Friday, October 13, 2006

Buku Habibie, Blog, Jurnalisme Warga dan Epistoholik Indonesia

Oleh : Bambang Haryanto
Esai Epistoholica No. 38/Oktober 2006
Email : humorliner@yahoo.com
Home : Epistoholik Indonesia




Battle of the Generals. Pertempuran para jenderal. Ada fotonya Jenderal Wiranto. Juga foto Letjen Prabowo Subianto. Teks diawali : “Militer di Asia dikenal lama memiliki kebiasaan buruk – melakukan kudeta, menindas gerakan protes warga sipil dan mencoba menjalankan pemerintahan. Hasil terbaiknya simpang siur, sementara hasil terburuknya pastilah bencana.

Untungnya, tren pada tahun-tahun terakhir ini kalangan tentara teguh berkiprah pada krida terbaiknya. Korea Selatan mencatat bahwa militer telah keluar dari politik, sebagaimana Thailand dan Pakistan. Kini Indonesia nampaknya ikut bergabung di dalamnya.”

Itulah awal reportase Sangwon Suh dalam majalah AsiaWeek, 5 Juni1998. Dalam laporan yang memakai subjudul The military’s manuevers – and intrigues itu juga dikisahkan pula pencopotan Letjen Prabowo Subianto sebagai Komandan Kostrad yang kemudian dipindahkan ke Seskoad, Bandung.

Diulas pula bahwa pada malam sesudah Soeharto mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei 1998 itu Prabowo menuju Istana beserta pasukannya yang loyal untuk memaksa Presiden B.J. Habibie agar menghormati perjanjian yang dibuat sebulan sebelumnya bahwa dirinya akan diangkat sebagai Panglima ABRI bila Habibie sebagai presiden. Tetapi Wiranto, saat itu menjabat sebagai Panglima ABRI dan menguasai rantai komando dan tentara yang lebih banyak, yang mendukung Habibie, yang menang.

Peristiwa delapan tahun lalu itu kini menyeruak lagi seiring dengan terbitnya buku memoar mantan presiden B.J. Habibie, Detik-Detik Yang Menentukan : Perjalanan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi (2006). Buku yang diterbitkan oleh Habibie Center itu laris manis, seiring kontroversi yang menyertainya dengan munculnya bantahan dan cerita-cerita versi lain, baik dari Prabowo Subianto dan juga Wiranto.


Soeharto : I will never speak to you again. Bahasan yang jauh lebih menarik tentang peristiwa delapan tahun itu telah ditulis oleh Endi M. Bayuni dari Harian The Jakarta Post. Ringkasnya, kita bangsa Indonesia yang kini menikmati udara demokrasi yang lebih segar itu bisa terjadi gara-gara kenaifan seseorang yang kurang canggih dalam unggah-ungguh, bersikap sopan-santun kelas tinggi dalam budaya Jawa, yaitu seorang B.J. Habibie.

Penghantar kisah detik-detik menentukan dari perjalanan bangsa ini semakin kaya berkat wawasan tajam dan jenaka dari tulisan Wimar Witoelar, mantan Juru Bicara Presiden Abdurarachman Wahid dalam blognya, yang menjadi rujukan cerita ini.

“Seperti Anda sering lihat dalam pemandangan naik kereta api di Jawa, apa yang terjadi bila seseorang di depan Anda menawarkan kepada Anda kotak nasi yang menjadi bekalnya ? Tentu saja Anda secara sopan akan berterima kasih atas tawaran itu, lalu menolaknya. Dan bukan malah kemudian mencomotnya,” begitu Wimar Witoelar bertamsil.

Seorang Habibie justru mencomot tawaran itu. Akibatnya, rencana yang disusun Presiden Soeharto untuk memuluskan suksesi yang ia maui setelah kelengserannya, menjadi berantakan. Tak ayal, sampai kini Habibie “dijotak,” I will never speak to you again, oleh mantan mentornya yang ia kenal sejak muda dan sering ia sebut sebagai SGS, Super Genius Soeharto tersebut.

Habibie memang naif. Ia merasa dengan jabatan sebagai Wakil Presiden dirinya otomatis berhak menggantikan Soeharto. Padahal selama ini kita tahu, tulis WW (Wimar Witoelar), Wakil Presiden adalah jabatan plaything, tidak bermakna, yang Soeharto berikan kepada tokoh sejak Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Adam Malik, Umar Wirahadikusumah, Sudharmono, sampai Try Sutrisno.

Menjelang lengser saat itu kiranya Soeharto telah menyusun Rencana A. Nampaknya ia lebih memilih Wiranto sebagai penggantinya, dengan skenario mirip pengalihan kekuasaan model Surat Perintah Sebelas Maret 1966.

Tetapi Habibie memilih Rencana B.

Ketika Soeharto memberikan sinyal-sinyal agar Habibie juga ikut lengser bersamanya pada tanggal 21 Mei 1998 itu, “Habibie secara naif justru mencomot kursi presiden itu untuk dirinya, suatu hal yang sangat disesali oleh Wiranto dan menjadi kecemasan besar bagi Prabowo,” tulis WW lebih lanjut.

Itulah saat itu masa depan Indonesia digoreskan. Kalau saja yang terjadi adalah pengalihan kekuasaan yang mulus kepada rejim militer, begitu analisis WW, maka segalanya akan berjalan tenang, tetapi tertindas, dan korupsi akan lebih merajalela dibanding Indonesia sekarang ini.

Bila Rencana A Soeharto terjadi, kita tidak menjadi saksi bebasnya para tahanan politik, pers yang bebas, suburnya pluralisme dan demokrasi, munculnya suara Islam yang moderat, perempuan sebagai presiden, dan sebagai negara penyelenggara pemilihan presiden secara langsung terbesar di dunia.

Endy M. Bayuni ketika menutup artikelnya yang menarik itu dengan memberi garis bawah bahwa cerita-cerita heboh seputar ancaman kudeta dan pengerahan pasukan Kostradnya Prabowo ke Istana Merdeka hanyalah episode minor dari cerita yang lebih besar bagaimana rencana Soeharto dalam mengendalikan arah perjalanan bangsa ini menjadi berantakan.

Kita harus berterima kasih kepada kenaifan seseorang yang selayaknya memiliki otak untuk mampu membaca jalan pikiran seorang raja Jawa. Habibie guessed wrong. And the rest, as they say, is history.


Webmemorial Trisakti. Peristiwa lengsernya Soeharto itu kini memang telah menjadi sejarah. Tetapi gara-gara buku Habibie diperkirakan akan memunculkanan buku-buku lain seputar peristiwa itu. Juga kontroversi baru, tentunya. Anda sebagai kaum epistoholik, apakah juga memiliki satu-dua catatan pribadi seputar peristiwa huru-hara Mei 1998 tersebut ? Saat itu saya telah menulis surat pembaca berikut ini :


Monumen Pahlawan Reformasi
Harian Bernas, Jumat Wage, 29 Mei 1998


Selamat jalan, pahlawan reformasi. Peristiwa terenggutnya nyawa rekan-rekan muda kita Hery Hartanto, Elang Mulyana, Hafidin Royan dan Hendriawan Lesmana pada senja hari Selasa 12 Mei 1998 yang pedih di kampus Universitas Trisakti, akan selalu dikenang dalam sanubari rakyat dan bangsa Indonesia.

Peristiwa brutal itu tak boleh terjadi lagi di masa depan. Untuk selalu berusaha menghidupkan-hidupkan semangat menyelesaikan masalah tanpa kekerasan, saya usulkan agar pihak terkait seperti organisasi Ikasakti (Ikatan Kekeluargaan Alumni Trisakti) atau Universitas Trisakti sendiri, membangun sebuah monumen kenangan.

Monumen itu berbentuk situs web (kios informasi) di Internet, yaitu media komunikasi berskala global, egaliter dan demokratis, sejajar dengan ide besar yang diperjuangkan rakyat, mahasiswa Indonesia, dan para almarhum pahlawan reformasi.

Teknologi dan karakter situs web tersebut membuka dan memungkinkan secara komprehensif dikisahkan kejadian yang memilukan tersebut, cerita para saksi mata, kenangan para rekan sebangku kuliah dan dosen, sambutan para tokoh gerakan reformasi, bahkan para peziarah dari seluruh dunia pun dapat menorehkan kesan dan pesan di “webmemorial” ini.

Saya tahu, sumbang saran berikut sedikit kontroversi. Yaitu dimungkinkannya pada situs Web pahlawan reformasi tersebut dijual benda-benda kenangan (memorabilia) seperti t-shirt, pin/bros, alat-alat tulis, mug, foto, dan kreasi benda kenangan lainnya.

Keberatan yang muncul mungkin upaya pengumpulan dana ini dituduh sebagai upaya “sadis” karena mengkomersialkan kesedihan para keluarga yang ditinggalkan dan memperdagangkan peristiwa gugurnya mereka yang sama-sama tidak kita kehendaki.

Usulan itu didasari niat baik. Hasil pengumpulan dana dari hasil penjualan memorabilia itu, yang dikelola secara transparan dan profesional, dapat dimanfaatkan untuk hal-hal mulia untuk mengharumkan nama pahlawan reformasi kita. Mungkin untuk memberi beasiswa kepada pelajar berprestasi yang ingin kuliah di Trisakti, terutama untuk para pelajar anak-anak anggota ABRI, dan banyak sekali gagasan kreatif lain yang dapat disumbangkan oleh khalayak.

Kisah-kisah mengharukan dari balik layar, cucuran empati yang gigih bekerjasama dan tanpa pamrih dalam menopang logistik untuk para mahasiswa Indonesia pada saat-saat bersejarah, berdemo di Gedung MPR/DPR Senayan, membuktikan bahwa bangsa kita memiliki energi luhur yang luar biasa.

Keteladanan merekalah yang memicu usulan dan gagasan kecil ini demi terbangunnya webmemorial untuk para pahlawan reformasi agar kita bisa kenang dan teladani sepanjang masa.


Bambang Haryanto
Pekerja Internet di PlanetSolo
PO Box 2057/SloTP
Solo 57154


Impian Buku Surat Pembaca. Mari berandai-andai : apakah surat pembaca saya tersebut masih memiliki nilai setelah delapan tahun peristiwa Trisakti itu berlalu ? Apakah isi kolom surat-surat pembaca, yang menjadi lahan kiprah kita selama ini, cukup bernilai untuk dihimpun dan diterbitkan untuk menjadi sebuah buku ? Kalau ya, macam surat pembaca seperti apa yang layak untuk dijadikan sebagai buku ?

Di tengah kontroversi buku Habibie itu saya mendapatkan email dari Thomas Sutasman, sobat warga Epistoholik Indonesia, asal Cilacap. Ia mengusulkan untuk diterbitkannya buku-buku tentang aktivitas penulisan surat-surat pembaca. Ide bagus.

Saya juga pernah mendapat surat dari Bapak H. Erlangga Chandra, warga EI dari Boyolali, dengan usul serupa. Kali ini berupa ide penyusunan buku yang menghimpun surat-surat pembaca karya warga EI kita. Ide itu diperkaya oleh Siti Jazimah, warga EI dari Magelang, yang kebetulan beberapa bukunya bertopik kepenulisan telah diterbitkan.

Ide-ide itu bagus, tetapi membuat saya pusing.

Tahun 2005 yang lalu, ketika harian Kompas berumur 40 tahun, saya kirim usulan ke redaksinya di Jakarta. Agar mereka mau membukukan surat-surat pembaca Kompas yang mencerminkan dan menyuarakan jaman sepanjang 40 tahun koran itu terbit. Saya pikir, mereka secara finansial adalah perusahaan media yang kuat, sehingga menerbitkan buku yang mungkin secara finansial merugi atau tidak/kurang laku itu, bukan persoalan yang berarti. Paling tidak, begitu alur pikiran saya, buku itu akan bermanfaat sebagai dokumentasi. Sayang, gagasan dan surat saya itu sama sekali tidak mendapatkan tanggapan.

Lalu bagaimana kira-kira agar gagasan tentang buku itu dapat menjadi kenyataan ? Menurut saya, kita sebagai kaum epistoholik dan ketika memandang diri kita sendiri, memang ada bias bahwa kita-kita ini dan apa yang kita kerjakan selama ini mungkin nampak lumayan terpandang di tengah masyarakat.

Bukankah nama kita hampir rutin muncul di media massa ? Merujuk hal itu, kita lalu mungkin wajar untuk beranggapan, alangkah idealnya bila karya-karya kita itu diberi mahkota, terhimpun dalam sebuah buku.

Sampai di sini, potret diri kita itu masih lumayan bagus. Tetapi pantas Anda ingat, menulis surat pembaca di koran dan kemudian meloncat untuk menjadi sebuah buku, jelas proses dan liku-likunya yang harus dijalani tidaklah semudah dan se-instan saat kita menuliskan surat-surat pembaca.


Surat Pembaca : Balsem Belaka ? Menurut saya, kita kaum epistoholik adalah kaum pembonceng yang terhormat dalam penerbitan media massa. Kita telah memperoleh kolom yang terhormat, tempatnya strategis, eye catching, sekaligus menarik pembaca untuk menikmatinya. Tetapi adakah pembaca atau pelanggan koran itu sengaja membeli koran bersangkutan HANYA untuk membaca surat-surat pembaca ?

Tentu saja tidak. Dalam konstelasi penerbitan koran, kehadiran kolom surat pembaca itu harus ada, juga penting, tetapi begitu surat-surat pembaca itu dicongkel dan diterbitkan ke dalam media lain, konteks dan permasalahan yang hadir pun mengalami perubahan. Bahkan perubahan yang tidak sederhana.

Untuk isinya (content) saja, menurut saya, tidak semua surat pembaca cocok untuk dijadikan isi buku. Maksud saya, diterbitkan sebagai buku yang berorientasi komersial, buku untuk dijual, di mana isinya harus memiliki merit, nilai tambah, berguna, dan sokur-sokur disukai masyarakat. Kalau buku yang diterbitkan dengan biaya sendiri, itu lain perkara.

Saya sendiri ketika membolak-balik isi surat-surat pembaca yang pernah saya tulis sejak 1981 (surat pembaca saya sejak 1973 tidak terdokumentasikan), saya mendapat pemahaman betapa sebagian besar isi surat pembaca saya itu kebanyakan sudah habis pula ketika muncul di koran. Habis hari itu pula. Mendapatkan komentar dari pembaca, bisa terjadi, tetapi itu suatu keistimewaan.

Selebihnya, lebih banyak yang terlupakan. Mungkin karena isunya hanya isu lokal, ide atau peristiwa yang terkait hanya temporer, atau tak ada inovasi atau hal-hal baru, tidak evergreen dan tidak everlasting alias tidak aktual sejalan perubahan jaman, tidak menggugah, ditambah perenungan atau solusi yang saya ajukan dangkal.

Jadi surat pembaca saya itu nampaknya kentara hanya baik bagi saya dan tidak punya nilai tambah yang berguna secara signifikan bagi masyarakat luas ? Mungkin khasiat surat pembaca seperti ibarat balsem saja. Ia mampu menimbulkan panas-panas sedikit, sesudah itu hilang khasiatnya.

Walau pun demikian, menulis surat pembaca itu tetap penting, perlu dan bermanfaat. Menulis surat pembaca itu pahalanya ya ketika kita menulis itu pula. Reward is in the doing. Dengan menulis, mewujudkan pikiran ke dalam bahasa, melepaskan uneg-uneg sampai gagasan, itu sudah merupakan action yang menyehatkan. Itulah berkah bagi kita. Dan itulah, menurut saya, pahala terbesar bagi kita sebagai kaum epistoholik.


Takut Dimaki Komputer. Mungkin ini sebuah kecelakaan sejarah bahwa ketika saya membangkitkan kembali ide mendirikan komunitas Epistoholik Indonesia di tahun 2003, senyatanya dipicu oleh kehadiran blog atau weblog di Internet. Tidak ada gagasan saat itu untuk menerbitkan surat-surat pembaca ke dalam bentuk buku.

Saya mabuk Internet sejak tahun 1994. Tetapi teori tentang komunikasi secara online sudah sliwar-sliwer ketika berkuliah di Jurusan Ilmu Perpustakaan FSUI, sejak 1980. Nama Mary J. Cronin, salah satu penggagas perpustakaan online, sudah terasa akrab. Sehingga saya merasa panas-dingin gara-gara membaca artikel yang ditulis oleh Rick Tetzeli, berjudul “Internet And Your Business” di majalah Fortune, 7 Maret 1994. Jaman menggairahkan itu rupanya kini telah tiba !

Image hosted by Photobucket.com

Dimakan Rayap. Koleksi kliping artikel saya dari majalah Fortune ini, ketika saya bongkar dari kardus baru-baru saja ini, saya temukan sudah digerogoti oleh rayap, membuat kontur yang artistik ya :-).

Mabuk Internet saya saat itu hanyalah “mabuk Internet sastra.” Hanya bisa menahan air liur ketika membaca-baca artikel tentang komputer dan Internet dari majalah-majalah terbitan Amerika Serikat, di Perpustakaan American Cultural Centre (ACC) di Wisma Metropolitan II, Jakarta Pusat.

Saat itu saya tidak punya komputer. Juga tidak mampu menggunakan komputer. Tidak punya akses Internet. Apalagi mengenal bahasa HTML (HyperText Mark-Up Language) yang digunakan untuk merancang situs web.

Waktu kuliah pernah melihat demonstrasi kerja komputer mainframe di Pusilkom UI, Salemba, 31 Maret 1982, tetapi kebanyakan hanya untuk nebeng berfoto-foto ria di depannya. Sekaligus diselimuti rasa takut-takut menekan tombol keyboard saat itu.

Image hosted by Photobucket.com

Pascal, Cobol atau Basic ? Saya tidak tahu. Yang saya tahu, bisa berfoto di depan sebuah workstation Lab Komputer Pusilkom UI, Salemba, 31 Maret 1982, saya sudah merasa cool saat itu.

Karena saya beranggapan, bila salah pencet maka kesalahan saya itu akan disambut dengan umpatan dalam bahasa digital, dicatat oleh komputer bersangkutan, ditertawakan olehnya, dan akan dilaporkan ke komputer lainnya di seluruh penjuru penjuru dunia.

Tahun 1996, saya pertama kali mengirim email dalam pameran komputer IBM di Bapindo Plaza, Jakarta. Saya belum tahu cara menggunakan tombol back space atau pun delete. Situs yang memasilitasi posting email tersebut adalah situs resmi Olimpiade Atlanta 1996, yang disponsori IBM. Saya kirimkan dukungan untuk pemain bulutangkis Indonesia, juga kepada adik saya yang saat itu sebagai wartawan meliputnya di Atlanta pula.

Tahun 1998 di warnet BumiNet, Solo, saya memiliki account email pertama kali, bambangharyanto@hotmail.com (tidak berfungsi kini). Menggalang kerjasama dengan BumiNet, saat itu sebelum huru hara Mei 1998 membakar Solo, saya bercita-cita meluncurkan situs web Planet Solo, komunitas maya untuk warga Solo di mana pun berada. Saya telah berpromosi dengan menulis surat pembaca berikut ini :


Menghimpun Wong Solo di Internet
Harian Suara Merdeka, Selasa Kliwon, 31 Maret 1998


Untuk mempererat tali silaturahmi dan mendinamisasikan interaksi antar wong Solo di era globalisasi, kami anak muda Solo berencana membangun masyarakat maya (virtual community) wong Solo di Internet.

Yang disebut wong Solo bukan hanya mereka yang lahir atau tinggal di kota itu, tapi juga mereka yang pernah tinggal, bekerja, sekolah/kuliah di kota Solo, tidak pandang suku, keturunan, atau bangsa. Pendek kata, siap pun yang memiliki empati, perhatian, atau kenangan terhadap Solo, kami undang untuk bergabung.

Selamat datang di Planet Solo. Untuk langkah pertama, kami ingin menyusun direktori (daftar nama dan alamat) organisasi paguyuban, trah, dan keluarga besar : (1) yang sumber leluhurnya berasal dari Solo, termasuk daerah eks Karesidenan Surakarta, di mana pun kini berada, dan (2) yang berasal dari suku dan daerah mana pun tapi memiliki keluarga yang kini tinggal di Solo.

Untuk memperoleh info lebih lanjut, silakan mengontak kami. Bila melalui surat harap menyertakan amplop balasan ukuran 11 x 23 cm, berperangko cukup, dan sudah dibubuhi nama serta alamat kepada :

Planet Solo
PO Box 2057/SLO TP
Solo 57154
Telp/Faks : 0271-721638
Email : planetsolo@hotmail.com


Bambang Haryanto
PO Box 6255/Jatra
Jakarta 13062


Saat itu saya mendapatkan kiriman email dari seorang ibu, asal Semarang, tetapi memiliki Bu De di Solo. Ia ingin bergabung, sementara kini ia tinggal di California, Amerika Serikat. Saya membaca dan membalas emailnya dengan mata berkaca-kaca, penuh air mata, karena terharu, mengalami betapa dahsyatnya Internet saat itu yang mampu menyampaikan gagasan sederhana saya hingga menyeberangi benua.

Planet Solo sempat mendapatkan klien, Bambang Wibawadi (Surabaya) yang terputus hubungan famili, kepaten obor, dengan kerabatnya di Boyolali. Ia menulis surat kepada saya, menceritakan sejarah eyangnya dan keluarganya yang lain. Karena situs Planet Solo saat itu belum diluncurkan, maka saya tulis saja sebagai surat pembaca berjudul “Mencari Kerabat di Boyolali,” yang dimuat di Solopos, 24 April 1998.

Ketika huru-hara Mei 1998 membara di Solo, malam harinya saya menelpon direktur pelaksana BumiNet, menguatirkan bila kantor BumiNet yang ada di Kompleks Beteng ikut dibakar massa. Sokurlah, hal buruk itu tidak terjadi, walau ide komunitas maya Planet Solo tersebut belum berhasil saya realisasikan.

Bulan November 1999 saya memenangkan Juara Harapan I dalam Lomba Karya Tulis Teknologi Telekomunikasi dan Informasi (LKT3I) yang diadakan oleh PT Indosat. Sebagian hadiah itu saya gunakan pada awal tahun 2000 untuk mengikuti kursus mengoperasikan Microsoft Word.

Tahun 2002 setelah memenangi The Power of Dreams Contest 2002 yang diadakan oleh Honda, saya bisa memiliki komputer, laptop dan PDA (kemudian PDA ini hilang di tahun 2005, di Singapura). Tahun 2003, saya bisa mengenal dan meluncurkan situs blog. Tahun 2006, gara-gara blog pula, bisa memiliki kekasih jarak jauh yang tinggal di London :-).


Asyik Berkubang Blog. Artikel mengenai blog saya temukan pertama kali di lembaran Muda, harian Kompas, 2003. Saat itu banyak orang beranggapan bahwa blog adalah fenomena fads, mode semusim yang segera mudah hilang.

Saya bersyukur karena mampu mendapatkan wawasan yang lebih serius ketika tanggal 18 Januari 2005 memergoki majalah Fortune, 31 Januari 2005, di kios buku Times News Link, Bandara Internasional Changi, Singapura. Kemudian artikel yang menggigit tentang blog, berjudul “Blog akan mengubah bisnis Anda” dari majalah Business Week (Edisi Indonesia), 11 Mei 2005.

Blog di Indonesia yang selama ini nampak eksklusif menjadi obyek perbincangan anak-anak ABG atau kaum nerd, pengoprek, kini pelan-pelan menjadi topik kolom-kolom surat kabar dengan isi perbincangan yang lebih serius. Silakan simak artikel Pepih Nugraha, “Menanti Meletusnya ‘Revolusi Sunyi’” di harian Kompas, 22 September 2006 : 54 .

Juga artikelnya “Dunia Maya : Kematian ‘Blogger’” di harian Kompas, 2 Oktober 2006 : 44. Artikel terakhir ini mengenai fenomena mengharukan, guyub-nya komunitas blogger Indonesia mengantar kepergian salah satu warganya, Anna Siti Herdiyanti, atau lajim dipanggil Inong atau Bunda, yang meninggal dunia 1 September 2006. Ia meninggal di Singapura karena menderita sakit asma akut.

Blog menjadi perbincangan di televisi ketika Wimar Witoelar dan Budi Putra menjadi tamu dalam acara E-Lifestyle di MetroTV, 23 September 2006. Silakan baca “rumus” yang diberikan oleh mereka berdua seputar tips mengelola blog secara baik. Jangan lupa, baca pula komentar nomor 17 dalam artikel ini pula.

Blog yang dikaitkan dengan jurnalisme warga (citizen journalism) kembali diangkat oleh Wimar Witoelar dalam acara Kilas Opini, 9 Oktober 2006, di MNC-News, saluran televisi yang bisa ditonton jasa Indovision. Dalam blognya pula telah dibeberkan bahwa citizen journalism adalah istilah yang menggambarkan betapa kegiatan pemberitaan beralih ke tangan orang biasa.

Dunia pemberitaan baru ini memungkinkan pertukaran pandangan yang lebih spontan dan lebih luas dari media konvensional. Tiap orang bisa menjadi penerbit, tiap orang menjadi pembaca yang tidak hanya menerima, tapi ikut interaktif.

Kalau Detikcom merintis pemberitaan internet di Indonesia, maka sekarang ratusan blog berbagi laporan, pandangan, pengalaman, dan emosi dengan pembaca tidak terbatas. Sebagai akibatnya lebih banyak pemikiran bisa muncul ke permukaan, dan kejujuran berita lebih dapat dijangkau.

Jurnalisme warga mereposisi fokus misi media berita. Edward M. Fouhy dari Pew Center for Civic Journalism memaparkan, “Ini merupakan upaya untuk menautkan kembali dengan persoalan nyata yang dihadapi oleh pembaca atau pemirsa dalam kehidupan sehari-hari yang penting bagi mereka, bukan sebagai calo bagi mereka, melainkan memperlakukan warga untuk bertanggung jawab dalam mengatur diri mereka sendiri, ketimbang memperlakukannya sebagai konsumen barang-barang dan jasa yang dijual kepada mereka.

Upaya ini membuat formula tradisional lima W dalam jurnalisme seperti who (siapa), what (apa), when (kapan), where (dimana), dan why (mengapa), diperluas dengan pertanyaan : mengapa cerita atau berita ini penting bagi saya dan komunitas tempat saya berada ?”


Membongkar Kebohongan Sejarah. Sejak tahun 2003 saya sudah mencita-citakan agar warga Epistoholik Indonesia mengenal blog. Ketika gagasan menerbitkan surat-surat pembaca kita dalam bentuk buku adalah aktivitas yang mahal sekali, merepotkan, cumbersome, tidak interaktif, saya telah memulai dengan meluncurkan situs-situs blog saya. Penginnya sih, saya ingin berseru kepada sesama warga Epistoholik Indonesia : ayo ikuti saya.

Pada hemat saya, karena warga EI telah terbiasa menulis dan beropini, maka dengan sedikit belajar mengelola blog, saya memimpikan kita semua warga EI sebagai pelaku jurnalisme warga yang kredibel, bertanggung jawab, sekaligus mampu menyebarkan pendapat yang bermanfaat bagi banyak orang. Ketika setiap orang memiliki blog maka pendapat saya bahwa setiap orang memiliki kecerdasan dan kearifan, jelas bukan pendapat isapan jempol belaka.

Minimal, merujuk pendapat David Weinberger dan kawan-kawan bahwa “market are conversations,” melalui fasilitas jurnal atau koran pribadi masing-masing yang bernama blog di dunia maya itu, kita berpeluang berdiskusi secara lebih lanjut ketika opini kita muncul di media massa cetak. Berdiskusi dan terus berdiskusi merupakan pilar perwujudan kehidupan berdemokrasi. To jaw-jaw is always better than to war-war, begitu kata Winston Churchill.

Kembali ke bukunya Habibie yang menuai kontroversi. Mengapa kita harus menunggu lama sampai Prabowo Subianto merampungkan buku untuk menceritakan peristiwa Mei 1998 itu sesuai dengan versinya pribadi ?

Mengapa ia tidak meluncurkan blog pribadinya saja ? Sehingga kemudian para pelaku sejarah yang lainnya dapat segera menimbrung dengan cerita dan komentar masing-masing, bukan ? Melalui blog-blog mereka. Bahkan kita sebagai rakyat, bukankah boleh pula ikut serta bicara ? Apakah sejarah itu semata hanya milik orang besar, tokoh politik atau tokoh-tokoh militer belaka ?

Apalagi Malcolm Reynolds telah bilang, "half of writing history is hiding the truth.” Setengah dari penulisan sejarah menyembunyikan kebenaran. Maka, kita sebagai rakyat biasa kini berpotensi mampu ikut menguak separo kebenaran sisanya dengan ikut bebas bicara. Tentu saja, melalui karya surat-surat pembaca kita yang diperkeras suaranya melalui blog-blog kita pula !

Apakah saya kini sedang bermimpi ?

Wonogiri,
4-13 Oktober 2006


ee

5 comments:

  1. Anonymous7:33 AM

    pantaskah keluarga terhormat yang menganiaya darah daging sendiri? keluarga umar wirahadikusumah yang kalian hormati,,,,,,,,, terkutuk dengan memiliki yayasan yatim piatu sedangkan anak darah daging sendiri, dianiaya dan teraniaya? belum cukup derita sofia irawani? fery enggar? masih butuh siksaan yang maha kuasa ? atau terhormatnya kalian,,,,,,, berlaku dimata Allah swt wrb

    ReplyDelete
  2. Anonymous7:36 AM

    irawan djajaatmadja, bukan hanya punya anak dari poppy sopyar, yang namanya ira,fery dan tina, tapi ada anak kandung sebelum mereka yang tersiksa dan teraniaya keluarga besar irawan djajaatmadja, terlahir dari irawan djajaatmadja adik dari karlina wirahadikusumah, fery, ira, nana gue pengen ketemu, tapi ayah kalian yang ayah kandungku, tidak punya perikemanusiaan !

    ReplyDelete
  3. Anonymous7:40 AM

    irawan djajatmadja yang sebelumnya tinggal di kartika utama pondok indah,sekarang di cireundeu beserta anak menantu dan cucu, pemilik pt sierlando international appraisal, adalah seseorang yg memiliki yayasan panti asuhan , sedangkan anak kandung sendiri, dilalaikan sejak lahir dengan mengais rejei di belantara sampah, apa ini bentuk keadilan tuhan? derita ira yg lumpuh sesudah operasi meningitis di singapore, tetep aja irawan sombongnya nauzubillah minzalik , ya Allah tolong aku, aku tak cukup mampu memaafkan ayah kandungku! ya allah....... kalau benar ada keadilan tolong tunjukkan kepada NYA

    ReplyDelete
  4. Anonymous7:43 AM

    tante nine, dimana dirimu? terakhir aku tahu tinggal di tubagus ismail, sekarang aku tak tahu kau dimana, tapi kau tetap bibiku walau kau tak mengenalku, nani djajaatmadja, tetap nenekku, walau aku tak sempat bertemu denganku, tetapi irawan djajaatmadja dan istri poppy sofyar,,,,,,,,,, menari diatas deritaku yang anak kandungnya! sejuta dna pun aku sanggup melakukannya.... mungkin irawan adalah wujud nyata iblis yang takut miskin karena harta mertuanya !

    ReplyDelete
  5. Anonymous7:46 AM

    irawan djajaatmadja? ayah kandungku yang darahnya mengalir di tubuhku, tetapiiiiiii dia berlaga suci bagaikan manusia setengah dewa...........
    munafik
    kau siksa ira
    kau bohongi ferry
    kau manjakan nana
    kau nikahi sekretarismu
    kamu khiannati poppy istrimu
    tapi kau takkan pernah bisa mengindar dari Allah.......ya Allah,,,,,,, kenapa aku tak pernah bisa melupaknnya dan memaafkannya ???????????

    ReplyDelete