Sunday, September 19, 2004

Nubuat Nabi-Nabi Tertulis Di Tembok-Tembok Subway

Oleh : Bambang Haryanto
Esai Epistoholica No. 09/September 2004
Home : Epistoholik Indonesia



TABIK EPISTOHOLIK SENIOR. Salam, Episto ergo sum : Saya menulis surat pembaca karena saya ada. Semoga Anda semua, warga komunitas Epistoholik Indonesia, sehat-sehat dan selalu sejahtera. Saya ingin menyapa Bapak Darmawan Soetjipto, Dion Desembriarto, FX Triyas Hadi Prihantoro, Hariyanto Imadha, Herman Tony, Joko Suprayoga, Lasma Siregar, dan Wahyu Priyono.

Cerita pembuka obrolan, bulan September ini saya mendapat kiriman hadiah dobel dari Majalah Intisari. Pertama, surat pembaca saya bisa dimuat di kolom Dialog, Intisari edisi September 2004. Saya senang karena di surat pembaca itu saya bisa memberikan accolade, rasa takzim dan hormat, dengan bangga menyebutkan nama-nama para epistoholik senior yang selalu saya catat diam-diam selama ini.

Saya mengamati nama-nama hebat itu sejak, oh, tiba-tiba sudah 20 tahun lalu. Yaitu di tahun 1980-an, ketika saya belajar di Jakarta dan memperoleh kemewahan akses terhadap banyak media Ibukota. Para epistoholik senior itu antara lain : Bapak Suharsono Hadikusumo, S. Mangoenatmodjo, Haji G. Malikmass, Rachmat Djoko Pradopo, Ir. R.M. Pradiko Reksopranoto, F. Pudiyanto Suradibroto dan Darmawan Soetjipto. Tiga nama yang terakhir, kini menjadi Warga Epistoholik Indonesia. Beberapa nama yang seharusnya ikut saya sebutkan, baru sadar kemudian, tentu saja Bapak Soeroyo, Lucas Sumanto dan Drs. Sunarto Prawirosujanto. Bapak Moegono, SH, seharusnya juga ikut saya sebut.

Khusus Bapak Pak Ir. R.M. Pradiko, di tahun 2002 saya malah pernah ngobrol dengan beliau. Lokasinya di hall Stadion Manahan, Solo. Saat itu lagi ada Festival Aeng-Aeng II. Tetapi materi obrolannya memang tidak spesifik bertopik epistoholik. Tetapi kalau dikilas balik, memori saya sebenarnya sudah mencatat nama beliau sebagai penulis surat pembaca sejak tahun 1970. Ketika itu saya bersekolah di STM Negeri II Yogyakarta dan sering menemukan nama beliau di koran-koran Yogya.


Yang Terhormat
Warga Epistoholik Indonesia,

Dalam obrolan ini, spesial saya ingin sebutkan tentang hadiah dari Bapak DARMAWAN SOETJIPTO. Nama beliau kalau saya telusuri via mesin pencari Google (www.google.com), akan muncul 6 artikel yang relevan. Empat artikel berkaitan dengan EI dan dua artikel sisanya berkaitan dengan nama Arijono Darmawan Soetjipto yang alumnus perguruan tinggi Inggris. Apakah ini nama lengkap beliau ? Nama putra beliau ? Atau bahkan tidak ada kaitannya sama sekali ?

Baiklah. Yang menarik, beberapa saat lalu beliau mem-bom saya dengan kiriman tulisan, yang bila dijadikan buku bisa setebal 85 halaman lebih. Saat ini, saya lagi kewalahan untuk mempelajari kuliah beliau tersebut. Sempat saya forward ke Melbourne, biar saya dibantu mikir, tapi belum muncul komentar dari pemegang marga Siregar di Aussi itu.

Yang juga mengesankan, dari materi bom beliau tersebut menunjukkan bahwa Pak Darmawan, sebagaimana Pak Soeroyo, H. Soerodjokartono (terkenal dengan idiom awurisme dan kiralogi), Lasma Siregar dan saya, semoga juga Anda semua, diam-diam punya minat yang sama terhadap : humor. Lain kali, saya akan obrolkan topik ha-ha-ha tersebut di kolom ini. Matur sembah nuwun, Pak Darmawan !


SALAM DARI HAYU PRATIDINA. Senang yang kedua di bulan September ini, saya mendapatkan hadiah kaos dari Intisari. Setiap surat pembaca yang dimuat, penulisnya memperoleh hadiah kaos. Wah, umpama saja harian Kompas Jawa Tengah mengetrapkan kebijakan serupa, pastilah untuk tiga bulan terakhir saja, Juli – September 2004, saya sudah memiliki 14 buah kaos. Bambang jadi juragan kaos.

Bonus hebat lainnya, di kolom Dialog itu ada pembaca dari Magelang, Hayu Pratidina, menulis : “Saya tertarik sekali pada tulisan tentang penulis surat pembaca di edisi Juli 2004. Saya baru tahu kalau ada orang yang sangat “getol” menulis surat pembaca hingga puluhan tahun dan sampai mendapat penghargaan dari MURI. Tulisan itu menginspirasi saya bahwa orang jangan takut mencoba, jangan mudah menyerah dan tekun. Selamat kepada Pak Bambang dan Pak Gandhi...Semoga ide-idenya tidak pernah kering dan terus menulis surat pembaca”.

Sayang, Intisari menyembunyikan (!) alamat Hayu Pratidina itu, hanya ditulis “Magelang 56172”, mengakibatkan saya sulit mengontaknya guna memberikan apresiasi dan ucapan terima kasih.

Ngobrolin tentang hadiah kaos selama menjadi epistoholik, seingat saya, saya sudah memperolehnya sebanyak tiga kali. Antara lain dari majalah Jakarta-Jakarta, Tabloid Monitor (bahkan surat saya, bikin surprise, diberi honor Rp. 50.000,00 ditambah payung) dan dari Intisari kali ini. Kalau kaos-kaos itu dipakai, mungkin orang mengira diri saya adalah agen koran.

September lagi hujan kaos. Sebelum kaos Intisari datang, saya juga dapat kiriman serupa. Gara-gara mengirim tulisan bernada humor bertopik Seandainya Saya Jadi Presiden dan kemudian terpilih untuk disiarkan, Radio BBC Siaran Indonesia (London) telah menghadiahi saya kenangan kaos BBC. Di amplop besar itu tertulis : Bambang Haryanto, Epistoholik Indonesia. Kalau kaos itu saya pakai, mungkin kini saya rada bisa gede rasa karena bisa memancing orang untuk mengira : wah Bambang kini wartawan BBC London ya ?

Saya pun kalau ditanya juga akan ngaku, saya memang wartawan BBC. Tetapi BBC yang dimaksud adalah akronim dari Bebas BiCara, kolom surat pembacanya Harian Bernas Yogyakarta yang kapling langganannya Dion Desembriarto dan Triyas HP mengamuk, ber-epistoholik-ria.


Yang Terhormat
Warga Epistoholik Indonesia,

Di bawah ini saya tuliskan aneka sketsa yang bisa saya catat dari kiprah terbaru warga EI kita. Silakan menambahinya.

DION DESEMBRIARTO. Mas dosen Dion Desembriarto, asal Yogyakarta ini, tiba-tiba memberi saya tembusan e-mail tentang korespondensinya dengan warga asing. Dia nampak asyik mengobrolkan aktivitas, kalau tak salah, tukar-menukar badge kesatuan militer. Hobi yang hebat dan menarik, yang mungkin terkait dengan minatnya pada kajian bidang sosial, politik dan keamanan. Saya pikir, info baru ini harus juga dicantumkan di biodatamu, Dion. Gimana ? Saya tunggu realisasi janjinya, yang mau mengamuk lagi di kolom-kolom surat pembaca Yogya.


FX TRIYAS HADI PRIHANTORO. Prestasinya ngebut, membanggakan, Mas Triyas HP berkali-kali muncul di kolom surat pembaca Kompas Jawa Tengah. Bahkan berkenan membawa bendera sebutan sebagai Warga Epistoholik Indonesia. Mungkin hal yang sama juga ia lakukan di media lain, mohon maaf bila saya tidak tahu.

Malahan, saya secara khusus telah beliau beri tepuk tangan, dengan menyebut-nyebut diri saya sebagai provokator dan penganjur budaya menulis. Matur nuwun, matur nuwun. Tidak hanya itu, dan ini harus ditiru, Mas Triyas juga makin sering menampilkan buah pikirannya yang cemerlang. Bukan hanya berupa surat pembaca, tetapi berwujud artikel. Selamat, saya ikut bangga dan hormat. Kalau bisa, silakan bikin cabang blog baru, kali ini khusus memuat artikkel-artikel Anda. OK ?

Mas Triyas, Anda sudah pernah mengetikkan nama Anda ke mesin pencari Google untuk menemukan bagaimana dunia (maya) mencatat eksistensi Anda ? Silakan coba. Tetapi jangan gusar bila mendapatkan reaksi bahwa Google itu sepertinya malah menyarankan Anda untuk segera bancakan, kendurian, demi mengganti nama. “Kekurangajaran” Google itu juga mengambil korban Lasma Siregar. Silakan Anda berdua kompak kirim komplain ke Google !


HARIYANTO IMADHA. Gimana kabarnya, Mas ? Moga warnetnya makin sukses dan makin laris. Apa tertarik memakai layanan Indosat yang terbaru ? Mas Hariyanto dan saya, diam-diam, pernah saling lirik-lirikan terhadap karya surat pembaca masing-masing. Saat itu, waktu beliau tinggal di Jakarta.

Kini, saya yang harus melotot dan salut, melihat beliau makin tancap gas dan makin sering mengamuk. Kolomnya Kompas Nasional, yang bagi saya sulit nembus, akhir ini saya temukan dua surat pembaca Hariyanto Imadha. Koran Solopos juga beliau jangkau dari Bojonegoro, menjual ide brilian : pengumpulan dana olahraga via SMS. Belum lagi, juga koran yang bagi saya sulit ditembus, eh Hariyanto Imadha muncul di Jawa Pos. Pendek kata, kayak Daendels, tulisan surat pembacanya membentang dari Anyer sampai Panarukan. Membanggakan !

Bagi saya, beliau adalah epistoholik yang paling melek teknologi informasi, baik visi mau pun teknologinya. Surat pembacanya yang futuristik tentang miskinnya situs web Pemkot/Pemda, saya kutip di Esai Epistoholica No. 04. Beliau juga juragan warnet, fasih Front Page dan HTML hingga mampu merancang situs web, apa engga menggiurkan untuk kita timba ilmunya ?


HERMAN TONY. Gimana kabarnya, Pak Herman ? Apa bom di Kedubes Australia ikut mengguncang occupancy rate hotel di Yogya ? Apa Yogya nanti buka obyek wisata yang khusus menyuguhkan belasan mall ? Yogya mungkin akan menyaingi Singapura, kita ke sana khusus dirayu untuk belanja, belanja dan belanja. Ditunggu kabar Anda terbaru.


JOKO SUPRAYOGA, dari Kendal, tanggal (17/9/2004) muncul di Kompas Jawa Tengah dan mengusung pula predikat sebagai Warga Epistoholik Indonesia. Terima kasih, Mas Joko. Tulisannya berjudul Negeri Para Selebriti, bagi saya, menggiurkan untuk didiskusikan lebih lanjut. Mengingatkan topik aktual bahwa kita kini lagi musim bermewah-mewah, seperti terakhir ditulis Pak Darmawan di Harian Kompas.

Joko pun pernah bercerita, berusaha membujuk sobat-sobat mayanya (ratusan ?) dalam milisnya, untuk gabung dalam komunitas EI. Kita tunggu. Oh ya, silakan ketik namanya di Google, saya kira dia yang paling buanyak di antara warga EI lainnya tampil menggairahkan untuk digerayangi, lalu dicatat, oleh robot-robot pengarsip dari Google.


JIN KELUAR DARI BOTOL !. Baru-baru ini saya juga kirim e-mail kepada Joko Suprayoga, cerita impian saya tentang masa depan EI. Saya impikan, EI itu akan seperti amuba, yang membelah dan terus membelah. Saya impikan, misalnya si A akan mandiri untuk menghimpun para penulis surat pembaca khusus topik X, si B melakukan hal sama dengan spesialisasi topik Y, dan begitulah seterusnya.

Kepada Pak Herman Tony, pernah pula saya ceritakan, EI ingin menghimpun street smart intellectuals, cendekiawan jalanan. Karena masing-masing orang, menurut saya, adalah cendekiawan. Tetapi karena keterbatasan media untuk berekspresi, membuat gembolan, ilmu simpanan, baik pengetahuan, pengalaman sampai wisdom milik mereka, sulit keluar dan akhirnya tidak diketahui orang lain. Kini, gempa bumi 10,5 skala Richter telah terjadi. Berkat Internet, setiap orang bisa menjadi penerbit di muka dunia. Jin itu kini bisa keluar dari botol. Kucing pun bisa meloncat keluar dari karungnya. Setiap diri kita mampu ber-tiwikrama guna bersuara di persada dunia !

Bagi saya, karya-karya surat pembaca Anda, barulah puncak sebuah gunung es. Di bawah puncak itu, saya melihat dalam setiap diri Anda tersimpan khasanah yang lebih besar, yang lebih dibutuhkan masyarakat, yang menunggu meledak untuk diaktualisasikan. Dan Internet adalah media terdahsyat untuk tujuan tersebut.

Memanglah, di Internet kita ini ibarat pulau-pulau cendekia, yang kecil-kecil, banyak, saling tersambung, tanpa hirarki, terikat dalam adhocracy atau organisasi tanpa struktur. Di jaman Orba mungkin itu yang disebut sebagai OTB, organisasi tanpa bentuk. Satu sama lain lepas-lepas tapi saling berhubungan, dipandu kesamaan visi dan tujuan. Gambaran yang senada dengan visi pakar Internet, David Weinberger, yang baru saja ikut membidani revolusi kampanye presiden di AS untuk bekas Gubernur Vermont, Howard Dean (Demokrat). Dalam bukunya Small Pieces, Loosely Joined. (Perseus, 2002), ia menyimpulkan : Situs web itu hanyalah ujud lain dari seutas benang dan kaleng. Tetapi situs web itu kini adalah diri kita sendiri.


NUBUAT NABI-NABI. Pulau-pulau cendekia yang kecil-kecil itu akan berdampak dahsyat bila tergabung dalam sebuah jaringan. Akumulasi pengetahuan, pengalaman (terlebih lagi, seperti kata ibu Asrie M. Iman, pengalaman yang hanya bisa didapatkan melalui perjalanan waktu)

, keahlian sampai kearifan, nantinya berharga sebagai rujukan atau pos informasi tempat kita untuk saling bertanya, meminta nasehat, berbagi informasi, saling menyemangati dalam menempuh kehidupan di dunia, yang dalam nyanyian Karen Carpenter disebut sebagai a restless world, dunia yang gelisah.

Dunia yang gelisah, dunia yang membutuhkan nubuat nabi-nabi. Di tahun 1970-an duo legendaris Simon & Garfunkel dalam lagu Sound of Silence mencoba memberi petunjuk, dikutip sebagai judul tulisan ini : the words of the prophets are written on the subway walls. Siapa tahu, di era Internet ini, akan ada penyanyi lain yang menggubah lagu dengan lirik baru, tentang nubuat nabi-nabi yang tertulis dalam situs-situs blog masa kini.


JALAN MASIH JAUH, TETAPI SATU LANGKAH HARUS MULAI DIKAYUH. Saat ini, sebagai awal, baiklah saya yang kerja bakti membentuk semacam pos induk awal bagi komunitas Epistoholik Indonesia ini. Bagi mereka yang belum melek komputer dan buta Internet, bolehlah, saya yang mengetik kembali surat–surat pembaca mereka , lalu merayu agar mereka mau main ke warnet, dan mari kita lihat apa yang kemudian terjadi.

Tetapi bagi kita-kita yang sudah melek Internet, saya ajak untuk mencoba mengenali blog, lalu melakukan aksi separatisme positif, kemudian mencoba belajar mengelola situs blog masing-masing. Kecintaan, cita-cita, makna semboyan Episto ergo sum dan tujuan mulia, semoga tetap mampu mengikat kiprah-kiprah kita.


RULES OF THE NET. Sekadar mengingatkan, surat-surat pembaca kita di media atom/cetak itu sebenarnya boleh disebut sebagai etalase terbaik bagi media digital (situs blog/web) kita. Tetapi media cetak punya keterbatasan khas, kita sulit melakukan dialog dengan pembaca karya kita. Karena koran bersangkutan memang bukan media milik kita, teknologinya yang rigid memang sulit memungkinkan berlangsungnya interaksi.

Tetapi di media digital, dialog itu bisa kita langsungkan, bahkan bisa real time, sebab dari sononya Internet pada hakekatnya adalah media interaktif. Pernah ada rumusan, mengutip Rules of The Net-nya Thomas Mandel dan Gerard Van der Leun : bila situs web tidak ada mekanisme umpan baliknya, lupakanlah !

Situs blog saya (http://beha.blogspot.com), dan lainnya, tidak ada mekanisme umpan baliknya. Saat merintis EI, bulan Oktober 2003, memang host (Blogger) belum menyediakannya. Masih blog versi primitif. Lalu muncul desain baru, antara lain seperti yang kita temui pada situs blognya Andreas Adhy Aryanto, Ary Yudhianto, Mas Triyas, Joko Suprayoga, Muh. Fahruddin Hidayat, EI (http://episto.blogspot.com), Esai Epistoholica (http://esaiei.blogspot.com) dan Episto ergo sum (http://warei.blogspot.com), yang sudah ada mekanisme umpan baliknya.

Yaitu undangan bagi pembaca untuk menuliskan comment, di setiap akhir posting kita. Promosikan hal penting tersebut dan daya gunakan sebaik-baiknya. Layani pertanyaan fans Anda secara bijaksana. Dialog itu adalah tanda eksistensi Anda. Mudah-mudahan, situs blog warga EI lainnya bisa migrasi ke template yang ada mekanisme umpan baliknya tersebut.


LASMA SIREGAR. Kembali menyapa warga EI. Gara-gara bom di kedubes Australia, saya kuatir warga EI satu ini yang ngendon bersama koala di Melbourne dapat strange look dari bule setempat, gara-gara berasal dari Indonesia. Atau diuber-uber agen rahasia Australia, dibantu Kadaica, siapa tahu, akan ditanyai soal-soal bom. Apalagi ia pernah menulis, hampir menyamakan JEI (Jaringan EI) dengan JI yang dimusuhi Pak Howard dan Pak Bush itu.

Semoga sehat-sehat, bung Lasma. Kiriman decoder Anda bab pengobatan Cina, juga gelitikan buah Dewi Aphrodite, dan Yoga terus saya pelajari. Bab yoga, mungkin karena saya terlalu tua, merubah habit itu masih tetap sulit.

Hal lain, saya lagi kesengsem sama buku The Shadow of The Sun yang Anda kirimkan itu. Cerita tentang Afrika dari Ryszard Kapuscinski, sungguh absurd. Ia mengamati, mencatat peristiwa mencekam : setiap hari, karena miskinnya, segerombol penduduk Afrika menjalani hidup hanya dengan duduk-duduk atau berbaring di bawah keteduhan pohon, sementara di langit matahari panasnya memanggang kulit. Aktivitas hidup mereka hanya berupa ingsutan mengikuti perubahan keteduhan di bawah pohon itu agar bisa terhindar dari (katanya : tikaman sinar matahari di siang bolong Afrika itu mirip tajamnya pisau !) sengatan matahari. Begitu, setiap hari.

Ada cerita lain, satu-satunya benda peradaban modern yang masuk ke desa suku Afrika hanyalah senjata, alat pembunuh. Sampai cerita ambruknya diktator Idi Amien, gara-gara kalah bertempur melawan : satu tank !

Sekian dulu, selamat ngelaras kroncongnya Mus Mulyadi, bayangkanlah Putri Solo (kalau Putri Kraton Solo, ya, saat ini lagi ramai ikut bergabung dalam dua kubu saling rebutan tahta. Diantaranya, saya kenal dari jauh, yang menjadi bahan cerita nostalgia saya dalam Esai Epistoholica, No. 08/September 2004.).


WAHYU PRIYONO. Dia adalah salah satu pionir EI. Di awal EI, si “Jack” (sebutannya) ini tampil pro-aktif, dengan sukarela mengamuk, mempromosikan EI ke pelbagai media massa. Setahu saya di Republika, Pikiran Rakyat dan juga BOLA. Mungkin Anda kini bisa bergabung dalam EI gara-gara rayuan maut Wahyu Sang Penyair ini.

Penulis surat pembaca rada spesialis olahraga ini, berasal dari Karanganyar Solo, lumayan lama terasa menghilang. Sokurlah, kini tiba-tiba muncul kembali. Entakannya bergaya bak pola pikirnya SBY : Siswono Bin Yudhohusodo yang Ketua HKTI. Pasalnya, Wahyu, sarjana arsitektur, penyair dan sastrawan ini, telah menulis surat pembaca (hampir bareng munculnya) di Solopos dan Kompas Jawa Tengah, bertopik jeritan petani kita justru ketika musim panen tiba.

Namanya saja sastrawan, sehingga membahas petani pun ia pakai sentuhan humanis dan serasi dengan mengikutkan lirik-lirik karya penyair asal Lebanon, Khalil Gibran. Selamat mengamuk, Wahyu. Kapan karya-karya puisimu juga di-blog-kan ? Saya tunggu kabarnya.


WARGA EI LAINNYA. Pak ANDREAS ADHY ARYANTO, asal Purwodadi, yang surat pembacanya mirip isi kitab suci, saya baca di Solopos pasang iklan menikahkan putrinya. Sayang beliau belum punya e-mail, jadi sulit kita keroyok dengan e-mail kiriman ucapan.

Warga baru EI asal Semarang, ARI YUDHIANTO, SH, spesialisasinya lingkungan hidup. Dia itu unik, setelah saya kirimi surat, wah, dia tidak kirim contoh-contoh surat pembaca dan biodatanya, tetapi justru kirim surat pembaca di Solopos. Isinya, mengucapkan terima kasih karena telah didaulat sebagai warga EI. Mas Ary yang unik !

Warga baru lainnya, MUHAMMAD FAHRUDIN HIDAYAT, asal Batang (kota asal penyair Goenawan Muhamad), punya pendapat menarik tentang keterampilan menulis. Katanya, lebih gampang ngomong daripada menulis. Ngomong mudah, sebab jarak otak dan mulut itu dekat. Tapi menulis ? Jarak otak sampai ke tangan, yang terhubung via jaringan syaraf, bila dihitung ada ribuan kilometer.

Perumpamaan yang hebat. Dia akan saya bujuki agar segera punya e-mail. Bisa nulis tapi buta komputer atau Internet, ibarat ayam : punya sayap, tapi tak bisa terbang. Ia pun terampil menulis surat pembaca dengan penuh bunga-bunga kata. Silakan simak dalam situs blognya.


SAYA LAGI MEMBANGUN PANTI ASUHAN. Oh ya, ada juga warga EI yang tega membom saya dengan kiriman 30-an judul surat pembacanya. Fotokopian. Bikin saya kelenger, karena sebelumnya sudah saya wanti-wanti untuk lebih dulu mengalihkannya ke bentuk digital, disimpan ke disket. Mengetik kembali karya orang lain itu kan sama dengan perang melawan ego ?

Kejadian ini, waduh, mengingatkan saya kisah tentang seseorang yang mau berbuat mulia, dengan mendirikan panti asuhan untuk yatim-piatu. Lalu ada orang kaya tetapi pelit, langsung cerita kesana-kemari, sesumbar, bahwa dirinya akan berderma besar untuk membantu panti asuhan itu.

Apa yang ia sumbangkan ? Tiga puluh anak yatim piatu !


KI R.M. ISMUNANDAR SURYOSEDONO, asal Salatiga, adalah warga paling gres EI kita. Beliau telah menerjemahkan 30-an buku, bahasa Jawa, Inggris dan Belanda. Silakan simak biodata beliau yang mengesankan. Juga punya resep ramuan untuk obat sakit liver !


MEGA DI WONOGIRI. Terakhir, artikel saya berjudul “Indonesia Kita, Apakah Bangsa Yang Lamban ?” dimuat di Kompas edisi Jawa Tengah (16/9/2004). Berbarengan dengan surat pembacanya Triyas HP yang menyoal masa depan bangsa ini pasca-ledakan bom teroris di Kuningan, Jakarta. Sampai pertengahan September ini, sudah ada 4 surat pembaca saya muncul di koran yang sama.

Tanggal 1 September 2004 lalu, di Wonogiri, saya ikut barisan anak-anak SMP menyambut Megawati yang datang ke Wonogiri. Mega melengos. Peristiwanya saya tulis dalam Esai Epistoholica No. 08/September 2004, bercampur dengan kisah becak Internet di India, mengintai puteri-puteri Keraton Solo ketika masih muda, sampai potensi daya kreativitas jutaaan anak-anak Indonesia yang terancam tumpas ketika masih duduk di TK. Tulisan ngalor-ngidul, ngetan-ngulon. Selamat menyimak, dan memberi komentar.

Sekian dulu obrolan dari Wonogiri. Mohon maaf bila ada kesalahan. Selamat terus mengamuk, menulis surat-surat pembaca bersemboyankan Episto ergo sum. Saya menulis surat pembaca karena saya ada. Sungguh, karena para pembaca dan dunia terus membutuhkan Anda.


Sukses untuk Anda semua.


Wonogiri, 17-18 September 2004

No comments:

Post a Comment