Oleh : Bambang Haryanto
Esai Epistoholica No. 61/Agustus 2008
Email : humorliner (at) yahoo.com
Home : Epistoholik Indonesia
Slogan melegenda. “Karena saya sangat menyukai produknya, maka saya beli saja perusahaannya.” Slogan ini sangat terkenal dan diluncurkan oleh Victor Kiam (1926-2001), seorang entrepreneur Amerika Serikat. Lulusan universitas Yale, Sorbonne dan Sekolah Bisnis Harvard ini semula berkarir sebagai eksekutif penjualan dari perusahaan Lever Brothers dan Playtex.
Slogannya, ”I liked it so much, I bought the company !” tadi, kemudian jadi penanda yang melegenda bagi keputusan bisnisnya. Konon setelah istrinya membelikan alat pencukur listriknya yang pertama, dimana ia terkesan ketika menggunakannya, Victor Kiam memutuskan membeli perusahaan Remington Products, produser alat cukur listrik tersebut. Bahkan, keputusan bisnis Victor Kiam tersebut juga terkenal sebagai pemberi ilham. Frasa doing a Victor Kiam dewasa ini telah menjadi istilah umum bagi pelanggan yang kemudian menjadi pemilik sesuatu perusahaan.
Salah satu bukunya, Going for It!: How to Succeed As an Entrepreneur (1986), merekam sepak terjang Victor Kiam sebagai wiraswastawan. Buku yang inspiratif. Ini adalah salah satu buku menarik yang pernah saya pinjam dari perpustakaan American Cultural Centre, di Wisma Metropolitan 2, Jl. Jenderal Sudirman, Jakarta, tahun 1980-an.
Akhir-akhir ini selintas kenangan akan Victor Kiam, yang juga pemilik klub sepakbola Amerika New England Patriots ( 1988-1991), menjadi muncul lagi. Pemicunya, ketika memergoki gelontoran iklan-iklan politik dari ketua umum Partai Amanat Nasional (PAN) Soetrisno Bachir (SB) dan juga sosok Rizal Mallarangeng (RM) di media massa akhir-akhir ini.
Balapan uang telah dimulai ! Iklan-iklan politik dari SB dan RM itu, di tengah berduyunnya tokoh-tokoh muda untuk mencalonkan diri sebagai calon presiden di Pilpres 2009, konon diilhami oleh kesuksesan Barack Obama di Amerika Serikat. Itulah penilaian dari Salahuddin Wahid (Jawapos, 9/8/2008). Ia sebut, selain RM yang mengusung slogan Generasi Baru, Harapan Baru, juga muncul Rizal Ramli dengan slogan Jalan Baru, Pemimpin Baru. Belum lagi Fadjroel Rachman, Yudhi Krisnandi, Hidayat Nurwahid, Yusril Ihza Mahendra, dan juga Laksamana Sukardi.
“Munculnya sejumlah tokoh muda untuk menawarkan diri menjadi pimpinan nasional diilhami oleh munculnya Barack Obama. Bahkan, mungkin mereka mengidentifikasikan diri dengan Obama. Karena itu mereka menganggap bahwa masyarakat akan menerima mereka seperti masyarakat AS menerima Obama. Seorang tokoh AS mengatakan, Obama bukan tidak bisa dibendung bukan semata-mata kehebatannya, tetapi karena ada kesadaran bersama bahwa dibutuhkan perubahan untuk memperbaiki Amerika,” tulis Salahuddin Wahid.
Inspirasi doing Barack Obama bisa muncul warna-warni. Rupanya, yang relatih mudah ditiru dari cara sukses Obama adalah dari cara beriklannya. Harian Pontianak Post (25/5/2008) telah memajang laporan dua seri mengenai kampanye Soetrisno Bachir. Judulnya, “Profesional di Balik Strategi Pencitraan Soetrisno Bachir : Seperti Barak Obama, Fox Garap Hulu sampai Hilir”
Apa siapa Fox itu ?
Koran itu melaporkan, setelah ditelisik, otak di balik penggarapan iklan politik (Soetrisno Bachir) tersebut adalah Fox Indonesia di bawah pimpinan Rizal Mallarangeng. Ditemui di kantornya, kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Rizal mengaku telah menandatangani kontrak dengan Soetrisno Bachir hingga April 2009. ’’Fox Indonesia merupakan lembaga strategic and political consulting profesional pertama di Indonesia,’’ klaim pria yang juga direktur Freedom Institute tersebut.
Profesionalitas dalam pengertian Rizal adalah bisnis. Bisnis kampanye modern dan konsultan murni. Lembaga yang dipimpinannya akan melayani keperluan klien mulai hulu hingga hilir. Mulai pencitraan, iklan, pemberitaan di media, kampanye, sampai strategi pemenangan suksesi. ’’Kita coba, bikin lembaga yang benar-benar profesional. Seperti lawyer (pengacara), you bayar, kami yang susun konsep kampanyenya,’’ tambah alumnus Universitas Gadjah Mada tersebut.
Balapan uang untuk iklan-iklan politik di Indonesia akan semakin kencang arusnya. Apa klaim sukses dari metode Fox Indonesia yang membanjiri ruang kita dengan iklan-iklan itu ? Tulisan yang disajikan wartawan Jawapos, Candra K. dan A. Bokhin itu melanjutkan, bahwa untuk mengetahui perkembangan hasil pencitraan, pertengahan minggu lalu tim Fox Indonesia dan Soetrisno Bachir melakukan safari ke beberapa kabupaten di Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Jogjakarta, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Utara. “Hasilnya mencengangkan. Dengan memasang iklan tiga minggu saja, 2/3 audiens yang kita temui sudah mengenal Soetrisno Bachir,” katanya.
Rizal tak membantah jasa konsultan politiknya tidak murah. Bahkan, dia mengklaim Fox Indonesia mematok harga paling mahal di Indonesia. Selain iklan TV, Fox memasang iklan Soetrisno di koran-koran utama, media luar ruang, pemasangan baliho di seluruh Indonesia, dan bioskop. Belum termasuk program road show ke berbagai daerah di Indonesia.
Untuk iklan televisi, misalnya, dalam sehari rata-rata 180 kali tayang. Iklan tersebut ditayangkan di jam-jam utama (prime time) dengan program yang memiliki rating tinggi. Belum lagi iklan di radio dan TV lokal. Jadi, wajar jika anggarannya sangat besar. “Demokrasi itu mahal Bung. Untuk pemilihan internal saja, Obama (Barack Obama, capres Partai Demokrat di AS) hingga saat ini sudah menghabiskan Rp 2 triliun. Kalau di Indonesia, ya kami masih termahal,” katanya.
Hiu ganas berkeliaran. Betul, Rizal. Demokrasi memang mahal. Utamanya, barangkali, bagi Soetrisno Bachir saat ini. Ketercengangan RM atas iklan-iklan SB yang ia buat sendiri, apakah itu yang memicu dirinya untuk meniru kedahsyatan kredo doing a Victor Kiam bagi dirinya sendiri ?
Bagian akhir artikel Salahuddin Wahid akhirnya menggaruk rasa gatal menyimaki peran RM di balik iklan-iklan SB dan kemudian memergoki RM muncul di lapangan yang sama. “Ada sesuatu yang mengganggu kalau tidak ditanyakan. Mengapa RM yang semula menjadi konsultan Soetrisno Bachir dalam promosi dirinya, tiba-tiba muncul sebagai pesaing ? Bukankah di situ ada prinsip konflik kepentingan yang dilanggar ? Apakah telah terjadi pelanggaran etika ?
Kalau sebagai konsultan dia tidak bisa membedakan, apakah sebagai pemimpin dia nanti bisa membedakannya ? Kalau sebagai konsultan tidak bisa menjaga etika, apakah nanti sebagai pemimpin akan bisa ? Tantangan dan godaan sebagai pemimpin pasti lebih besar daripada sebagai konsultan.
Kita tentu tidak bisa menvonnis, hanya boleh mengajukan pertanyaan. Saya pikir RM tidak keberatan dengan pertanyaan semacam itu, sebagai salah satu bentuk pertangungjawaban publik atas apa yang dilakukannya. RM yang lama hidup di AS yang terbuka untuk masalah yang menyangkut masalah kepentingan umum, tentu sudah terbiasa dengan hal seperti itu,” harap Salahuddin Wahid.
Jawaban secara tak langsung untuk Salahuddin Wahid, untuk warga Republik Indonesia, muncul belakangan. Walau mungkin tidak tuntas dan tidak memuaskan, ternyata sejak Juli 2008, hubungan Fox Indonesia dan Soetrisno Bachir telah berubah. Dari client-consultant relationship menjadi hubungan persahabatan. Fox Indonesia kini mempunyai klien baru yakni Partai Demokrat dan Susilo Bambang Yudhoyono.
Itulah lanskap khas dari politik. Fenomena di atas mengingatkan pendapat Alan Clark (1928-1999), politisi dari partai Konservatif Inggris yang menulis dalam buku hariannya, 30 November 1990. “Tidak ada teman sejati dalam politik. Kita semua adalah hiu-hiu yang berkeliaran, dan yang saling menunggu jejak-jejak darah yang mengapung di permukaan,” simpulnya.
Bisik-bisik digital itu mematikan Kontroversi hiu makan hiu, antara iklan politik RM versus SB mungkin memang telah berakhir. Tetapi apakah kontroversi iklan-iklan politik RM vs SBY justru baru dimulai ? Kita lihat saja.
Hemat saya, alangkah baiknya, seperti sangka baik Salahuddin Wahid di atas, RM harus segera menuntaskannya. Ia memiliki pilihan beragam media untuk bercerita. Usul saya, manfaatkanlah kekuatan-kekuatan spesifik dari beragam media yang ada secara bijaksana. Jangan remehkan media-media baru berbasis digital yang telah pula ada di tangannya.
Obama, lagi-lagi, dapat menjadi contoh. Untuk mengumumkan siapa calon wakil presiden yang ia pilih, ia tidak mengumumkannya melalui televisi. Tetapi melalui SMS. Terobosan yang dahsyat. Dengan media itu ia menyapa setiap pemilihnya dengan sentuhan personal.
Sentuhan pribadi. Antara dia dan satu individu pemilihnya. “Ini antara kita saja. Anda dan saya,” begitu kira-kira suasananya. Seolah Obama mengatakan bahwa hanya Anda yang ia beritahu rahasia terdalamnya, tentang misteri yang santer berkembang beberapa lama ini, tentang orang kedua yang mendampinginya dalam merebut kursi presiden AS di bulan November 2008 nanti. Sebuah rangkulan hangat dan mempribadi dari Obama yang sulit untuk memperoleh penolakan !
Tetapi RM saat ini belum merangkul. Ia belum mau merangkul. Ia masih suka untuk gencar berteriak-teriak. Satu arah. Broadcast politics. RM belum membuka telinganya secara lebar-lebar untuk kita semua. Bisik-bisik digital yang muncul, kiranya, belum juga menyentuh perhatiannya. Pilihan yang mungkin fatal.
Inilah pelbagai potongan bunyi bisik-bisik digital itu. “Papabonbon” menulis di antara 51 tanggapan dari artikel Kopidangdut : “jadi oom trsni (maksudnya Soetrisno Bachir ? –BH) bikin iklan ke oom rizal abis itu oom rizal bikin iklan buat dirinya sendiri, duitnya lari ke manah .. ?”
“Dibanding capres muda lainnya bisa dibilang dia yang paling kaya. Paling tidak dilihat dari iklan-iklannya. Gencar. Begitulah Rizal Mallarangeng. Ia ada di TV dan media cetak. Bahkan di pinggir tol sekitar Semanggi pun ada. Masih kurang cukup? Sebentar lagi, katanya, iklan dirinya, iklan baru, akan muncul di banyak TV. Dari mana ia beroleh banyak duit? Cukongnya Aburizal Bakrie? Rizal mewakili kepentingan Bakrie dan teman-temannya? “
Dalam artikel yang mendukung tampilnya RM, dalam blognya Ulil Abshar-Abdalla, muncul pendapat dari “Kolonel Inf. Daryatmo (#11)” : “Saya kira Rizal belum punya cukup bukti yang kuat bahwa dia layak jadi pemimpin nasional. Contoh kecil saja, ketika RM memandu acara Save Our Nation di Metro TV, saya sering mengamati bahwa sebagai host, RM terlalu dominan mewarnai acara dengan komentarnya yang jauh lebih banyak ketimbang orang-orang yang diwawancarainya.”
“Agus Nizami (#23)” menulis : “Rizal Mallarangeng mencalonkan diri jadi Capres? Iklannya Save Our Nation sering muncul di Metro TV dengan nada simpatik seolah-olah peduli pada rakyat. Padahal dari berbagai berita di media massa, Rizal Mallarangeng jadi tim perunding rebutan blok Migas Cepu antara Pertamina dengan Exxon Mobil yang berakhir dengan penyerahan Blok Cepu ke Exxon. Kemudian Rizal Mallarangeng turut dalam iklan mendukung kenaikan harga BBM tahun 2005 yang mencapai 125%. Itukah cara Rizal untuk mensejahterakan rakyat Indonesia? Menyelamatkan bangsa Indonesia? Save our Nation? Baca selengkapnya berikut berita dari media massa di : http://capresindonesia.wordpress.com/2008/07/24/track-record-rizalmallarangeng-calon-presiden-save-our-nation/"
Beragam pertanyaan di medan digital di atas itu tidak RM jawab. Dalam iklan di media massa ia sudah mengemukakan apologinya. “Saya minta maaf sebab tidak mungkin membalas satu persatu sapaan yang datang kepada saya,” tulisnya. Menurut saya, mungkin sebaiknya RM mulai saat ini bersedia mendengar kata dari Luis Marinho Falcão, Director, Ogilvy Interactive : "The most frightening thing about an electronic whisper is the fact that it becomes a gigantic roar before some notice it." Hal paling mengerikan mengenai bisik-bisik digital adalah fakta bahwa ia mampu menjadi auman dahsyat sebelum kita semua mengetahuinya.
Orang muda, platform tua. Akar “kebisuan” RM terhadap bisik-bisik digital itu boleh jadi karena, sebagaimana kita saksikan dari media digitalnya sendiri, dirinya masih kental dibelit budaya media atom. Media kertas. Media lama. Ia masih muda tetapi platform atau mindset medianya adalah media tua.
Situsnya, http://www.rm09.com/, tak lebih dari agregat artikel atau tulisan yang pernah muncul di media cetak. Bahasa prokem orang-orang dari Lembah Silikon menyebutnya sebagai showelware : isi yang pertama kali muncul di media cetak, dibangkitkan dari lubang kubur dengan disekop, kemudian dipindahkan ke media digitalnya. Mumi-mumi informasi.
Mumi-mumi itu tidak klop dengan Internet sebagai media interaktif. Nyatanya artikel-artikel hasil sekopan tadi, dalam situs RM, juga tidak membuka peluang interaktivitas itu. Karena pembaca tidak difasilitasi untuk memberikan komentar terhadapnya. Kalau menurut Tom Mandel dan Gerard Van der Leun dalam bukunya Rules of The Net (1996), situs semacam itu harus dan wajib dicuekkan saja. If a web site has no feedback mechanism, forget it.
Eksekusi situs yang tidak membuka dialog itu jelas sangat jauh dari pengejawantahan mashab user generated content yang menjadi tulang punggung sukses model bisnisnya Amazon.com sampai Wikipedia. Richard Jalichandra, CEO Technorati, bilang, “media-media arus utama baru sadar sekarang bahwa mereka dapat menciptakan isi lebih banyak bila mereka melibatkan peran serta komunitas. Dewasa ini banyak sekali artikel-artikel media itu tersaji dengan platform blog yang berseberangan dengan sistem manajemen isi (CMS) secara tradisional, dan itulah tantangan menarik bagi media-media bersangkutan kini !”
Sebagai seorang epistoholik saya mencoba memberi usul, dengan mengirimkan email (9/8/2008) sebagai berikut : “Saya suka Internet Anda gunakan sebagai salah satu senjata kampanye Anda. Saya pernah menulis hal ini di Kompas, 8 Maret 2004. Menurut saya, eksekusi media Internet Anda ini sudah ‘kedaluwarsa.’
Platformnya sudah ketinggalan jaman, karena Anda masih menganggap para peselancar sudah cukup dipuasi dengan membaca-baca isi situs Anda. Padahal kami juga ingin berkomentar dan bersuara di situs ini, tetapi Anda menutup pintu untuk itu. Bangun, bung !” Surat saya ini tidak tampil di situs bersangkutan. Juga sama sekali tidak memperoleh jawaban.
Sebagai penutup, silakan membuka-buka halaman “Artikel” dari situs RM tersebut. Anda akan menemukan sebagian besar tulisannya terpajang secara rata kanan dan kiri (justified. Dari seorang Robin Good, seorang pakar dalam penguasaan cara –cara berkomunikasi dengan media baru, ditegaskan bahwa penyajian isi dalam situs web atau pun blog haruslah SELALU rata kiri (left aligned).
Bagaimana kalau teks itu tersaji secara rata kanan-kiri (justified) seperti halnya dalam situsnya Rizal Mallarangeng, sang calon Presiden Republik Indonesia yang berniat maju dalam Pilpres 2009 ? Robin Good menjawab :
“Justified text on a web page is like having a label next to it saying in bold capital letters: ‘The people behind this web site KNOW NOTHING about communication on the web’”.
Wonogiri, 23/8-7/9-2008
ee
Saya tidak bisa melihat calon-calon kepresidenan Indonesia seperti Soetrisno Bachir dapat disamaratakan dengan Barrack Obama. Mungkin benar Demokrasi itu mahal, seperti yang anda tulisa bahwa Obama sudah mengeluarkan dana kampanye lebih dr Rp 2 Triliun. Tetapi ada 1 hal yang menurut saya klaim bahwa politikus muda Indonesia dapat disejajarkan dengan Obama, yaitu passion itu sendiri untuk berubah. Iklan-iklan Obama bukanlah semata-mata untuk mengenalkan siapa Barrack Obama itu, melainkan lebih pada apa yang akan Obama lakukan untuk "perubahan" itu sendiri. Sedangkan di Indonesia, iklan-iklan politik lebih di tekankan ke siapakah politikus itu sendiri, dan diembeli dengan janji-janji palsu. Ini terjadi mungkin dikarenakan politikus Indonesia, yang notabene lulusan Universitas baik, sadar bahwa sistem pendidikan di Indonesia masi sangat rendah. Dan dengan iklan-iklan seperti itu dapat menarik pendukung baru.
ReplyDeleteSaya sendiri juga tidak mengikuti kampanye RI-09 dengan sangat intens berhubung saya tidak berada di Indonesia, tetapi saya rasa Indonesia belum memiliki sosok yang pantas disamaratakan dengan Obama.
Dan saya ingin tahu siapakah Fox ini, dari tulisan diatas terdengar sangat ambisius. Salah satu sukses Obama adalah kampanye penggunaan medium Internet. "Obama is everywhere", termasuk YouTube, Facebook, dll. Website BarrackObama.com juga menunjukan mengapa Obama bisa dikatakan calon Demokrat paling hebat.
Yang menjadi pertanyaan saya, apakah politikus-politikus muda Indonesia sudah memiliki "jiwa" perubahan seperti yang di janjikan, atau hanya "nebeng" dengan membawa nama Obama? Yang menjadi concern saya dengan perkembangan politik di Indonesia adalah budaya egosentris politikus Indonesia, dimana semuanya harus tentang mereka dan bukan tentang rakyat.
Dear “Kuli Tinta,” terima kasih sekali untuk kebaikan hati Anda, karena telah sudi memberikan komentar yang bernas dan mencerahkan untuk tulisan saya ini. Walau tulisan saya ini belum rampung, Anda telah berbaik hati untuk memperkaya dengan opini Anda yang menarik.
ReplyDeleteSaya banyak setuju dengan pemikiran Anda. Bagi saya, demam Obama di Indonesia, sepanjang yang bisa saya tangkap, adalah memberi ilham untuk tampilnya tokoh-tokoh muda untuk Pilpres 2009 mendatang. Apakah yang disebut muda-muda itu yang sudah muncul sekarang ini “sekualitas” Obama ? Silakan Anda berpendapat.
Yang kedua, demam Obama di Indonesia adalah juga berupa keinginan seperti yang Anda bilang "Obama is everywhere" itu. Yaitu pemanfaatan beragam media Internet sebagai senjata kampanye. Bagi saya, yang mengamati fenomena yang sama sejak Pilpres 2004, tentu saja ini sebuah lagi kemajuan. Tetapi apa pemahaman Internet mereka-mereka itu juga sudah secanggih tim sukses Obama ?
Bagi saya, di Indonesia belum ada pemikir Internet sebagai senjata kampanye sejenius Joe Trippi, manajer kampanyenya Howard Dean, yang rintisannya sejak 2004 telah memberi ilham bagi tim sukses Obama saat ini. Topik inilah yang menjadi fokus tulisan saya ini. Sekarang sudah komplit saya tayangkan. Kalau “Kuli Tinta” bersedia menulis komentar lanjutan, saya tunggu dan saya ucapkan banyak terima kasih.
Sedang terkait pendapat Anda bahwa “budaya egosentris politikus Indonesia, dimana semuanya harus tentang mereka dan bukan tentang rakyat,” maka menurut saya kehadiran media-media baru berbasis Internet yang egaliter itu harus dapat kita gunakan untuk berteriak, sangat keras, sekarang juga. Kalau perlu. Sebab berbisik-bisik di Internet pun kadang juga lebih efektif.
Tujuannya : agar gendang telinga dan hati para calon presiden kita itu, baik muda atau pun tua, mampu mendengar suara nurani rakyat.
Ada 1 hal mengapa Barrack Obama sangat gencar menggunakan Internet sebagai senjata utama kampanyenya, yaitu Target Market. Barrack Obama merupakan calon dari parta Demokrat US, yang lebih mengedepankan kepentingan rakyat, dan ide-ide ini sangatlah dominan di kalangan anak muda, dan itu juga terjadi di Australia (dimana saya sekarang belajar jurusan jurnalistik, dan semua orang di kampus membela Kevin Rudd). Anak muda merupakan pengguna Internet terbesar, dan inilah salah satu alasan mengapa Obama sangat mengedepankan agenda Internetnya.
ReplyDeleteKita kembali ke Indonesia, dan apa yang terjadi di Indonesia? Internet dapat dikatakan media yang hanya dimiliki oleh masyarakat menengah keatas, sedangkan kalangan menengah ke bawah yang menggunakan jasa warnet, belum memiliki mental menggunakan Internet sebagai media "baru". Rakyat Indonesia belum memiliki mental media Internet sebagai media 2 arah, dimana media "lama" seperti koran dan TV lebih merupakan media 1 arah. Saya mengira hal ini lah yang membawa anda ke pendapat bahwa taktik kampanye Internet politikus Indonesia "kadaluwarsa".
Saya berpendapat bahwa komunikasi arus 2 arah inilah yang harusnya di jalin dengan politikus muda kita, memberikan medium untuk rakyat berkomunikasi dengan calon pemimpinnya di masa depan. Tapi ini juga menimbulkan pertanyaan baru, sudah beranikah politikus muda kita untuk maju "face-to-face" dengan rakyatnya? Mungkin kalau belum berani, maka ia belumlah pantas membawa Indonesia masuk ke tahap demokrasi yang lebih modern.
Saya sedikit optimis dengan adanya kampanye Internet, mudah-mudah Internet bukanlah dijadikan baliho dalam layar komputer, melainkan menjadi medium komunikasi yang membangun, karena saya yakin, di dunia maya ini banyak rakyat-rakyat seperti kita yang tidak segan-segannya bertanya "Pak Capres, mau dibawa kemana Negara Indonesia kita ini?"
Kalau saya boleh tau, apakah background anda? apakah anda jurnalis?
Sebaiknya kita ubah dulu paradigma kita dalam hal mengantisipasi pertanda zaman.Sehub dg itu,saya ajak anda "copy-paste-click" ke http://mobeeknowledge.ning.com/forum/topic/show?id=2090583%3ATopic%3A1502 menuju topik "CARA PANDANG BARU YANG KITA BUTUHKAN (THE NEW PARADIGM WE NEEDED)".
ReplyDeleteKemudian setelah itu, anda saya ajak orientasi ke SNS (Social Networking Site) tsb untuk mempelajari Emerging Technologies kami yg misinya "putting content media digital into the mobile phone" secara extreme murah,praktis & cepat via our own (anak bangsa) non WAP & highly compressed content digital technology.
Semoga teknologi tsb bermanfaat mengilhami antisipasi menghadapi 2009. Trims