Oleh : Bambang Haryanto
Esai Epistoholica No. 34/Februari 2006
Email : epsia@plasa.com
Home : Epistoholik Indonesia
Bukan kabar burung bahwa musuh Amerika Serikat kini adalah burung. Semua itu terjadi sebagai buntut peristiwa konyol yang baru-baru ini menimpa Wakil Presiden Amerika Serikat, Dick Cheney.
Pasalnya, ketika sedang berburu buruh puyuh, yang justru kena tembak olehnya adalah wajah sahabatnya sendiri, pengacara kaya Harry Whittington yang berusia 78 tahun. Dick Cheney segera menjadi bahan guyonan. Bahkan burung puyuh pun, menurut seorang komedian, kini sedang ngakak-ngakak menertawai dirinya. Juga sedang menertawai Amerika.
Seorang komedian David Letterman meledek insiden itu sebagai upaya Wapres AS ikut menghentikan penyebaran wabah flu burung. Lelucon lain khas Letterman lalu sibuk menyikut sana-sini.
Dari kondisi Cheney yang jantungnya lemah, ia memiliki anak perempuan yang lesbian, menyangkut cerita film Brokeback Mountain yang mengiisahkan percintaan sesama lelaki oleh para koboi (“Habis, dia mau mencoba ‘koboi gay’ pada diri saya”), sampai isu senjata pemusnah massal Irak yang selama ini tidak pernah ditemukan oleh Amerika Serikat. Celetuk Letterman untuk isu yang satu ini :
“Berita bagus, para hadirin. Akhirnya kita mampu menemukan lokasi senjata pemusnah massal. Pada diri Dick Cheney !”
Kita tinggalkan David Letterman.
Sekarang kita simak dialog antara Jon Stewart, seorang stand up comedian dan pembawa acara “The Daily Show” yang telah melakukan dialog dengan Rob Corddry. Berikut transkripnya :
Jon Stewart (JS) : “Saya sekarang bersama Robb Coddry, analis peristiwa salah tembak yang dilakukan oleh Wakil Presiden kita. Rob, ini nyata-nyata situasi yang sial. Bagaimana Wakil Presiden kita mengatasainya ?”
Robb Coddry (RC) : Jon, semalam Wakil Presiden tetap kukuh pada pendiriannya untuk menembak Harry Whittington. Berdasarkan analisis intelijen terbaik, terdapat burung puyuh di semak tersebut. Semua orang percaya saat itu memang terdapat burung puyuh di semak bersangkutan.
“Dan ketika burung puyuh itu berubah menjadi pria berusia 78 tahun, kita tahu kemudian, Mr. Cheney tetap bersiteguh menembak Mr. Whittington pada bagian wajahnya. Ia percaya bahwa dunia akan menjadi lebih baik bila ia menebarkan peluru ke seluruh wilayah wajah Mr. Whittington”
JS : “Tetapi mengapa, Rob ? Apabila dia tahu bahwa Mr. Whittington bukan seekor burung, mengapa ia tetap saja menembak dirinya ?”
RC : “Jon, pasca 11 September, bangsa Amerika mengharapkan pemimpinnya bertindak tegas. Dengan tidak melakukan penembakan terhadap seorang teman tepat pada wajahnya akan mengirimkan pesan kepada burung-burung puyuh bahwa bangsa Amerika adalah bangsa yang lemah”
JS : “Sangat mengerikan”
RC : “Lihat, fakta bahwa bagaimana Wakil Presiden kita berkendara dengan sahabat-sahabatnya yang orang kaya menaiki mobil untuk menembaki burung puyuh, burung yang tak punya sayap kuat dan hidup di peternakan, adalah memberi isyarat kepada buruh puyuh itu bagaimana kita memburu mereka. Saya yakin, saat ini burung-burung itu sedang menertawakan kita di tengah kawanan mereka”
JS : “Saya tidak yakin burung-burung itu bisa tertawa, Rob”
RC : “Ya, apa pun yang mereka lakukan, coo (menirukan suara burung), mereka kini sedang meledeki kita, Jon. Sebab kita di sini sedang berbicara blak-blakan tentang rencana kita untuk memburu mereka. Sudah tak ada harapan lagi. Skornya : Buruh Puyuh satu, Amerika nol !”
Catatan Sejarah. Sebelum dialog yang sarat sindiran cerdas di atas, Jon Stewart lebih dulu membuka perbincangan dengan guyonan sebagai berikut :
“Wapres AS Dick Cheney secara tidak sengaja menembak seseorang ketika berburu burung puyuh...membuat Harry Whittington sebagai orang pertama ditembak wakil presiden AS sejak Alexander Hamilton. Hamilton terlibat tembak-menembak dengan Aaron Burr demi mempertahankan kehormatan, integritas dan manuver politik. Whittington ? Tertembak karena dikira seekor burung !”
Lelucon Stewart yang satu ini menarik, terutama karena peristiwa duel antara Hamilton (1755-1804) vs Burr (1756-1836) sudah terjadi lebih dari 200 tahun yang lalu. Tetapi peristiwa tersebut masih hidup dalam ingatan bangsa Amerika. Mengapa ?
Hal ini terjadi karena harus diakui, Amerika Serikat adalah bangsa yang maju budaya baca dan tulisnya. Mereka memiliki Library of Congress, perpustakaan yang terbesar di dunia. Didirikan pada tahun 1800, alias 25 tahun sebelum terjadi Perang Diponegoro di negeri kita ini.
Mereka cermat mencatat kejadian bersejarah. Bahkan juga mendokumentasikan hal-hal yang kelihatan remeh-temeh, trivia, juga rewel mendiskusikannya. Tradisi intelektual ini tentu membuat bangsa Amerika tidak mudah melupakan prestasi atau aib seseorang tokoh, ketika mereka hendak menjatuhkan sesuatu pilihan politik.
Terry Mitchell, seorang ahli peranti lunak, penulis freelance dan trivia buff, orang yang getol memperhatikan dan mengumpulkan hal-hal remeh-temeh, asal Virginia AS, punya ajaran menarik. Ia yang getol menulis topik politik, teknologi, agama, kesehatan, kebahagiaan, keuangan pribadi, dan juga olah raga, telah menulis artikel menarik, berjudul “Lima Cara Untuk Tampil Menonjol Di Antara Keriuhan.”
Menurutnya, banyak orang merasa cukup puas menjadi orang yang biasa-biasa saja. Mereka merasa tidak ada hal-hal yang spesial atau khusus pada dirinya. Tetapi bagi mereka yang ingin tampil beda, tampil menonjol, sebenarnya terdapat cara-cara mudah untuk mencapainya. Tidak perlu pula harus memiliki banyak keterampilan atau uang banyak. Keberhasilan itu bisa dicapai dengan bermodalkan komitmen.
Cara pertama untuk bisa tampil menonjol di antara banyak orang lainnya, adalah keseriusan dalam mengerjakan hal-hal kecil secara benar. Ada pepatah bahwa bila sesuatu mudah dikerjakan maka semua orang akan mengerjakannya. Hal ini tidak selalu benar. Karena hal-hal gampang tetapi banyak tidak dilakukan oleh orang karena mereka berpendapat bahkan hal-hal gampang tersebut tidak berharga untuk mereka kerjakan.
Contoh : pergilah ke toko grosir besar. Lihatlah kemudian berapa banyak orang yang sudi mengembalikan kereta dorong ke tempatnya semula. Anda akan tahu, hanya beberapa saja yang melakukannya. Kebanyakan akan meninggalkan begitu saja di lahan parkir, di mana saja.
Mereka itu seolah berkata pada dunia : “Saya tidak punya waktu untuk melakukan hal yang benar.” Atau, “Semua orang melakukan hal itu dan saya tidak pula berbeda.” Kata Terry Mitchell, sebenarnya bila Anda selalu mengembalikan kereta dorong itu pada tempatnya, Anda akan menonjol sebagai pribadi teladan, contoh positif bagi pribadi lainnya.
Cara kedua adalah tertib dan sopan dalam bertutur kata. Karena terlalu banyak orang terbiasa bicara kasar dan memiliki kosa kata yang terbatas.
Cara ketiga adalah mengingat segala hal yang sering dilupakan oleh rata-rata orang kebanyakan. Sebagian besar dari kita rupanya memiliki memori yang pendek bila menyangkut topik seputar politik dan peristiwa dunia.
Mungkin kebanyakan kita saat ini sudah benar-benar melupakan peristiwa terbunuhnya wartawan Yogya Udin, meninggalnya pejuang buruh Marsinah, hilangnya penyair Wiji Thukul, tak ingat lagi peristiwa Semanggi I dan II, dan mungkin sebentar lagi terbunuhnya pejuang hak-hak asasi manusia Munir sudah pula kabur serta sirna dari ingatan kita.
Memang, kebanyakan kita mudah terperangkap oleh dunia kecil kita sendiri. Kita pun cenderung cuek, tidak ambil peduli untuk mempertahankan ingatan terhadap hal-hal yang tidak secara langsung terkait dengan hidup kita.
Sebenarnya Anda tidak harus memiliki kelebihan istimewa, misalnya memori fotografis untuk mengingat hal-hal yang penting untuk diingat. Semua orang yang tidak memiliki penyakit otak yang mempengaruhi ingatan, juga mampu melakukannya.
Semua itu hanya diawali dengan praktek. Latihan. Tulislah segala hal yang ingin Anda ingat. Diulang dan diulang lagi. Apabila Anda dapat secara mudah mengingat segala hal yang sudah lama dilupakan oleh sebagian besar orang, Anda akan tampil menonjol di antara keriuhan.
Cara keempat adalah menjaga pengeluaran kita agar tidak besar pasak daripada tiang. Jangan mudah terbakar iri hati untuk bersaing berbelanja dengan para tetangga. Karena sejatinya lebih banyak kebebasan yang bisa kita nikmati bila kita bergaya hidup di bawah batas penghasilan yang kita peroleh. Ketika semua orang dipaksa memeras keringat untuk memenuhi kebutuhan hidup dan Anda tidak seperti mereka, Anda akan tampil menonjol.
Cara kelima untuk menonjol di antara orang kebanyakan adalah membuat keputusan berdasarkan logika dan akal sehat dibanding hanya menuruti kobaran emosi atau kekakuan dogma.
Terlalu banyak orang, begitu Terry Mitchell berkesimpulan, seringkali bereaksi secara emosional ketimbang berpikir secara rasional dalam menghadapi situasi tertentu.
Sementara itu banyak orang lainnya suka terjerembab dalam jebakan dogma. Mereka menilai sesuatu peristiwa berdasar isi kepala mereka terlebih dahulu, baru memperhatikan fakta dan bukti-buktinya kemudian. Bahkan bila pun fakta-fakta itu tersaji, mereka akan mencari-cari bukti yang menunjang pandangannya dan menyingkirkan atau mengecilkan bukti-bukti yang menunjukkan pandangan sebaliknya.
Bangsa yang mudah lupa. Sebagai seorang epistoholik, saya tertarik memberi garis bawah kepada cara ketiga yang diajukan oleh Terry Mitchell, mengenai pentingnya mengingat segala hal yang sering dilupakan oleh rata-rata orang kebanyakan.
Sebagai seorang epistoholik, sebenarnya kita tak ubahnya sebagai sejarawan kecil-kecilan. Seorang chronicler, pencatat kejadian. Semampu kita, kita mencoba mendokumentasikannya. Dengan mencatat atau mengklipingnya. Kemudian mencerna, mengolah, menuliskan dan mempublikasikannya. Opini atau penilaian kita atas sesuatu kejadian atau fenomena kemudian menjadi khasanah kenangan bersama.
Aktivitas semacam, kurang dan lebihnya, tidak lain merupakan tradisi intelektual. Untuk memelihara ingatan, baik kolektif atau pribadi, berdasarkan fakta hitam di atas putih yang setiap saat dapat diperiksa kebenaran atau pun kesalahannya. Tradisi tersebut nampak belum kuat berakar dalam masyarakat kita.
Sekadar contoh : baru-baru ini masyarakat jadi heboh seputar surat rujukan Menteri Sekretaris Kabinet, Sudi Silalahi, yang menunjuk kontraktor untuk rehabilitasi kantor Kedubes RI di Seoul. Penunjukan tanpa tender itu ditengarai adanya KKN.
Tetapi apa yang terjadi ? Surat yang ada diklaim sebagai surat palsu. Sementara surat yang asli hilang. Persoalan nampak dicoba digeser dari substansi atau isi surat tersebut, dan kini berbelok menjadi persoalan polisi untuk menguber penyebab hilangnya surat asli tersebut.
Preseden buruk yang kembali berulang. Semoga Anda masih pula ingat : dokumen asli Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang melegitimasi tampilnya pemerintahan Orde Baru di bawah Soeharto, dikabarkan juga raib, entah kemana.
Ini kecelakaan atau kesengajaan ?
Ilmuwan politik dari Universitas Gajah Mada, Riswandha Imawan (Kompas, 6/2/2006 : h.6) ketika membicarakan rejim pemerintahan dalam usaha mempertahankan kekuasaan, menyajikan teori menarik. Dalam artikelnya berjudul provokatif, “Prahara di Republik Tengkulak”, ia menerangkan adanya the dark side of democracy, sisi gelap demokrasi.
Melalui proses yang demokratis, yaitu pemilu, terjadi transformasi kedaulatan menjadi kewenangan. Karena merupakan turunan kedaulatan, maka ruang lingkup pemegang kewenangan terbatas. Tetapi, karena posisinya di pucuk piramida kekuasaan, pemegang kewenangan leluasa menentukan corak kepolitikan satu negara.
Transformasi sifat populis menjadi elitis dalam ajaran demokrasi terjadi di sini. Hukum besi munculnya oligarki (pemerintahan oleh kelompok kecil) dalam politik, tak terhindari. Sekali oligarki terbentuk, semangat untuk mengeksploitasi dan mempertahankan kekuasaan terjadi.
Riswandha Imawan memberi contoh : pemegang kekuasaan berani mengambil kebijakan tidak populis pada periode awal jabatan, lalu kembali ke kebijakan populis yang berpihak kepada rakyat di akhir masa jabatan. Dengan cara ini pemilih diharapkan ingat kebijakan populis yang berpihak kepada rakyat, dibanding mengingat kebijakan tidak berpihak kepada rakyat pada awal jabatan.
Dari sketsa itu tampak, simpul Riswadha Imawan, bahwa elite amat berkepentingan memelihara memori pendek rakyatnya. Apalagi dalam masyarakat Indonesia yang permisif, mudah memaafkan. Melalui permainan isu dan pengendalian informasi, rakyat bisa dibuat bingung bahkan frustrasi oleh elite yang mereka pilih.
Hidup kita sebagai rakyat yang berat selama ini, boleh jadi merupakan konsekuensi dari kondisi kita selama ini pula : karena kita adalah bangsa yang mudah menjadi pelupa.
Sebuah pekerjaan rumah besar jelas menanti bagi setiap warga Epistoholik Indonesia. Mari kita sebar luaskan tradisi intelektual kita ini. Ajak setiap orang menjadi chronicler, pencatat kejadian, kemudian mencerna, menuliskan dan mempublikasikannya. Agar secara bersama kita tidak mudah melupakan esensi suatu fenomena atau peristiwa.
Karena nampaknya memang sudah terlalu lama bangsa ini suka menjadi keledai, suka terjebak berkali-kali pada lubang yang sama. Semua itu terjadi karena kita adalah bangsa yang mudah menjadi pelupa. Apakah hal ini merupakan kabar burung belaka ? Bagaimana pendapat Anda ?
Wonogiri, 20-23 Februari 2006
No comments:
Post a Comment