Oleh : Bambang Haryanto
Esai Epistoholica No. 82/September 2009
Email : humorliner (at) yahoo.com
Home : Epistoholik Indonesia
Kehilangan besar. “Human Rights Watch hari ini berduka atas meninggalnya Munir, salah satu tokoh penegakan hak-hak asasi manusia Indonesia. Pengacara berusia 38 tahun itu meninggal secara tak terduga ketika dalam perjalanan dari Indonesia menuju Belanda untuk melanjutkan kuliah pasca sarjananya.”
Itulah awal berita yang dilansir oleh organisasi Human Right Watch (HRC) yang berpusat di New York, 8 September 2004. “Ini merupakan kehilangan besar bagi saya pribadi, karena Munir adalah sahabat dan rekan seperjuangan,” kata Joe Saunders, wakil direktur program HRC.
“Juga kehilangan besar bagi gerakan penegakan hak-hak asasi manusia sebab Munir tak pernah lelah berjuang dan merupakan sosok yang unik sebagai periset, ahli strategi dan juru bicara yang efektif. Rasa duka cita saya teruntuk keluarga dan kawan-kawannya.”
“Munir memiliki klas tersendiri. Ia memiliki kecerdasan listrik dan ingatan ensiklopedis. Dalam rapat ia mampu menggelar data yang mendetil secara kaleidoskop, wawasan serta analisis tajam untuk menjelaskan gambaran aktual guna menentukan tindak lanjut kemudian,” papar lanjut Joe Saunders.
Menagih janji SBY. Lima tahun kemudian, ingatan ensiklopedis tentang kasus terbunuhnya Munir rupanya tidak dimiliki oleh petinggi negeri ini. Kasus hitam ini cenderung menjadi terkatung-katung. Setelah SBY terpilih untuk kedua kalinya, kalangan aktivis penegakan HAM kini menunggu aksi SBY untuk menuntaskan kasus besar yang mencoreng nama Indonesia di mata dunia ini.
Lima tahun lalu, kepergian mendadak Munir itu memantik saya sebagai seorang epistoholik untuk menulis surat pembaca. Pada tanggal 8 September 2004, sehari setelah meninggalnya Munir, saya menulis surat pembaca dengan judul “Selamat Jalan Pejuang HAM Sejati” ke harian Bali Pos, Pikiran Rakyat, Republika, Solopos, Suara Merdeka, dan Wawasan. Saya tidak tahu apakah surat pembaca saya itu dimuat atau tidak.
Dengan judul “Perginya Layang-Layang,” surat pembaca dengan isi serupa juga saya kirimkan ke harian Kompas Jawa Tengah. Surat yang saya emailkan 8 September 2004 itu baru muncul, dengan penyuntingan, tanggal 30 September 2004. Saya tidak tahu mengapa harus begitu lama menunggu untuk pemuatannya.
Surat pembaca saya yang asli berikut di bawah ini. Juga terdapat dua surat pembaca lainnya, menyangkut sosok Munir sebagai sumber inspirasi.
Perginya Layang-Layang
Dimuat di kolom Surat Pembaca
Harian Kompas Jawa Tengah, 30 September 2004
Tanggal 8 September 2004 di warung soto Terminal Angkuta Wonogiri, kau menjadi bahan pembicaraan. Seorang berkata, Munir telah meninggal. Lainnya menyahut, ya, Munir yang banyak omong itu telah meninggal. Saya mencatat dialog jujur rakyat itu.
Bagi awam, omongan atau isu tentang orang hilang, hak-hak asasi manusia (HAM), kebebasan pers, penegakan hukum, sampai superioritas sipil atas militer dan sejenisnya yang kau ungkapkan bertahun-tahun terakhir, memang mengesankan dirimu sebagai sosok yang banyak bicara.
Tetapi banyak omong senyatanya adalah kelebihanmu, senjata utamamu. Terutama di saat terlalu banyak orang bungkam, takut bicara hal-hal yang benar. Menurutku, semua omonganmu itu tidaklah sia-sia. Sebab selain omongan, di tengah angin perubahan dan banyak orang suka tiarap, kau juga menjadi teladan banyak anak muda.
Seperti kata Hamilton Mabie, jangan takut terhadap deraan angin hambatan dan kesengsaraaan. Ingatlah layang-layang, yang membubung naik bila diterpa angin daripada bila terbang bersama angin. Itulah sosokmu. Selama ini, semakin angin keras menerpamu, terbang mu pun semakin meninggi.
Saya dan kita semua, sungguh tidak tahu rencana Tuhan. Tetapi kau telah dijemput kembali ke haribaan-Nya saat kau mengapung di atas mega-mega dalam penerbangan dari Jakarta menuju Belanda, mudah-mudahan itu pertanda baik.
Bahwa Tuhan menyayangimu. Seperti halnya mereka-mereka yang selama ini telah tersentuh oleh mulianya niatmu, omonganmu, juga tindakanmu.
Saya secara pribadi tidak mengenalmu, tetapi ijinkan saya ikut berdoa semoga Tuhan memberimu tempat yang layak di sisiNya. Selamat jalan, Munir. Terbanglah sang layang-layang, dalam damai, menuju keabadian.
Bambang Haryanto
Epistoholik Indonesia
Wonogiri
Bangsa Yang Dihukum
Dimuat di kolom Surat Pembaca
Harian Kompas Jawa Tengah, 28 September 2007
Penegakan hukum di Indonesia ibarat gerakan tari poco-poco. Kita senang melihat adanya kemajuan, tapi ternyata disusul gerakan memutar dan bahkan mundur sama sekali. Sepertinya bergerak tetapi nyatanya hanya berjalan di tempat.
Contoh yang mencolok adalah kasus terbunuhnya aktivis HAM, Munir, yang tetap misterius sejak kejadian tiga tahun lalu. Demikian pula kasus korupsi mantan Presiden Soeharto.
Mungkin bangsa lain di dunia saat ini merasa gemas melihat ulah kita. Entah kebetulan atau tidak, tapi dengan memakai ilmu otak-atik gathuk, mencocok-cocokkan fakta yang terjadi, kita boleh merasa bahwa dunia sedang menghukum kita. Misalnya, gara-gara kasus Munir dan bertepatan dengan rentetan kecelakaan yang terjadi, membuat maskapai penerbangan kita dilarang terbang ke Eropa.
Demikian pula ketika MA justru menghukum majalah TIME untuk membayar uang trilyunan karena membeberkan data korupsi Soeharto, kita pun segera dapat “balasan” yang setimpal. Yaitu ketika PBB dan Bank Dunia meluncurkan program global untuk mengembalikan aset rakyat yang dicuri mantan penguasanya. Bahkan secara tegas dinyatakan bahwa mantan presiden Soeharto merupakan penguasa nomor wahid sejagat dalam melakukan korupsi besar-besaran ketika memerintah.
Terakhir : siapa tahu, bencana alam yang beruntun menimpa kita akhir-akhir juga merupakan isyarat, sebagaimana ditamsilkan oleh Ebiet G. Ade, “mungkinkah Tuhan sudah bosan melihat tingkah kita, yang banyak salah dan dosa-dosa ?”
Bambang Haryanto
Warga Epistoholik Indonesia
Gelar Tong Kosong
Dikirimkan ke kolom Surat Pembaca
Harian Kompas Yogyakarta, 22 Oktober 2004
Di tengah hiruk-pikuk Pilpres Putaran Kedua, capres Susilo Bambang Yudhoyono menempuh ujian doktornya di Institut Pertanian Bogor. Sementara itu Munir, tokoh pembela hak asasi manusia dipanggil kembali oleh Sang Chalik ketika sedang dalam penerbangan dengan Garuda dari Jakarta menuju Belanda. Munir menuju Belanda guna meneruskan studinya. Kabar terakhir mengenai Amien Rais, mantan ketua MPR, adalah pulang kandang ke Universitas Gajah Mada untuk menjadi dosen kembali.
Kisah ketiga tokoh tadi pantas menjadi tauladan. Mereka tidak berhenti belajar. Kembali menjadi dosen, seperti yang dipilih Amien Rais, juga merupakan pilihan untuk kembali belajar. Di sekitar kita tidak sedikit birokrat sampai guru yang kembali ke kampus untuk menempuh program lanjutan S2 dan S3.
Lalu bagaimana dengan mereka yang tak punya biaya atau waktu untuk menempuh program lanjutan ? Belajar untuk meningkatkan diri yang tidak berpamrih disemati gelar akademis ketika usai, masih banyak jalan yang dapat ditempuh.
Cara terbaik adalah dengan membaca. dan menulis. Membaca dapat mengandalkan sumber-sumber ilmu yang terhimpun di perpustakaan, toko buku atau Internet. Berorganisasi, menjadi relawan atau aktivis, adalah juga wahana untuk belajar. Sedang menulis itu penting, karena mempribadikan segala asupan informasi untuk menjadi milik kita sendiri.
Dengan menulis, baik di media massa cetak atau pun Internet, dirinya berbagi ilmu dengan orang lain sekaligus mampu memperkaya khasanah ilmu dirinya pribadi. Tanpa menulis, gelar-gelar akademis itu ibarat tong kosong karena ilmu yang ia peroleh segera terlupakan dan khasanah ilmu pengetahuan tidak mendapatkan tambahan dari pemilik gelar-gelar akademis bersangkutan.
Di sini kita dapat meneladani perjuangan seorang yang pernah bekerja di perusahaan sound system sebagai juru servis, lalu jualan antene TV kelilingan, jualan sepatu dan antena parabola, tetapi semangatnya untuk belajar tanpa henti sampai terpilih menjadi satu di antara 20 Pemimpin Politik Asia Pada Millenium Baru oleh majalah AsiaWeek 1999. Orang tersebut adalah : Munir.
Bambang Haryanto
Warga Epistoholik Indonesia
Wonogiri, 13/9/2009
ee
No comments:
Post a Comment