Oleh : Bambang Haryanto
Esai Epistoholica No. 3/JULI 2004
Home : Epistoholik Indonesia
MOMEN BRUTAL. Ketika terjadi penyerbuan brutal ke kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro, saat itu saya berada sekitar 3 km dari lokasi. Sepanjang siang itu saya berada di Perpustakaan LIA, Jl. Pramuka, Jakarta Timur. Kalau membuka-buka lagi buku harian, pagi itu memang muncul bisikan suara hati kecil yang memanggil-manggil : datanglah ke kantor PDI itu. Siangnya, saat keluar dari LIA dan membaca koran sore Harian Terbit, halaman depannya terpajang foto-foto yang menggambarkan momen-momen penyerbuan brutal itu.
Hari-hari sebelumnya, ketika berlangsung mimbar bebas di kantor DPP PDI itu, udara politik Jakarta terasa panas. Konggres PDI di Medan yang memenangkan Suryadi sebagai upaya rejim Orde Baru untuk menenggelamkan Megawati, adalah rekayasa yang terbaca jelas oleh masyarakat luas. Tetapi mereka bungkam dan takut-takut bersuara. Pejabat militer, Feisal Tanjung (Kompas, 23/7/1996) menuduh mimbar bebas itu sebagai upaya tindakan makar.
KENAL E-MAIL PERTAMA KALI !. Saat itu Olimpiade Atlanta mulai berlangsung, sejak tanggal 20 Juli 1996. Sehari sebelumnya, sebagai suporter olahraga Indonesia saya berkenalan dengan sarana canggih saat itu, senjata utama dunia maya, guna mendukung Susy Susanti dkk yang sedang bertarung merebut medali emas keduanya (sebelumnya di Barcelona, 1992 !) di Atlanta. Sarana canggih itu adalah : surat elektronik atau e-mail.
Tanggal 19 Juli 1996, saat berkunjung ke IBM Expo 1996 di Gedung Bapindo, Jl. Jenderal Sudirman, saya menemukan stand IBM in Olympic. Di gerai itu terpajang beberapa komputer yang memperbolehkan pengunjung untuk kirim e-mail untuk mendukung para atlet, siapa pun, yang sedang berjuang di Atlanta.
Sekadar info tambahan, di Olimpiade Atlanta itu memang IBM sebagai salah satu sponsor utama telah memajang puluhan komputer di koridor perkampungan atlet. Koridor itu namanya Surf Shack, di mana atlet-atlet dapat mengakses dukungan dari para suporter, dari antero pojok jagat, untuk diri mereka. Ketika berlangsung Olimpiade Sydney 2000, aksi suporter jarak jauh via e-mail itu kembali saya lakukan. Tapi dari Solo.
Saat Olimpiade Atlanta, saya tahu betapa kecil kemungkinan atlet-atlet (dan ofisial) Indonesia mau (dan tahu untuk) mampir ke gerai khusus IBM ini. Toh saya nekad juga. Darah suporter saya, menuntut dipuaskan.
Dengan terbata-bata, ini pengalaman pertama saya mengetik e-mail (masih tak tahu manfaat tombol Delete dan Enter) di website http://www.fanmail.olympic.ibm.com saya memberikan support untuk Susy Susanti, Alan Budikusuma, Joko Suprianto, Ricky Subagdja dan Rexy Mainaky dan Bayu yang atlet judo. Dalam e-mail itu juga saya tuliskan titip salam saya kepada Broto Happy W., wartawan tabloid BOLA, yang saat itu juga sedang meliput di Atlanta. Dia adik saya.
SAFARI KIRIM SURAT PEMBACA. Sebagai epistoholik dan suporter olahraga Indonesia, aksi mencicipi pemberian dukungan melalui surat elektronik itu mendorong saya melakukan apa yang harus saya lakukan : menyebarkan informasi itu dengan menulis surat-surat pembaca !
Isinya mempromosikan alamat situs IBM itu, agar semakin banyak orang tergerak mengirimkan e-mail dukungan seperti yang saya lakukan tadi. Tanggal 24 Juli 1996 saya sepanjang hari sengaja melakukan safari untuk mengirimkan surat-surat pembaca itu.
Berangkat dari domisili saya di Rawamangun, naik bis kota menuju Redaksi Suara Pembaruan dan Harian Jayakarta dan Tabloid Paron di Cawang, lalu ke Warung Buncit tempat Harian Republika, kemudian ke lokasi Harian Suara Karya di Jalan Bangka Raya.
Disambung ke Palmerah untuk menyambangi Tabloid BOLA, The Jakarta Post, Kompas, juga Persda, yaitu kantor di Jakarta yang mewakili beberapa koran daerah di bawah bendera Kompas, antara lain titip surat pembaca ke Bernas. Dilanjutkan ke Slipi, menemui Harian Bisnis Indonesia.
Sempat di gedung yang sama mampir ke institusi pendidikan komputer Inixindo untuk menjual gagasan : bagaimana kalau beberapa fasilitas komputer di lembaga ini dipajang di arena publik sebagai outlet untuk menghimpun dukungan jarak jauh bagi atlet-atlet kita yang sedang berjuang mengharumkan nama bangsa di pentas dunia. Sebelumnya saya juga kirim fax ke Citibank, sponsor utama kontingen Olimpiade kita, mengusulkan agar d ikantornya menyediakan komputer untuk tujuan yang sama.
TEMU ISTILAH BARU : REKACULIKA. Dibayang-bayangi panasnya rekayasa rejim Orba untuk konggres PDI Medan, kemarahan terpendam rakyat yang tercermin dari suasana mimbar bebas di kantor PDI, ancaman tindak kekerasan oleh rejim Orba saat itu dan berlangsungnya Olimpiade Atlanta, surat pembaca yang saya tulis untuk pelbagai media di atas berbunyi :
Dukung Atlet Via Internet
Obor Olimpiade Atlanta 1996 telah berkobar. Sebuah kompetisi antarmanusia yang mengandalkan aturan main yang adil dan wasit yang tidak memihak, telah dimulai. Drama manusia di Atlanta mungkin dapat mengibur nurani kita, terutama pada hari-hari terakhir ini kita disuguhi drama kompetisi antarmanusia yang penuh rekaculika (rekayasa negatif).
Mari kita dukung atlet-atlet kita yang bertanding dengan menaati aturan main. Jaringan komputer global Internet (juga digunakan untuk memantau hasil pemilu di India, Korea Selatan dan Taiwan) memungkinkan kita di Indonesia untuk kontak langsung secara real time melalui surat elektronik (email) dengan atlet-atlet kita di Atlanta.
Berselancarlah di Internet dan kirim dukungan Anda di home page : http://www.fanmail.olympic.ibm.com/. Untuk mengakomodasikan keinginan pendukung yang belum memiliki akses Internet dalam menyampaikan dukungan moralnya kepada atlet kita di Atlanta, sebaiknya bila Citibank sebagai sponsor resmi Tim Olimpiade Indonesia dan Team Opel sebagai sponsor tim bulutangkis Indonesia menyediakan fasilitas komputer dan akses Internet untuk memfasilitasi pengiriman ribuan e-mail dari para pendukung atlet Indonesia di Atlanta. (Bambang Haryanto, Pemerhati Internet, PO Box 6255/Jatra, Jakarta 13062).
SEDIH VS GEMBIRA. Sesudah 27 Juli 1996 itu para jenderal bilang bahwa kerusuhan di Jakarta pasca-penyerbuan kantor PDI itu ditunggangi komunis. Para kader PRD langsung jadi buron.
Di Suara Karya? (29/7/1996) artikel saya berjudul Internet Di Ambang Kematian ? dimuat. Sedih menyaksikan Susy Susanti kalah di semifinal lawan Bang Soo Hyun (Korea), tapi juga gembira karena Mia Audina malahan melaju ke final tunggal putri bulutangkis di Atlanta.
Akhir Juli 1996, tepat tanggal 31, ganda bulutangkis putra, Ricky Subagdja dan Rexy Mainaky, dengan susah payah, merebut medali emas Olimpiade Atlanta !
Majalah Newsweek edisi 5 Agustus 1996 (terbit 31/7) terang-terangan mewartakan bahwa Soeharto sukses meng-crack down mimbar bebas PDI.
Delapan tahun kemudian, kekalahan dan kemenangan atlet bulutangkis Indonesia di Olimpiade Atlanta 1996 itu mungkin sudah banyak yang kita lupakan. Tetapi Tragedi 27 Juli 1996, terus saja menjadi ganjalan yang pedih di benak nurani bangsa ini. Sampai kapan ?
Wonogiri
27-29 Juli 2004
Thursday, July 29, 2004
Monday, July 26, 2004
APA KEUNTUNGAN BESAR YANG MENANTI ANDA
Oleh :Bambang Haryanto
Esai Epistoholica No. 2/JULI 2004
Home : Epistoholik Indonesia
Keuntungan apa yang sudah diterima dari kegemaran menulis surat-surat pembaca ? Itulah salah satu dari sebelas butir pertanyaan yang diajukan oleh A. Bimo Wijoseno, reporter majalah Intisari, yang dikirimkan melalui e-mail, April 2004 yang lalu.
Saya jawab, bahwa seperti halnya hobi lainnya, the reward is in the doing. Pahala atau keuntungan itu kita nikmati ketika kita mengerjakannya, yaitu ketika menulis surat-surat pembaca itu. Menyelesaikan sebuah surat pembaca nikmatnya setara saat kita usai berolah raga, yaitu ketika otak kecil kita mengeluarkan endorphins atau encephalins (morfin alamiah, pain-relieving substances yang dikeluarkan oleh otak) yang memberikan rasa nikmat, segar, sejahtera dan diimbuhi perasaan berguna bagi orang lain (pembaca).
Terlebih lagi, aktivitas menulis itu juga punya berkah otomatis lainnya : ilmu atau pengetahuan yang baru kita tuliskan itu segera semakin menjadi milik pribadi kita. Pengetahuan itu lebih dalam membekas pada memori kita, dibanding bila kita hanya membacanya.
Thomas L. Madden dalam bukunya F.I.R.E - U.P. Your Learning : Bangkitkan Semangat Belajar Anda - Petunjuk Belajar Yang Dipercepat Untuk Usia 12 Tahun Keatas (Gramedia, 2002), memberi petunjuk hebat : gunakan segera pengetahuan baru Anda itu agar tidak mudah lupa. Gunakan info yang sama lewat cara yang berbeda-beda, sebab semakin variatif pemanfaatannya akan semakin banyak tercipta koneksi dalam otak kita yang semakin memudahkan kita bila diperlukan untuk mengingatnya kembali.
Apalagi bila tulisan kita itu bisa dimuat, dipublikasikan, muncul kenikmatan ekstra lainnya. Semua itu, terentang dari aktivitas membaca, menulis dan menikmati publikasi, ibaratnya berpadu menjadi candu yang teramat mengasyikkan. Bukankah novelis Perancis, Stendhal (1783-1842), telah berujar bahwa : for those who have tasted the profound activity of writing, reading is no more than a secondary pleasure ?
Hadiah Mang Usil. Keuntungan yang saya fikir juga amat membanggakan adalah, bila surat pembaca kita memperoleh tanggapan dari fihak yang kita kritisi, penulis surat pembaca lainnya atau dari media bersangkutan.
Empat belas tahun lalu, saya pernah menulis surat pembaca berjudul Adopsi Satwa Ragunan (Kompas, 12/1/1990) yang diilhami aksi International Fund for Animal Welfare (IFAW) di Massachusetts (AS) yang mengadopsi ikan-ikan paus yang berkeliaran di Cape Cod. Di sana setiap anak yang mengadopsi atau jadi orang tua angkat sang paus diminta mendonasikan dana sebesar 10 dollar dan mendapat sertifikat dan foto anak angkatnya tersebut.
Bagaimana, usul saya, hal mulia semacam ini juga dicoba diterapkan untuk Kebun Binatang di Ragunan, Jakarta ?
Esoknya, di kolom “Mang Usil/Pojok Kompas” (Kompas, 13/1/1990), tertulis tanggapan : Seorang pembaca mengusulkan agar di Indonesia didirikan klub bapak/ibu angkat untuk satwa- terutama yang besar-besar dan banyak makannya- yang dipelihara di KB Ragunan, untuk membantu pemeliharaan dan perawatan mereka. Mang Usil setuju banget.
Surat pembaca saya lainnya, bahkan pernah bikin kepala ini rada melar sedikit, karena diulas secara khusus dalam kolom tajuk rencana Harian Bernas.
Keuntungan lainnya yang muncul, walau tidak kelihatan dan jarang disadari pentingnya, adalah makin luasnya jaringan pergaulan. Gara-gara saya merintis Epistoholik Indonesia,
teman saya bertambah banyak dari pelbagai kota, bahkan juga dari luar negeri.
Baru-baru ini, surat pembaca saya yang menjual gagasan pentingnya kampanye melek komputer dan Internet bagi kaum manusia lanjut usia/lansia (Media Indonesia, 18/7/2004 dan Suara Merdeka, 20/7/2004), mendapat respons dari Yanny Mulyana dan Bambang Tri Subeno (Semarang). Saya mendapat teman-teman baru. Menggembirakan !
Ada juga repotnya. Misalnya, untuk keperluan mengisi dan memperkaya situs Epistoholik Indonesia itu saya harus mengetik ulang (dengan dua buah jari !) arsip kiriman berupa puluhan judul surat-surat pembaca warga EI lainnya. Terutama karya para senior yang belum kenal akrab dengan komputer. Semua kerepotan ini malah tak sengaja membuat saya jadi bertambah ilmu dan wawasan yang ditularkan oleh mereka.
Pengin putus pacaran. Ada juga k e u n t u n g a n yang unik, tapi berupa kebanjiran salah faham. Terutama dari kalangan awam media. Karena seringnya nama kita muncul di surat kabar, membuat para kaum awami itu berkesimpulan bahwa kita adalah wartawan koran bersangkutan. Kisah nyata :
Di Jakarta, tahun 1985-an, saya pernah menulis surat pembaca mengenai anak tetangga saya yang menjadi korban tabrak lari. Dengan menghimpun data dari para saksi saat kejadian, lokasi, data mobil yang menabrak, baik warna, merek dan model, saya tulis peristiwa itu di surat kabar Kompas, saat itu. Surat itu dimuat, tetapi toh sang penabrak lari itu tetap tidak muncul untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya kepada keluarga korban.
Tetapi diri saya malah terkena ekses lain. Saudara perempuan dari ibu korban, seorang wanita muda, meminta saya agar kisah hidupnya juga dimuat di koran. Motif terselubungnya, ia ingin keluhannya dibaca oleh si pacar yang saat ini sangat ingin ia jauhi.
Parade puluhan blangkon. Kisah nyata lagi, juga tentang salah faham lagi dan tergolong parah. Terjadi baru-baru ini, di Wonogiri. Bermula saat pemilu legislatif, 5 April 2004, saya menemukan adegan ger-geran di TPS tempat saya nyoblos. Suasana itu saya tuangkan dalam surat pembaca berikut ini :
Menggojlok Caleg Model Wonogiri
(Dimuat di Solopos, 4 Juni 2004)
Seorang jenderal yang pernah menguatirkan Pemilu 2004 akan berdarah-darah, sokurlah keliru. Di daerah saya, di TPS 18, Kajen, Giripurwo, Wonogiri Kota , Pemilu berlangsung aman, tertib, bahkan suasananya jadi lebih bergairah saat penghitungan suara caleg Dewan Perwakilan Daerah (DPD) terjadi. Dimotori Mas J, yang Ketua KPPS dan seorang guru yang jenaka, ditimpali anggota PPS dan warga Kajen lainnya, membuat caleg-caleg DPD itu dibanjiri kado, yaitu beragam julukan. Sumber idenya dari foto-foto diri mereka yang mengundang rangsang untuk dikomentari secara bebas, cerdas dan sebisanya jenaka..
Ada caleg gondrong, berpeci, dijuluki Wiro Sableng. Tapi ia tak sakti, muncul beberapa kali, lalu menghilang. Diganti tokoh Taksi Gelap, sebutan sinis untuk bekas pejabat yang sarat isu bahwa korupsinya waktu menjabat dipakai berbisnis taksi. Tokoh ini karismanya sudah jauh memudar. Muncul kemudian tokoh yang fotonya memakai caping, memancing gojlokan sebagai Tukang Mancing. Sayang, pancingannya hanya menghasilkan teri saja di TPS kami.
Yang mendapat suara banyak adalah tokoh kontraktor asal Semarang, yang konon royal menyumbangkan puluhan titik lampu penerangan jalan di Wonogiri dengan lampu merkuri. Ia yang pernah berkampanye di Wonogiri itu langsung dijuluki sebagai Kapten Merkuri. Ia cukup sakti, julukannya muncul berkali-kali.
Tetapi Kapten Merkuri tidak mampu mengalahkan tokoh tampan dan berkarisma, walau tak pernah berkampanye langsung di Wonogiri. Di fotonya, dia tampil beda : berbusana Jawa lengkap dan berblangkon-ria. Dia adalah Sri Paduka Mangkunegoro IX. Tak pelak kado nama gojlokan untuk beliau muncul meriah puluhan kali di TPS kami :
Blangkon !
Blangkon !
Blangkon !
Blangkon !
Blangkon !
dst.
Bikin bangkrut koran.Surat pembaca itu saya fotokopi, kemudian saya berikan kepada petugas KPPS dan terutama kepada Mas J selalu ketua KPPS. Beberapa hari kemudian, di pagi hari, saya dicegat oleh Mas J yang nampak mau pergi mengajar. Di balik helm cakilnya dan nongkrong di sadel motor, saya mendengar pertanyaannya yang sungguh tak terduga : “Kok saya hanya diberi fotokopian (surat pembaca), lalu mana bayarannya untuk saya ?”
Saya super bingung saat itu. Lalu saya katakan, bahwa untuk menulis dan dimuat dalam kolom surat pembaca di koran itu tidak ada bayarannya. Tidak ada honornya. Maksudnya, saya pun sebagai penulis surat pembaca juga tidak mendapatkan bayaran apa pun.
Rupanya Mas J itu belum memahami penjelasan saya ini. Nyatanya, beberapa hari kemudian ketika ia memberikan undangan untuk nyoblos di pemilu presiden, ia pun masih mengeluarkan uneg-uneg ganjilnya itu yang sama kepada saya. Menurutnya, di luaran sana pasti ada lembaga atau seseorang yang harus membayar sejumlah uang karena nama dirinya (!) telah masuk dalam kolom surat pembaca. Mungkin ia merasa sudah seperti selebritis, dimana seseorang yang mengutip namanya harus memberikan royalti kepadanya. Paham semacam ini apa engga bikin bangkrut koran ? Sekaligus jadi ancaman baru bagi pers di Indonesia ? What can I do ?
Terancam kecanduan. Bagi kebanyakan pembaca, kolom surat pembaca itu ibaratnya hanya sebagai trivia, hal remeh-temeh, dari pelbagai suguhan informasi sebuah media. Sangat sering dibaca tetapi jarang mendapatkan perhatian, atau dimasukkan ke dalam hati. Walau pun demikian, di AS saat kampanye pemilihan kandidat dari Partai Demokrat ada sekelompok simpatisan Howard Dean, salah satu kandidat, telah bergabung dan menamakan diri sebagai Dean Defence Corps. Salah satu gebrakan mereka, bila ada media massa atau pendapat yang mereka pikir kurang berlaku fair terhadap Howard Dean, mereka tidak segan segera memberondongkan respons bantahan berupa pengiriman surat-surat pembaca !
Keterampilan menulis surat membaca memang tak sepenting keterampilan menulis surat-surat bisnis atau merancang teks iklan. Tetapi, anjuran saya kepada Anda, kuasailah keterampilan satu ini. Siapa tahu, suatu saat dokter, bank, politisi, toko swalayan, kantor pajak atau polisi memperlakukan Anda secara tidak fair, maka janganlah marah atau mengamuk. Tempuh jalan cerdas, jalan demokrasi. Tuangkan saja secara runtut dan jernih kasus itu dalam sebuah surat pembaca. Segera kirimkan ke pelbagai media massa !
Kalau nantinya surat itu dimuat, Anda jadi terkenal di lingkungan Anda, dan Anda kena efek samping kiri, samping kanan dan depan berupa kecanduan menulis dan menulis surat pembaca, itulah resiko berat yang harus Anda tanggung sendiri seumur hidup. Yang pasti, sebelum keburu sembuh dan kembali normal, jangan segan untuk segeralah bergabung bersama kami, di EI !
Ini dia PPPK (Pertolongan Pertama Pada Kecanduan), idiom terkenal dari Lasma Siregar, Melbourne, Australia, yang Anda butuhkan dengan mengontak : epsia@plasa.com. Atau silakan meng-klik untuk menuliskan comment di akhir tulisan ngalor-ngidul ini.
Terima kasih untuk atensi Anda.
Salam : Episto ergo sum !
Saya menulis surat pembaca karena saya ada !
Wonogiri, 26 Juli 2004
Esai Epistoholica No. 2/JULI 2004
Home : Epistoholik Indonesia
Keuntungan apa yang sudah diterima dari kegemaran menulis surat-surat pembaca ? Itulah salah satu dari sebelas butir pertanyaan yang diajukan oleh A. Bimo Wijoseno, reporter majalah Intisari, yang dikirimkan melalui e-mail, April 2004 yang lalu.
Saya jawab, bahwa seperti halnya hobi lainnya, the reward is in the doing. Pahala atau keuntungan itu kita nikmati ketika kita mengerjakannya, yaitu ketika menulis surat-surat pembaca itu. Menyelesaikan sebuah surat pembaca nikmatnya setara saat kita usai berolah raga, yaitu ketika otak kecil kita mengeluarkan endorphins atau encephalins (morfin alamiah, pain-relieving substances yang dikeluarkan oleh otak) yang memberikan rasa nikmat, segar, sejahtera dan diimbuhi perasaan berguna bagi orang lain (pembaca).
Terlebih lagi, aktivitas menulis itu juga punya berkah otomatis lainnya : ilmu atau pengetahuan yang baru kita tuliskan itu segera semakin menjadi milik pribadi kita. Pengetahuan itu lebih dalam membekas pada memori kita, dibanding bila kita hanya membacanya.
Thomas L. Madden dalam bukunya F.I.R.E - U.P. Your Learning : Bangkitkan Semangat Belajar Anda - Petunjuk Belajar Yang Dipercepat Untuk Usia 12 Tahun Keatas (Gramedia, 2002), memberi petunjuk hebat : gunakan segera pengetahuan baru Anda itu agar tidak mudah lupa. Gunakan info yang sama lewat cara yang berbeda-beda, sebab semakin variatif pemanfaatannya akan semakin banyak tercipta koneksi dalam otak kita yang semakin memudahkan kita bila diperlukan untuk mengingatnya kembali.
Apalagi bila tulisan kita itu bisa dimuat, dipublikasikan, muncul kenikmatan ekstra lainnya. Semua itu, terentang dari aktivitas membaca, menulis dan menikmati publikasi, ibaratnya berpadu menjadi candu yang teramat mengasyikkan. Bukankah novelis Perancis, Stendhal (1783-1842), telah berujar bahwa : for those who have tasted the profound activity of writing, reading is no more than a secondary pleasure ?
Hadiah Mang Usil. Keuntungan yang saya fikir juga amat membanggakan adalah, bila surat pembaca kita memperoleh tanggapan dari fihak yang kita kritisi, penulis surat pembaca lainnya atau dari media bersangkutan.
Empat belas tahun lalu, saya pernah menulis surat pembaca berjudul Adopsi Satwa Ragunan (Kompas, 12/1/1990) yang diilhami aksi International Fund for Animal Welfare (IFAW) di Massachusetts (AS) yang mengadopsi ikan-ikan paus yang berkeliaran di Cape Cod. Di sana setiap anak yang mengadopsi atau jadi orang tua angkat sang paus diminta mendonasikan dana sebesar 10 dollar dan mendapat sertifikat dan foto anak angkatnya tersebut.
Bagaimana, usul saya, hal mulia semacam ini juga dicoba diterapkan untuk Kebun Binatang di Ragunan, Jakarta ?
Esoknya, di kolom “Mang Usil/Pojok Kompas” (Kompas, 13/1/1990), tertulis tanggapan : Seorang pembaca mengusulkan agar di Indonesia didirikan klub bapak/ibu angkat untuk satwa- terutama yang besar-besar dan banyak makannya- yang dipelihara di KB Ragunan, untuk membantu pemeliharaan dan perawatan mereka. Mang Usil setuju banget.
Surat pembaca saya lainnya, bahkan pernah bikin kepala ini rada melar sedikit, karena diulas secara khusus dalam kolom tajuk rencana Harian Bernas.
Keuntungan lainnya yang muncul, walau tidak kelihatan dan jarang disadari pentingnya, adalah makin luasnya jaringan pergaulan. Gara-gara saya merintis Epistoholik Indonesia,
teman saya bertambah banyak dari pelbagai kota, bahkan juga dari luar negeri.
Baru-baru ini, surat pembaca saya yang menjual gagasan pentingnya kampanye melek komputer dan Internet bagi kaum manusia lanjut usia/lansia (Media Indonesia, 18/7/2004 dan Suara Merdeka, 20/7/2004), mendapat respons dari Yanny Mulyana dan Bambang Tri Subeno (Semarang). Saya mendapat teman-teman baru. Menggembirakan !
Ada juga repotnya. Misalnya, untuk keperluan mengisi dan memperkaya situs Epistoholik Indonesia itu saya harus mengetik ulang (dengan dua buah jari !) arsip kiriman berupa puluhan judul surat-surat pembaca warga EI lainnya. Terutama karya para senior yang belum kenal akrab dengan komputer. Semua kerepotan ini malah tak sengaja membuat saya jadi bertambah ilmu dan wawasan yang ditularkan oleh mereka.
Pengin putus pacaran. Ada juga k e u n t u n g a n yang unik, tapi berupa kebanjiran salah faham. Terutama dari kalangan awam media. Karena seringnya nama kita muncul di surat kabar, membuat para kaum awami itu berkesimpulan bahwa kita adalah wartawan koran bersangkutan. Kisah nyata :
Di Jakarta, tahun 1985-an, saya pernah menulis surat pembaca mengenai anak tetangga saya yang menjadi korban tabrak lari. Dengan menghimpun data dari para saksi saat kejadian, lokasi, data mobil yang menabrak, baik warna, merek dan model, saya tulis peristiwa itu di surat kabar Kompas, saat itu. Surat itu dimuat, tetapi toh sang penabrak lari itu tetap tidak muncul untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya kepada keluarga korban.
Tetapi diri saya malah terkena ekses lain. Saudara perempuan dari ibu korban, seorang wanita muda, meminta saya agar kisah hidupnya juga dimuat di koran. Motif terselubungnya, ia ingin keluhannya dibaca oleh si pacar yang saat ini sangat ingin ia jauhi.
Parade puluhan blangkon. Kisah nyata lagi, juga tentang salah faham lagi dan tergolong parah. Terjadi baru-baru ini, di Wonogiri. Bermula saat pemilu legislatif, 5 April 2004, saya menemukan adegan ger-geran di TPS tempat saya nyoblos. Suasana itu saya tuangkan dalam surat pembaca berikut ini :
Menggojlok Caleg Model Wonogiri
(Dimuat di Solopos, 4 Juni 2004)
Seorang jenderal yang pernah menguatirkan Pemilu 2004 akan berdarah-darah, sokurlah keliru. Di daerah saya, di TPS 18, Kajen, Giripurwo, Wonogiri Kota , Pemilu berlangsung aman, tertib, bahkan suasananya jadi lebih bergairah saat penghitungan suara caleg Dewan Perwakilan Daerah (DPD) terjadi. Dimotori Mas J, yang Ketua KPPS dan seorang guru yang jenaka, ditimpali anggota PPS dan warga Kajen lainnya, membuat caleg-caleg DPD itu dibanjiri kado, yaitu beragam julukan. Sumber idenya dari foto-foto diri mereka yang mengundang rangsang untuk dikomentari secara bebas, cerdas dan sebisanya jenaka..
Ada caleg gondrong, berpeci, dijuluki Wiro Sableng. Tapi ia tak sakti, muncul beberapa kali, lalu menghilang. Diganti tokoh Taksi Gelap, sebutan sinis untuk bekas pejabat yang sarat isu bahwa korupsinya waktu menjabat dipakai berbisnis taksi. Tokoh ini karismanya sudah jauh memudar. Muncul kemudian tokoh yang fotonya memakai caping, memancing gojlokan sebagai Tukang Mancing. Sayang, pancingannya hanya menghasilkan teri saja di TPS kami.
Yang mendapat suara banyak adalah tokoh kontraktor asal Semarang, yang konon royal menyumbangkan puluhan titik lampu penerangan jalan di Wonogiri dengan lampu merkuri. Ia yang pernah berkampanye di Wonogiri itu langsung dijuluki sebagai Kapten Merkuri. Ia cukup sakti, julukannya muncul berkali-kali.
Tetapi Kapten Merkuri tidak mampu mengalahkan tokoh tampan dan berkarisma, walau tak pernah berkampanye langsung di Wonogiri. Di fotonya, dia tampil beda : berbusana Jawa lengkap dan berblangkon-ria. Dia adalah Sri Paduka Mangkunegoro IX. Tak pelak kado nama gojlokan untuk beliau muncul meriah puluhan kali di TPS kami :
Blangkon !
Blangkon !
Blangkon !
Blangkon !
Blangkon !
dst.
Bikin bangkrut koran.Surat pembaca itu saya fotokopi, kemudian saya berikan kepada petugas KPPS dan terutama kepada Mas J selalu ketua KPPS. Beberapa hari kemudian, di pagi hari, saya dicegat oleh Mas J yang nampak mau pergi mengajar. Di balik helm cakilnya dan nongkrong di sadel motor, saya mendengar pertanyaannya yang sungguh tak terduga : “Kok saya hanya diberi fotokopian (surat pembaca), lalu mana bayarannya untuk saya ?”
Saya super bingung saat itu. Lalu saya katakan, bahwa untuk menulis dan dimuat dalam kolom surat pembaca di koran itu tidak ada bayarannya. Tidak ada honornya. Maksudnya, saya pun sebagai penulis surat pembaca juga tidak mendapatkan bayaran apa pun.
Rupanya Mas J itu belum memahami penjelasan saya ini. Nyatanya, beberapa hari kemudian ketika ia memberikan undangan untuk nyoblos di pemilu presiden, ia pun masih mengeluarkan uneg-uneg ganjilnya itu yang sama kepada saya. Menurutnya, di luaran sana pasti ada lembaga atau seseorang yang harus membayar sejumlah uang karena nama dirinya (!) telah masuk dalam kolom surat pembaca. Mungkin ia merasa sudah seperti selebritis, dimana seseorang yang mengutip namanya harus memberikan royalti kepadanya. Paham semacam ini apa engga bikin bangkrut koran ? Sekaligus jadi ancaman baru bagi pers di Indonesia ? What can I do ?
Terancam kecanduan. Bagi kebanyakan pembaca, kolom surat pembaca itu ibaratnya hanya sebagai trivia, hal remeh-temeh, dari pelbagai suguhan informasi sebuah media. Sangat sering dibaca tetapi jarang mendapatkan perhatian, atau dimasukkan ke dalam hati. Walau pun demikian, di AS saat kampanye pemilihan kandidat dari Partai Demokrat ada sekelompok simpatisan Howard Dean, salah satu kandidat, telah bergabung dan menamakan diri sebagai Dean Defence Corps. Salah satu gebrakan mereka, bila ada media massa atau pendapat yang mereka pikir kurang berlaku fair terhadap Howard Dean, mereka tidak segan segera memberondongkan respons bantahan berupa pengiriman surat-surat pembaca !
Keterampilan menulis surat membaca memang tak sepenting keterampilan menulis surat-surat bisnis atau merancang teks iklan. Tetapi, anjuran saya kepada Anda, kuasailah keterampilan satu ini. Siapa tahu, suatu saat dokter, bank, politisi, toko swalayan, kantor pajak atau polisi memperlakukan Anda secara tidak fair, maka janganlah marah atau mengamuk. Tempuh jalan cerdas, jalan demokrasi. Tuangkan saja secara runtut dan jernih kasus itu dalam sebuah surat pembaca. Segera kirimkan ke pelbagai media massa !
Kalau nantinya surat itu dimuat, Anda jadi terkenal di lingkungan Anda, dan Anda kena efek samping kiri, samping kanan dan depan berupa kecanduan menulis dan menulis surat pembaca, itulah resiko berat yang harus Anda tanggung sendiri seumur hidup. Yang pasti, sebelum keburu sembuh dan kembali normal, jangan segan untuk segeralah bergabung bersama kami, di EI !
Ini dia PPPK (Pertolongan Pertama Pada Kecanduan), idiom terkenal dari Lasma Siregar, Melbourne, Australia, yang Anda butuhkan dengan mengontak : epsia@plasa.com. Atau silakan meng-klik untuk menuliskan comment di akhir tulisan ngalor-ngidul ini.
Terima kasih untuk atensi Anda.
Salam : Episto ergo sum !
Saya menulis surat pembaca karena saya ada !
Wonogiri, 26 Juli 2004
Saturday, July 24, 2004
EPISTO ERGO SUM ! : PAK SOEROYO, PAK DARMAWAN, BUKU HARIAN SAYA
Oleh : Bambang Haryanto
Esai Epistoholica No.1/Juli 2004
Home : Epistoholik Indonesia/EI
DIARY OF ANNE FRANK. Buku harian paling terkenal di dunia mungkin milik Anne Frank. Gadis Jerman-Yahudi kelahiran tahun 1929 itu tewas di kam konsentrasi Jerman tahun 1945. Ketika Nazi berkuasa di Jerman di bawah pimpinan mantan seniman gambar poster yang ketika berkuasa menjadi monster diktator, yaitu Adolf Hitler, Anne Frank melarikan diri ke Amsterdam. Dalam persembunyian antara 1942-1943 itu ia menumpahkan ketakutan dan juga harapan dalam sebuah buku harian. Ia menjadi simbol perjuangan dan keberanian bangsa Yahudi dan kemanusiaan ketika diterbitkan tahun 1947.
PENJAGA ARTIS BOMB SEX. Tetapi buku harian tidak selalu dapat nama harum. Adalah politisi konservatif Inggris Enoch Powell (1912-1998) dalam wawancara di koran Sunday Times (6/11/1977) secara sinis bilang, menulis buku harian itu seperti menelan kembali muntahannya sendiri. Hoek, hoek, hoek.
Sokurlah, almarhumah bintang film bomb sex sepuh, Mae West (1892-1980), punya nasehat cerah tentang buku harian. Katanya, tulis dan simpan buku harianmu karena ia suatu hari akan menjagamu. Pendapat mengenai buku harian lainnya dapat dikutip dari Oscar Wilde (1854-1900), dramawan dan penyair Inggris-Irlandia, bahwa dirinya tak pernah melakukan perjalanan tanpa ditemani buku hariannya. Katanya, seseorang harus ditemani sesuatu yang sensasional untuk dibaca ketika dalam perjalanan naik kereta api. Bagus juga, daripada beli majalah atau koran.
Bagaimana pendapat Anda ?
Apakah Anda juga memiliki buku harian selama ini ?
PESONA PARAKAL. Saya juga menulis buku harian. Baru-baru ini, dalam upaya me-recall atau membangkitkan kembali peristiwa seputar gagasan komunitas Epistoholik Indonesia, saya mencoba membolak-balik lagi buku harian saya. Buku tahun 1992 dan 1994.
Tercatat bahwa pada hari Jumat, 10 April 1992, saya yang saat itu berdomisili di Jakarta, mengunjungi Perpustakaan American Cultural Centre (ACC) yang terletak di Wisma Metropolitan II, Jl. Jenderal Sudirman, Jakarta. Saya anggota perpustakaan ACC dan secara rutin berkunjung ke perpustakaan ini. Menurut saya, saat itu ACC adalah perpustakaan terbaik di Jakarta. Majalah-majalah manca negaranya banyak, selalu mutakhir. Buku-buku barunya selalu bikin senewen, sebab mana yang lebih dulu untuk dibaca ?
Saat itu ketika membaca-baca aneka majalah, saya tertarik pada paparan majalah TIME (6/4/1992) mengenai sosok tokoh penulis surat pembaca asal India, Anthony Parakal. Eureka ! Sebagai penulis surat pembaca sejak tahun 1970-an, kisah Anthony Parakal itu bagi saya langsung menjadi setrum ribuan volt, sebuah booster moral bagi diri saya bahwa menulis surat pembaca itu cool dan berharga !
Artikel menarik itu lalu saya fotokopi. Sayang sekali, fotokopi itu saat ini tak lagi saya punyai. Tetapi yang pasti, peristiwa ini telah saya catat dalam buku harian saya. Sejarah kecil dan cikal bakal gagasan tentang Epistoholik Indonesia/EI
itu pun mulai bergulir. Dapatkah tanggal 10 April 1992 ini dianggap sebagai kelahiran embrio Epistoholik Indonesia, komunitas jaringan para penulis surat pembaca se-Indonesia ?
SAYA DAN PAK SOEROYO 1992 DAN 2003. Pada hari Rabu, 22 April 1992, karena kebelet ingin menularkan sosok Anthony Parakal itu, saya nekad dan mengamuk dengan mengirimkan surat-surat dan fotokopi kisahnya di majalah TIME itu kepada 3 orang yang sering namanya saya jumpai dalam kolom surat pembaca. Mereka adalah : Bapak Soeroyo (Solo), Haji G. Malikmass (Jakarta, penulis buku Catatan Anak Emas Soekarno, terbitan Galang Press Yogyakarta) dan Lucas Sumanto (Jakarta).
Suatu kebetulan sejarah, atau takdir mungkin, sebelas tahun kemudian saya tergerak kembali untuk mengirim surat untuk mencoba mengenalkan bab Epistoholik Indonesia kepada Bapak Soeroyo (Solo), lagi. Surat saya di tahun 1992 memang tak ada balasan dari beliau.
Tetapi tahun 2003, beliau membalas dan berkenan bergabung dalam EI. Bahkan tanggal 24 Desember 2003, beliau mendapat penghargaan dari Republik Aeng-Aeng karena selama tahun 2003 telah menciptakan rekor menulis 39 surat pembaca sepanjang tahun di Harian Solopos (Solo). Dalam acara penyerahan piagam di Balai Soedjatmoko Solo saya bisa bertemu muka dengan Pak Soeroyo, untuk kedua kali ketemu temu Pak Moegono, walau kontak saya ke Pak Soeroyo 22 April 1992 itu sama-sama tidak kita sadari saat itu.
Pada hari Sabtu, 25 April 1992, surat dan fotokopi kisah hebat Anthony Parakal itu ngawur saya kirimkan juga kepada Bapak dr. Willie Japaris (Jakarta). Esoknya, 26 April 1992, kepada Bapak Drs. Sunarto Prawirosujanto (Jakarta) dan Ir. Bambang Hesti (Semarang). Bahkan pada hari Kamis, 30 April 1992, saya kirimkan surat yang mempromosikan epistoholik fantastis a la Pak Anthony Parakal itu kepada bintang film/sutradara yang kini jadi politisi : Sophan Sophiaan.
Hari Jumat, 1 Mei 1992, ketika main ke Toko Buku Rawamangun, Jakarta Timur, saya menemukan majalah TIME (4 Mei 1992) yang kembali memuat beragam komentar pembaca mengenai Anthony Parakal. Artikel ini tidak saya fotokopi dan saat ini saya tidak ingat apa isi informasinya. Mereka-mereka yang saya kirimi surat itu tak ada yang memberikan balasan.
PELUNCURAN EI 1994 DAN DIDUGA GURU BACA PUISI. Dua tahun kemudian, 1994, barulah saya memberanikan diri memasarkan gagasan mengenai Epistoholik Indonesia itu ke media massa. Dari buku harian tahun 1994, tercatat : Kamis 13 Januari 1994, saat itu saya lagi liburan di Wonogiri, menulis surat pembaca untuk mempromosikan Epistoholik Indonesia ke Harian Bernas, Kedaulatan Rakyat dan Suara Merdeka. Sepanjang yang saya bisa catat, surat saya itu dimuat di Harian Bernas, Selasa, 18 Januari 1994. Jadi, mana tanggal yang tepat sebagai kelahiran Epistoholik Indonesia : 10 April 1992, 13 Januari atau 18 Januari 1994 ?
Pada tanggal 15 Januari 1994, kembali saya mempromosikan EI ke surat kabar Bisnis Indonesia, Pikiran Rakyat, Republika dan majalah Tempo. Pengiriman ke harian Suara Pembaruan, 17 Januari 1994. Harian Kedaulatan Rakyat, 20 Januari 1994, memuat surat pembaca saya mengenai EI dimana redaksinya bermurah hati memberikan komentar : Ide bagus !. Harian Bernas, 22 Januari 1994, memuat surat pembaca dari Pak Mardjuki, intelektual dari Yogyakarta (dulu Pemred Majalah Semangat, pernah mengirimi surat berisi bombongan agar saya terus menulis !), berisi dorongan, katanya : EI adalah ide cemerlang !
Tanggal 8 Februari 1994, saya kembali ke Jakarta. Saat itu PO Box saya banjir surat, ada sekitar 40 buah. Bahkan ada surat kejutan yang manis, walau keliru, dari seorang wanita yang bekerja sebagai penerjemah di Harian The Jakarta Post. Katanya, setelah membaca promosiku tentang Epistoholik Indonesia ia mengira bahwa diriku adalah guru yang pernah mengajari membaca puisi ketika dirinya masih kecil dan tinggal di Purwokerto dulu-dulu.
PAK DARMAWAN DAN SAYA 1994 dan 2004. Surat pembaca promosi EI itu juga dimuat di Suara Merdeka, 7 Februari 1994 dan majalah Tempo, 19 Februari 1994. Merespons pemuatan di Tempo itu saya mendapat surat dari Bapak Darmawan Soetjipto, Jakarta. Ia adalah alumnus Universitas Indonesia jaman Glen Miller. Tentu saja, kontaknya saya balas dan sejarah kontak itu kembali terulang sepuluh tahun kemudian !
Gebrakan meluncurkan EI di tahun 1992 dan 1994, saya akui, jauh dari maksimal. Dana untuk menggalang komunikasi sering tidak memadai. Komunikasi antarkita saat itu belum dipermudah dan belum dipermurah, karena harus memakai media atom atau kertas, alias layanan snail-mail (pak pos) yang relatif lamban dan lebih mahal.
GO BLOG GLOBAL. Tahun 2004, saya relatif faham dan mampu mendayagunakan media komunikasi berbasis digital, yakni Internet. Terlebih lagi dewasa ini makin populernya teknologi tayang informasi di jagat Internet, yaitu blog atau personal journal (walau isinya pun bisa macam-macam, hanya dibatasi oleh imajinasi !) yang mudah dipelajari. Kalau dulu seseorang harus menjadi webmaster yang dituntut menguasai bahasa HTML dan beragam pemrograman rumit untuk bisa menayangkan buah pikirannya di Internet, berkat blog hal yang sama itu tak rumit lagi.
Teknologi blog sangat mudah. Asal Anda bisa mengetik komputer dan melakukan copy & paste, Anda bisa mengoperasikan penayangan buku harian digital Anda untuk terbit dengan audiens berskala global. Silakan coba kunjungi : Blogger.com. Kemudahan dan potensi dahsyat ini yang memicu saya untuk membangkitkan dan mempromosikan ide Epistoholik Indonesia lagi.
Salah satu surat pembaca saya tentang promosi itu dimuat di Majalah Tempo, 5-11 Januari 2004. Simak e-mail yang memberikan tanggapan di bawah ini :
From: Darsu Surya
Date: Mon, 12 Jan 2004 21:46:39 -0800 (PST)
To: Bambang Haryanto
Copy Surat :
Kepada Yth. :
Sdr. Bambang Haryanto
Alamat Email : epsia@plasa.com
Kepada Yth. : Redaksi Majalah Tempo
Fax No. : 392-1947
Terus terang kami cukup terperangah membaca cermat tulisan Sdr. Bambang Haryanto berjudul UNTUK PENULIS SURAT PEMBACA yang dimuat Tempo 5 - 11 Januari 2004. Tiada lain karena hampir 12 tahun lalu artikel TIME 6 April 1992 tentang Profil Epistoholic memang memukau dan menarik ekstra perhatian. Selepas membaca artikel itu, kami kala itu menulis sepucuk surat kepada seorang sastrawan terkenal ibukota dan mengusulkan pembentukan suatu Ikatan Penulis Surat Pembaca. Sayang karena satu dan lain hal surat itu tidak pernah terjawab dan pupuslah ide itu ditelan perjalanan waktu.
Syukurlah ide yang sama nampaknya kini diprakarsai oleh seorang local genius asal Wonogiri. Meneliti isi surat diatas, terungkap bahwa Sdr. Bambang Haryanto telah mengadakan persiapan cukup matang untuk SOP merintis suatu keorganisasian EC.
Menurut pengamatan kami cetusan ide EC ini tepat momentum mengingat perkembangan TI (Teknologi Informasi) cepat membuka kemungkinan-kemungkinan luas yang tadinya tidak terbayangkan untuk berkomunikasi. Melalui kiriman surat ini kami sampaikan selamat atas prakarsa Sdr. Bambang Haryanto dan enthusias menyatakan dukungan sepenuhnya. Guna merealisir dukungan ini sangat kami harapkan perincian syarat-syarat untuk jadi anggota EC diatas.
Mudah-mudahan dukungan serupa disusul pula oleh para penulis surat pembaca (pensupem) lainnya di ibukota dalam rangka ikut memberikan sumbangsih pencerahan dan ikut serta mencerdaskan bangsa melalui media pers.
Terima kasih.
Darmawan Soetjipto
Sejarah berulang. Dunia epistoholik itu kecil. Pak Soeroyo, juga Pak Darmawan Soetjipto, juga Anda semua dan saya, rupanya tertakdir memiliki orbit yang terus saling bersilangan. Saya bahagia bisa mencatat momen-momen itu dalam buku harian saya.
Masihkah Anda tertarik untuk memiliki buku harian kertas atau pun digital ? Untuk yang digital, silakan coba kunjungi Episto ergo sum. Di sana tersaji nama-nama warga EI yang telah memiliki buku harian berskala global : situs blog di Internet.
Kalau nama Anda belum tercantum di sana, segera mulailah kini dengan mengamuk (idiom ini sohor di kalangan epsitoholik yang berasal dari Lasma Siregar, Melbourne, Australia), menulislah surat-surat pembaca yang hebat, inspiratif, menggebrak dan bermanfaat bagi khalayak luas di media massa dan sekaligus menjadi warga Epistoholik Indonesia.
Selebihnya, hal mudah : silakan kontak saya di : epsia@plasa.com.
Akhirnya, politisi dan penulis Irlandia, Máire Geoghegan-Quinn (1950- ) berujar : Saya selalu menulis buku harian politik ketika saya terjun ke dunia politik. Saya menyukai menulis memoar politik, tetapi banyak orang lebih menyukai penulisannya ketika dirinya lebih dahulu meninggal dunia. Pesan moral : menulislah ketika Tuhan Yang Maha Kuasa masih mengaruniai kita hidup dan mampu menulis.
Paling akhir, sambil minta maaf sama filsuf dan matematikawan Perancis, Rene Descartes (1596-1650) yang terkenal dengan semboyan Je pense, donc je suis (Cogito ergo sum), ijinkanlah saya memplesetkannya menjadi slogan kaum epistoholik yang semoga juga bakal sangat terkenal :
Episto ergo sum
Saya menulis surat pembaca karena saya ada !
Wonogiri, 23 Juli 2004
Hari Anak Nasional
P.S. : Majalah Intisari edisi Juli 2004 telah memprofilkan dua epistoholik Indonesia. Yaitu, Bapak Gandhi Sukardi (71), mantan wartawan kantor berita Antara dan ayah dari Menteri BUMN Laksamana Sukardi, pemegang rekor MURI menulis surat-surat pembaca di surat kabar The Jakarta Post, dan Bambang Haryanto, pencetus Epistoholik Indonesia/EI.
Esai Epistoholica No.1/Juli 2004
Home : Epistoholik Indonesia/EI
DIARY OF ANNE FRANK. Buku harian paling terkenal di dunia mungkin milik Anne Frank. Gadis Jerman-Yahudi kelahiran tahun 1929 itu tewas di kam konsentrasi Jerman tahun 1945. Ketika Nazi berkuasa di Jerman di bawah pimpinan mantan seniman gambar poster yang ketika berkuasa menjadi monster diktator, yaitu Adolf Hitler, Anne Frank melarikan diri ke Amsterdam. Dalam persembunyian antara 1942-1943 itu ia menumpahkan ketakutan dan juga harapan dalam sebuah buku harian. Ia menjadi simbol perjuangan dan keberanian bangsa Yahudi dan kemanusiaan ketika diterbitkan tahun 1947.
PENJAGA ARTIS BOMB SEX. Tetapi buku harian tidak selalu dapat nama harum. Adalah politisi konservatif Inggris Enoch Powell (1912-1998) dalam wawancara di koran Sunday Times (6/11/1977) secara sinis bilang, menulis buku harian itu seperti menelan kembali muntahannya sendiri. Hoek, hoek, hoek.
Sokurlah, almarhumah bintang film bomb sex sepuh, Mae West (1892-1980), punya nasehat cerah tentang buku harian. Katanya, tulis dan simpan buku harianmu karena ia suatu hari akan menjagamu. Pendapat mengenai buku harian lainnya dapat dikutip dari Oscar Wilde (1854-1900), dramawan dan penyair Inggris-Irlandia, bahwa dirinya tak pernah melakukan perjalanan tanpa ditemani buku hariannya. Katanya, seseorang harus ditemani sesuatu yang sensasional untuk dibaca ketika dalam perjalanan naik kereta api. Bagus juga, daripada beli majalah atau koran.
Bagaimana pendapat Anda ?
Apakah Anda juga memiliki buku harian selama ini ?
PESONA PARAKAL. Saya juga menulis buku harian. Baru-baru ini, dalam upaya me-recall atau membangkitkan kembali peristiwa seputar gagasan komunitas Epistoholik Indonesia, saya mencoba membolak-balik lagi buku harian saya. Buku tahun 1992 dan 1994.
Tercatat bahwa pada hari Jumat, 10 April 1992, saya yang saat itu berdomisili di Jakarta, mengunjungi Perpustakaan American Cultural Centre (ACC) yang terletak di Wisma Metropolitan II, Jl. Jenderal Sudirman, Jakarta. Saya anggota perpustakaan ACC dan secara rutin berkunjung ke perpustakaan ini. Menurut saya, saat itu ACC adalah perpustakaan terbaik di Jakarta. Majalah-majalah manca negaranya banyak, selalu mutakhir. Buku-buku barunya selalu bikin senewen, sebab mana yang lebih dulu untuk dibaca ?
Saat itu ketika membaca-baca aneka majalah, saya tertarik pada paparan majalah TIME (6/4/1992) mengenai sosok tokoh penulis surat pembaca asal India, Anthony Parakal. Eureka ! Sebagai penulis surat pembaca sejak tahun 1970-an, kisah Anthony Parakal itu bagi saya langsung menjadi setrum ribuan volt, sebuah booster moral bagi diri saya bahwa menulis surat pembaca itu cool dan berharga !
Artikel menarik itu lalu saya fotokopi. Sayang sekali, fotokopi itu saat ini tak lagi saya punyai. Tetapi yang pasti, peristiwa ini telah saya catat dalam buku harian saya. Sejarah kecil dan cikal bakal gagasan tentang Epistoholik Indonesia/EI
itu pun mulai bergulir. Dapatkah tanggal 10 April 1992 ini dianggap sebagai kelahiran embrio Epistoholik Indonesia, komunitas jaringan para penulis surat pembaca se-Indonesia ?
SAYA DAN PAK SOEROYO 1992 DAN 2003. Pada hari Rabu, 22 April 1992, karena kebelet ingin menularkan sosok Anthony Parakal itu, saya nekad dan mengamuk dengan mengirimkan surat-surat dan fotokopi kisahnya di majalah TIME itu kepada 3 orang yang sering namanya saya jumpai dalam kolom surat pembaca. Mereka adalah : Bapak Soeroyo (Solo), Haji G. Malikmass (Jakarta, penulis buku Catatan Anak Emas Soekarno, terbitan Galang Press Yogyakarta) dan Lucas Sumanto (Jakarta).
Suatu kebetulan sejarah, atau takdir mungkin, sebelas tahun kemudian saya tergerak kembali untuk mengirim surat untuk mencoba mengenalkan bab Epistoholik Indonesia kepada Bapak Soeroyo (Solo), lagi. Surat saya di tahun 1992 memang tak ada balasan dari beliau.
Tetapi tahun 2003, beliau membalas dan berkenan bergabung dalam EI. Bahkan tanggal 24 Desember 2003, beliau mendapat penghargaan dari Republik Aeng-Aeng karena selama tahun 2003 telah menciptakan rekor menulis 39 surat pembaca sepanjang tahun di Harian Solopos (Solo). Dalam acara penyerahan piagam di Balai Soedjatmoko Solo saya bisa bertemu muka dengan Pak Soeroyo, untuk kedua kali ketemu temu Pak Moegono, walau kontak saya ke Pak Soeroyo 22 April 1992 itu sama-sama tidak kita sadari saat itu.
Pada hari Sabtu, 25 April 1992, surat dan fotokopi kisah hebat Anthony Parakal itu ngawur saya kirimkan juga kepada Bapak dr. Willie Japaris (Jakarta). Esoknya, 26 April 1992, kepada Bapak Drs. Sunarto Prawirosujanto (Jakarta) dan Ir. Bambang Hesti (Semarang). Bahkan pada hari Kamis, 30 April 1992, saya kirimkan surat yang mempromosikan epistoholik fantastis a la Pak Anthony Parakal itu kepada bintang film/sutradara yang kini jadi politisi : Sophan Sophiaan.
Hari Jumat, 1 Mei 1992, ketika main ke Toko Buku Rawamangun, Jakarta Timur, saya menemukan majalah TIME (4 Mei 1992) yang kembali memuat beragam komentar pembaca mengenai Anthony Parakal. Artikel ini tidak saya fotokopi dan saat ini saya tidak ingat apa isi informasinya. Mereka-mereka yang saya kirimi surat itu tak ada yang memberikan balasan.
PELUNCURAN EI 1994 DAN DIDUGA GURU BACA PUISI. Dua tahun kemudian, 1994, barulah saya memberanikan diri memasarkan gagasan mengenai Epistoholik Indonesia itu ke media massa. Dari buku harian tahun 1994, tercatat : Kamis 13 Januari 1994, saat itu saya lagi liburan di Wonogiri, menulis surat pembaca untuk mempromosikan Epistoholik Indonesia ke Harian Bernas, Kedaulatan Rakyat dan Suara Merdeka. Sepanjang yang saya bisa catat, surat saya itu dimuat di Harian Bernas, Selasa, 18 Januari 1994. Jadi, mana tanggal yang tepat sebagai kelahiran Epistoholik Indonesia : 10 April 1992, 13 Januari atau 18 Januari 1994 ?
Pada tanggal 15 Januari 1994, kembali saya mempromosikan EI ke surat kabar Bisnis Indonesia, Pikiran Rakyat, Republika dan majalah Tempo. Pengiriman ke harian Suara Pembaruan, 17 Januari 1994. Harian Kedaulatan Rakyat, 20 Januari 1994, memuat surat pembaca saya mengenai EI dimana redaksinya bermurah hati memberikan komentar : Ide bagus !. Harian Bernas, 22 Januari 1994, memuat surat pembaca dari Pak Mardjuki, intelektual dari Yogyakarta (dulu Pemred Majalah Semangat, pernah mengirimi surat berisi bombongan agar saya terus menulis !), berisi dorongan, katanya : EI adalah ide cemerlang !
Tanggal 8 Februari 1994, saya kembali ke Jakarta. Saat itu PO Box saya banjir surat, ada sekitar 40 buah. Bahkan ada surat kejutan yang manis, walau keliru, dari seorang wanita yang bekerja sebagai penerjemah di Harian The Jakarta Post. Katanya, setelah membaca promosiku tentang Epistoholik Indonesia ia mengira bahwa diriku adalah guru yang pernah mengajari membaca puisi ketika dirinya masih kecil dan tinggal di Purwokerto dulu-dulu.
PAK DARMAWAN DAN SAYA 1994 dan 2004. Surat pembaca promosi EI itu juga dimuat di Suara Merdeka, 7 Februari 1994 dan majalah Tempo, 19 Februari 1994. Merespons pemuatan di Tempo itu saya mendapat surat dari Bapak Darmawan Soetjipto, Jakarta. Ia adalah alumnus Universitas Indonesia jaman Glen Miller. Tentu saja, kontaknya saya balas dan sejarah kontak itu kembali terulang sepuluh tahun kemudian !
Gebrakan meluncurkan EI di tahun 1992 dan 1994, saya akui, jauh dari maksimal. Dana untuk menggalang komunikasi sering tidak memadai. Komunikasi antarkita saat itu belum dipermudah dan belum dipermurah, karena harus memakai media atom atau kertas, alias layanan snail-mail (pak pos) yang relatif lamban dan lebih mahal.
GO BLOG GLOBAL. Tahun 2004, saya relatif faham dan mampu mendayagunakan media komunikasi berbasis digital, yakni Internet. Terlebih lagi dewasa ini makin populernya teknologi tayang informasi di jagat Internet, yaitu blog atau personal journal (walau isinya pun bisa macam-macam, hanya dibatasi oleh imajinasi !) yang mudah dipelajari. Kalau dulu seseorang harus menjadi webmaster yang dituntut menguasai bahasa HTML dan beragam pemrograman rumit untuk bisa menayangkan buah pikirannya di Internet, berkat blog hal yang sama itu tak rumit lagi.
Teknologi blog sangat mudah. Asal Anda bisa mengetik komputer dan melakukan copy & paste, Anda bisa mengoperasikan penayangan buku harian digital Anda untuk terbit dengan audiens berskala global. Silakan coba kunjungi : Blogger.com. Kemudahan dan potensi dahsyat ini yang memicu saya untuk membangkitkan dan mempromosikan ide Epistoholik Indonesia lagi.
Salah satu surat pembaca saya tentang promosi itu dimuat di Majalah Tempo, 5-11 Januari 2004. Simak e-mail yang memberikan tanggapan di bawah ini :
From: Darsu Surya
Date: Mon, 12 Jan 2004 21:46:39 -0800 (PST)
To: Bambang Haryanto
Copy Surat :
Kepada Yth. :
Sdr. Bambang Haryanto
Alamat Email : epsia@plasa.com
Kepada Yth. : Redaksi Majalah Tempo
Fax No. : 392-1947
Terus terang kami cukup terperangah membaca cermat tulisan Sdr. Bambang Haryanto berjudul UNTUK PENULIS SURAT PEMBACA yang dimuat Tempo 5 - 11 Januari 2004. Tiada lain karena hampir 12 tahun lalu artikel TIME 6 April 1992 tentang Profil Epistoholic memang memukau dan menarik ekstra perhatian. Selepas membaca artikel itu, kami kala itu menulis sepucuk surat kepada seorang sastrawan terkenal ibukota dan mengusulkan pembentukan suatu Ikatan Penulis Surat Pembaca. Sayang karena satu dan lain hal surat itu tidak pernah terjawab dan pupuslah ide itu ditelan perjalanan waktu.
Syukurlah ide yang sama nampaknya kini diprakarsai oleh seorang local genius asal Wonogiri. Meneliti isi surat diatas, terungkap bahwa Sdr. Bambang Haryanto telah mengadakan persiapan cukup matang untuk SOP merintis suatu keorganisasian EC.
Menurut pengamatan kami cetusan ide EC ini tepat momentum mengingat perkembangan TI (Teknologi Informasi) cepat membuka kemungkinan-kemungkinan luas yang tadinya tidak terbayangkan untuk berkomunikasi. Melalui kiriman surat ini kami sampaikan selamat atas prakarsa Sdr. Bambang Haryanto dan enthusias menyatakan dukungan sepenuhnya. Guna merealisir dukungan ini sangat kami harapkan perincian syarat-syarat untuk jadi anggota EC diatas.
Mudah-mudahan dukungan serupa disusul pula oleh para penulis surat pembaca (pensupem) lainnya di ibukota dalam rangka ikut memberikan sumbangsih pencerahan dan ikut serta mencerdaskan bangsa melalui media pers.
Terima kasih.
Darmawan Soetjipto
Sejarah berulang. Dunia epistoholik itu kecil. Pak Soeroyo, juga Pak Darmawan Soetjipto, juga Anda semua dan saya, rupanya tertakdir memiliki orbit yang terus saling bersilangan. Saya bahagia bisa mencatat momen-momen itu dalam buku harian saya.
Masihkah Anda tertarik untuk memiliki buku harian kertas atau pun digital ? Untuk yang digital, silakan coba kunjungi Episto ergo sum. Di sana tersaji nama-nama warga EI yang telah memiliki buku harian berskala global : situs blog di Internet.
Kalau nama Anda belum tercantum di sana, segera mulailah kini dengan mengamuk (idiom ini sohor di kalangan epsitoholik yang berasal dari Lasma Siregar, Melbourne, Australia), menulislah surat-surat pembaca yang hebat, inspiratif, menggebrak dan bermanfaat bagi khalayak luas di media massa dan sekaligus menjadi warga Epistoholik Indonesia.
Selebihnya, hal mudah : silakan kontak saya di : epsia@plasa.com.
Akhirnya, politisi dan penulis Irlandia, Máire Geoghegan-Quinn (1950- ) berujar : Saya selalu menulis buku harian politik ketika saya terjun ke dunia politik. Saya menyukai menulis memoar politik, tetapi banyak orang lebih menyukai penulisannya ketika dirinya lebih dahulu meninggal dunia. Pesan moral : menulislah ketika Tuhan Yang Maha Kuasa masih mengaruniai kita hidup dan mampu menulis.
Paling akhir, sambil minta maaf sama filsuf dan matematikawan Perancis, Rene Descartes (1596-1650) yang terkenal dengan semboyan Je pense, donc je suis (Cogito ergo sum), ijinkanlah saya memplesetkannya menjadi slogan kaum epistoholik yang semoga juga bakal sangat terkenal :
Episto ergo sum
Saya menulis surat pembaca karena saya ada !
Wonogiri, 23 Juli 2004
Hari Anak Nasional
P.S. : Majalah Intisari edisi Juli 2004 telah memprofilkan dua epistoholik Indonesia. Yaitu, Bapak Gandhi Sukardi (71), mantan wartawan kantor berita Antara dan ayah dari Menteri BUMN Laksamana Sukardi, pemegang rekor MURI menulis surat-surat pembaca di surat kabar The Jakarta Post, dan Bambang Haryanto, pencetus Epistoholik Indonesia/EI.
Subscribe to:
Posts (Atom)