebagai epistoholik, itu seperti kehilangan separo jiwa.
MANULA VS INTERNET DI AMERIKA. Sekadar informasi, di Journal VOA itu ada segmen acara Ragam Suara. Kita dapat mengirimkan pertanyaan kepada warga Amerika Serikat mengenai banyak hal dan mereka akan menjawabnya. Desain acara yang bagus. Pernah ditanyakan, apa pendapat mereka tentang maraknya pemilihan penyanyi baru secara instan lewat seleksi model American Idol yang juga difotokopi di Indonesia. Saya ingat salah satu jawaban yang saya nilai bagus, yaitu : kalau Anda merasa berbakat dan berdedikasi, Anda akan berhasil walau tidak melalui jalur yang gampangan seperti American Idol ini !
E-mail yang saya kirimkan sejak 27 Juli 2004 ke VOA (voaindonesia@voanews.com) sebagai berikut :
Begawan digital dari MIT (AS), Nicholas Negroponte dalam buku tersohornya, Being Digital, mengatakan bahwa di Amerika Serikat terdapat 30 juta anggota AARP (organisasi kaum pensiunan, seperti Persatuan Wredatama RI) sebagai sumber kolektif ilmu pengetahuan dan kearifan yang masih terbengkalai. Dengan bantuan komputer & Internet maka harta karun pengetahuan dan kearifan jutaan kaum lansia dapat dikomunikasikan dengan generasi anak-cucu mereka, hanya dengan beberapa ketuk tombol mesin ketik saja.
Saya saat ini mengelola situs blog Epistoholik Indonesia/EI, situs komunitas yang menghimpun mereka yang kecanduan menulis surat-surat pembaca (letters to the editor) di pelbagai media massa. Sebagian warganya adalah kaum lansia/senior/pensiunan. Tujuan jangka panjang dari situs EI ini adalah untuk merealisasikan visi Nicholas Negroponte di atas.
Merujuk hal di atas saya ingin menanyakan lewat acara Ragam Suara VOA hal-hal penting sebagai berikut :
(1) Bagaimana pengalaman para senior/lansia/pensiunan warga AS dalam memanfaatkan komputer dan Internet ?
(2) Bagaimana pendapat warga AS terhadap kolom-kolom surat pembaca di media massa dan apakah mereka juga (pernah) menulis surat-surat pembaca tersebut ?
Terima kasih. Mungkin merepotkan, sebelum pertanyaan di atas diudarakan, dapatkah saya diberitahu lewat e-mail terlebih dahulu mengenai saat/hari dan tanggal penyiarannya ?
DEMOKRASI PEGANG HANDYCAM. Sementara itu, Radio BBC menyambut pemilu presiden putaran kedua menyelenggarakan sayembara menulis ungkapan pendapat untuk pendengarnya. Topiknya, apakah demokrasi boleh dikorbankan demi stabilitas ekonomi dan keamanan ? Karya ungkapan pendapat yang terpilih akan disiarkan mulai 23 Agustus 2004, dan penulisnya memperoleh cenderamata. Pada tanggal 20 Agustus 2004, saya kirimkan email ke BBC (indonesian@bbc.co.uk) sebuah esai sebagai berikut :
SAYA MENYUKAI GADUHNYA DEMOKRASI !
Oleh : Bambang Haryanto
Epistoholik Indonesia
Wonogiri, Jawa Tengah, Indonesia
Bruce Springsteen mungkin tidak mengenal Soeharto. Tetapi penyanyi rock dan pencipta lagu asal Amerika yang punya lagu hit Born in the USA (1984) itu punya lirik yang persis menggambarkan perjalanan hidup Soeharto. Yaitu kehidupan anak petani asal Kemusuk Godean Yogyakarta, besar di Wonogiri, hingga menjadi diktator yang perangai rezim Orbanya disebut sosiolog LIPI, Mochtar Pabotinggi, sebagai bajingan. Kita simak lirik Springsteen dari lagunya yang berjudul Badlands :
Orang miskin ingin menjadi orang kaya
Orang kaya ingin menjadi raja
Dan raja tak akan berpuas diri
apabila tidak berhasil menguasai segalanya !
Selepas huru-hara September 1965, pelan-pelan dan pasti, Soeharto mencengkeram Indonesia. Ia kenalkan Demokrasi Pancasila sebagai label dan topeng untuk membelenggu Indonesia. Inilah demokrasi semu, penuh intrik, rakyat justru mudah dituduh menjadi musuh negara, pers dibungkam, dan teror mengintai di mana-mana. Soeharto berhasil menjadi raja dan ia menguasai segalanya. Akhirnya jenderal besar tua itu tumbang oleh gelombang reformasi, tahun 1998, oleh gerakan mahasiswa.
Demokrasi sejati kini mendapat angin segar. Walau masih terasa goyang, penuh ketidakpastian, banyak gaduh, tetapi demokrasi harus terus menjadi prioritas utama untuk ditegakkan dan ditumbuhkan di Indonesia. Dalam atmosfir budaya demokratis, bebas dari belenggu kediktatoran, otot-otot kreativitas dan dinamika masyarakat bakal jauh berkembang. Hingga pada akhirnya secara bersama mampu mengatasi problema yang muncul dalam masa transisi dan democrazy (ya, crazy !) saat ini.
Asal pemimpin mampu menjabarkan secara benar visi demokrasi, mampu menjadi tauladan dan militer dijauhkan dari kancah politik, rakyat Indonesia akan mampu melewati suasana kacau temporer seperti sekarang ini.
Meminjam tamsil begawan digital asal Massachusetts Institute of Technology (MIT), AS, Nicholas Negroponte, demokrasi bagi bangsa Indonesia ibarat sebuah kamera handycam dalam genggaman orang yang baru pertama kali menggunakannya. Karena barang baru, si pemilik tergoda memaksimalkan segala fungsi yang ada dari kamera.
Dirinya bergairah melakukan syuting dengan teknik long-shot, berpindah jadi ekstrim close-up, melakukan panning ke kiri dan kanan, atau tilt-up dan tilt-down, berganti-ganti. Akibatnya, hasil syuting adalah rentetan gambar-gambar yang memusingkan dan sangat tidak enak ditonton mata. Tetapi dengan berjalannya waktu, dengan semakin mahirnya penguasaan atas kamera itu, hasil syutingnya akan membaik.
Demikian juga, hal serupa menyangkut aktualisasi demokrasi di Indonesia pada masa-masa mendatang. Suasana pemilu yang damai sampai saat ini menandakan rakyat makin cerdas dalam berdemokrasi. Walau pun jalanan Jakarta dan pelbagai kota lain di Indonesia masih terus bising dengan beragam demo, baik mengusung isu anti militerisme, anti kenaikan SPP, sampai anti renovasi pasar tekstil, tetapi lambat laun warga Indonesia akan setuju pada ujaran James Buchanan : I like the noise of democracy. Saya menyukai gaduhnya demokrasi.
Akhirnya, seperti kata politisi Amerika, Alfred Emanuel Smith (1873–1944 ), semua penyakit demokrasi tadi, juga yang kini diidap oleh Indonesia dewasa ini, pasti mampu disembuhkan dengan lebih banyak lagi demokrasi.
All the ills of democracy can be cured by more democracy !
Wonogiri, 18 Agustus 2004
MENGUTUKI KEGELAPAN. Hari kelima tanpa televisi, sakaw diri saya pelahan mengabur. Seperti ujar Covey lagi, sebaiknya seseorang lebih menfokuskan pada apa yang disebut sebagai circle of influence, sikap mental positif bahwa masih banyak hal yang bisa lakukan daripada hanya meratapi kekurangan. Jangan hanya bantermengutuki kegelapan, tapi ayo nyalakan lilin. Itu kata pepatah. Tanpa radio dan televisi, dari komputer saya masih bisa memutar lagu kesayangan The Way We Were-nya Barbra Streisand, We’ve Only Just Begun dari Carpenters, Vincent-nya Don McLean atau memutar CD-nya Mozart. Juga Linkin Park !
Bonus lain : karena malam bisa tidur lebih awal, esoknya bisa bangun lebih pagi. Pepatah abad 15 mengatakan, cepat berangkat tidur, cepat bangun, membuat seseorang sehat, kaya dan bijaksana. Early to bed and early to rise, makes a man healthy, wealthy, and wise. Ritus begitu bangun pagi semula adalah menyalakan komputer, nonton Journal VOA dan ngupingBBC, dari jam 5 hingga jam 6, kini tak bisa saya lakukan lagi. Digantikan aktivitas memasang sepatu, selama satu jam lebih berjalan kaki pagi, mengelilingi kampung-kampung, kadang pinggiran bendungan atau hutan, di seputar Wonogiri.
Televisi, seperti kata Negroponte, adalah medium kuno. Karena sifatnya synchronous, televisi memenjarakan seseorang. Setiap orang harus bersamaan nongkrong mulai jam 18.30 sore, misalnya untuk nonton Arief Suditomo dan Yulia Supadmo, di Seputar Indonesia-nya RCTI. Padahal menurutnya, selain tayangan olahraga dan penghitungan suara langsung, tayangan televisi lainnya tak layak dikonsumsi secara langsung.
Di masa depan, katanya, ketika semua informasi dikemas secara digital orang tak perlu lagi secara bareng-bareng nonton televisi untuk mengkonsumsi berita. Orang bisa nyetel alatnya, katakanlah digital appliance, dan lalu bisa memilih sendiri berita atau informasi yang ingin dikonsumsinya. Setiap saat ia mau.
Mungkin skenario masa depan, yang tak jauh itu, akan segera terwujud dalam teknologi yang disebut sebagai DSL (Digital Subscriber Line). DSL adalah layanan akses Internet berkecepatan tinggi melalui saluran telepon konvensional, kawat tembaga, yang ada saat ini. Dari telepon rumahan itu Anda masih tetap bisa menelpon atau menerima, tetapi sekaligus menikmati browsing Internet secara simultan.
Variasi lain dari DSL adalah ADSL (Asymmetric Digital Subscriber Line), yang mampu menggelontorkan segala macam informasi berwujud digital kepada komputer konsumen berupa : grafik/gambar, audio, juga video. Materi macam apa yang akan jadi siarannya, peluang dan jenisnya hanya mampu dibatasi oleh imajinasi.
Apa segi positif lain dari diet televisi ? Saya bisa menulis dan mengirimkan artikel ke Kompas Jogja, berjudul “Implikasi Ketika Buku Terancam Televisi”, ke Kompas Jawa Timur (“Amuk Bonek dan Demokrasi”) seputar latar belakang tindakan kronis kerusuhan suporter sepakbola di Indonesia (“hei, saya adalah pemegang rekor MURI sebagai pencetus Hari Suporter Nasional”), ke Kompas Jawa Tengah bertopik “Indonesia Kita, Bangsa Yang Lamban ?”. Lalu menyambut diraihnya medali emas bulutangkis di Olimpiade Athena 2004 oleh Taufik Hidayat, segera saya kirimkan resensi buku biografinya ke Harian Jawa Pos.
MUSIBAH ATAU BERKAH ?. Susanna Tamaro menulis : “Aku teringat ayah Isaac Singer yang mengatakan bahwa dari semua kebiasaan manusia modern, membaca surat kabar adalah salah satu yang terburuk. Di pagi hari saat jiwa lebih terbuka, surat-surat kabar menuangkan ke dalam diri seseorang segala kejahatan yang dilakukan dunia sehari sebelumnya”.
Dan ketika kini hadir radio dan televisi, lanjutnya : “Kau cukup menyalakannya sebentar maka kejahatan itu pun akan meraih kita, masuk dalam diri kita”
Tanggal 24 Agustus 2004 esok adalah hari ulang tahun stasiun televisi nasional TVRI, stasiun swasta RCTI dan SCTV. Tidak bisa menonton televisi di hari itu, yang juga bertepatan dengan hari ulang tahun saya ke 51, ini sebuah musibah atau sebuah berkah ?
Wonogiri, 23 Agustus 2004
No comments:
Post a Comment