Oleh : Bambang Haryanto
Esai Epistoholica No. 116/Agustus 2011
Email : epistopress (at) gmail.com
Home : Epistoholik Indonesia
Tanggal 14 Agustus 1998, Sri Mulyani Indrawati hadir di Solo sebagai pembicara utama dalam seminar ekonomi. Solo saat itu mencoba bangkit setelah huru-hara Mei 1998.
Seminar ekonomi yang diadakan oleh Forum Bisnis Surakarta (Forbis) itu juga didukung oleh PPK Bimo International, perusahaan mebel kayu milik pengusaha Jokowi, kini walikota Surakarta.
Ada momen yang menarik saat Jaya Suprana, sebagai moderator, memberikan pengantar diskusi yang berbau “nujum.” Ia katakan saat itu bahwa sosok Sri Mulyani Indrawati merupakan kandidat presiden Republik Indonesia masa depan.
Tiga belas tahun kemudian, rupanya “nujum” Mas Jaya itu terbukti. Minimal lanskap dunia politik Indonesia kini diramaikan dengan hadirnya partai baru, Partai SRI (Serikat Rakyat Independen) yang berproklamasi mengusung mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (SMI) terjun dalam kontes perebutan kursi RI-1 dalam Pilpres 2014 mendatang.
Elitis. Kehadiran Partai SRI dan misinya itu yang oleh koran Solopos ini diangkat sebagai “isu yang seksi,” jelas kemudian tidak sepi dari komentar. Yang menonjol adalah pendapat mengenai betapa beratnya perjuangan SMI untuk memenangi Pemilu 2014. Pendapat itu untuk menggarisbawahi realitas bahwa sosok SMI sulit dijual di kalangan bawah yang mayoritas pemilih.
Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta, Gun Gun Heryanto, seperti dikutip Kompas (8/8/2011) menegaskan figur SMI sebagai basis kekuatan utama SMI bersifat elitis, hanya dikenal di kalangan kelas menengah ke atas. Terutama kalangan terdidik seperti kaum intelektual, akademisi, mahasiswa dan aktivis LSM.
Merujuk analogi dari tesis konsultan pemasaran teknologi dari Lembah Silikon, Geoffrey A. Moore, kita dapat memperoleh gambaran yang menarik. Dalam buku terkenalnya, Crossing The Chasm : Marketing and Selling Technology Products to Mainstream Customers (1999), ia menggambarkan perilaku publik dalam mengonsumsi teknologi dalam bentuk kurva bel atau genta.
Pada sisi ekstrim kiri kurva, dikenal sedikit golongan yang ia sebut sebagai kelompok orang-orang yang memicu sebuah tren. Dalam kelompok ini tergabung para inovator dan pemakai awal (I-PA, innovators dan early adopters). Mereka adalah orang yang memiliki visi, mau membeli teknologi terbaru sebelum teknologi itu cukup sempurna, atau ketika harganya masih mahal.
Kelompok elit ini bersedia menanggung resiko. Orang-orang jenis ini memang kecanduan teknologi baru dan mau beresiko mengeluarkan uang untuk memiliki gadget teknologi informasi garda depan.
Pada sisi kurva ekstrim kanan, adalah kelompok terbelakang laggards) sebagai konsumen teknologi yang juga sedikit jumlahnya. Sementara itu kue paling besar adalah konsumen yang berada di tengah kurva genta, yang disebut sebagai mayoritas awal (MA, early majority) dan mayoritas terlambat (MT, late majority). Kelompok ini dia gambarkan sebagai mereka yang kuatir terhadap sesuatu perubahan yang mereka nilai akan merusak keseimbangan dalam tatanan kompleks yang sudah mapan dalam hidup mereka.
Moore menjelaskan bahwa perilaku kelompok inovator dan pemakai awal (I-PA) pada satu sisi dan kelompok mayoritas awal (MA) di sisi sebelah kanannya, walau berdekatan, tetapi sebenarnya saling tidak bersesesuaian. Akibatnya inovasi tidak berpindah begitu saja dari kelompok I-PA ke kelompok MA, karena di antara kedua kubu itu terdapat jurang (chasm) yang cukup lebar antara keduanya.
Apabila ada sebuah produk teknologi tinggi tidak berhasil menyebar keluar dari kelompok I-PA, hal itu terjadi karena perusahaan pembuatnya tidak menemukan cara untuk mengubah gagasan yang mudah diterima oleh I-PA untuk menjadi gagasan lain yang mudah diterima oleh anggota MA.
Media sosial. Sri Mulyani Indrawati yang kiranya dapat kita ibaratkan sebagai produk yang diterima oleh kelompok I-PA, tetapi seperti dikatakan oleh banyak pengamat diri dan partainya akan sulit diterima oleh kelompok mayoritas awal (MA) yang kuantitasnya jauh lebih besar. Apa solusinya ?
Kunci SRI dan SMI untuk menembus kelompok mayoritas awal (MA) itu kini sebenarnya telah tersedia. Yaitu media-media sosial, yang dapat hadir dalam beragam bentuk, misalnya milis, forum, blog, wiki, podcast, album foto dan video di Internet. Primadonanya saat ini adalah Facebook dan Twitter di mana profil Radio BBC tentang Indonesia terbaru memuat angka menarik. Penduduk Indonesia 232 juta. Pemakai Internet 30 juta. Pemakai Facebook : 37 juta. Pengguna Twitter : 5 juta. Pengguna Blackberry : 3 juta.
Lihatlah, partai-partai politik lalu tidak melewatkan untuk berusaha menubruknya. Misalnya strategi yang ditempuh Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Sebagaimana dikutip situs Politikana.com (1/3/2011), dalam meraih ambisinya menjadi partai terbesar ke-3 dalam Pemilu 2014, PKS mewajibkan 500 ribu kadernya untuk memiliki akun Twitter, blog, Facebook, dan situs pribadi.
Tidak ketinggalan Partai Golkar. Masa depan sukses memenangkan pemilu kuncinya berada di Facebook dan Twitter. Demikian kata Sharif Cicip Sutarjo, Wakil Ketua Partai Golkar, sebagaimana dikutip situs The Jakarta Globe (25/7/2011). Ia tandaskan, Partai Golkar menargetkan minimal 60 juta suara dalam Pemilu 2014. Dengan memanfaatkan meda-media sosial, ia bahkan yakin akan mampu menarik lebih dari 100 juta pemilih.
Partai Golkar tidak main-main. Kini mereka sedang gencar menggembleng kadernya untuk terampil memanfaatkan Facebook dan Twitter, di mana ambisi ini kemudian menjadi bahan satir buku Komedikus Erektus 2 : Dagelan Republik Semangkin Kacau Balau (2011).
Diungkap bahwa ketika Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie membuka akun Twitter ia langsung memperoleh pengikut sebanyak 300 juta. Jumlahnya bahkan melebihi jumlah penduduk Indonesia. Tetapi jangan bangga dulu. Angka ini terdiri para korban, keluarga dan mereka yang menaruh simpati terhadap rakyat yang menderita akibat luapan lumpur panas Lapindo. Dari seluruh dunia !
Profil mayoritas pengguna media-media sosial itu adalah anak-anak muda. Dibanding para calon presiden lainnya seperti misalnya Aburizal Bakrie, Ani Yudhoyono, Jusuf Kalla, Wiranto, Prabowo Subianto, sosok Sri Mulyani Indrawati jelas tampil lebih fresh di antara yang lainnya dan lebih dekat kohornya dengan para pengguna media sosial di Indonesia tersebut.
Kini tinggal terpulang kepada para pendukungnya bagaimana agar keuntungan digital ini menjadi modal SMI dan SRI agar mampu bersama-sama meloncati jurang untuk meraih kemenangan fenomenal dalam Pilpres 2014 mendatang. Sekaligus membuktikan apakah ramalan seorang Jaya Suprana di Solo 13 tahun lalu itu akan menjadi kenyataan.
*Artikel ini dengan penyuntingan telah dimuat di harian Solopos, Sabtu, 13 Agustus 2011, Halaman 6.
Wonogiri, 14/8/2011
Esai Epistoholica No. 116/Agustus 2011
Email : epistopress (at) gmail.com
Home : Epistoholik Indonesia
Tanggal 14 Agustus 1998, Sri Mulyani Indrawati hadir di Solo sebagai pembicara utama dalam seminar ekonomi. Solo saat itu mencoba bangkit setelah huru-hara Mei 1998.
Seminar ekonomi yang diadakan oleh Forum Bisnis Surakarta (Forbis) itu juga didukung oleh PPK Bimo International, perusahaan mebel kayu milik pengusaha Jokowi, kini walikota Surakarta.
Ada momen yang menarik saat Jaya Suprana, sebagai moderator, memberikan pengantar diskusi yang berbau “nujum.” Ia katakan saat itu bahwa sosok Sri Mulyani Indrawati merupakan kandidat presiden Republik Indonesia masa depan.
Tiga belas tahun kemudian, rupanya “nujum” Mas Jaya itu terbukti. Minimal lanskap dunia politik Indonesia kini diramaikan dengan hadirnya partai baru, Partai SRI (Serikat Rakyat Independen) yang berproklamasi mengusung mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (SMI) terjun dalam kontes perebutan kursi RI-1 dalam Pilpres 2014 mendatang.
Elitis. Kehadiran Partai SRI dan misinya itu yang oleh koran Solopos ini diangkat sebagai “isu yang seksi,” jelas kemudian tidak sepi dari komentar. Yang menonjol adalah pendapat mengenai betapa beratnya perjuangan SMI untuk memenangi Pemilu 2014. Pendapat itu untuk menggarisbawahi realitas bahwa sosok SMI sulit dijual di kalangan bawah yang mayoritas pemilih.
Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta, Gun Gun Heryanto, seperti dikutip Kompas (8/8/2011) menegaskan figur SMI sebagai basis kekuatan utama SMI bersifat elitis, hanya dikenal di kalangan kelas menengah ke atas. Terutama kalangan terdidik seperti kaum intelektual, akademisi, mahasiswa dan aktivis LSM.
Merujuk analogi dari tesis konsultan pemasaran teknologi dari Lembah Silikon, Geoffrey A. Moore, kita dapat memperoleh gambaran yang menarik. Dalam buku terkenalnya, Crossing The Chasm : Marketing and Selling Technology Products to Mainstream Customers (1999), ia menggambarkan perilaku publik dalam mengonsumsi teknologi dalam bentuk kurva bel atau genta.
Pada sisi ekstrim kiri kurva, dikenal sedikit golongan yang ia sebut sebagai kelompok orang-orang yang memicu sebuah tren. Dalam kelompok ini tergabung para inovator dan pemakai awal (I-PA, innovators dan early adopters). Mereka adalah orang yang memiliki visi, mau membeli teknologi terbaru sebelum teknologi itu cukup sempurna, atau ketika harganya masih mahal.
Kelompok elit ini bersedia menanggung resiko. Orang-orang jenis ini memang kecanduan teknologi baru dan mau beresiko mengeluarkan uang untuk memiliki gadget teknologi informasi garda depan.
Pada sisi kurva ekstrim kanan, adalah kelompok terbelakang laggards) sebagai konsumen teknologi yang juga sedikit jumlahnya. Sementara itu kue paling besar adalah konsumen yang berada di tengah kurva genta, yang disebut sebagai mayoritas awal (MA, early majority) dan mayoritas terlambat (MT, late majority). Kelompok ini dia gambarkan sebagai mereka yang kuatir terhadap sesuatu perubahan yang mereka nilai akan merusak keseimbangan dalam tatanan kompleks yang sudah mapan dalam hidup mereka.
Moore menjelaskan bahwa perilaku kelompok inovator dan pemakai awal (I-PA) pada satu sisi dan kelompok mayoritas awal (MA) di sisi sebelah kanannya, walau berdekatan, tetapi sebenarnya saling tidak bersesesuaian. Akibatnya inovasi tidak berpindah begitu saja dari kelompok I-PA ke kelompok MA, karena di antara kedua kubu itu terdapat jurang (chasm) yang cukup lebar antara keduanya.
Apabila ada sebuah produk teknologi tinggi tidak berhasil menyebar keluar dari kelompok I-PA, hal itu terjadi karena perusahaan pembuatnya tidak menemukan cara untuk mengubah gagasan yang mudah diterima oleh I-PA untuk menjadi gagasan lain yang mudah diterima oleh anggota MA.
Media sosial. Sri Mulyani Indrawati yang kiranya dapat kita ibaratkan sebagai produk yang diterima oleh kelompok I-PA, tetapi seperti dikatakan oleh banyak pengamat diri dan partainya akan sulit diterima oleh kelompok mayoritas awal (MA) yang kuantitasnya jauh lebih besar. Apa solusinya ?
Kunci SRI dan SMI untuk menembus kelompok mayoritas awal (MA) itu kini sebenarnya telah tersedia. Yaitu media-media sosial, yang dapat hadir dalam beragam bentuk, misalnya milis, forum, blog, wiki, podcast, album foto dan video di Internet. Primadonanya saat ini adalah Facebook dan Twitter di mana profil Radio BBC tentang Indonesia terbaru memuat angka menarik. Penduduk Indonesia 232 juta. Pemakai Internet 30 juta. Pemakai Facebook : 37 juta. Pengguna Twitter : 5 juta. Pengguna Blackberry : 3 juta.
Lihatlah, partai-partai politik lalu tidak melewatkan untuk berusaha menubruknya. Misalnya strategi yang ditempuh Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Sebagaimana dikutip situs Politikana.com (1/3/2011), dalam meraih ambisinya menjadi partai terbesar ke-3 dalam Pemilu 2014, PKS mewajibkan 500 ribu kadernya untuk memiliki akun Twitter, blog, Facebook, dan situs pribadi.
Tidak ketinggalan Partai Golkar. Masa depan sukses memenangkan pemilu kuncinya berada di Facebook dan Twitter. Demikian kata Sharif Cicip Sutarjo, Wakil Ketua Partai Golkar, sebagaimana dikutip situs The Jakarta Globe (25/7/2011). Ia tandaskan, Partai Golkar menargetkan minimal 60 juta suara dalam Pemilu 2014. Dengan memanfaatkan meda-media sosial, ia bahkan yakin akan mampu menarik lebih dari 100 juta pemilih.
Partai Golkar tidak main-main. Kini mereka sedang gencar menggembleng kadernya untuk terampil memanfaatkan Facebook dan Twitter, di mana ambisi ini kemudian menjadi bahan satir buku Komedikus Erektus 2 : Dagelan Republik Semangkin Kacau Balau (2011).
Diungkap bahwa ketika Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie membuka akun Twitter ia langsung memperoleh pengikut sebanyak 300 juta. Jumlahnya bahkan melebihi jumlah penduduk Indonesia. Tetapi jangan bangga dulu. Angka ini terdiri para korban, keluarga dan mereka yang menaruh simpati terhadap rakyat yang menderita akibat luapan lumpur panas Lapindo. Dari seluruh dunia !
Profil mayoritas pengguna media-media sosial itu adalah anak-anak muda. Dibanding para calon presiden lainnya seperti misalnya Aburizal Bakrie, Ani Yudhoyono, Jusuf Kalla, Wiranto, Prabowo Subianto, sosok Sri Mulyani Indrawati jelas tampil lebih fresh di antara yang lainnya dan lebih dekat kohornya dengan para pengguna media sosial di Indonesia tersebut.
Kini tinggal terpulang kepada para pendukungnya bagaimana agar keuntungan digital ini menjadi modal SMI dan SRI agar mampu bersama-sama meloncati jurang untuk meraih kemenangan fenomenal dalam Pilpres 2014 mendatang. Sekaligus membuktikan apakah ramalan seorang Jaya Suprana di Solo 13 tahun lalu itu akan menjadi kenyataan.
*Artikel ini dengan penyuntingan telah dimuat di harian Solopos, Sabtu, 13 Agustus 2011, Halaman 6.
Wonogiri, 14/8/2011
No comments:
Post a Comment