Oleh : Bambang Haryanto
Esai Epistoholica No. 55/Februari 2008
Email : humorliner (at) yahoo.com
Home : Epistoholik Indonesia
Cakar Clurit Si Raptor. FADE-IN : Dennis Nedry nasibnya mengenaskan. Ketika mobil jipnya terguling di sungai kecil, kacamatanya hilang. Hujan turun dengan lebat. Ia kehilangan orientasi di tengah hutan lebat. Ia berteriak-teriak mencari kacamatanya. Sia-sia. Sejurus kemudian, dengan pandangan yang kabur, ahli komputer bertubuh tambun, lamban dan digambarkan korup itu, menatap ke depan. Ia pun panik !
Karena pandangannya terantuk pada sosok makhluk yang sedang mengawasi dirinya. Saat ia melotot, makhluk itu juga balas melotot. Sejurus kemudian terdengar lolongan Nedry yang menyayat hati. Aliran sungai kecil itu pun segera menjadi merah. Banjir darah. Darah milik Dennis Nedry.
Anda masih ingat adegan di atas, dari film Jurassic Park (1993), garapan Steven Spielberg ? Film yang berasal dari karya novelis techno-thriller Michael Chrichton itu telah menyabet 3 Oscar.
Tokoh Dennis Nedry (Wayne Knight) dalam kutipan cerita di atas telah menjadi korban keganasan dinosaurus jenis velociraptor yang punya julukan sebagai the quick plunderer. Penjarah kilat. Dinosaurus satu ini jari tengah cakarnya mirip gerakan roda depan pesawat terbang, dapat ditariknya ke dalam. Bentuknya seperti clurit sepanjang enam inci, dengan ketajaman seperti silet.
“Bayangkan Anda terlempar ke Jaman Cretaceous. Tiba-tiba Anda melihat kalkun setinggi enam kaki. Gerakannya seperti burung, ringan, kepalanya nongol ke atas. Tatkala Anda diam, sambil mengira ketajaman pandangannya berdasar gerakan seperti halnya dinosaurus jenis T-Rex, Anda lalu mengira ia tak akan melihat Anda apabila Anda tidak bergerak. Tetapi tidak untuk si Velociraptor ini.
Ketika Anda memelototinya, ia akan balas memelototi Anda. Sejurus kemudian, serangan ganasnya terjadi. Bukan dari raptor bersangkutan, melainkan dari sisi kanan dan kiri Anda. Dari raptor-raptor lainnya yang Anda tidak tahu di mana mereka saat itu berada,” demikian tutur Dr. Alan Grant (Sam Neill). Ia bersama sekelompok ilmuwan lainnya didatangkan oleh jutawan eksentrik John Hammond (Richard Attenborough) ke Taman Jurassic miliknya, tempat eksotis dilakukannya eksperimen pengembangbiakan kembali binatang dinosaurus yang sudah punah 65 juta tahun yang lalu.
Ketika mengikuti silang pendapat dalam seminar nasional bertopik “Jurnalisme Warga : Ancaman Bagi Media Massa ?” di kampus UNS Sebelas Maret Solo, 28 Februari 2008 (foto : Kompas Jawa Tengah, 28/2/2008), saya membayangkan Dennis Nedry adalah media massa masa kini. Yang gemuk, lamban, pandangannya buram, dan digambarkan korup. Tetapi siapakah sebenarnya raptor-raptor ganas yang akan mencabik-cabiknya tersebut ? CUT.
Wartawan Milyarder. “Media massa dewasa ini sudah menjadi lembaga yang birokratis, sebuah industri yang banyak duitnya ketika informasi sudah menjadi komoditas” tutur pengantar Ana Nadhya Abrar (foto), dosen Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UGM, pembicara pertama dalam seminar. Ia menceritakan pengalamannya ketika hendak bertemu redaktur pelaksana sebuah koran besar di Jepang. “Saya harus menunggu empat hari hanya untuk bisa bertemu selama 10 menit,” keluh kandidat penyandang Ph.D dari Universiti Malaya itu.
Untuk meneguhkan realitas di atas, penulis 13 buku bacaan dan 4 novel sejak 1992 itu dalam makalahnya yang berjudul Nilai Esensial Jurnalisme Warga telah ia perkaya dengan ilustrasi yang mengentak : dengan menceritakan “prestasi” seorang wartawan koran nasional yang istimewa. Tuturnya, “nama dan lokasinya tidak akan saya sebutkan, tetapi wartawan yang umurnya belum mencapai 50 tahun itu sanggup memiliki rumah mewah untuk tetirah di Yogya, senilai 4 milyar !”
Realitas semacam itu, katanya, membuat masyarakat mudah tergoda untuk bertanya-tanya. Bercuriga berat. Apakah gaji seorang wartawan cukup untuk memiliki rumah seharga milyaran rupiah tersebut ? Kalau tidak cukup, dari mana ia memperolehnya ?
Dalam ilustrasinya yang lain, ia tandaskan bahwa media massa di Indonesia kini kepemilikannya terkonsentrasi pada beberapa kelompok saja. “Pada awal sejarah hadirnya televisi swasta di Indonesia, hampir semuanya dimiliki mereka-mereka yang dekat dengan keluarga Cendana.”
Kecenderungan itu nampaknya berskala global. Konsolidasi media akhir-akhir ini telah menciptakan struktur industri yang terpusat pada sejumlah konglomerat media. Sehingga seorang Danny Schechter, blogger, kritikus media, produser televisi dan pembuat film independen, telah lama menguatirkan fenomena tersebut. Dalam bukunya The Death of Media : And the Fight to Save Democracy (2005) yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai Matinya Media : Perjuangan Menyelamatkan Demokrasi (Obor, 2007) ia menegaskan bahwa perkembangan media massa dewasa ini dikhawatirkan mulai mengancam masa depan demokrasi.
Mike Whitney dalam artikelnya berjudul “It's Time To Break Up The Media,” menyatakan bahwa media yang dikuasai swasta beroperasi untuk mengkonter terjaganya cita-cita publik untuk melek informasi sebagai pilar perwujudan demokrasi partisipatoris. Model operasi mereka atas-bawah (top-down), mencengkeram kendali informasi di tangan beberapa gelintir fihak sebagai gatekeeper korporat, di mana pengambilan keputusan mereka senantiasa dibayangi motif dan tujuan untuk mengeruk keuntungan maksimal. Modus operandinya adalah mengendalikan siklus berita sehingga peristiwa dapat diorkestrasi demi keuntungan kelompok bisnisnya. Masyarakat luas pun harus dihindarkan untuk mampu melihat adanya tindak perselingkuhan yang terjadi antara negara dan kalangan industri.
Untuk meraih tujuan itu media massa harus nampak berfungsi secara independen, berbicara dengan suara beragam, tetapi faktanya hanya sekadar mengulang-ulang pesan yang sama dari pelbagai sudut pandang yang menguntungkan mereka. Dalam suguhan berita di media massa mainstream tersebut tidak ada keragaman opini. Semuanya serba diatur dan seragam. Media semacam senyatanya dirancang semata untuk merangsang peningkatan konsumsi masyarakat dan menghindari informasi yang mampu menghasut tuntutan keterlibatan publik yang lebih besar dalam proses politik.
Bahkan akhirnya Brian Martin, Associate Professor Bidang Sains, Teknologi dan Masyarakat dari Universitas Wollongong, Australia, menyimpulkan “pada dasarnya media massa itu memang korup. Karena sejumlah kecil pemilik dan redaktur telah mengangkangi kekuasaan yang sangat besar terhadap segala hal yang akan disampaikan kepada masyarakat luas.” Oleh karena itu, begitu pendapatnya, media massa sudah saatnya digantikan oleh media partisipatoris sebagaimana layaknya sebuah jaringan, sebagaimana jaringan telepon dan jaringan komputer.”
Seminar JogloSemar. Dengan dipandu moderator Anissa (mahasiswa UNS) secara kebetulan ketiga pembicara merepresentasikan Joglosemar. (Ki-ka) Ana Nadhya Abrar (Yogyakarta), Bambang Haryanto (Wonogiri/Solo) dan Aulia A. Muhammad (Semarang).
Fajar era pergeseran telah terbit di ufuk berkat kehadiran Internet. Internet merupakan model sempurna yang paling demokratis dalam pendistribusian informasi. Masyarakat atau publik menjadi bebas dalam memperoleh informasi yang mereka butuhkan dari beragam opsi yang ada. Pergeseran itu lebih menjanjikan banyak manfaat bagi masyarakat. Juga bagi demokrasi. Ana Nadhya Abrar sesudah mempertajam pemakaian istilah jurnalisme warga sebagai jurnalisme online yang berbasiskan Internet, kemudian menjajar pelbagai keuntungan hadirnya jurnalisme warga yang berbasis media digital bersangkutan.
Antara lain : (a) audience control, di mana masyarakat bisa leluasa memilih berita yang ingin mereka peroleh, (2) nonlinearity, memungkinkan setiap berita dapat berdiri sendiri sehingga masyarakat tidak harus membaca secara berurutan untuk memahaminya, (c) storage and retrieval, berita dapat disimpan dan bisa diakses kembali secara mudah oleh masayakat, (d) unlimited space, berita jauh lebih lengkap ketimbang media lainnya karena tidak terbatasnya ruang yang tersedia, (e) immediacy, berita bisa mampu segera disampaikan secara langsung kepada masyarakat, (f) multimedia capability, berita dapat disampaikan berupa teks, suara, gambar, video dan komponen lainnya, dan (g) interactivity, terbukanya peningkatan partisipasi masyarakat dalam penyajian setiap berita.
Dalam posisi seperti itu, tegas Abrar, pelaku jurnalisme warga tidak usah mempertimbangkan etika jurnalistik, obyektivitas, akurasi berita dan sebagainya. Bukankah mereka orang-orang yang menafikan pelembagaan profesionalisme jurnalistik ? Bukankah mereka berniat melawan kemapanan jurnalisme as usual yang dipraktekkan media pers mainstream ? Justru “kebebasan” itulah yang menjadi tumpuan perkembangan jurnalisme warga. Pendeknya : ada info, sampaikan !
Dengan demikian, jurnalisme warga memberikan peluang lebih luas kepada masyarakat untuk memperoleh informasi, dengan pilihan beragam. Kelebihan inilah, menurut Abrar, jurnalisme warga memiliki potensi menyediakan informasi publik untuk penguatan masyarakat madani, memfasilitasi diskusi politik, dan membangun pangkalan data untuk kepentingan pendidikan politik publik.
Agar potensi tersebut benar-benar mampu terwujud, maka jurnalisme warga perlu memperhatikan tiga hal penting : (a) menyiarkan informasi publik, di mana menurut Ashadi Siregar informasi publik adalah informasi tentang masalah yang berasal dari masyarakat dan respons masyarakat terhadap kekuasaan umum dan kekuasaan negara, (b) menjadi forum atau wahana tempat pertukaran pikiran pelbagai komponen masyarakat, dan (c) menciptakan proses perubahan sikap dan perilaku individu dalam usaha memberdayakan dirinya dalam bidang politik.
Akhirnya, menurut penulis yang buku terbarunya berjudul Kebijakan Komunikasi : Konsep, Hakekat dan Praktek (Gava Media, 2008) baru saja terbit, jurnalisme warga mengandung empat nilai esesial. Pertama, bisa dilakukan siapa saja yang ingin menyampaikan informasi yang dimilikinya kepada masyarakat tanpa harus memiliki keterampilan jurnalistik yang memadai. Kedua, sebaiknya menggunakan sumber daya Internet untuk menciptakan efisiensi pelaksanaannya. Ketiga, mampu memberikan segala informasi yang penting, relevan dan bermanfaat bagi masyarakat. Keempat, menciptakan alternatif pilihan untuk memberdayakan masyarakat.
Apakah jurnalisme warga menjadi ancaman bagi media massa ? Anna Nadhya Abrar menulis, “jawabannya tegas : tidak dan tidak akan pernah” dan karena “jurnalisme warga melengkapi jurnalisme konvensional yang dipraktekkan media massa.” Sebab, katanya, tidak semua individu betah mengakses berita jurnalisme warga. Bagi mereka yang tidak kritis dan skepstis terhadap informasi yang dihasilkan jurnalisme warga, mengakses media massa akan terasa lebih nyaman. Lebih dari itu masyarakat yang mengakses media massa punya karakteristik yang berbeda dengan mereka yang mengakses berita yang dihasilkan jurnalisme warga.
Ironi Jurnalisme Warga ? Jurnalisme warga yang dinilai bukan sebagai ancaman bagi media massa juga ditandaskan oleh Aulia A. Muhammad (AAM) (foto), pembicara ketiga. Pemimpin Redaksi Suara Merdeka CyberNews yang juga seorang blogger itu awalnya memberi ilustrasi yang menyentuh ketika menceritakan kembali karya jurnalisme warga seorang Cut Putri ketika memvideokan bencana tsunami yang meluluhlantakkan Aceh, 26 Desember 2004.
“Aceh lebur, tapi media tak bisa mewartakannya. Wartawan sibuk menyelamatkan diri dan atau mencari keluarganya yang hilang. Tak ada gambaran yang jernih bagaimana sebenarnya muasal penderitaan tsunami itu. Media, karena keterbatasan data, sibuk menduga, berspekulasi, dan hanya bercerita tentang korban. Awal kejadian, tak tergambarkan. Lalu, mucullah video dokumenter itu,” cerita Aulia.
Cut Putri yang berada di belakang kamera itu. Dia bukan wartawan, cuma warga, yang ingin merekam sejak getar (gempa) pertama yang dirasakan keluarganya. Menurut Aulia, pengalaman personal Cut Putri di tengah peristiwa dahsyat itu kemudian ternyata mampu menjadi pengalaman publik tanpa ia menyadarinya sejak awal peristiwa.
Menurutnya, kiprah Cut Putri yang tidak lain merupakan manifestasi jurnalisme warga itu diharapkan menjadi “teladan” bagi kiprah jurnalisme warga (di Indonesia) selanjutnya. “Karena dari warga, seharusnya menangkap secara utuh denyut urat nadi warga, yang mampu membangun jalinan emosi, dan kalau bisa menggerakkan warga,” lanjutnya.
Aulia A. Muhammad meringkas kisah Cut Putri dalam tiga ciri jurnalisme warga, yaitu lokalitas, subjektivitas dan ketakberjarakan, di mana kesemuanya diogahi jurnalisme mainstream tetapi mendapat tempat dalam jurnalisme warga. Tetapi, tanya lanjutnya, manakah situs atau media yang secara ketat mengadopsi tiga hal itu ?
Bahkan mungkin untuk membuat ironi semakin nampak kontras, ia pun menceritakan betapa video jurnalisme warga karya warga Aceh itu jadi membuncah karena semata ditayangkan di media massa mainstream, yaitu MetroTV. Ironi dari Aulia itu patut dicatat dan dihargai. Tetapi saya juga senang mengutip tulisan Stephen Baker dan Heather Green (“setiap kali saya mengetik nama ini pasti akan saya tambahi kata-kata : yang cantik”) di Business Week (11/5/2008) di mana saat berseminar itu sempat saya tunjukkan juga ke AAM dan audiens, karena memuat laporan utama berjudul “Blog akan Mengubah Bisnis Anda.”
“Para reporter blog berhasil unjuk gigi ketika badai tsunami menerpa Asia pada Desember silam. Ribuan blog memuat foto, tayangan video, dan artikel tentang bencana tersebut jauh sebelum jurnalis ternama pertama muncul di layar kaca. MSNBC, yang menayangkan tayangan tsunami selama berjam-jam pada situs internetnya, kemudian membuat satu halaman khusus, dinamakan entire page yang dipersembahkan kepada fenomena ’jurnalisme warga,’” tulis Baker dan Green.
Termasuk juga menarik mendengarkan gugatan AAM lainnya. Misalnya terkait beberapa situs jurnalisme warga yang ada di Indonesia saat ini, misalnya seperti ia sebut Bale Bengong sampai Panyingkul, bila dibandingkan dengan layanan serupa yang dikelola oleh media mainstream, seperti kolom “Citizen Journalism” (di situs http://www.kompas.com/ ) dan “Suara Warga” (di situs http://www.suaramerdeka.com/ ), meliputi topik bergerigi : darimana sumber pembiayaan mereka ? Sudahkah dilirik pengiklan ? Apakah “percakapan” terjadi secara alamiah, dengan keterlibatan yang intens ?
“Ramalan Phillip Meyer dalam bukunya The Vanishing Newspaper bahwa tahun 2043 surat kabar akan mati di AS, mungkin hal itu baru terjadi di tahun 2080 di Indonesia,” simpulnya. Mengunci makalah yang berjudul Citizen Journalism : Keamatiran, Bukan Ancaman, AAM mengatakan bahwa “harus kita akui, Internet justru belum menjadi bagian dari kehidupan kita. Karena itu, citizen journalism belum akan menjadi ancaman bagi media mainstream. Kita mungkin lebih baik menyetiainya, mengembangkannya, merayakannya, karena warga memang punya kuasa atas produksi dan distribusi berita.”
Masa Depan Itu Masih Jauh ? Albert Einstein (1879–1955), fisikawan kelahiran Jerman dan penemu teori relativitas pernah berujar, “I never think of the future. It comes soon enough.” Saya tidak pernah memikirkan masa depan. Karena ia pun segera datang. Siapa bisa membantah ?
Apalagi bila masa depan tersebut terkait revolusi Internet, utamanya fenomena Web 2.0. dewasa ini. Revolusi itu sebenarnya sedang terjadi, tetapi yang satu ini mudah sekali untuk dicuekkan. Karena ini revolusi sunyi. Revolusi Internet satu ini terjadi di pinggiran, bukan di tengah-tengah. Akibatnya ?
”The media titans still don't get it,” tulis kesal Scott Rosenberg, redaktur pelaksana situs Salon yang terkenal. Raja-raja media itu, menurutnya, masih engga ngeh terhadap kehadiran Internet. Konsekuensinya, korporat Amerika bobol koceknya hingga milyaran dollar ketika secara geradakan menerjuni bisnis Internet. Bukan berarti medium Internet tersebut tidak bernilai, tetapi para mogul media bersangkutan memang belum mampu menemukan jejak dimana nilai itu berada.
Untuk konteks serupa di dalam negeri, saya pernah menulis surat pembaca yang berjudul “Angket dan Sup Batu” yang dimuat di harian Suara Merdeka (Kamis, 29 November 2007 : L) :
“Mencermati Angket Pembaca 2007 Suara Merdeka, saya teringat dongeng sup batu. Dikisahkan, seseorang sedang menyalakan tungku di tengah lapangan. Di atas tungku ditaruh gentong berisi air dan ia masukkan sebungkah batu. Ia pun dengan riang mengaduk-aduknya. Aksinya itu menarik perhatian orang untuk datang dan bertanya-tanya. Si orang pertama itu berkata, ia sedang memasak sup yang lezat. Tetapi ia kekurangan garam.
Orang kedua yang datang segera pulang, ambil garam, dan kembali ke lapangan untuk memasukkannya ke gentong. Orang-orang berikutnya berlaku pula demikian. Ada yang menyumbangkan irisan daun bawang, kaldu, merica, daging, bumbu penyedap dan mereka bergantian mengaduknya. Akhirnya, memang tersaji masakan sup yang lezat dan semua orang dapat secara adil menikmatinya secara bersama-sama.
Dongeng sup batu itu di era Internet sering dipakai untuk menggambarkan resep suksesnya toko buku online Amazon.com sampai ensiklopedi online Wikipedia. Kedua bisnis itu mengandalkan partisipasi massa penggunanya, bukan kalangan ahli, dalam menghimpun dan menyajikan isi situsnya. Istilah kerennya : user generated content. (UGC). Strategi ini kini lajim diaplikasikan dalam pelbagai strategi bisnis di Internet.
Lalu apa kaitannya sop batu, UGC dan Suara Merdeka ? Dalam pertemuan saya dengan Mas Kukrit Suryo Wicaksono, Managing Director Suara Merdeka Group (8/11/2007), saya agak protes karena keberadaan media maya Suara Merdeka tidak masuk dalam angket. Dan sebagai pendiri komunitas Epistoholik Indonesia (EI), saya juga heran berat mengapa kolom surat pembaca tidak ditonjolkan secara signifikan dalam angket yang sama.
Padahal menurut saya, sembari merujuk kesimpulan World Editors Forum (WEF) 2007, situs web media dan eksistensi kolom surat pembaca merupakan cikal bakal manifestasi filosofi UGC, user generated content. Inilah gerbang utama semua media mainstream, termasuk Suara Merdeka, dalam melangkah menuju masa depan.”
Koran pun sekarat ! Masa depan itu antara lain harus mencakup langkah segera pengintegrasian media cetak dengan media digitalnya. Kemudian membuka pintu untuk berinteraksi dengan pembaca. Dua langkah awal penting tersebut selama ini nampak tidak dilakukan oleh media-media mainstream di Indonesia. Media cetak dan media digital mereka diparkir pada pulau yang berbeda. Juga tidak ada jembatan di antara keduanya.
Sehingga tidak atau belum ngeh-nya Suara Merdeka dalam surat pembaca saya di atas, seebnarnya juga cerminan potret diri media-media mainstream Indonesia lainnya dalam bergulat dengan binatang baru yang bernama Internet itu. Kolom forma@t harian Kompas (6/2/2006 : hal. 33), yang sepertinya ditulis wartawan TI-nya, Rene L. Pattirajawane, pernah menyajikan tulisan berjudul “Matinya Koran ?” dengan isi yang provokatif.
Ia kutipkan hasil sebuah penelitian yang dilakukan Clark, Martire & Batolomeo, bahwa pada tahun 2010 akan semakin sedikit orang muda yang membaca koran di Amerika Serikat. Edisi cetak majalah dan surat kabar akan menjadi tidak relevan dan kurang populer dalam kehidupan orang di masa mendatang. Hanya akan ada 9 persen orang berusia 20-29 tahun yang membaca koran pada hari kerja pada tahun 2010. Koran menjadi tidak penting dan hanya ada sedikit waktu yang diluangkan untuk membacanya.
Berkat kemajuan teknologi komunikasi informasi (TKI), membuat informasi yang tercetak di surat kabar mau pun majalah sekarang ini ibarat setitik pasir di lautan, menjadi tidak bermakna dan condong dilupakan sebagai satu-satunya penyedia informasi. Berbagai peristiwa dunia dan local sekarang ini dalam sekejap merambah ke jutaan pengguna telepon seluler melalui SMS. Pesannya singkat dan jelas, “Koran dan majalah sekarat.” Institusi tradisional media massa sekarang hanya tinggal menunggu waktu dan sering kali bingung sendiri antara redesign dan resizing.
Orang muda sekarang mengandalkan berbagai perangkat TKI seperti ponsel untuk mengakses berita. Fitur SMS adalah bentuk dasar diseminasi informasi. Kemajuan ponsel pun sekarang mampu menghadirkan informasi selengkap, seluas, dan seakurat surat kabar atau majalah. Orang mengandalkan detik.com, Yahoo, Google, dan media online lainnya untuk diseminasi informasi. Surat kabar mengikuti langkah untuk meng-online-kan isi beritanya, secara gratis. Tidak banyak kemajuan dalam 10 tahun terakhir ini, bahkan tidak ada model bisnis yang bisa dijadikan acuan.
Dekonstruksi bikin ngeri. Ketiadaan atau rancunya model bisnis mereka itu tidak lain sebagai akibat tidak difahaminya bahwa, sesuai tesis Philip Evans dan Thomas S. Wuster dalam bukunya Blown to Bits : How the New Economics of Information Transforms Strategy (Harvard Business School Press, 2004), ekonomi benda-benda fisik dan ekonomi informasi itu secara fundamental berbeda.
Selama ini, sebagai ilustrasi, kita tahu koran cetak menjual nilai dengan mem-bundle pelbagai ragam berita (the media) dengan iklan (the message) dalam satu produk. Model bisnis serupa, lucunya, kemudian juga mereka terapkan secara mentah-mentah dalam media digitalnya.
Barangkali mereka berkeyakinan bahwa hanya dengan menambahkan akhiran “.com” atau “.co.id” pada nama edisi cetaknya, media digital mereka itu sudah dianggap afdol tampil tanpa perubahan paradigma dalam pengelolaannya. Jadilah media digital yang dikelola dengan mindset media cetak !
Mereka tak sadar bahwa audiens digital mereka memiliki kekuatan, karakter sampai kebutuhan yang tidak sama dengan pembaca edisi cetaknya. Atau bahkan audiens itu sebenarnya juga berbeda komposisi ramuan “otak” mereka. Seperti kata Gerard Van der Leun dan Thomas Mandel dalam bukunya Rules of The Net (1996) bahwa, “simple minds are not attracted to the Net.” Kasarnya : otak udang itu tidak tertarik dengan Internet.
Mereka mengingkari hukum media digital bahwa semua isi dan distribusinya bisa dengan sangat mudah dipisah-pisahkan.Istilahnya dalam bahasa Jawa, bisa di-juwing-juwing, dicerai-beraikan, ibarat fenomena balkanisasi yang melanda negeri-negeri Eropa Timur selepas ambruknya Uni Sovyet.
Seperti diungkap Ana Nadya Abrar di atas, ciri nonlinearity dalam media media digital memungkinkan konsumen memilih informasi, baik topik berita yang paling khusus pun atau iklan-iklan yang mereka nilai paling relevan dengan kebutuhannya. “Daily Me,” demikian impian Nicholas Negroponte tentang surat kabar personal yang ingin ia baca seperti terungkap dalam bukunya Being Digital (1996) yang terkenal.
Dekonstruksi itu mungkin menimbulkan kengerian mencekam bagi pengelola media massa mainstream di mana saja. Oleh karena itu hingga sepuluh tahun terakhir ini mereka gamang melakukannya. Dapat dimaklumi, berkompetisi di ranah ekonomi informasi baru sering mensyaratkan terjadinya kanibalisasi. Atau bahkan tindakan penghancuran semua sendi-sendi bisnisnya semula. Para inkumben itu jelas enggan melakukannya, apalagi bila bisnis tersebut masih mengalirkan keuntungan.
Yang pasti, versi digital dari media bersangkutan yang dikelola sebagaimana layaknya media cetak itu, sebagaimana penilaian William Davidow dalam artikelnya “Online Advertisers Must Beware” (Forbes ASAP, 7/4/1997), berpotensi tertakdir menuai kegagalan. ”Efforts to make electronic media mimic traditional media will fail, producing ridiculous business models,” lanjut penulis buku bersama Michael S. Malone, The Virtual Corporation : Structuring and Revitalizing the Corporation for the 21st Century (1992).
Rentetannya kemudian, kolom-kolom jurnalisme warga dalam media digital mereka pun menjadi ridiculous juga. Aneh. Karena dikelola tidak ubahnya kolom Surat Pembaca pada edisi cetaknya. Bahkan kolom ini pun terpisah dari sajian berita mereka, nyaris menjadi sebuah asylum dimana para pembaca dapat berbincang atau berdiskusi semau mereka, sepanjang media bersangkutan tidak terlibat di dalamnya.
Sampai di sini, kiranya wacana memimpikan atau mengandalkan media massa mainstream untuk tampil sebagai kampiun jurnalisme warga hanya mimpi di siang bolong belaka. Karena mereka masing-masing memiliki DNA yang berbeda. Berdasar pertimbangan semacam itulah, mungkin, yang membuat Dan Gillmor keluar dari koran San Jose Mercury News, mengumpulkan investor dan membentuk perusahaan baru, Grassroots Media. Atau seorang wartawan bernama Budi Putra, tetapi demi alasan yang lebih pragmatis, memutuskan keluar dari posisinya yang mapan di Koran Tempo untuk menjadi blogger purna waktu.
Secara guyonan fenomena serupa kemudian saya tanyakan kepada Aulia A. Muhammad : kapan ia memberanikan diri keluar dari jabatannya sekarang, untuk berpetualang di dunia digital yang menantang ini ? Waktu baginya, saya yakin, akan tiba.
Sebab kalau boleh saya menilai dirinya, AAM adalah profil seseorang yang oleh John Battelle, pendiri majalah Wired, disebut sebagai talent dan bukan sebagai reporter. Penjelasannya, selama ini media tradisional bergerak dalam bisnis “mempulaukan” atau “mengucilkan” bakat-bakat sumber daya manusianya. Sebagai wartawan surat kabar, mereka tidak berbicara kepada pembacanya, mereka berbicara dengan sumber-sumber berita. Secara kelembagaan, organisasi media tumbuh mengelola reporter, bukan talent.
“Ketika saya menjadi redaktur di Wired, tugas saya adalah menghasilkan penulis dan mengelola 50-150 penulis berbakat, juga penulis bebas yang setengah sableng kelakuannya. Mereka yang mengelola blog-blog berpengaruh adalah para talent dan mereka tidak perlu diberitahu tentang apa saja yang harus mereka tulis,” tuturnya.
Sebagai pembaca majalah Wired ala kadarnya, kredo Battelle itu mengingatkan saya akan artikel atau buku-buku wartawannya yang cemerlang. Selain ia sendiri yang menulis buku The Search: How Google and Its Rivals Rewrote the Rules of Business and Transformed Our Culture (2006), juga ada Kevin Kelly dengan artikel landmark-, “New Rules for the New Economy : Twelve Dependable Principle for Thriving in a Turbulent World” (Wired, 9/1997). Ada pula Jeff Howe yang lagi merampungkan buku mengenai crowdsourcing, dan tentu saja Chris Anderson dengan the long tail-nya yang didaulat majalah TIME (14/5/2007) sebagai salah satu dari 100 Tokoh Berpengaruh Di Dunia 2007.
Kuda liar jurnalisme warga. Kembali ke seminar di UNS Solo tersebut di mana saya memperoleh kenangan berupa trofi (foto) yang diserahkan oleh Pemimpin Umum Lembaga Pers Mahasiswa Visi FISIP UNS, Nur Heni Widyastuti, menurut saya, cakupan topiknya kurang berimbang. Sebaiknya, selain membicarakan ancaman, akan lebih membukakan cakrawala bila juga mengupas sisi-sisi positif, manfaat jurnalisme warga bagi media massa itu sendiri. Ketiadaan balans tersebut, sepanjang pengamatan saya terhadap mayoritas pertanyaan dari mahasiswa saat itu, mungkin telah menggiring mereka untuk cenderung menguatirkan terbukanya kebebasan warga dalam berekspresi melalui jurnalisme warga.
Antara lain mereka sebut bahwa kebebasan itu nantinya ibarat kuda yang berlarian tanpa arah. Pendapat lain yang senada mengingatkan bahwa Indonesia merupakan negara yang bermoral. Untuk itu, menurutnya, diperlukan peran pemerintah terhadap jurnalisme warga. “Jurnalisme warga akan berbahaya bila tidak dipagari oleh moral yang baik,” cetusnya.
Ah, mindset Orde Baru itu masih saja menjadi kerak dalam kenangan kolektif kita semua. Ucapan Henry David Thoreau (1817–1862) bahwa pemerintah yang terbaik adalah yang paling sedikit memerintah, atau sama sekali tidak memerintah, nampaknya belum punya akar kuat dalam nurani bangsa ini. Akibatnya kita terbiasa berilusi bahwa pemerintah merupakan bapak besar terbaik bagi kita semua.
Kita pun, terutama selama Orde Baru berkuasa, menjadi terbiasa dicekoki dan bulat-bulat menelan tentang apa yang baik atau buruk secara seragam dari pemerintah. Kita tidak terbiasa mempertanyakannya. Perbedaan kemudian dinilai sebagai sumber kekacauan. Kita mudah mengingkari pluralitas, dimana berkat jurnalisme warga yang bersenjatakan Web 2.0. justru memperoleh aksentuasi yang tidak bisa kita hindari. Berpotensikah semua itu memunculkan anarki ?
”The new media age of Web 2.0 is threatening only if you believe that an excess of democracy is the road to anarchy. I don't.” Media-media baru berbasis Web 2.0. akan menjadi ancaman bila Anda memiliki keyakinan bahwa ekses demokrasi akan menimbulkan anarki. Saya tidak mempercayainya. Itulah kesimpulan Richard Stengel, Redaktur Pelaksana Majalah TIME dalam edisi khusus yang menobatkan pembacanya (“YOU”) sebagai Tokoh Majalah TIME Tahun 2006.
Para mahasiswa peserta seminar yang “berburuk sangka” itu, boleh jadi, belum pernah mengenal atau bahkan menikmati media Web 2.0. Data berikut memperkuat dugaan itu. Saat tampil sebagai pembicara kedua saya bertanya kepada hadirin : berapa banyak di antara mereka yang memiliki blog. Dari sekitar 100 audiens, hanya ada satu atau dua jari yang terangkat ke atas. Sayang, saya lupa menanyakan seberapa banyak di antara mereka yang pernah menulis surat-surat pembaca di media massa.
Yang pasti, menurut saya, tanpa pernah mengalami baik sebagai penulis surat pembaca atau sebagai blogger, akan sulit bagi tiap orang untuk mampu menghayati realitas bahwa dirinya memiliki kekuatan untuk ikut terlibat dalam perbincangan publik. Sekadar contoh, di bawah ini surat pembaca saya yang menggugat kegiatan Pemkab Wonogiri beberapa waktu lalu.
Parodi Parade Penjor
Dimuat di Harian Kompas Jawa Tengah, Sabtu, 2 September 2006
Manajer MURI, Paulus Pangka, pernah setengah mengeluh karena rekor-rekor yang diajukan ke lembaganya kebanyakan hanya bertumpu pada pencapaian prestasi yang bersifat superlatif. Rekor-rekor superlatif itu seperti X terpanjang, Y terbanyak sampai Z terbesar dan sejenisnya. Menurutnya, rekor semacam itu seringkali tidak unik, tidak berkelas dunia, karena mudah sekali untuk dipecahkan oleh fihak lain. Kasarnya, selama UUD (ujung-ujungnya duit) ditegakkan, maka membuat rekor atau menumbangkan rekor MURI semacam itu menjadi hal yang mudah sekali dilakukan !
Rekor-rekor kelas superlatif dan menjunjung tinggi “UUD” itulah yang kini digandrungi unsur-unsur birokrat pemerintah daerah. Mereka getol memobilisasi massa, mungkin dengan unsur setengah paksaan, terkait acara seremonial seperti HUT Kemerdekan atau Hari Jadi Pemda/Pemkot, dengan mengadakan acara-acara artifisial untuk tujuan meraih rekor MURI.
Sebuah kabupaten di Jawa Tengah pernah mengadakan acara Kirab 1000 Keris, pesertanya membeludak hingga lebih dari 2000. Tetapi konon dari cek acak tim MURI ternyata banyak peserta yang terdiri para pelajar itu membawa keris-keris palsu (birokrat sengaja mengajarkan budaya dusta atau perilaku korup pada generasi muda ?), mengakibatkan piagam MURI batal diserahterimakan. Acara artifisial yang sungguh memboroskan moral dan material !
Dalam memperingati HUT Kemerdekaan RI 2006, jajaran birokrat kabupaten yang sama baru saja mengadakan acara pawai/parade umbul-umbul (bahasa Balinya penjor), juga dengan semangat untuk meraih Piagam MURI. Mereka memobilisasi para pelajar lagi. Adakah makna penting dari fenomena bambu-bambu berujung bengkok, berhias kain warna-warni itu, sehingga harus diparadekan oleh generasi muda kita ?
Saya teringat lelucon pengamat ekonomi Hartoyo Wignyowiyoto yang berlidah tajam dan cerdas itu. Dalam acara televisi di masa Orde Baru ia berkata bahwa budaya Indonesia dapat diibaratkan sebagai sosok penjor atau umbul-umbul itu. Karena selama ini di Indonesia, katanya, mereka yang bengkok-bengkok selalu berada di atas, selalu dihormati, juga dielu-elukan, sementara mereka yang lurus dan di bawah, justru dikubur dan selalu dibenamkan !
Bambang Haryanto
Pemegang Dua Rekor MURI
Jl. Kajen Timur 72 Wonogiri 57612
Warga Epistoholik Indonesia
Setelah surat pembaca saya ini dimuat, entah kebetulan atau tidak, satu-dua tahun terakhir ini tidak ada lagi acara Kirab Seribu Keris atau Seribu Penjor di Wonogiri. Sayangnya saya agak lupa bercerita kepada audiens bahwa kehadiran saya sebagai pembicara dalam seminar itu bisa terjadi karena saya mudah ditemukan oleh panitia, (“Terima kasih Haris Firdaus dan Lia yang banyak “mendoakan” agar saya tidak lolos audisi API-4 :-) ke Jakarta hingga bisa ikut seminarnya ini) berkat blog-blog saya. Juga saya kurang eksplisit dalam berpesan bahwa mengelola blog dan menulis surat-surat pembaca sebenarnya tidak lain merupakan exercise bagi kemampuan intelektual tiap orang. Menjalani proses belajar seumur hidup. Itu menyehatkan. Bikin awet muda.
Saya hanya bisa menyampaikan pendapat Rebecca MacKinnon, mantan kepala biro CNN di Tokyo. Mudah-mudahan pesannya bisa dicamkan dan mampu menginspirasi para mahasiswa. “Seseorang akan mampu menyerap dan mengelaborasi kembali informasi secara lebih mendalam bila yang bersangkutan dilibatkan dalam diskusi mengenai materi tersebut, dan bahkan dirinya mampu memiliki pemahaman lebih mendalam lagi bila dia menuliskan opini tentangnya di ruangan publik,” tandas Rebecca MacKinnon.
Plastik komunikasi. Merujuk manfaat besar nasehat Rebecca MacKinnon di atas, maka dalam setiap kesempatan bertemu atau pun berkorespondensi dengan kenalan baru, juga dalam seminar itu, sebagai seorang epistoholik dan seorang blogger saya senantiasa mengajak kenalan baru itu untuk menulis surat-surat pembaca dan mengelola blog-blog mereka.
Juga secara tersirat, ketika mempopulerkan peluang-peluang tak terbatas dari dunia digital yang melimpah ruah sesuai tesis buntut panjangnya Chris Anderson, saya (foto) berpamrih akan banyaknya mahasiswa yang mau tergerak terjun sebagai netpreneurs baru di tengah revolusi Web 2.0. yang bergolak secara sunyi sekaligus membuka peluang-peluang bisnis baru bagi mereka.
“Internet adalah plastik dan tanah lempung komunikasi yang luwes,” simpul Paul Saffo dari Institute for the Future seperti dikutip US News & World Report (27/5/1996), “bila berada di tangan sekelompok kecil kaum entrepreneur yang memiliki ide-ide besar, anggaran cekak dan jauh dari supervisi kaum dewasa.”
Bermodalkan gagasan, komputer dan akses Internet, kaum muda dan para mahasiswa berpeluang mampu mengikuti jejak (“ah, ini cerita jadul”) David Filo dan Jerry Yang saat pertama kali melahirkan dan kemudian membesarkan embrio Yahoo : dari kamar asrama mahasiswa mereka. Cobalah, dengan membuka koran hari ini, dengan membawa pisau analisis yang tajam dan dibekali pemahaman mendalam perbedaan antara media berbasis atom vs media digital, maka kapling bisnis baru itu teramat mudah untuk ditemukan.
Sekadar ilustrasi, setelah seminar usai saya diboncengkan Haris Firdaus, mahasiswa yang panitia seminar, blogger dan kolumnis kolom Teroka di Kompas, ke shelter terdekat yang dilewati bis menuju Wonogiri. Bis yang saya tunggu ternyata terasa lama datangnya. Untuk membunuh waktu, saya mengeluarkan kamera dan jepret sana-sini. Persis di depan mata saya terletak bangunan rumah duka Thiong Ting, Jebres, Solo. Saya kemudian masuk kompleks bangunan untuk menfasilitasi upacara pemakaman dan kremasi bagi warga keturunan Tionghoa itu. Saya memasuki pula ruang upacara. Kemudian memotret sebagian susunan karangan bunga yang hampir memenuhi seluruh dinding ruangan sebesar dua atau tiga kali lapangan bulutangkis itu.
Dengan memakai mindset dunia digital, beragam ucapan dalam karangan bunga itu tidak lain merupakan berita atau informasi. Dengan pendekatan modus operandi jurnalisme warga bahwa berita adalah percakapan, maka bagi kita terbuka untuk menghadirkan situs blog yang dapat memfasilitasi semua percakapan seputar diri pribadi yang meninggal dunia. Tentu saja juga termasuk percakapan dengan segenap keluarganya, handai taulan, dan kenalan mereka.
Kebetulan pula akhir-akhir ini blog mengenai kampung saya, Kajenku, Kampungku, Kebanggaanku, lebih banyak memuat data warga kampung saya yang meninggal dunia. Akibatnya, selain sebagai tetangga dan merangkap “wartawan kampung,” di pekuburan itu sering terlibat dalam adegan tidak terduga. Misalnya bertemu kembali teman satu Sekolah Dasar atau SMP yang tak pernah bertemu belasan atau bahkan puluhan tahun.
Ah, sebagaimana Sitor Situmorang memiliki puisi mencekam, “malam lebaran/bulan di atas kuburan,” sebenarnya peristiwa pemakaman pun sangat kaya dengan cerita menarik yang bisa disampaikan. Itulah bukti dari jurnalisme warga. Berpendekatan hiperlokal, personal, memiliki tekstur yang kaya dengan sentuhan manusiawi, tetapi sering tidak memiliki tempat atau nilai di mata media massa mainstream selama ini.
Sudahlah. Mereka-mereka itu, pelaku media massa mainstream itu, memang sepertinya, menurut kolumnis majalah TIME, James Poniewozik, sudah mengidap deficit passion yang kronis. “Para wartawan media-media besar itu berhati-hati, kaum konformis bergaji tinggi yang menjauh dari pembacanya, mereka pun lebih responsif terhadap kaum elit urban, tokoh-tokoh berkuasa dan perusahaan-perusahaan raksasa, terutama tempat diri mereka bekerja.” Akibatnya, menurutnya, pembawa acara berita banyak yang tampil hambar, sajian majalah yang tak ubahnya katalog, jurnalisme malu-malu atau takut-takut merajalela, tetapi liputan tentang selebritis porsinya sangat berlebih-lebihan adanya.
Kini, di era Web 2.0, mereka didera kebingungan. Seperti bingungnya tokoh Dennis Nedry yang terdampar di hutan yang asing, menakutkan, sementara pandangannya kabur karena kacamatanya hilang, sebelum para Velociraptor menyerang dirinya. Tutur lanjut Dr. Alan Grant, “Velociraptor tidak menyerang urat lehermu seperti halnya terkaman singa. Ia mencabik-cabikmu, juga di perut, sehingga isinya terburai. Intinya adalah, kamu masih dalam keadaan hidup ketika mereka mulai memakanmu.”
Media massa mainstream juga masih merasa hidup ketika para raptor dari dunia digital mulai berpesta, memakan kerat demi kerat isi atau bagian tubuh mereka. Karena aksi raptor satu ini memang tidak mudah kelihatan dan jumlahnya pun tidak mudah diperkirakan. Belum termasuk penggerogotan yang dilakukan oleh wartawan-wartawan mereka sendiri yang gatal meluncurkan blognya pribadi, di luar ranah situs media tempatnya bekerja, tetapi mempromosikan keberadaan blognya tersebut di media cetak bersangkutan.
Di luar tikaman dari dalam itu, sekarang ini berlaksa-laksa cakar clurit setajam silet sedang rakus mencabik-cabik diri mereka. Dalam kesunyian. Sasaran akhirnya jelas : runtuhnya hegemoni oligarki media menjanjikan kabar baik bagi demokrasi dan kemanusiaan.
Wonogiri, 29/2-10/3/2008
ee
Pak BH, salut atas "kegilaan" yang sangat positif ini. Siapa lagi yang harus angkat bicara kalo tidak kita? Saya juluki pak BH "Chairil Anwar nya Blogger"!!
ReplyDelete