Saturday, July 24, 2004

EPISTO ERGO SUM ! : PAK SOEROYO, PAK DARMAWAN, BUKU HARIAN SAYA

Oleh : Bambang Haryanto

Esai Epistoholica No.1/Juli 2004
Home : Epistoholik Indonesia/EI




DIARY OF ANNE FRANK. Buku harian paling terkenal di dunia mungkin milik Anne Frank. Gadis Jerman-Yahudi kelahiran tahun 1929 itu tewas di kam konsentrasi Jerman tahun 1945. Ketika Nazi berkuasa di Jerman di bawah pimpinan mantan seniman gambar poster yang ketika berkuasa menjadi monster diktator, yaitu Adolf Hitler, Anne Frank melarikan diri ke Amsterdam. Dalam persembunyian antara 1942-1943 itu ia menumpahkan ketakutan dan juga harapan dalam sebuah buku harian. Ia menjadi simbol perjuangan dan keberanian bangsa Yahudi dan kemanusiaan ketika diterbitkan tahun 1947.

PENJAGA ARTIS BOMB SEX. Tetapi buku harian tidak selalu dapat nama harum. Adalah politisi konservatif Inggris Enoch Powell (1912-1998) dalam wawancara di koran Sunday Times (6/11/1977) secara sinis bilang, menulis buku harian itu seperti menelan kembali muntahannya sendiri. Hoek, hoek, hoek.

Sokurlah, almarhumah bintang film bomb sex sepuh, Mae West (1892-1980), punya nasehat cerah tentang buku harian. Katanya, tulis dan simpan buku harianmu karena ia suatu hari akan menjagamu. Pendapat mengenai buku harian lainnya dapat dikutip dari Oscar Wilde (1854-1900), dramawan dan penyair Inggris-Irlandia, bahwa dirinya tak pernah melakukan perjalanan tanpa ditemani buku hariannya. Katanya, seseorang harus ditemani sesuatu yang sensasional untuk dibaca ketika dalam perjalanan naik kereta api. Bagus juga, daripada beli majalah atau koran.


Bagaimana pendapat Anda ?
Apakah Anda juga memiliki buku harian selama ini ?

PESONA PARAKAL. Saya juga menulis buku harian. Baru-baru ini, dalam upaya me-recall atau membangkitkan kembali peristiwa seputar gagasan komunitas Epistoholik Indonesia, saya mencoba membolak-balik lagi buku harian saya. Buku tahun 1992 dan 1994.

Tercatat bahwa pada hari Jumat, 10 April 1992, saya yang saat itu berdomisili di Jakarta, mengunjungi Perpustakaan American Cultural Centre (ACC) yang terletak di Wisma Metropolitan II, Jl. Jenderal Sudirman, Jakarta. Saya anggota perpustakaan ACC dan secara rutin berkunjung ke perpustakaan ini. Menurut saya, saat itu ACC adalah perpustakaan terbaik di Jakarta. Majalah-majalah manca negaranya banyak, selalu mutakhir. Buku-buku barunya selalu bikin senewen, sebab mana yang lebih dulu untuk dibaca ?

Saat itu ketika membaca-baca aneka majalah, saya tertarik pada paparan majalah TIME (6/4/1992) mengenai sosok tokoh penulis surat pembaca asal India, Anthony Parakal. Eureka ! Sebagai penulis surat pembaca sejak tahun 1970-an, kisah Anthony Parakal itu bagi saya langsung menjadi setrum ribuan volt, sebuah booster moral bagi diri saya bahwa menulis surat pembaca itu cool dan berharga !

Artikel menarik itu lalu saya fotokopi. Sayang sekali, fotokopi itu saat ini tak lagi saya punyai. Tetapi yang pasti, peristiwa ini telah saya catat dalam buku harian saya. Sejarah kecil dan cikal bakal gagasan tentang Epistoholik Indonesia/EI
itu pun mulai bergulir. Dapatkah tanggal 10 April 1992 ini dianggap sebagai kelahiran embrio Epistoholik Indonesia, komunitas jaringan para penulis surat pembaca se-Indonesia ?


SAYA DAN PAK SOEROYO 1992 DAN 2003. Pada hari Rabu, 22 April 1992, karena kebelet ingin menularkan sosok Anthony Parakal itu, saya nekad dan mengamuk dengan mengirimkan surat-surat dan fotokopi kisahnya di majalah TIME itu kepada 3 orang yang sering namanya saya jumpai dalam kolom surat pembaca. Mereka adalah : Bapak Soeroyo (Solo), Haji G. Malikmass (Jakarta, penulis buku Catatan Anak Emas Soekarno, terbitan Galang Press Yogyakarta) dan Lucas Sumanto (Jakarta).

Suatu kebetulan sejarah, atau takdir mungkin, sebelas tahun kemudian saya tergerak kembali untuk mengirim surat untuk mencoba mengenalkan bab Epistoholik Indonesia kepada Bapak Soeroyo (Solo), lagi. Surat saya di tahun 1992 memang tak ada balasan dari beliau.

Tetapi tahun 2003, beliau membalas dan berkenan bergabung dalam EI. Bahkan tanggal 24 Desember 2003, beliau mendapat penghargaan dari Republik Aeng-Aeng karena selama tahun 2003 telah menciptakan rekor menulis 39 surat pembaca sepanjang tahun di Harian Solopos (Solo). Dalam acara penyerahan piagam di Balai Soedjatmoko Solo saya bisa bertemu muka dengan Pak Soeroyo, untuk kedua kali ketemu temu Pak Moegono, walau kontak saya ke Pak Soeroyo 22 April 1992 itu sama-sama tidak kita sadari saat itu.

Pada hari Sabtu, 25 April 1992, surat dan fotokopi kisah hebat Anthony Parakal itu ngawur saya kirimkan juga kepada Bapak dr. Willie Japaris (Jakarta). Esoknya, 26 April 1992, kepada Bapak Drs. Sunarto Prawirosujanto (Jakarta) dan Ir. Bambang Hesti (Semarang). Bahkan pada hari Kamis, 30 April 1992, saya kirimkan surat yang mempromosikan epistoholik fantastis a la Pak Anthony Parakal itu kepada bintang film/sutradara yang kini jadi politisi : Sophan Sophiaan.

Hari Jumat, 1 Mei 1992, ketika main ke Toko Buku Rawamangun, Jakarta Timur, saya menemukan majalah TIME (4 Mei 1992) yang kembali memuat beragam komentar pembaca mengenai Anthony Parakal. Artikel ini tidak saya fotokopi dan saat ini saya tidak ingat apa isi informasinya. Mereka-mereka yang saya kirimi surat itu tak ada yang memberikan balasan.


PELUNCURAN EI 1994 DAN DIDUGA GURU BACA PUISI. Dua tahun kemudian, 1994, barulah saya memberanikan diri memasarkan gagasan mengenai Epistoholik Indonesia itu ke media massa. Dari buku harian tahun 1994, tercatat : Kamis 13 Januari 1994, saat itu saya lagi liburan di Wonogiri, menulis surat pembaca untuk mempromosikan Epistoholik Indonesia ke Harian Bernas, Kedaulatan Rakyat dan Suara Merdeka. Sepanjang yang saya bisa catat, surat saya itu dimuat di Harian Bernas, Selasa, 18 Januari 1994. Jadi, mana tanggal yang tepat sebagai kelahiran Epistoholik Indonesia : 10 April 1992, 13 Januari atau 18 Januari 1994 ?

Pada tanggal 15 Januari 1994, kembali saya mempromosikan EI ke surat kabar Bisnis Indonesia, Pikiran Rakyat, Republika dan majalah Tempo. Pengiriman ke harian Suara Pembaruan, 17 Januari 1994. Harian Kedaulatan Rakyat, 20 Januari 1994, memuat surat pembaca saya mengenai EI dimana redaksinya bermurah hati memberikan komentar : Ide bagus !. Harian Bernas, 22 Januari 1994, memuat surat pembaca dari Pak Mardjuki, intelektual dari Yogyakarta (dulu Pemred Majalah Semangat, pernah mengirimi surat berisi bombongan agar saya terus menulis !), berisi dorongan, katanya : EI adalah ide cemerlang !

Tanggal 8 Februari 1994, saya kembali ke Jakarta. Saat itu PO Box saya banjir surat, ada sekitar 40 buah. Bahkan ada surat kejutan yang manis, walau keliru, dari seorang wanita yang bekerja sebagai penerjemah di Harian The Jakarta Post. Katanya, setelah membaca promosiku tentang Epistoholik Indonesia ia mengira bahwa diriku adalah guru yang pernah mengajari membaca puisi ketika dirinya masih kecil dan tinggal di Purwokerto dulu-dulu.


PAK DARMAWAN DAN SAYA 1994 dan 2004. Surat pembaca promosi EI itu juga dimuat di Suara Merdeka, 7 Februari 1994 dan majalah Tempo, 19 Februari 1994. Merespons pemuatan di Tempo itu saya mendapat surat dari Bapak Darmawan Soetjipto, Jakarta. Ia adalah alumnus Universitas Indonesia jaman Glen Miller. Tentu saja, kontaknya saya balas dan sejarah kontak itu kembali terulang sepuluh tahun kemudian !

Gebrakan meluncurkan EI di tahun 1992 dan 1994, saya akui, jauh dari maksimal. Dana untuk menggalang komunikasi sering tidak memadai. Komunikasi antarkita saat itu belum dipermudah dan belum dipermurah, karena harus memakai media atom atau kertas, alias layanan snail-mail (pak pos) yang relatif lamban dan lebih mahal.


GO BLOG GLOBAL. Tahun 2004, saya relatif faham dan mampu mendayagunakan media komunikasi berbasis digital, yakni Internet. Terlebih lagi dewasa ini makin populernya teknologi tayang informasi di jagat Internet, yaitu blog atau personal journal (walau isinya pun bisa macam-macam, hanya dibatasi oleh imajinasi !) yang mudah dipelajari. Kalau dulu seseorang harus menjadi webmaster yang dituntut menguasai bahasa HTML dan beragam pemrograman rumit untuk bisa menayangkan buah pikirannya di Internet, berkat blog hal yang sama itu tak rumit lagi.

Teknologi blog sangat mudah. Asal Anda bisa mengetik komputer dan melakukan copy & paste, Anda bisa mengoperasikan penayangan buku harian digital Anda untuk terbit dengan audiens berskala global. Silakan coba kunjungi : Blogger.com. Kemudahan dan potensi dahsyat ini yang memicu saya untuk membangkitkan dan mempromosikan ide Epistoholik Indonesia lagi.

Salah satu surat pembaca saya tentang promosi itu dimuat di Majalah Tempo, 5-11 Januari 2004. Simak e-mail yang memberikan tanggapan di bawah ini :

From: Darsu Surya
Date: Mon, 12 Jan 2004 21:46:39 -0800 (PST)
To: Bambang Haryanto


Copy Surat :
Kepada Yth. :
Sdr. Bambang Haryanto
Alamat Email : epsia@plasa.com

Kepada Yth. : Redaksi Majalah Tempo
Fax No. : 392-1947

Terus terang kami cukup terperangah membaca cermat tulisan Sdr. Bambang Haryanto berjudul UNTUK PENULIS SURAT PEMBACA yang dimuat Tempo 5 - 11 Januari 2004. Tiada lain karena hampir 12 tahun lalu artikel TIME 6 April 1992 tentang Profil Epistoholic memang memukau dan menarik ekstra perhatian. Selepas membaca artikel itu, kami kala itu menulis sepucuk surat kepada seorang sastrawan terkenal ibukota dan mengusulkan pembentukan suatu Ikatan Penulis Surat Pembaca. Sayang karena satu dan lain hal surat itu tidak pernah terjawab dan pupuslah ide itu ditelan perjalanan waktu.

Syukurlah ide yang sama nampaknya kini diprakarsai oleh seorang local genius asal Wonogiri. Meneliti isi surat diatas, terungkap bahwa Sdr. Bambang Haryanto telah mengadakan persiapan cukup matang untuk SOP merintis suatu keorganisasian EC.

Menurut pengamatan kami cetusan ide EC ini tepat momentum mengingat perkembangan TI (Teknologi Informasi) cepat membuka kemungkinan-kemungkinan luas yang tadinya tidak terbayangkan untuk berkomunikasi. Melalui kiriman surat ini kami sampaikan selamat atas prakarsa Sdr. Bambang Haryanto dan enthusias menyatakan dukungan sepenuhnya. Guna merealisir dukungan ini sangat kami harapkan perincian syarat-syarat untuk jadi anggota EC diatas.

Mudah-mudahan dukungan serupa disusul pula oleh para penulis surat pembaca (pensupem) lainnya di ibukota dalam rangka ikut memberikan sumbangsih pencerahan dan ikut serta mencerdaskan bangsa melalui media pers.

Terima kasih.

Darmawan Soetjipto


Sejarah berulang. Dunia epistoholik itu kecil. Pak Soeroyo, juga Pak Darmawan Soetjipto, juga Anda semua dan saya, rupanya tertakdir memiliki orbit yang terus saling bersilangan. Saya bahagia bisa mencatat momen-momen itu dalam buku harian saya.

Masihkah Anda tertarik untuk memiliki buku harian kertas atau pun digital ? Untuk yang digital, silakan coba kunjungi Episto ergo sum. Di sana tersaji nama-nama warga EI yang telah memiliki buku harian berskala global : situs blog di Internet.

Kalau nama Anda belum tercantum di sana, segera mulailah kini dengan mengamuk (idiom ini sohor di kalangan epsitoholik yang berasal dari Lasma Siregar, Melbourne, Australia), menulislah surat-surat pembaca yang hebat, inspiratif, menggebrak dan bermanfaat bagi khalayak luas di media massa dan sekaligus menjadi warga Epistoholik Indonesia.

Selebihnya, hal mudah : silakan kontak saya di : epsia@plasa.com.

Akhirnya, politisi dan penulis Irlandia, Máire Geoghegan-Quinn (1950- ) berujar : Saya selalu menulis buku harian politik ketika saya terjun ke dunia politik. Saya menyukai menulis memoar politik, tetapi banyak orang lebih menyukai penulisannya ketika dirinya lebih dahulu meninggal dunia. Pesan moral : menulislah ketika Tuhan Yang Maha Kuasa masih mengaruniai kita hidup dan mampu menulis.

Paling akhir, sambil minta maaf sama filsuf dan matematikawan Perancis, Rene Descartes (1596-1650) yang terkenal dengan semboyan Je pense, donc je suis (Cogito ergo sum), ijinkanlah saya memplesetkannya menjadi slogan kaum epistoholik yang semoga juga bakal sangat terkenal :

Episto ergo sum
Saya menulis surat pembaca karena saya ada !



Wonogiri, 23 Juli 2004
Hari Anak Nasional


P.S. : Majalah Intisari edisi Juli 2004 telah memprofilkan dua epistoholik Indonesia. Yaitu, Bapak Gandhi Sukardi (71), mantan wartawan kantor berita Antara dan ayah dari Menteri BUMN Laksamana Sukardi, pemegang rekor MURI menulis surat-surat pembaca di surat kabar The Jakarta Post, dan Bambang Haryanto, pencetus Epistoholik Indonesia/EI.

No comments:

Post a Comment