Oleh : Bambang Haryanto
Esai Epistoholica No. 74/Juni 2009
Email : humorliner (at) yahoo.com
Home : Epistoholik Indonesia
Surat blogger. Thanks, nDoro Kakung untuk reportasenya. Apakah Anda juga sempat “melihat-lihat” pengacara>a Omni Hospital, Risma Situmorang, di sidang Prita Mulyasari itu ?
Melalui BBC Siaran Indonesia (29/4/2009), saya mendengar Risma Situmorang berkata bahwa kebebasan berekspresi dibolehkan asal tidak mengganggu kebebasan subjektif orang/fihak lain.
Déjà vu !
Sebagai pengamat komedi (plus : komedian masih gagal : http://komedian.blogspot.com), saya suka mengingat atau mengumpulkan soundbite tokoh-tokoh kita. Omongan Risma itu, kayaknya pernah saya dengar sebelumnya. Ternyata varian omongan tersebut pernah muncul dari Muhammad Nuh, Menkominfo kita.
Di BBC Siaran Indonesia (25/3/2008), ketika menteri kita itu memutuskan untuk memblokir situs-situs porno di Internet, ia berkata : “Kebebasan mencari informasi (di Internet) itu dibatasi oleh kebebasan yang lain, yaitu kebebasan untuk melindungi bangsa ini,” tegasnya.
Ketika heboh film Fitna buatan Geerts Wilders mencuat, Mei 2008, Menkominfo memutuskan Indonesia untuk memblok situs berbagi video, YouTube. Soundbite dia, intinya, bahwa adanya kebebasan berekspresi juga membuka kebebasan orang lain untuk menutup (memblok) produk kebebasan berekspresi itu.
Hukum pasal karet. Benang merah dari pernyataan Menkominfo kita tahun lalu itu sampai kasus Prita Mulyasari sekarang ini, masalah ini akan TETAP menjadi masalah besar kita di masa yang akan datang.
Terutama terkait dengan aspirasi kita sebagai pendukung kebebasan sipil (civil liberties) versus undang-undang yang draconian, yaitu UU ITE 2008 yang oleh “gagahput3ra” (komentar #26 di artikel Omni Pecas Ndahe) dikomentari dengan pernyataan : “Capek ngebahasnya, dari awal UU ITE penuh pasal karet….:( “
Terkait dengan gerakan kebebasan sipil, menarik juga ide dari “hendry” (komentar #50) yang menanyakan ada tidaknya organisasi semacam EFF, kalau tak salah kepanjangannya Electronics Frontier Foundation di AS, untuk “bantu penduduk yang berdomisili di Indonesia.”
Kembali lagi, seperti diungkap “Pangeran Ahmad Nurdin” (komentar di artikel Demo Pecas nDahe), asal-muasal semua bencana itu adalah : “UU ITE-nya itu. Mbak Prita ini adalah salah satu korban yang terekpos dan mendapat sorotan simpati publik. UU ITE ini kan sudah lewat mekanisme perundang-undangan DPR, nah berarti semuanya dodol dan kita harus mengingatkan.”
Akhirnya, jangan lupa selalu akan sabda nDoro Kakung yang satu ini : “Kita harus bersatu melawan kesewenang-wenangan dan ketidakadilan semacam ini. Kita juga mesti semakin hati-hati. Musuh di luar sana semakin pintar. Kita juga harus semakin cerdik.”
Perjuangan Sarah. Himbauan agar kita untuk menjadi cerdik ini telah dinasehatkan pula oleh organisasi Wartawan Tanpa Tapal Batas. Ketika muncul blog di Wordpress, November 2008, yang berisi komik menghina Nabi Muhammad SAW, dan lagi-lagi Menkominfo kita sempat bicara “keras” untuk para blogger, nasehat dari Wartawan Tanpa Tapal Batas itu sempat muncul di kepala saya. Sekarang muncul lagi.
Apakah kita para blogger suatu saat, untuk menghindari bencana seperti yang dialami oleh Prita sekarang ini, harus berlaku seperti tokoh “Sarah” yang harus tampil di dunia maya secara anonim ? Kalau Anda ada waktu silakan klik : [ http://esaiei.blogspot.com/2008/11/bila-indonesia-tergigit-blogger-berbisa.html] untuk mengikuti kiprah “Sarah” dan membaca tip dan kiat-kiat berharga dari organisasi Wartawan Tanpa Tapal Batas itu.
Terakhir, terima kasih, Ibu Prita. Semangat dan gut Anda untuk mengeluarkan isi hati terkait ketidakadilan yang Anda rasakan, kini mampu menjadi inspirasi kita semua. Dahsyat. Dahsyat sekali. Benarlah kata begawan Internet dari majalah Wired, Kevin Kelly, bahwa “succes is nonlinear !”
Seperti pula di bagian halaman cause facebook di http://apps.facebook.com/causes/290597 yang digawangi oleh Ika (creator), Enda Nasution, Wenny Trisvianne, Agus Hamonangan, Mariana Amiruddin, bukankah di situ tertulis slogan inspiratif : Anyone can change the world ? Keberanian Ibu Prita ini mampu mengubah dunia kita, semoga, akan menjadi lebih baik nantinya.
Terima kasih untuk Lasma Siregar (Melbourne) yang pertama kali menularkan info kasus Ibu Prita kepada saya. Juga untuk Arista Budyono dari www.wonogiriku.wordpress.com di Jakarta yang terus membocori saya tentang info-info perjuangan dari blognya nDoro Kakung ini.
Terima kasih untuk Antyo Rentjoko, yang mungkin rada jengkel pada tanggal 4/6/2009 saya bombardir ide agar peristiwa besar ini bisa diabadikan dalam kaos sebagai memorabilia. Sampai ide ramai-ramai menghitamkan, black out, blog-blog kita di postingan tanggal saat Ibu Prita disidang, sebagai bentuk demo maya kita.
Warga bangsa penerbit. Tentu saja, terima kasih banyak untuk nDoro Kakung himself. Asupan info Anda yang membuat hari-hari terasa menggairahkan. Saya di kota kecil Wonogiri merasa berbahagia di tengah gelombang aksi demo maya yang menggairahkan ini, inspiratif ini, di antara Anda, baik pembaca dan penulis komentar di blog ini. Juga di media sosial lainnya yang diikat oleh satu inspirasi mulia yang sama.
Keikutsertaan secara sukarela yang dipandu oleh hati nurani itu benar-benar melambungkan saya ikut merasa menjadi warga yang disebut oleh John Blossom sebagai content nation, bangsa penerbit.
Topik aktual ini pernah saya tulis di Tabloid BOLA (13 Maret 2009) saat ulang tahun ke 25 tahun dan di blog suporter sepakbola http://suporter.blogspot.com, dengan judul : Media Sosial dan Masa Depan BOLA.
Content Nation itu punya slogan : the world is a nation of publishers. be a citizen.
Ibu Prita adalah salah satu warga terhormatnya.
Juga kita-kita semua !
[PS : (1) Para calon presiden kita kini juga menaruh perhatian pada kasus Ibu Prita. Tetapi mereka nampaknya super-gaptek semua. Belum lagi ada kubu yang menamai tim-tim pendukungnya dengan istilah-istilah atau kode era radio CB, beriklan tak mencantumkan URL situsnya (kali tak punya), dan mungkin tidak tergerak untuk mempelajari bagaimana kedahsyatan media sosial, termasuk blognya nDoro Kakung ini, beraksi.
Fakta menunjukkan, media sosial telah membuat kasus Ibu Prita menjadi a gigantic roar (istilah dari Luis Marinho Falcão) sehingga mereka ikut-ikutan bicara. Kenapa fenomena dahsyat ini tidak menjadi modus kampanye mereka ? Mungkin mereka justru ketakutan bahwa kita sebagai “content nation” akan menyalak balik terhadap mereka bila ada hal-hal yang tidak sesuai isi hati nurani. Begitukah ?
(2) Rerasan usil : jangan-jangan di luar sana, entah seseorang yang di tipi suka disebut sebagai pakar multimedia atau caleg dpr yang gagal, justru bercita-cita agar semakin banyak penulis keluhan di internet atau para blogger, yang bisa masuk penjara ? :-( ]
Salam saya dari Wonogiri !
Wonogiri, 5/6/2009
No comments:
Post a Comment