Wednesday, June 29, 2005

Lelaki Epistoholik, Cewek Bule dan Harian Kompas

Oleh : Bambang Haryanto
Esai Epistoholica No. 22/Juni 2005
Email : epsia@plasa.com
Home : Epistoholik Indonesia




IMAJINASI YANG TERPILIH ! Sebagai kaum epistoholik, sejak kapan Anda menulis surat-surat pembaca untuk harian Kompas ? Saya berkenalan dengan harian ini pada tahun 1970-an justru bukan sebagai penulis surat pembaca. Tetapi sebagai koresponden lepas yang mengirimkan berita-berita seputar kesenian dan kebudayaan yang terjadi di Solo. Nama pena saya : Harry Taxi.

Salah satu peristiwa budaya yang pernah saya liput dan saya laporkan kepada Kompas adalah meninggalnya penari topeng pajegan legendaris dari Bali, I Nyoman Pugra. Beliau meninggal dunia seusai berpentas di Pusat Kebudayaan Jawa Tengah (PKJT) di Sasonomulyo, Solo (1975). Saat itu Pak Pugra mendukung pementasan maestro tari Sardono W. Kusumo yang beberapa saat sebelumnya telah menggegerkan Paris dan Eropa dengan tur membawa “Dongeng dari Dirah” yang fenomenal.

Tahun 1973 sampai 1980, saya berdomisili di Baluwarti, sisi lingkungan dalam komplek Keraton Surakarta. Bahkan sejak 1977 sampai 1980, bermewah-mewah dengan menongkrongi salah satu bagian dari gedung Keraton Solo yang saat itu di bawah pengelolaan Pusat Kebudayaan Jawa Tengah (PKJT). Yaitu gedung Kori Kamandungan, persis di sisi kanan depan Keraton Surakarta.

Dengan semangat swadaya, di Kamandungan ini saya memimpin untuk mengkreasi beragam kiprah kesenian seperti pentas musik, pameran lukisan, pembacaan puisi sampai pemutaran film seni. Kami juga menyelenggarakan Workshop Melukis Anak-Anak Gallery Mandungan. Saya sebagai penggagas dan sekaligus kepala sekolahnya, adalah lulusan Jurusan Mesin, Fakultas Keguruan Teknik UNS.

Mentornya adalah rekan-rekan mahasiswa Seni Rupa UNS. Antara lain Anang Syahroni, Putut H. Pramono, Wahyu Sukirno dan Sutarto. Kami mampu melebarkan sayap ke komplek POLRI Gendengan dan Lanuma Adisumarmo untuk keluarga TNI-AU/Angkatan Udara Republik Indonesia. Sebagian uang kursus peserta saya belikan buku-buku bacaan anak-anak. Sebelum kelas dimulai, mereka dapat membaca-baca buku cerita terlebih dahulu.

Ketika pelbagai karya lukisan anak-anak workshop kami ditayangkan oleh Pak Tino Sidin, yang pengasuh acara “Gemar Menggambar” di TVRI, anak-anak Solo ibarat kena demam lukisan anak-anak. Ketika kami membuka kelas gratis, hampir seribuan anak yang langsung ikut serta. Saya juga menciptakan nama trofi untuk lomba lukis anak-anak se-Jateng/DIY 1979 & 1980 yaitu Samskara Pinastika (Imajinasi Yang Terpilih).

Sebagai orang yang menaruh perhatian terhadap pentingnya budaya membaca dan menulis, tahun 1977 saya menyelenggarakan pameran majalah dinding SLTA Solo. Tahun berikutnya, dengan menggalang kerjasama dengan Perpustakaan Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, dibantu stafnya yang dedikatif Mas Hari Santoso dan pimpinannya, St. Kotska Sugeng (beberapa tahun kemudian saya menjadi satu alumni dengan beliau di UI), saya bisa memamerkan karya-karya majalah dinding SLTA Yogyakarta di Solo.

Saya masih ingat di majalah dinding SMA de Britto Yogyakarta itu ada nama Herry Gendut Janarto, yang beberapa tahun kemudian terkenal sebagai penulis biografi (antara lain Mien Uno dan Bagito), redaktur majalah anak-anak Bobo dan pengamat humor. Juga ada nama YB Margantoro, yang kini sebagai wartawan senior di Harian Bernas Yogyakarta.


TEATER SAMPAI TARI. Kiriman berita saya untuk Kompas yang sempat menjadi bahan pengayaan tulisan redaktur budayanya saat itu, Sides Sudyarto DS, adalah mengenai rangkaian pementasan keliling Indonesia sampai Malaysia oleh kelompok Teater Keliling Jakarta yang dipimpin oleh Rudolph “Rudi” Puspa dan Derry Sirna. Teater Keliling rutin berpentas di Solo mengusung karya Arifin C. Noer dari “Mega-Mega” sampai “Kapai-Kapai”.

Selain Rudi dan Derry, orang teater Jakarta yang sempat seliweran di PKJT Sasonomulyo antara lain Putu Wijaya, Jajang C. Noer (saat muda ia cantik, khas, menarik), Deddy Miswar, Priyo S. Winardi, Saraswati Sunindyo (ayahnya, Pak Sunindyo, beberapa tahun kemudian menjadi dosen saya di UI), Cok Simbara dan Sri Husin. Cewek Jakarta yang terakhir ini menjadi teman ngobrol asyik seusai ia pentas. Saat itu saya ditemani cewek Australia yang tetangga “bule masuk kampung” saya, Victoria Monk, hingga larut malam.

Selain Tory, masa-masa itu saya juga mengenal Helen Pausacker, juga cewek Australia. Helen belajar menjadi dalang. Helen wajahnya lembut. Suka senyum. Saya sempat mengikuti Helen saat ia belajar mendalang. Saat itu saya menghimpun bahan untuk memprofilkan diri Helen secara panjang lebar di majalah Variasi.

Helen saat itu mengajari saya menyanyikan lagu yang juga pernah dinyanyikan oleh Rod Stewart, “Waltzing Mathilda”. Lagu rakyat Australia. Nama wartawan saya untuk majalah Variasi ini lain lagi : Harry Tekssi-Wong Solo.

Helen baru-baru ini tampil menjadi ko-editor buku Chinese Indonesians : Remembering, Distorting, Forgetting (2005) yang diterbitkan oleh Institute of Southeast Asian Studies, Universitas Melbourne, Australia. Dalam buku bunga rampai yang memuat 9 tulisan para ilmuwan, misalnya Arief Budiman, Leo Suryadinata sampai Jean Gelman Taylor, juga disertakan tulisan mengenai keterlibatan Tionghoa dalam wayang, dengan fokus pada wayang purwo dan kulit.

Cewek bule lainnya yang tak tanggung-tanggung jahil memberiku julukan sebagai beatnik, yang definisinya pemuda dan pemudi di Amerika Serikat yang tingkah lakunya berlawanan dengan segala adat kebiasaan, adalah Sisca. Ia penari, asal Amerika Serikat. Sisca lebih ekspresif. Juga suka fotografi, dimana kami pernah melakukan pameran bersama.

Pernah dalam ngobrol-ngobrol, ia saya tanya bagaimana cara dia mengobati rasa kangen terhadap cowoknya di AS sana. Sisca punya solusi aneh yang mengundang senyum : dengan memandangi berlama-lama sepatu cowoknya yang ia bawa ke Indonesia. Kalau Anda pernah menonton film mengharukan tentang kisah cinta antar-reporter televisi, Up Close & Personal yang dibintangi Robert Redford dan Michele Pfeiffer, sepatu juga menjadi simbol cinta sekaligus simbol akhir sedih dari cinta mereka.


Sedang cewek bule dari Eropa yang saya kenal saat itu adalah Marlene Heinz. Asal Belanda. Juga penari. Anak seorang profesor. Marlene nampak anggun dan ningrat memesona bila tampil melilitkan syal panjang batik di leher jenjangnya.

Mungkin didorong oleh perasaan sok gengsi atau sok ikut menguri-uri atau melestarikan kesenian tradisional Jawa yang adiluhung, saya pernah terpaksa sok betah dan sok asyik kala menemani Marlene menonton pertunjukan tari di Keraton Mangkunegaran. Ketika berlangsung Festival Wayang Se-Indonesia (1978) di Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta, saya sempat menjadi “bodyguard” untuk Helen, Marlene dan Sisca tadi.

Saat itu saya ikut masuk rombongan kelompok tari Wayang Buddha, pimpinan Suprapto Suryodarmo. Helen, Marlene dan Sisca berangkat lebih dulu ke Jakarta. Inilah kali pertama saya ke Jakarta. Sebagai pencinta buku, saya menyempatkan diri main ke Toko Buku Gramedia, Jl. Gajah Mada. Saya hanya bisa membawa pulang bukunya Ivan Illich, Energy & Equity (1974) yang isunya masih relevan, terutama dikaitkan dengan krisis energi, ketidakadilan sosial yang terjadi di jalan raya dan makin mahalnya BBM saat ini.

Ketika Wayang Buddha usai berpentas, diputuskan esoknya rombongan segera kembali ke Solo. Walau sebenarnya festival belum usai. Tak dinyana, Marlene melarang saya yang mau ikut kembali ke Solo. Ia merajuk agar saya mau terus menemaninya dua hari lagi di Jakarta, hingga seluruh acara festival itu usai. OK. Saya tak bisa menahan rayuan cewek asal negara bekas penjajah, londo ini, dan saya mengiakan permintaannya. Mata Marlene berbinar-binar.

Kalau sebelum pentas rombongan kami ditampung di Wisma Seni TIM Cikini, kini saya harus mencari tempat nginep lain di Jakarta. Saya numpang di tempat teman saya, Joko Waluyono (teman SD), di bilangan Setiabudi. Begitulah, tiap malam kami berempat bertemu untuk berfoya-foya nonton beragam pementasan wayang dari penjuru tanah air di Taman Ismail Marzuki. Kebetulan Helen, Marlene dan Sisca tinggal di Kebayoran Baru, sehingga kami berempat saat pulangnya dari Cikini dapat ditempuh dengan taksi dalam satu rute yang sama.

Ketika festival usai, hanya saya dan Marlene yang memutuskan pulang bersama ke Solo. Naik kereta api Senja. Marlene cukup cerdik, saat membeli tiket ia menggunakan kartu mahasiswa Belandanya. Kami dapat diskon.

Sepanjang perjalanan, ketika malam merambat menjadi tua, rambut blondanya Marlene menari berkibaran diterpa angin malam yang menerobosi jendela kereta. Bayangkanlah kedamaian padang tulip yang ditepis angin. Ujung-ujung rambutnya lembut sesekali menampari sebagian mukaku. Aroma tubuh perempuan Amsterdam itu menyala di setiap pori-porinya. Marlene, penari gemulai itu tertidur dalam pelukan. Sleeping Beauty. Sepanjang kereta api berjalan. Sepanjang malam.

Esoknya, ternyata kereta api mogok di Klaten. Kami harus berganti naik angkutan Colt dan turun di Pasar Klewer. Pengalaman gonta-ganti moda angkutan ini membuat dia hanya ketawa-ketawa ketika kami saling mengenangkannya.


SURAT UNTUK SYAMSUL HARAHAP. Harian Kompas saat itu belum mampu saya langgan. Harian ini baru tiba di Solo sekitar jam 11 siang. Agar bisa terus mengikuti perkembangan, dan mencek nasib kiriman tulisan-tulisan saya, maka hampir tiap senja saya menongkrong di kios korannya Mas Jo di bilangan Pasar Pon.

Kios koran di dekat gedung bioskop Ura Patria (UP) di jantung kota Solo, tapi kini sudah tergusur, adalah pusat informasi saya. Inilah tempat saya numpang baca-baca koran dan majalah secara gratisan, dan membelinya bila ada yang beritanya relevan.

Saya tidak ingat apakah sebelum tahun 1981 saya pernah menulis surat pembaca untuk Harian Kompas. Dari file yang saya punyai, saya menulis surat pembaca untuk Kompas ketika saya sudah berdomisili di Jakarta. Saat itu saya berkuliah di Universitas Indonesia, Rawamangun, Jakarta Timur. Inilah surat pembaca saya tersebut :



SELAMAT JALAN, SELAMAT DATANG
Kompas, Jumat, 9 Oktober 1981


Syamsul, sejarah telah mencatat bahwa mahkota yang menghiasimu selama sembilan tahun sebagai raja kelas welter ringan tinju nasional, telah tumbang. Adakah kau amat menyesalinya ? Semoga tidak.

Karena waktu memang terus saja mengalir. Dia mengelus dan selalu melahirkan juara-juara baru, benih-benih baru. Aku ucapkan selamat jalan bila kau telah berniat untuk menggantung sarung tinju, sekaligus teriring salam selamat datang untuk buah penamu di masa datang.

Selamat datang Syamsul, sebagai kolumnis tinju. Memang di arena ini akan sepi dari medali, himne kemenangan atau pun sorak-sorai kekaguman. Juga kecil kansmu –sebagai kolumnis tinju—semisal untuk meraih semacam Pulitzer, terlebih lagi karena hadiah Adinegoro kita itu terlalu “pembangunan”.

Selamat datang Syamsul, sebagai kolumnis tinju. Penamu yang terbukti begitu tajam, arif dan berintelegensia itu adalah tahta yang “tidak tertumbangkan” oleh usia. Justru ia akan mengasahnya menjadi semakin bijak. Dan aku kira, di arena baru inilah namamu akan selalu terpateri pada setiap dada petinju-petinju muda, benih-benih baru, yang kau lecut lewat pena-penamu. Selamat datang.


Bambang Haryanto
Jurusan Ilmu Perpustakaan-FSUI
Jl. Belimbing 24 B
Jl. Balai Pustaka Jakarta



BAPAK ANGKAT IKAN PAUS . Harian Kompas Sabtu, 13 Januari 1990, di kolom Pojok Kompas-nya Mang Usil tertulis :

“Seorang pembaca mengusulkan agar di Indonesia didirikan klub bapak/ibu angkat untuk satwa- terutama yang besar-besar dan banyak makannya- yang dipelihara di KB Ragunan, untuk membantu pemeliharaan dan perawatan mereka. Mang Usil setuju banget.”

Inilah surat pembaca yang beruntung mendapat accolade asyik tersebut :



ADOPSI SATWA RAGUNAN
Kompas, Jumat, 12 Januari 1990


Untuk memaksimalkan fungsi KB (Kebun Binatang) Ragunan, pengelola kebun binatang tersebut antara lain telah melaksanakan sistem bapak angkat untuk beberapa koleksi satwanya. Pada sistem ini bapak angkat bersedia membiayai perawatan binatang yang dipilihnya, dan untuk KB Ragunan baru diminati oleh lima orang yang semuanya orang asing (Kompas, 8/1/1990).

Berdasarkan berita tersebut tampak kesan bahwa untuk menjadi bapak angkat satwa koleksi KB Ragunan pasti membutuhkan biaya mahal dan eksklusif. Apabila kesan itu benar, saya ingin usul agar KB Ragunan sudi menerapkan sistem bapak angkat untuk satwa koleksinya seperti yang telah dikerjakan oleh International Fund for Animal Welfare (IFAW) di Massachusetts (AS) untuk binatang ikan paus yang sering berkeliaran di perairan Cape Cod, Massachusetts, sejak tahun 1982 (Reader’s Digest , 1/1984).

Lembaga tersebut menerbitkan katalog berisi sketsa masing-masing ikan paus yang ada, ukuran dan nama sebutannya. Dengan menyumbang dana sebesar 10 dollar setiap bapak angkat memperoleh sertifikat pengadopsian dan foto anak angkatnya. Tercatat lebih dari 8.000 orang telah mengangkat anak ikan-ikan paus tersebut, dan metode IFAW ini nampak lebih “demokratis”, juga dapat dimassalkan, dibanding metode bapak angkat KB Ragunan yang berkesan mahal dan eksklusif itu.

Kerja sama KB Ragunan dengan media massa dan biro iklan untuk merancang iklan layanan masyarakat mengenai peluang masyarakat menjadi bapak/ibu angkat satwa koleksinya, mungkin merupakan salah satu jalan yang dapat ditempuh untuk memobilisasi dana demi memaksimalkan fungsi ideal kebun binatang di Indonesia.


Bambang Haryanto
Career Book Club/CBC
PO Box 55/Jatra
Jakarta 13220



GUS DUR VS SEPAKBOLA. Menjelang Piala Dunia 1990, saya kembali menulis surat pembaca untuk Kompas, kali ini tentang sepakbola. Saat itu RCTI yang baru hadir, dengan menggunakan dekoder untuk para pelanggan, sebagai stasiun resmi untuk penayangan siaran langsungnya.

Sebagai anak kos, tentu tidak mampu membeli dekoder. Tidak ayal, hampir tiap malam saya harus mau bergabung bersama mahasiswa dan masyarakat Rawamangun untuk hura-hura nonton Piala Dunia di Asrama Mahasiswa UI Daksinapati, Rawamangun, Jakarta Timur.


KEINDAHAN SEPAK BOLA
Kompas, Sabtu, 30 Juni 1990


Kejuaraan sepak bola Piala Eropa 1988 telah dua tahun berlalu, tetapi ia belum terlupakan. Ia bukan Gullit. Bukan pula Koeman atau Marco Van Basten, walau pun sama-sama memamerkan keindahan sepak bola.

Gullit menggelar kegarangan dalam menanduk bola, Koeman meragakan konsentrasi energi dengan tendangan geledeknya, tetapi ia dengan ujung pena yang dituntun kecintaan terhadap sepak bola, riset literatur yang luas, wawasan yang dalam, ketajaman pikir dan keindahan optimal ekspresi dalam bahasa.

Kini dalam Piala Dunia Italia 1990, ia kembali. Anak bajang kembali menggiring bola, serangkaian laporan dan analisis yang indah dan dalam, kembali disajikan wartawan “khusus” Kompas, Sindhunata. Pasti saya hanya salah satu di antara banyak sekali pembaca yang menyukai tulisannya yang memeragakan keindahan sepak bola.

Tetapi saat ini saya masih punya harapan tersembunyi. Sebab selama ini ini media massa kita nampak lupa menampilkan komentar atau ulasan sepak bola dari seorang pengamat sepak bola yang tidak kalah tajam wawasan atau pun inteligensianya. Beliau yang saya maksud adalah K.H. Abdurachman Wahid. Bagaimana, kiai ?


Bambang Haryanto
Job-Hunting Consultant
Dept. KS-VI
PO Box 55/Jatra
Jakarta 13220 B



ANAK PEMALU DAN BARBARIANS ! Saya berkuliah di Jurusan Ilmu Perpustakaan Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Jakarta, mungkin sebagai perpanjangan minat dan kecintaan saya terhadap buku. Saya menyukai perpustakaan, tetapi kurang menyukai pekerjaan rutin dan administratif perpustakaan. Saya menyukai kegiatan yang membuka peluang krida kreativitas dan berfokus pada upaya “menjual” perpustakaan. Mencakup promosi, pemasaran dan bahkan juga kehumasan. Selama menjadi mahasiswa, saya banyak menulis topik langka ini.

Saya mencintai buku sejak SD, mungkin karena saya adalah anak lelaki yang pemalu. Saking pemalunya, bila hendak menginginkan sesuatu, saya sering tidak berani mengatakan terus terang kepada ayah atau ibu saya. Jalan keluarnya, mungkin inilah bibit kronis sebagai seorang epistoholik mulai berkecambah, yaitu dengan menulis surat.

Saat itu ketika saya duduk di kelas SD bahkan sampai lulus SMP, ayah saya Kastanto Hendrowiharso sebagai anggota TNI-AD, bertugas di Yogyakarta. Keluarganya tetap di Wonogiri. Bapak saya tiba di Wonogiri hari Sabtu sore, dan kembali ke Yogya hari Senin pagi-pagi.

Salah satu momen mengesankan waktu kecil, saya pernah diajari bapak untuk mengokang pistol. Yang terasa ringan adalah pistol Vickers yang pegangannya seperti irisan di permukaan tempe yang akan digoreng (“agar bumbunya meresap”, kata ibu saya). Beberapa saat kemudian berganti dengan FN 45, yang lebih berbobot dan berat mengokangnya. Saya belum pernah menggunakannya.

Saya suka menulis surat mini, memo, bila menginginkan dibelikan buku. Terutama ketika awal bulan, di mana saya tahu saat itulah serial kegemaran saya, karya SH Mintardjo, Nogosoro-Sabukinten, diterbitkan. Memo itu berisi judul serial buku itu, nomor jilid, lalu saya masukkan ke kantong baju dinas ayah saya.

Hari Sabtu depan, kemudian menjadi hari yang menyenangkan. Ayah saya tiba sekitar jam 4 sore, saya lalu membuka tasnya. Bila buku Nogosoro-Sabukinten saya temui, maka sekitar jam 7 malam seluruh isi buku tersebut sudah saya tuntaskan. Koleksi Nogosoro-Sabukinten juga sering dipinjam teman. Bahkan oleh teman-teman baru yang jauh dari kampungku.

Walau pun pemalu, anehnya, saat duduk di Sekolah Dasar Negeri Wonogiri III salah satu pelajaran yang saya sukai adalah bercerita di depan kelas. Saya ingat, kalau perbendaharaan cerita teman-teman saya seputar cerita Kucing Gemuk vs Kucing Kurus, saya bisa menceritakan Kisah Pertempuran Laut Arafuru, Pemberontakan di Kapal Tujuh, Siti Gahara sampai Hikayat Indera Bangsawan.

Tetapi saya pernah terkagum sama teman saya Mulyadi, cucu seorang jagal sapi, karena bisa menceritakan kisah tentang anak yang mampu naik ke langit dengan memanjat turus kacang. Cerita yang mengherankan saya. Dari mana dia memperoleh cerita sehebat itu ? Ternyata dari buku pelajaran bahasa Inggris kakaknya yang bersekolah di SMP. Cerita yang membikin saya terkagum itu memang cerita yang terkenal di seluruh dunia : Jack And The Beanstalk !

Di bawah ini dua surat pembaca saya yang mengoreksi informasi tentang buku dan penulis buku :



F. ROSS JOHNSON BUKAN NOVELIS !
Kompas, Rabu, 1 Mei 1991


Dalam features mengenai ekspansi kerajaan elektronik Jepang Sony ke dunia hiburan di AS (Kompas, 19/4/1991) antara lain disebutkan bahwa Sony akan meluncurkan beberapa judul film berbiaya mahal. Salah satu judul film disebut Barbarians At The Gate yang dibuat berdasarkan novel laris Ross Johnson.

Saya ingin meralat info terakhir ini. Ross Johnson bukanlah seorang novelis. Buku Barbarians At The Gate : The Fall of RJR Nabisco (judul kompletnya) juga bukan karya novel, melainkan buku nonfiksi yang disusun oleh Bryan Burrough dan John Helyar. Penerbitnya Harper & Row, 1990. ISBN 0-6-016172-8.

Isinya mengenai kisah pertarungan dan kejatuhan CEO RJR Nabisco bernama lengkap F. Ross Johnson yang “serakah” meluncurkan produk rokok tidak berasap dan melancarkan usaha merger untuk mempergemuk pundi-pundi uangnya sendiri. Upayanya gagal, ia tidak mendapat dukungan direksi, dan Johnson mengundurkan diri bulan Februari 1989.

Buku Barbarians At The Gate itu telah dipilih oleh majalah bisnis Business Week (10/12/1990) sebagai salah satu buku terbaik bisnis tahun 1990.


Bambang Haryanto
Job-Hunting Consultant
CBC-Dept. KS-4
PO Box 55/Jatra
Jakarta 13220 B



BUKAN LULUSAN HARVARD
Kompas, Senin, 30 September 1991


Tulisan features mengenai kiprah gurita agen tenis pro dunia oleh wartawan Kompas di Tokyo H. Witdarmono (Kompas, 16-17 September 1991) memang menarik. Namun ada kekeliruan fatal ketika ia mengisahkan riwayat pendidikan Mark Hume McCormack, pendiri agen tenis IMG (International Management Group) yang ditulis sebagai lulusan dari Harvard Law School yang bergengsi tersebut.


Data tersebut keliru. Mark H.McCormack yang oleh majalah Sport Illustrated dijuluki sebagai “the most powerful man in sports” karena kiprah IMG-nya bukan lulusan Harvard Law School, melainkan dari Yale Law School.

Oleh karena itulah ia menulis buku-buku best-seller yang judul-judulnya merupakan “ejekan” bagi Harvard, yaitu :

What They Don’t Teach You At Harvard Business School, What They Still Don’t Teach You At Harvard Business School (buku ini saya miliki, saya beli untuk hadiah HUT-ku, 24/8/1990-BH) dan What They Don’t Teach You At Harvard Law School.


Bambang Haryanto
Job-Hunting Consultant
CBC-Dept.KS-9
PO Box 6255/Jatra
Jakarta 13220 B



SURAT PEMBACA SEBAGAI MEDIA PROMOSI. Saya menyewa fasilitas kotakpos di Kantorpos Rawamangun sejak tahun 1983 sampai tahun 1998. Saat itu kantorpos adalah pusat aktivitas kerja saya. Bahkan juga untuk memperoleh cinta dari Anez, Calista, Niken, Tutut sampai Tya. Saat saya kuliah di UI itu Marlene Heinz kembali ke Belanda. Kontak antarkami Amsterdam-Jakarta melalui surat, akhirnya terhenti. Marlene kini tinggal di Solo, suaminya orang Jawa, anaknya berumur 6 tahun. Saya belum pernah ketemu dirinya lagi.

Saat itu, dengan fasilitas kotakpos saya juga berbisnis informasi panduan mengenai kiat-kiat strategi berburu pekerjaan. Mengecerkan informasi yang diramu dari sekitar 30-an buku-buku strategi berburu pekerjaan dan ratusan artikel majalah luar negeri yang saya koleksi. Cara mempromosikan bisnis tersebut, tentu saja, cukup melalui kolom surat-surat pembaca. Salah satu contohnya di bawah ini :



JEBAKAN IKLAN LOWONGAN KERJA
Kompas, Sabtu, 18 Desember 1993.


Berburu pekerjaan merupakan salah satu pekerjaan tersulit di dunia. Bahkan menurut saya, berburu pekerjaan adalah pekerjaan. Tak heran kalau konsultan karier Morin dan Cabrera (1982) menandaskan bahwa untuk memperoleh sukses, pencari kerja harus mengalokasikan waktu 35 jam per minggu untuk semata-mata berburu pekerjaan !

Tuntutan kerja keras di atas tidak banyak diketahui oleh rata-rata pencari kerja. Ketika terjun berburu pekerjaan, secara naluriah mereka langsung merujuk iklan-iklan lowongan pekerjaan di media massa sebagai satu-satunya akses untuk memperoleh pekerjaan.

Artini Idasmawati dalam suratnya yang dimuat Kompas 7 Desember 1993 mengeluhkan lowongan pekerjaan yang ditawarkan dalam iklan selalu menuntut pengalaman kerja di bidangnya. Iklan-iklan tersebut, tulis Artini, membuat lulusan perguruan tinggi yang nonpengalaman kerja merasa takut dan rendah diri untuk melamar pekerjaan yang ditawarkan.

Rasa takut dan rendah diri seperti yang dialami Artini dapat dipahami. Hal ini terjadi karena mereka tidak mengetahui, bahwa iklan-iklan lowongan merupakan metode perekrutan karyawan yang punya bias hanya menguntungkan pihak perusahaan.

Menurut sebuah riset di AS, setiap iklan rata-rata dibanjiri 20 s.d. 1.000 pelamar. Pelamar yang berkualitas, sedang atau pun rendah, berbaur jadi satu. Realitas ini mempersulit proses seleksi, sehingga pihak perusahaan mencari akal untuk mempermudahnya. Salah satu caranya adalah dengan mencantumkan filter seperti yang dikeluhkan Sdr. Artini itu.

Sebaiknya, pencari kerja tidak usah termakan trik-trik perusahaan tersebut apabila Anda merasa memiliki kepribadian yang sesuai dengan tuntutan pekerjaan yang ditawarkan dan mempunyai sikap untuk mau selalu belajar, mengembangkan diri, maka persyaratan seperti pengalaman kerja itu tidak pantas ditakuti. Sebaiknya Anda terus saja melamar.


Bambang Haryanto
Job-Hunting Consultant
CBC-Dept. KS-12/93
PO Box 6255/Jatra
Jakarta 13062



SATU EDISI KOMPAS DUA SURAT SAYA . Di awal Juni (10/6/2005) saya memperoleh SMS dari sobat Joko Suprayoga (Kendal). Pola menulisnya sejak dulu tak berubah, suka dengan bahasa hiperbola yang membuat saya cenderung merasa seperti orang bodoh. Ia katakan bahwa harian Suara Merdeka telah memuat dua surat pembaca saya sekaligus.

Saya tidak tahu apa yang terjadi. Apa harian Suara Merdeka (10/6) itu berbeda antara edisi Kendal dengan edisi Wonogiri ? Yang saya temukan, hanya satu saja surat pembaca saya yang muncul di koran asal Semarang tersebut. Yaitu surat yang mengulik mewabahnya lelucon model plesetan yang tak mencerdaskan di Audisi Pelawak TPI (API).

Surat pembaca saya itu juga mengenalkan situs blog saya, Komedikus Erektus !, sebagai manifestasi niat saya untuk aktif memberikan sumbangan pemikiran bagi kemajuan dunia komedi Indonesia. Kalau hanya mengumpat saja, siapa saja bisa, kan ? Joko kemudian mengoreksi bahwa dua surat pembaca saya tersebut dimuat di Suara Merdeka edisi 5 Juni 2005. Benarkah omongan dia ?

Ternyata dalam koran edisi 5 Juni 2005 tersebut, bahkan tidak ada satu pun surat pembaca saya. Sudahlah. [Update 13/2/2010 : Joko Suprayoga telah berbaik hati mengirimkan link yang menunjukkan bahwa situs harian Suara Merdeka 10 Juni 2005 memang telah memajang dua surat pembaca saya.

Terima kasih, Mas Joko. Saya juga minta maaf karena telah menyebut Anda berbohong, karena saya terpicu fakta bahwa edisi tanggal 5/6/2005 yang Anda sebut dalam SMS Anda itu benar-benar nyata. Saya di Wonogiri saat itu memang mendapati fakta tentang keberadaan (juga ketidakberadaan) surat pembaca saya, baik edisi 10/6/2005 dan 5/6/2005, seperti yang telah saya tulis di atas].


Satu edisi koran yang memuat sekaligus dua tulisan surat pembaca saya memang pernah terjadi dalam hidup saya. Harian Kompas Minggu, 2 Januari 1994, telah memuat dua surat pembaca saya berjudul “Jurnalisme Televisi” dan “Sistem Pendidikan Ketinggalan Jaman”.

Dalam tulisan pertama saya mengritik selera kurang terpuji dari reporter televisi. Menurut saya, reporter televisi seperti insan yang tidak memiliki perasaan, ketika secara semena-mena mencocorkan mik ke wajah-wajah warga yang sedang tertimpa bencana. Termasuk horor yang mencekam, yang saya lihat saat itu, mereka mencocorkan mik ke wajah Ny. Basoeki Abdullah, istri pelukis terkenal. Terbingkai close up yang begitu dramatis dan memilukan, ia menceritakan saat-saat ia menemukan tubuh pelukis maestro kita tewas dianiaya penjahat.

Saya tuliskan, “dalam tampilan selera buruk itu, warga yang sedang dirundung bencana atau kesusahan di layar televisi seolah-olah malah tampil sebagai terdakwa”.


Dalam surat pembaca saya yang kedua, saya menulis : kini dunia pekerjaan telah mengalami perubahan, sementara dunia pendidikan tetap saja belum berubah. “Sistem pendidikan kita masih kuat berorientasi memenuhi tuntutan perusahaan-perusahaan manufaktur produksi massal, sistem yang diilhami prinsip manajemen ilmiah Frederick Winslow Taylor (1856-1915) yang membagi pekerjaan dalam bagian-bagian kecil dan sederhana sehingga dapat dikerjakan secara mudah oleh pekerja berpendidikan rendah...Mereka tidak diijinkan berpikir, karena berpikir adalah hak eksklusif manajer.”

Potret kuatnya faham Taylorism ini dapat kita simak dari media massa : lomba mewarnai gambar (bukan melukis !), acara cepat-tepat SD-SLTA di TVRI, pelbagai kuis ciptaan Ani Sumadi, asah terampil kelompencapir, kuis-kuis lokal di televisi swasta dan sebagainya. Padahal pelbagai kuis itu, seperti disebut Dr. Utami Munandar, adalah ajang adu kecerdasan “tingkat rendah”, tetapi dengan imbalan yang melimpah. Sementara di sisi lain, ada pekerja rendahan yang mampu “berpikir” seperti Marsinah, justru mengalami nasib mengerikan.

Akhirnya saya mengusulkan solusi : diselenggarakannya program business training, dan bukan job-training, dalam pendidikan kita. Contohlah aktivitas Junior Achievement yang sejak tahun 1919 di AS, di mana pelatihan ini tidak melulu mengajari siswa untuk mampu membaca neraca rugi-laba, akan tetapi juga mengajarkan anak didik untuk memanfaatkan sumber daya yang tersedia, modal dan informasi, sehingga menghasilkan uang. Hasil pelatihan ini membuat sumber daya manusia tidak mengenal uzur keterampilannya.


AYO GABUNG EPISTOHOLIK INDONESIA ! Surat pembaca saya yang mengenalkan komunitas Epistoholik Indonesia muncul di Kompas Jawa Tengah & Yogya, 5 Mei 2004. Saat itu saya mengomentari kiprah seorang guru di Solo yang suka mengamuk, menulis surat-surat pembaca. Beliau adalah FX Triyas Hadi Prihantoro, yang gara-gara surat itu pula kemudian sudi bergabung dalam komunitas Epistoholik Indonesia kita ini.

Dia juga pantas dicatat sebagai warga EI yang suratnya berjudul “Pilkada dan Cat” dimuat di harian Kompas pada penghujung sebelum harian yang membesarkan komunitas Epistoholik Indonesia itu mengalami perubahan. Bahkan dia pula, bersama Andreas Adhy Aryanto, sebagai warga Epistoholik Indonesia yang muncul pertama kali dalam harian Kompas wajah baru.

Pada bulan-bulan terakhir ini saya bisa berekspansi, menulis surat pembaca untuk Kompas Jawa Timur dan juga Kompas Yogyakarta.



FANATISME AREMANIA 2005
Harian Kompas Jawa Timur, Senin, 18 April 2005


Sebagai warga suporter sepakbola Solo, Pasoepati, saya mengucapkan duka cita yang mendalam atas tewasnya M. Abdul Rochim, suporter Aremania dalam kecelakaan lalu lintas saat mau mendukung tim Arema Malang bertanding melawan Persekabpas di Stadion Wilis, Madiun (10/4/2005) yang lalu. Saya juga prihatin atas kerusuhan yang meledak menyusul dibatalkannya pertandingan antara kedua tim yang sama-sama berasal dari Jawa Timur tersebut.

Saya mengagumi Aremania sejak tahun 2000. Pasoepati banyak belajar dari militansi arek-arek Malang ini. Hubungan antara suporter Solo dan Malang pun relatif harmonis, bersahabat, dan saling menghormati. Di tahun 2001, pernah hampir separuh Stadion Manahan Solo diokupasi oleh ribuan Aremania. Sokurlah, pertandingan berjalan semarak dan tak ada masalah berarti antarsuporter, walau pun saat itu tim tuan rumah justru mengalami kekalahan.

Tetapi di luar Solo, militansi Aremania yang sepertinya tidak pandang bulu dalam mengerahkan ribuan warganya, sering merugikan diri mereka sendiri. Baik merosotnya citra, karena munculnya hal-hal negatif, dan bahkan termasuk pula gagalnya mereka menonton sepakbola.

Pernah pertandingan di Sleman dibatalkan, antara lain karena penonton tuan rumah justru tidak memperoleh tempat. Gesekan pun terjadi, pertandingan batal, tetapi Panpel PSS Sleman mampu berbuat bijak. Yaitu memulangkan Aremania, dengan biaya mereka. Hal serupa, gerudukan ribuan Aremania yang tanpa kompromi, rupanya berulang di Stadion Wilis, Madiun, hari Minggu yang lalu. Tetapi buntut dari peristiwa tersebut lebih parah, yang berakibat tercorengnya citra Aremania.

Mungkin tidak mudah, ijinkan saya usulkan agar para senior Aremania, saudara-saudara saya, seperti Cak Surtato, Ponidi Thembel, Yuli, Rudi Permadi dan pentolan Aremania lainnya, sudi mengambil hikmah atas peristiwa Madiun itu.

Bahwa militansi dan fanatisme Aremania haruslah dibarengi dengan sikap tepo seliro, tahu diri, dengan pemahaman bahwa tidak semua stadion di kota-kota utama sepakbola Indonesia selalu mampu menampung serbuan mereka.


Bambang Haryanto
Pencetus Hari Suporter Nasional 12 Juli
Warga Epistoholik Indonesia
Jl. Kajen Timur 72 Wonogiri 57612
E-mail : epsia@plasa.com




ALUMNI BUSSSEEET DAN MURI, YUK BERGABUNG !
Harian Kompas Yogyakarta, Rabu, 1 Juni 2005


Untuk ikut menegakkan pilar-pilar demokrasi, saya sebagai seorang epistoholik atau orang yang kecanduan menulis surat-surat pembaca di media massa, telah membangun komunitas Epistoholik Indonesia (EI). Melalui komunitas ini antarwarga EI berinteraksi dan saling mendukung hingga diharapkan mampu menghasilkan karya-karya surat pembaca yang semakin berkualitas dan berguna bagi masyarakat luas.

Berkat gagasan dan realisasi mendirikan komunitas EI tersebut membuat diri saya tercatat dalam Museum Rekor Indonesia (MURI). Bahkan telah diprofilkan dalam tayangan Bussseeet di TV7 setelah diliput oleh Erika Michiko yang menawan dan kru Shandika Widya Cinema Yogyakarta, bulan Maret 2005 yang lalu.

Banyak pemegang rekor MURI tetapi tidak /belum diliput oleh tayangan Bussseeet, dan banyak yang ditayangkan dalam Bussseeet tetapi bukan pemegang rekor MURI. Bersama surat ini saya ingin mengajak Anda para pemegang rekor MURI dan sekaligus pernah tampil di Bussseeet, untuk bergabung.

Misalnya, dari Kotagede ada M. Natsir dengan kreasi othok-othok, dari Solo ada Tom Hari dengan aneka kreasi uniknya, dari Bandung ada Hendi Sumantono dengan mulut saksofone-nya, sampai Aggi Tjetje (Jakarta) yang pemilik 8 gelar akademis yang berbeda-beda.

Langkah konkret pertama dari komunitas Album (Alumni Bussseeet dan MURI) ini adalah membuat direktori digital di Internet, guna menghimpun data keunikan dan data pribadi warganya yang patut dan harus disebarkan kepada masyarakat luas. Saya tunggu kontak Anda.


Bambang Haryanto
Warga Epistoholik Indonesia
Jl. Kajen Timur 72 Wonogiri 57612
Situs EE : http://esaiei.blogspot.com
Email : epsia@plasa.com



SAYA DI TENGAH MEDIA YANG BERUBAH. Sebagai seorang epistoholik, saya akan terus mengirimkan surat-surat pembaca ke Kompas dan juga media cetak lainnya. Tetapi sebagai konsumen informasi, kini surat kabar bukan lagi sebagai pusat asupan saya memperoleh informasi. Saya hanya membaca surat kabar (sekaligus empat surat kabar) seminggu 3 kali : Rabu, Sabtu dan Minggu. Saya juga tidak menonton siaran-siaran berita di televisi.

Untuk mengikuti perkembangan informasi yang mutakhir, saya mendengarkan Radio BBC. Baik siaran pagi, ketika sambil beraktivitas olah raga jalan kaki pagi, dan siaran malam hari.

Semua itu terjadi, mungkin karena minat saya nampak semakin terspesialisasi. Saya menyukai perkembangan Internet, humor dan komedi, kreativitas, dunia karier, wanita, sampai psikologi, dan semua itu tidak saya peroleh informasinya secara komprehensif di media-media cetak tanah air. Saya mencarinya dan memperolehnya di Internet.

Tidak ayal, perimbangan belanja koran dan akses Internet, kini semakin terbalik. Akses Internet memakan biaya semakin jauh lebih banyak dibanding untuk membeli koran. Saya yakin bahwa saya tidak sendirian. Mungkin tesis migrasi nilai (value migration) dari Adrian J. Slywotzky, kini terjadi. Akibat kehadiran Internet, koran justru ditinggalkan oleh pembaca setia yang selama ini menopang kelangsungan hidupnya : kaum terdidik.

Internet, menurut saya, mempunyai kelebihan yang tidak dipunyai koran : kita mampu hadir sebagai produser informasi. Kalau di koran paling banter seseorang bisa menulis artikel atau surat pembaca, maka di Internet kita (para pembaca) dapat mengekspresikan diri kita sebebas-bebasnya.

Peluang pembaca untuk berekspresi dalam Kompas sajian baru nampak tidak ada perubahan dibanding koran lamanya. Yang nampak hanya upaya ingin pembaca generasi barunya, generasi MTV yang lebih visual-oriented, bisa dipikat dan sokur-sokur bisa lengket, melalui perubahan di bidang visual.

Hal ini nampak, misalnya, diajukannya formula oleh tokoh dibalik perubahan itu, Dr. Mario Garcia, yang ia katakan bahwa, “Pembaca sekarang punya lingkungan di mana teknologi menjadi utama. Internet membuat mereka sangat menyadari pentingnya navigasi”

Benar. Navigasi memang penting. Navigasi itu bisnis besar di Internet. Lihat : Google. Tetapi nampak kedahsyatan Internet baru diambil kulitnya saja oleh Mario Garcia. Berbeda dengan sajian navigasi di beberapa media cetak dunia yang lebih canggih dalam menggabungkan antara kekuatan media cetak untuk bersinergi dengan kekuatan Internet, navigasi di halaman pertama harian Kompas hanyalah navigasi untuk sebuah “dunia kecil”, isi koran bersangkutan pada hari itu pula. Memang berguna, tetapi tidak mengobati atau memuaskan kehausan pembaca , sekaligus tidak membukakan cakrawala yang lebih luas kepada pembaca.

Entah karena unsur pengaruh tidak tahu atau unsur fobia, navigasi yang ada tersebut belum eksplisit ditujukan untuk membawa pembaca menuju “dunia besar” informasi : Internet. Paling tidak ke saudaranya : Kompas CyberMedia !

Padahal, menurut saya, di masa depan isi koran nantinya tidak lebih dari hanya navigasi dan navigasi semata. Mirip indeks, ditambah anotasi ringkas, persis sajian majalah TV Guide, untuk mengantar pembaca menuju ke Internet. Karena konsumen media generasi Internet memang membutuhkan lebih. Terutama, mereka jelas-jelas tidak lagi puas hanya sebagai pembaca.

Tetapi juga siap menjadi penyangkal, teman diskusi, penasehat, sumber berita, apa pun, sehingga dalam “planet” Kompas akan hadir ibarat suasana pasar yang riuh sepanjang 24 jam. Ada sesuatu yang hidup setelah sesuatu berita usai dibaca, yaitu interaksi. Baik antara pengelola koran dengan pembaca, bahkan juga antarpembaca itu sendiri !

Presiden SBY tahu kebutuhan publik untuk berinteraksi tersebut. Maka dirinya telah membuka layanan SMS. Menerima, membalas, dan kini juga agresif mengirimkan pesan.

Bagaimana dengan Kompas ?

Selama Jakob Oetama atau wartawannya (kecuali Budiarto Sambazzy) tidak mencantumkan alamat email, dan juga tidak membalas kontak-kontak yang masuk, maka “an unusual symbiosis” yang disebut oleh Jennifer Wolff dalam tulisannya di Columbia Journalism Review edisi musim gugur 1995, tidak pernah terjadi.

Padahal dalam simbiosa yang tidak lajim itu, inilah hal hebat yang bisa terjadi : “Readers have unprecedented access to reporters and editors, and journalist enjoy the rare opportunity to learn with lightning speed what their audience is thinking on a variety of issues”



P.S. Teriring ucapan selamat hari ulang tahun Kompas Ke-40, 28 Juni 2005. Selamat dan semoga sukses dengan penampilan baru !


Wonogiri, 30 Juni 2005

No comments:

Post a Comment