Oleh : Bambang Haryanto
Esai Epistoholica No. 40/Desember 2006
Email : humorliner@yahoo.com
Home : Epistoholik Indonesia
Buta Internet parah melanda universitas kita. Itu pendapat saya terhadap kalangan sivitas akademika universitas-universitas di Indonesia. Ada contoh kecil. Tahun lalu, 22/12/2005, saya mengisi buku tamu pada situs web Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI). Memberitahukan bahwa salah satu alumnusnya, Widhiana Laneza (Arkeologi 1982), meninggal dunia di Denpasar, 20/12/2005. Siapa tahu berita duka ini bisa mengetuk nurani mantan dosen atau alumnus lainnya.
Pada tanggal 3 Maret 2006, saya menulis lagi. Kali ini saya minta bantuan Perpustakaan FIB-UI agar sudi mengirimkan data skripsi dari Widiana Laneza. Tidak ada tanggapan sama sekali. Demikian pula ketika saya meminta bantuan informasi seputar pepatah berbahasa Belanda yang intinya setiap kebenaran akan mengalahkan kejahatan, juga tak ada balasan. Niatnya, pepatah itu akan saya gunakan untuk bahan menulis di blog dan naskah stand up comedy terkait kematian pejuang HAM kita, Munir, yang tewas diracun menjelang tiba di Belanda.
Dari kejadian di atas, saya tidak tahu apakah para pengisi buku tamu lainnya, yang banyak juga mengajukan pertanyaan, akan memperoleh jawaban dari fihak FIB-UI. Apabila ternyata tidak, maka pengelolaan situs tersebut jelas menyalahi hukum berkomunikasi di Internet. Karena tidak interaktif.
Maka hemat saya, pengelola situs bersangkutan sebaiknya mencermati pendapat pakar Internet Thomas Mandel dan Gerard Van der Leun dalam bukunya Rules of the Net : Online Operating Instructions for Human Being (Hyperion, 1996), yang tegas berujar : If a website has no feedback mechanism, forget it. Apabila situs web tanpa disertai fasilitas umpan balik, sebaiknya dilupakan saja.
Situs FIB-UI tersebut sebenarnya telah dilengkapi fasilitas umpan balik. Tetapi nampak menelantarkannya. Pengelolanya memilih lumpuh, bisu, tidak bereaksi dan tidak sigap merespons informasi yang masuk secara memadai.
Padahal, di kampus FIB-UI inilah sebenarnya saya pertama kali mengenal sosok pembicara terpandang untuk topik niaga elektronik dan strategi bisnis di Internet : Mary J. Cronin. Ia profesor manajemen di Carroll School of Management Boston College. Bukunya antara lain Doing Business on the Internet, Doing More Business on the Internet dan Global Advantage on the Internet.
Sejak tahun 80-an ia sudah menulis mengenai komunikasi secara online, terutama yang diaplikasikan bagi perpustakaan. Saya membaca-baca pikiran Mary J. Cronin di majalah Library Journal, koleksi perpustakaan Jurusan Ilmu Perpustakaan Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FSUI), nama lama dari FIB-UI ini. Saya berkuliah di jurusan ini ketika kampusnya masih di Rawamangun.
Nama Mary J. Cronin saya temui lagi di tahun 1996. Kali ini dalam buku yang dibelikan oleh adik saya, Broto Happy W., ketika ia meliput Olimpiade Atlanta, 1996.
Sebagai penyunting buku The Internet Strategy Handbook : Lessons from the New Frontier of Business (Harvard Business School Press : 1996), ia telah menulis artikel pembuka berjudul “The Internet as a Competitive Business Resource” yang menegaskan, “dalam lingkungan jaringan dimana Internet terintegrasi dalam alur kerja pelbagai fungsi bisnis yang utama, maka secara alamiah pelanggan menjadi fokus utama komunikasi. Ketika bisnis terhubung dengan para pelanggan melalui Internet, para pekerja yang tersambung dalam koneksi jaringan akan memiliki kontak langsung dalam menerima umpan balik pelanggan.
Para pelanggan itu menyumbang berlangsungnya dialog terus-menerus terkait produk, dukungan, kebutuhan informasi, dan peluang pengembangan usaha masa depan. Pertanyaan pelanggan, keluhan, evaluasi produk, pembelian dan permintaan bantuan tidak bakal terabaikan apabila pelanggan nampak pada setiap jaringan komputer karyawan yang tersambung ke Internet. Para pelanggan seharusnya menjadi fokus diskusi dan kelompok pemecahan masalah secara interdepartemen.”
Bisunya Voice of America. Kalau alumnusnya saja dicuekin, entah bagaimana perlakuan pengelola situs FIB-UI itu untuk fihak-fihak lainnya. Tetapi sebenarnya pengalaman sejenis juga saya temui ketika berinteraksi melalui Internet dengan lembaga-lembaga lainnya.
Misalnya dengan Radio Voice of America (VoA) Siaran Indonesia. Emailnya : voaindonesia@VOAnews.com. Hari Rabu petang, 18/4/2006, saya mendengar VOA Indonesia mengudarakan wawancara dengan seorang ibu dengan topik kampanye anti merokok.
Saya sebagai pemilik situs blog B.U.B.A.R. (Bersihkan Udara Bebas Asap Rokok : http://bubar.blogspot.com/), ingin ikut serta dalam kampanye beliau. Merujuk hal di atas, saya mohon VoA dapat mengirimkan data nama dan alamat (juga email) dari ibu bersangkutan dan organisasi beliau. Email yang saya kirimkan 20/4/2006 itu tidak berbalas apa pun.
Kembali dalam siaran VoA, Jumat, 3/11/2006, saya tertarik terhadap isi perbincangan mengenai tren naiknya kepopuleran Islam di Amerika Serikat. Pemandu acara itu adalah Narathama. Disebutkan dalam perbincangan oleh nara sumber seorang tokoh muslim Indonesia yang tinggal di AS, bahwa akhir-akhir ini ada beberapa profesor AS masuk Islam. Kemudian oleh Narathama ditambahkan bahwa beberapa komedian AS juga masuk Islam.
Saya kemudian di hari Sabtu, 4 /11/2006, mengirimkan email ke VoA, tertuju kepada Narathama. Hal-hal yang saya tanyakan : (1) Siapakah nama ustadz tersebut, jabatannya, dan alamat emailnya, (2) Mungkin Anda tahu, siapa saja profesor dan dari universitas mana yang telah masuk Islam itu ?, dan (3) Siapakah komedian AS yang juga baru-baru ini masuk Islam ?
Saya tuliskan, kebetulan saya juga punya blog tentang komedi (Komedikus Erektus ! : http://komedian.blogspot.com/), di mana seingat saya ada komedian kulit hitam AS yang terkenal, tetapi sudah lama masuk Islam. Dia adalah Preacher Moss. Sementara komedian muslim sudah dari sononya, bukan convert, antara lain Ahmed Ahmed, Azeem sampai dengan Azhar Usman. Email yang saya kirimkan sejak 4/1/2006 itu, kembali tidak ada balasan.
Janji Kosong Situs Pemerintah. Janji dalam situs http://www.menpan.go.id/ itu berbunyi : ”Isikan data-data anda dan pertanyaan anda dalam form berikut, kami akan senantiasa membalas dan menjawab segala pertanyaan anda yang berkaitan dengan MenPan. Sebelumnya kami ucapkan terima kasih.”
Pada tanggal 3/2/2006 saya memposting pertanyaan seputar penerapan PP No. 48/2005, di mana Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) dibatasi pada usia maksimum 46 tahun. Saya mengajukan pertanyaan itu terkait dengan masa depan om saya, Sriawan, yang sudah menjalani masa kerja selama 26 tahun sebagai pegawai honorer proyek pada Departemen. Pekerjaan Umum, Proyek Induk Bengawan Solo, di Wonogiri. Padahal usianya kini sudah di atas 46 tahun. Nasib serupa juga dialami oleh 35 teman lainnya.
“Terima kasih atas pertanyaan dan atau komentar anda di http://www.menpan.go.id/. Kami akan merespon pertanyaan dan atau komentar anda dalam waktu paling lambat 2x24 jam. Salam, Webmaster MenPan.go.id.“
Itulah sambutan otomatis ketika selesai mengajukan pertanyaan. Sejak saat itu, janji situs salah satu departemen di pemerintahan tersebut, yang konon hendak memberikan respon, ya hanya tinggal janji-janji kosong belaka.
Internet : Gajah Di Mata Orang Buta ? “Internet itu subversif, karena menjebol pola pikir linear dan hirarkis menjadi komunikasi yang lateral dan berumpan balik. Seperti halnya Marshall McLuhan telah menulis di tahun 1964 bahwa percepatan era elektronik itu disruptif untuk bangsa barat modern yang melek huruf, sebagaimana jalan-jalan yang dibangun masa Romawi berpengaruh bagi penduduk-penduduk desa,” kata Stowe Boyd, Presiden Running Light.
Pemahaman tentang Internet secara komprehensif, tidak mudah. Internet mungkin masih seperti seekor gajah bagi sekumpulan orang-orang buta. Mereka yang kebetulan meraba ekor, ya itulah gajah bagi dirinya. Sedang yang memergoki kaki, itulah pula gajah bagi mereka. Kita simak beberapa cerita tentang Internet di bawah ini.
Ada seorang tokoh media independen, terkenal, pernah menjadi juru bicara presiden di masa lalu, yang karena memiliki halo effect ia berkesempatan tampil di televisi membicarakan isu-isu dasar mengenai fenomena blog dan jurnalisme warga. Sejak itu ia memproklamasikan situs web yang ia kelola sebagai situs blog, juga mengaku sebagai seorang blogger. It’s OK.
Bahkan tulisan bertopik blog di situs webnya juga terangkat menjadi tulisan yang paling banyak memperoleh komentar di tahun 2006. Fenomena self-referential yang tak mengherankan. Memanglah, setiap teknologi baru selalu jadi perbincangan antarpara pendukung teknologi itu sendiri pada tawap awal perkembangannya.
Tetapi saya merasakan kelucuan ketika menyimaki kerumunan pemberi komentar di situs tersebut. Mereka sebagian besar menggunakan nama samaran. Seperti pesta topeng, semuanya saling menyamarkan jati diri. Identitas di dunia maya yang biasanya diwakili oleh alamat, universal resource locator situs atau blog mereka, juga tidak tersedia. Jadi tidak ada link yang hidup. Ibarat danau yang mampet. Tidak terbuka ke arah interaksi lanjutan, apalagi sosialisasi antarpengunjung situs bersangkutan.
Kasus kedua, situs acara perbincangan di televisi MetroTV, Kick Andy, juga serupa. Komentar- komentar para pemirsa untuk acara yang diasuh oleh wartawan Andy F. Noya itu hanya diberi kapling terbatas. Hanya satu-dua alinea pendek. Juga tidak ada link yang hidup milik para pemberi komentar tersebut.
Ketika tertarik menyaksikan semangat hidup Eyang Sofie Sarwono, ibunda dari Mas Ito, yang mengelola yayasan untuk penderita tuna ganda, saya pun tergoda menulis komentar untuk situs itu. Misalnya, untuk menindaklanjuti imbauan Andy F. Noya agar audiens sudi memberikan derma ke yayasan bersangkutan, saya usulkan agar dimunculkan telop di layar televisi berisi data alamat kontak yayasan. Atau dirujuk ke situsnya. Usulan saya itu tidak dimuat.
Yang lebih lucu lagi, ini kasus ketiga, adalah acara parodi politik yang digagas ilmuwan komunikasi Effendi Gazali, Ph.D dari Pascarsarjana Komunikasi FISIP UI, yang muncul di MetroTV. Nama acaranya, lihatlah, bisa membuat Tim Berners-Lee atau Rupert Murdoch bergembira hati. Newsdotcom.
Tetapi silakan cari melalui Google, Anda bakal tidak menemukan situs dari “kantor berita resmi Republik Mimpi” ini. Dulu pernah ada, tetapi dimatikan. Bagi saya, inilah parodi komunikasi yang paling lucu di era Internet saat ini.
Ketiga tokoh di atas memang berasal dari dunia habitat media lama, mainstream media yang kini juga sering diolok dengan julukan lame stream media, media yang lamban. Perlakuan dibloknya peluang interaksi para pengunjung suatu situs, hanya menunjukkan betapa pengelola media Internet bersangkutan memerlukan perombakan paradigma dalam mindset mereka.
Gregory P. Gerdy, pakar Internet dari Dow Jones, dikutip Mary J. Cronin (ed.) dalam The Internet Strategy Handbook : Lessons from the New Frontier of Business (Harvard Business School Press, 1996), menegaskan bahwa situs web merombak proses penerbitan yang selama ini ada.
Dalam penerbitan cetak tradisional, aktivitas penciptaan informasi, produksi, distribusi dan konsumsi informasi, terjadi secara terpisah-pisah. Tetapi di Internet, semua proses itu terintegrasi dalam satu sistem. Terutama harus didaulatnya informasi dari para konsumennya sebagai bagian integral isi situs itu sendiri. Perubahan konteks maha vital inilah yang sering tidak disadari oleh mayoritas pengelola situs di Indonesia selama ini.
Sean Carton, Managing Partner dari Carton Donofrio Interactive, menambahkan : “Kini orang terjaga bangun untuk menemukan fakta bahwa media massa itu surut sudah. Budaya massa digantikan oleh jaringan budaya-budaya mikro yang hadir di luar kerangka jarak dan waktu analog. Di dunia yang saling terkait, semua orang adalah tetangga di depan pintu Anda.”
Arak-arakan Demokrasi Digital Baru. Konsumen atau si tetangga sebelah yang ingin berteriak di era digital ini, walau pun secara fisik dipisahkan oleh benua, kini sudah memiliki corongnya. Blog sampai YouTube.
Pagi hari, 18/12/2007, jalan kaki pagi saya, seperti biasa, sambil menguping siaran Radio BBC Siaran Indonesia. Siaran yang sangat menarik bagi saya pagi itu, adalah keputusan majalah terkenal TIME yang memilih para pembacanya sebagai Tokoh Tahun 2006. Siangnya saya tengok di Internet, tersaji sampul majalah bersangkutan :
Person of the Year : You. Yes, you. You control the Information Age. Welcome to your world. Sebagai blogger dan pendiri komunitas Epistoholik Indonesia sejak tahun 2003, kata-kata di sampul TIME tersebut sungguh memicu kegembiraan tersendiri bagi diri saya. Cita-cita saya sejak 2003 agar semua kaum epistoholik, pencandu penulisan surat-surat pembaca, memiliki blog masing-masing sebagai perwujudan budaya berdemokrasi, ikut bersuara dan beropini, kini seolah memperolah konfirmasi.
Untuk menvisualisasikan pandangan TIME tersebut maka pada halaman depan majalah edisi bersejarah itu telah tertempel cermin yang terbuat dari Mylar. Jumlah totalnya adalah 6.965000 cermin. Ini merupakan edisi TIME yang terbanyak yang dicetak. “Kami memilih memasang cermin di sampul karena benar-benar mencerminkan ide bahwa Anda, bukan kami, yang mentransformasikan era informasi,” tutur Richard Stengel, Redaktur Pelaksana TIME.
Sebelumnya ia mengatakan, “para individulah yang mengubah sifat era informasi, para kreator dan konsumen informasi yang diproduksi oleh mereka sendiri tersebut yang telah mentransformasikan seni, politik dan perdagangan, karena merekalah sosok warga negara yang terlibat dalam kancah demokrasi digital yang baru.”
Keputusan TIME yang sangat fenomenal. Walau harian Kompas (18/12) hanya memuat berita ini dengan porsi teramat kecil, bagi saya, hal itu sangat membesarkan hati. Istilahnya, saya ikut GR, gede rasa. Saya memang tinggal di Wonogiri, tetapi bertahun-tahun pernah membaca-baca majalah TIME yang saya beli dari lapak buku dan majalah bekasnya Pak Yono (“asal Sragen”) di depan kantor PMI Kramat Jaya Jakarta. Sehingga saya merasa penghargaan itu juga untuk saya.
Penjelasan Lev Grossman dari TIME sungguh menarik kita simak :
“Kami melihat ledakan produktivitas dan inovasi, dan fenomena ini barulah awal, bagaimana jutaan otak yang biasanya tenggelam dalam obskuritas, alias tidak dikenal, kini menyepak balik sebagai pelaku ekonomi intelektual global. Siapa saja mereka ?
Sesungguhnya mereka adalah orang yang duduk di depan komputer sesudah seharian bekerja dan berkata, saya tidak akan menonton “Lost” di televisi malam ini. Bagaimana kalau saya menghidupkan komputer dan merancang film dengan iguana, binatang kesayangan saya, sebagai aktor utamanya ? Bagaimana kalau saya mencampur aduk musik kelompok 50 Cent dengan instrumentalia dari kelompok musik Queen ? Bagaimana kalau saya menulis blog untuk menuangkan uneg-uneg tentang diri saya, tentang negara, atau tentang masakan stik dari restoran baru kotaku ? Siapakah yang memiliki waktu dan energi serta gairah semacam itu ?
Jawaban yang sebenar-benarnya adalah : Anda. Dan sebagai penguasa kendali media global, sebagai fondasi dan bingkai demokrasi digital yang baru, yang bekerja tanpa pamrih dan mengalahkan kalangan profesional dengan cara mereka sendiri, maka Tokoh Tahun 2006 dari majalah TIME adalah Anda.”
Diam-diam hatiku ikut bersorak. Karena di kota kecil saya, Wonogiri ini, saya pun dalam beberapa waktu telah ikut sebagai pelaku aktif dalam arak-arakan peradaban baru, peradaban demokrasi digital baru yang bersejarah itu. Sebagai pendiri komunitas Epistoholik Indonesia, saya tak henti mempromosikan penguasaan blog bagi warga komunitas saya.
Pengelolaan media berbasis digital ini merupakan ujud kecintaan dan kegairahan saya sebagai warga Wonogiri untuk ikut serta aktif berbicara dan menyumbangkan sesuatu kepada dunia.
Wonogiri, 21/12/2006-2/2/2007.
ee
Jamu psikologi kunjungi www.setansatan.blogspot.com jamu memang pahit
ReplyDelete