Monday, June 13, 2005

Seni Merayu dan Kisah Seorang Epistoholik

Oleh : Bambang Haryanto
Esai Epistoholica No. 21/Juni 2005
Home : Epistoholik Indonesia



RAYUAN MAUT NY. ROBINSON. Radio BBC pertengahan minggu kedua bulan Juni ini mewartakan meninggalnya Anne Bancroft, artis sepuh Hollywood yang saya kenal aktingnya pada tahun 1970-an. Memang sudah lama sekali, tetapi film yang ikut ia bintangi itu sulit terlupakan. “The Graduate”. Hasil karya sutradara, kalau tak salah, Mike Nichols. Saya menontonnya di Bioskop Kartika, kompleks Beteng, gedung bioskop kelas dua di Solo.


Hide it in a hiding place
where no one ever goes
Put it in your pantry
with your cupcakes
It's a little secret
Just the Robinson’s affair.

Anne Bancroft bermain sebagai Ny. Robinson. Adegan yang mungkin bakal sulit dilupakan oleh pecandu film segenerasi saya adalah saat ia merayu pemuda Benjamin Braddock yang baru lulus kuliah, graduate, yang diperani secara polos dan memikat oleh aktor kaliber Oscar, Dustin Hoffman. Pada hal Anda tahu, Benjamin saat itu adalah justru pacar anaknya, yang dimainkan oleh Katharine Ross.

Sembunyikan di tempat yang tersembunyi
Di mana tak seorang pun tahu
Letakkan di dapurmu
Di antara adonan kue-kue mangkok
Rahasia kecil ini
Affair asmara dalam keluarga Robinson.

Itulah petikan lirik dari lagu “Mrs. Robinson” dari duo terkenal Simon & Garfunkel yang menjadi salah satu lagu tema film ini.

Rayuan maut Ny. Robinson memang menggetarkan. Sehingga adegan dari aktingnya tak terlupakan. Sepertinya Ny. Robinson saat melancarkan jurus-jurus merayunya tahu bahwa hasil akhir dari aktivitas merayu memang tidaklah begitu penting.

“Apa ? Konyol sekali ?!”, mungkin demikian sergah Anda.

Itu benar. Yang konyol, yang penuh keajaiban, dan emosional, semua memiliki bagiannya dalam rayuan. Tetapi mengharapkan sebuah rayuan akan berakhir dengan pernikahan, mendapatkan pekerjaan baru, atau tumpangan untuk pulang ke rumah, sama saja dengan mengambil kemurnian dari interaksi sosial ini.

Para perayu dan para calon perayu, camkan hal penting di atas tadi. Merayu adalah kekuatan kelembutan, soft power, sesuatu yang dahsyat, tetapi kini mudah terlupakan di dunia yang semakin penuh persaingan dan tindak kekerasan dewasa ini. Merayu mungkin muncul dengan istilah lain, negosiasi, diplomasi atau pendekatan win-win solution. Atau dalam bahasa Jawa, menang tanpo ngasorake, kemenangan diperoleh tanpa lawan kita merasa terhinakan.

Kekuatan kelembutan baru-baru ini juga menjadi titik berat perjalanan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Amerika Serikat. Di negeri Paman Sam itu SBY mengimbau agar negeri adidaya tersebut lebih mengedepankan penggunaan soft power dibanding hard power dalam berinteraksi dengan negara lain di dunia. Tegas SBY, “Remember : the use of soft power charms and disarms. Hard power, on the other hand, if it is used incorrectly, provokes resistance and, sometimes, resentment”.


Deborah Tannen dalam buku larisnya, You Just Don’t Understand : Women and Men in Conversation (1990), antara lain telah mengurai mengapa komunikasi antara pria dan wanita sering menemui kesulitan. Menurutnya, karena kaum pria lebih suka menggunakan hard power, buah dari kultur pria, yaitu persaingan. Sementara di kutub lain, kultur wanita adalah konformitas, keserasian dan harmoni.

Oleh karena itu tidaklah aneh melihat para pria dalam “menjual” diri kepada kaum wanita cenderung mengedepankan senjata-senjata hard power untuk memenangkan persaingan. Otot, uang, mobil, villa, kapal pesiar dan bahkan pula senjata. Ingat kasus Adiguna Sutowo. Mungkin mereka memang memenangkan persaingan antarpria, tetapi apakah juga memenangkan hati sang wanitanya ?


Kembali ke hal merayu. Untuk dapat merayu dengan baik, Anda harus berasumsi bahwa kesenangan yang diperoleh dari rayuan adalah tujuan dari merayu itu sendiri. Persis seperti inti “garis-garis besar haluan negara” bagi kaum epistoholik, yang menulis surat-surat pembaca, meminjam ucapan Charles Schulz yang pencipta kartun Snoopy, karena ”reward is in the doing”. Pahala atau berkah otomatis ternikmati ketika kita asyik dalam menulis surat-surat pembaca itu sendiri.

Tentu saja, merayu dapat berakhir dengan berbagai hal. Tetapi kemurnian dari motif merayulah yang akan membawa rayuan Anda tampil dengan penuh gaya.

Merayu juga tidak seperti yang selama ini kerap Anda sangka. “It’s a charming and honest expression of interest in others”, kata Susan G. Rabin, direktur Sekolah Merayu (School of Flirting) di New York. Merayu adalah ekspresi menawan dan jujur untuk menunjukkan perhatian kepada orang lain. Merayu bukan pula sebuah tingkah genit menghalalkan segala cara untuk memikat orang lain, kemudian meninggalkan setelah mengambil keuntungan, habis manis sepah dibuang.

Menurut saya, merayu sejatinya sebuah keluhuran. Karena inti dari merayu adalah persahabatan. Menunjukkan perhatian. Mendongkrak sang target rayuan hingga dirinya merasa penting dan merasa dihargai. Ditambah sedikit bumbu kenakalan. Dan ketika ada unsur persahabatan itu datang dari seorang wanita, hmm, hal itu bisa meletup menjadi sesuatu yang lebih dari sebuah persahabatan.


SELAMAT DATANG DI KELAS MERAYU SAYA ! Sebagai lelaki kaliber busett, bujangan setengah tua, yang sering merasa sebagai a lonely clown, badut yang dirundung kesepian, tentu saja diri saya bukan rujukan seratus persen tepat untuk belajar mengenai rayuan. Apalagi rayuan terhadap wanita-wanita yang menawan hati. Sebab, terus terang, hidup saya penuh kegagalan demi kegagalan dalam berhubungan dengan kaum wanita.

Contohnya banyak. Saya gagal meraih hati seorang Sherry Bilsig. Bukan Sherry Bilsing-Graham, penulis dan juga supervisor produser dari sitkom “Friends” yang terkenal itu. Sherry Bilsig adalah artis figuran yang menjadi pramugari dalam film “Die Hard 2 : Die Harder” yang dibintangi Bruce Willis. Rambutnya yang di-braided, blonda, tiba-tiba menjadi bunyi “klik” di dada ini dan sejak momen itu sosok Sherry sulit dilupakan.

Januari lalu, di kabin Airbus-nya Value Air yang mengangkasa Jakarta-Singapura-Jakarta dan di hiruk-pikuk Bandara Internasional Changi, Singapura, saya mencari-cari di antara para pramugari yang bisa mendekati bayanganku tentang Sherry. Tak ketemu juga. Bayangan Sherry sepertinya tak mungkin bisa lagi ditemui.


Whenever you are,
I fear that I might
Have lost you forever,
like a song in the night.
(Jose Mari Chan, “Beautiful Girl”).


Saya juga gagal mewujudkan impian memiliki seorang bidadari, Isabelle Adjani. Saya tidak patah hati. Ia aktris sangat jelita yang berasal dari Perancis. Ia baru saja cerai dari komposer musik yang juga saya kagumi, Jean Michael-Jarre, juga dari Perancis. Sementara saya, ah, hanya lelaki biasa dari Praci. Tepatnya, Wonogiri, dekatnya Praci.


RAYUAN BU DOSEN PERANCIS. Cita rasa saya terhadap wanita yang ada “bau-bau” Perancisnya, tetapi bukan wanita impian yang hanya bergerak-gerak di layar-layar bioskop, saya temui pada diri seorang Anez. Mahasiswi Sastra Perancis. Juga arkeologi. “Namamu pakai huruf z, terasa eksotis”, pujiku. Ia menerangkan bahwa namanya diilhami dari kosa kata bahasa Spanyol.

Nama Spanyol, tetapi cinta Perancis. Saking kentalnya Anez dengan Perancis, anjingnya yang kecil dan lucu, juga punya nama dalam bahasa Perancis : Grigri. Artinya, jimat. Saat itu dengan bantuan teman, saya membuat kop surat dengan komputer. Tertulis “Grigri Petshop” lengkap dengan alamat rumahnya, yang disambut Anez dengan tertawa-tawa.

Sayang, bahasa Perancisku tidaklah canggih. Aku pernah ikut dalam mata kuliah Bahasa Sumber di FSUI, kini Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI. Di sini setiap mahasiswa, baik Arkeologi, Ilmu Perpustakaan (jurusanku) dan Filsafat (jurusannya Dian Sastro kini), Sastra Arab, Sastra Belanda, Sastra Cina, Sastra Indonesia, Sastra Inggris, Sastra Jawa, Sastra Jepang, Sastra Jerman, Sastra Perancis, Sastra Rusia, wajib mengikuti mata kuliah tersebut. Para mahasiswa boleh memilih : bahasa Belanda, Italia atau Perancis.

Aku memilih Perancis. Tetapi karena metode belajarku tidak efektif, selain tuntutan untuk berfokus pada mata kuliah di jurusanku sendiri, membuat mata kuliah Bahasa Perancis ini menjadi kurang membahagiakanku. Apalagi, mungkin ini bisa disebut sebagai ge-er berat, ibu dosen Perancisku yang masih muda dan charmant itu, aku rasa, terlalu berlimpah memberikan perhatian rada khusus pada diriku. Memuat rayuan terselubung. Godaan yang menggairahkan. Mendebarkan dan menggelisahkan.

Teman sekelasku dari jurusan yang berbeda, yaitu cewek-cewek yang radar atau naluri kewanitaannya peka, sering mencandaiku akan hal spesial satu ini. Termasuk pula Upik, anak Sastra Inggris dan putri mantan Perdana Menteri RI Sutan Syahrir, yang sering aku repoti ketika aku sulit mengerjakan PR atau saat tes-tes dadakan Bahasa Perancis.

Semua gunjingan itu membuatku jadi jengah. Aku seperti Benjamin Braddock yang naif di depan Mrs. Robinson yang berpengalaman. Akhirnya, aku melakukan desersi. Hanya ikut kuliah bahasa Perancis itu satu semester. Au Revoir ! Lalu pindah ke mata kuliah Bahasa Belanda.


Kembali ke Anez. Aku belum berani membelai Grigri, anjing kesayangannya itu. Aku merasa kurang yakin bahwa diriku memiliki keramahan alami untuk seekor anjing. Pernah saya bertemu seekor anjing, di mana mulutku tidak berkata apa-apa kepadanya. Hanya sorot mataku ingin berkata : “Hei, kamu anjing jelek”. Kami pun berpapasan dengan damai. Tetapi, sekejap kemudian, saya rasakan sebuah gigitan mencengkeram tumit saya. Anjing itu rupanya memahami bahasa nonverbal saya. Untung rabies tidak mendera saya.

Grigri dan Anez, sungguh ajaib, menjadi pemicu terbitnya buku kumpulan lelucon satwa, yang saya tulis, Ledakan Tawa Dari Dunia Satwa (Andi, 1987). Begitulah modal rayuan saya. Perasaan jatuh cinta yang mendalam telah berujung dengan terbitnya sebuah buku. Kalau Anda menulis surat saja tidak mampu, maka dapat Anda bayangkan betapa besar upaya yang telah saya lakukan sehingga dapat terlahir sebuah buku.

Proses yang terjadi memang menggairahkan, mungkin tercampur dengan mabuk, terpagut ekstasi, sekaligus tidak memikirkan apa hasil akhir yang terjadi. Kalau Anda percaya, itulah fenomena menakjubkan yang disebut sebagai flow, mengalir, temuan psikolog Mihaly Csikszentmihalyi dari Universitas Chicago.

Flow adalah kondisi bahagia dan terkonsentrasi yang seakan-akan tidak dibatasi waktu, yang Anda raih ketika pekerjaan tidak terlalu sulit tetapi juga tidak terlalu sederhana, namun cukup menarik untuk memikat seluruh perhatian Anda. Flow sering bersamaku ketika menulis surat-surat rayuan yang panjang atau bergulat merampungkan tulisan-tulisan yang membahagiakan.

Mengilas balik di antara momen-momen interaksi yang istimewa dan terjadi dengan Anez, adalah ketika saya ikut makan malam dengan ayah dan ibunya. Beliau adalah seorang duta besar di pelbagai negara francophone, negara-negara yang kuat dipengaruhi budaya Perancis, di benua Afrika. Terakhir menjadi duta besar di Kamboja.

Ketika malam itu obrolan bergulir tentang makanan, saya menyinggung kegemaran orang Perancis yang keranjingan makan escargot, bekicot. Saya memberanikan diri nyeletuk, “Orang Perancis suka makan bekicot, membuat mereka jadi lamban ketika ditagih membayar hutang”.

Pak dutabesar meledak dalam tawa. Tetapi putrinya saat itu tidak antusias untuk ikut tertawa. Sinyal lampu merah tentang masa depan pdkt, pendekatan saya telah menyala.

Aktivitas rayuan memang mirip permainan badminton sosial. Dibutuhkan dua partisipan yang aktif, baik meluncurkan volley mau pun mengembalikannya. Tanpa kerelaan dari mitra bermain, permainan tidak terjadi. Saya mundur. Dengan ksatria menghormati keputusannya. Anez, gadis semampai, berkacamata, artistik, rada suka hal-hal berbau paranormal tapi juga suka outdoor activities, lalu menjadi masa lalu.


AKU SUKA SURAT KAMU. Pak Syukur, pria keturunan Tionghoa asal Kalimantan dan beristrikan wanita Tionghoa asal Yogya, saya temui siang itu di daerah Teluk Gong, Jakarta Utara. Ia sedang di beranda, asyik membersihkan kutu di tubuh anjingnya. Anjing lagi. Ngobrol kami hanya sebentar, lalu saya minta ijin memasuki ruang tamu.

Tumben, ia ramah”, desis Tya, putrinya. Aku juga rada surprais. Beberapa saat sebelumnya aku mendapat asupan informasi dari Tya bahwa ayahnya kurang suka sama orang-orang pribumi. Ah, cakrawala pemikiran putrinya ternyata jauh lebih liberal. Tya menerimaku apa adanya. “Aku suka pria Jawa”, bisiknya.

Tya juga pernah curhat bahwa ayahnya itu juga rada nyentrik dalam memperlakukan dirinya. Suka marah-marah dan irasional, sehingga sering membuatnya tidak bahagia di rumah. “Kalau begini terus, aku lalu ingat mama”, akunya sedih. Sayang pula, mamanya telah meninggal saat ia masih duduk di sekolah dasar.

Ia pernah menunjukkan foto-foto masa kecilnya. Saat berseragam siswa SD Tarakanita, baju putih dan rok motif kotak-kotak a la tartan Skotlandia yang khas, sedang dipangku ibundanya. “Rasa sedihku ini hanya pernah aku ceritakan kepada kamu”, katanya di suatu waktu.


Tya aku kenal saat ia duduk di kelas III SMA Tarakanita 2 Jakarta. Ia bersama beberapa teman sekelasnya menjadi anggota klub yang aku dirikan, Ideas T-Shirt Club (ITSC). Setiap sebulan sekali ITSC mengeluarkan desain t-shirt yang isunya lagi hot, lalu kita patungan dalam menyablonkannya.

Saat kapal milik kelompok pencinta lingkungan hidup Greenpeace, Rainbow Warrior, bersiap melancarkan protes terhadap percobaan senjata nuklir Perancis di lautan Pasifik Selatan dan lalu ditenggelamkan oleh agen rahasia Perancis di Selandia Baru, ITSC membuat desain t-shirt :

You Can’t Sink A Rainbow.
Anda Tak Mampu Menenggelamkan Pelangi.

Pelangi memang tidak pernah tenggelam di lautan. Malah warna-warninya berpendaran di antara hati saya dan hati Tya. Kami mengukir warna-warni pelangi itu dalam surat-surat kami. Yang panjang-panjang. “Aku menyukai surat-surat kamu”, katanya.

Tya tidaklah sendirian. Saya pernah menggalang pertemanan dengan tiga orang gadis yang bekerja dalam satu bagian yang sama. Semula hanya mengenal salah satunya, Vita. Saat hajat pesta kawin kakaknya, aku dikenalkan pada dua teman sekantornya lagi. Aku bahkan kemudian memperoleh foto-foto ketika mereka bertiga lagi menyanyi atau menari bersama bos-bos mereka dalam acara resmi kantor mereka.

Aku menyebut ketiganya sebagai Charlie’s Angels. Mereka menyukainya. Sejak itu, setiap kali, aku harus menulis satu surat untuk sekaligus mereka bertiga. “Suratmu seperti ulah anak-anak. Rada nakal, menggemaskan”, tulis Anti.

Itulah pengakuan murni rasa bahagia seorang wanita. Baik mereka yang sudah memiliki cucu, bersuami atau masih lajang, di setiap jiwa seorang wanita memang terdapat seorang gadis kecil. Ia berdiri di sebalik pintu, rada gelisah, sesekali menengok keluar. Ia mengharap ada anak lelaki yang mengajaknya keluar, untuk bermain.

Aku rasa, aku berhasil menarik gadis kecil dalam jiwa-jiwa mereka bertiga untuk bermain dan bercanda. Resep untuk memperoleh komplimen seperti yang ditulis Anti tadi, sebenarnya sederhana : rancanglah sejak awal surat Anda bahwa subjek utama dalam surat-surat Anda adalah justru sang pembaca itu sendiri.

Anda, bayangkanlah, hanya ibarat sebagai dalang. Tukang cerita. Singkirkan sebisa mungkin unsur aku, aku dan aku, sehingga yang menonjol nanti adalah sang pembaca sebagai pelaku utama cerita itu sendiri. Dalam surat, bebaskan dirinya terbang di antara kata-kata. Memang, ini aktivitas menulis surat yang tidak biasa. Harus banyak mengumpulkan bahan cerita. Tidak letih untuk mengembangkan imajinasi. Semua itu, bukankah layak untuk Anda kerjakan, bagi seseorang yang Anda cintai ?

Ia kemudian bisa Anda ajak terbang menari di atas mega. Di antara taburan kemilau emas debu bintang. Dalam warna-warni ruap sabun. Atau mengikuti petualangan lucu, misalnya bersama Dr. Dolittle atau Pangeran Kecil dari dongeng seorang pilot, Antoine Saint Exuperry. Baru-baru ini saya menulis surat cinta sampai perlu mengutip pendapat Michael Goldhaber , Oscar Wilde dan juga Peter Spann segala.


To know you is to love you. Semakin aku mengenal mereka, semakin akurat aku melancarkan rayuanku padanya. Walau bukan bermotif asmara, melainkan persahabatan, aku pernah merasa berhasil melancarkan rayuan kepada beberapa tokoh di bawah ini : Ibu Mien Uno. Susi Susanti. Riri Reza. Arswendo Atmowiloto. Kusnadi Budiman. Satoshi Okamoto. Itu terjadi ketika aku menjadi finalis dalam The Power of Dreams Contest 2002 dan mereka adalah para jurinya.

Seminggu sebelum Hari-H penjurian, aku telah mengirimkan email ke kantornya Ibu Mien Uno. Aku tulis bahwa beliau adalah ikon dalam bidang pendidikan dan pengembangan kepribadian di Indonesia. Aku katakan, suatu kebanggaan saya nanti bisa bertemu dengan Ibu. Sekalian nanti saya ingin meminta tanda tangan Ibu Mien Uno untuk buku yang memuat biografi Ibu. Entah kebetulan atau tidak, sebelum penjurian tiba, ada sebagian panitia membocoriku informasi : “Ibu Mien Uno suka memberi pujian untuk esainya Mas Bambang”

Saat itu aku juga gencar merayu semua rekan sekaligus kompetitorku dalam kontes impian itu. Aku tahu upayaku ini berhasil, ketika aku diumumkan sebagai salah satu pemenangnya. Dalam tayangan ulang di TransTV, 27/7/2002, aku merasa yang paling banyak mendapatkan ucapan selamat dan pelukan dari mereka. Oh, what’s a wonderful world !.


Dua tahun kemudian, saat menjadi finalis Mandom Resolution Award 2004, saya juga melancarkan rayuan. Tertuju kepada para juri : Prof. Sarlito Wirawan Sarwono. Tika Bisono. Maria Hartiningsih. Untuk dua orang yang pertama, silakan membaca dalam Esai Epistoholica No. 14 dan 15/Desember 2004. Motif minimalku, agar aku tidak dianggap alien, orang asing, bagi mereka. Itu saja.

Beberapa jam sebelum saat penjurian untukku tiba, di depan salah satu ruangan Hotel Borobudur, Jakarta, telah muncul dari dalam : Maria Hartiningsih. Ia wartawan senior Harian Kompas. Aku lalu mengenalkan diri. Sebelumnya, komputer di kepalaku telah memberi isyarat : aku pernah membaca tulisan mBak Maria yang mengutip isi buku Shifting Gears : Mastering Career Change and Find the Work That’s Right for You (1990) karya Carole Hyatt, konsultan karier asal AS, yang pernah pula berseminar di Jakarta.

Klik di kepalaku berbunyi. Karena buku itu juga aku miliki. Lalu obrolan antarkami pun terjadi seputar buku bersangkutan. Misi kecilku berhasil. Aku kini merasa bukan orang asing lagi di mata mBak Maria. Ketika penjurian resmi berlangsung, antarkami malah bisa saling mengobrolkan seputar kotaku dan sejawatnya sesama wartawan Kompas yang pernah ia kunjungi rumahnya di Wonogiri itu.


To know you is to love you. Semakin aku mengenal diri mereka, dan bila semakin kaya respons (ingat : kita melakukan badminton sosial !) mereka, maka akan pula semakin kaya warna petualangan yang bakal ia alami di balik makna kata yang aku tuliskan padanya. Juga semakin ia mengetahui betapa berharga dirinya di hati saya.

Riaty, mahasiswi FISIP UI, walau hubungan antarkami bukan hubungan asmara, pernah merasakan pula hal yang sama. Setiap membaca suratku, dirinya merasa berharga. Ia akan protes keras bila suratku berupa ketikan. “Surat-surat Mas Hari (ia menyebutku begitu), sering aku baca hingga berkali-kali”. Sebagai seorang epistoholik, penghargaan semacam tentu bakal sulit terlupakan.

Surat, apalagi yang ditulis tangan dan dikirimkan lewat pos, akan lebih romantis dan mengena bagi hati wanita dibandingkan bila terkirim berwujud email atau SMS. Masing-masing cara itu memang punya kelebihan. Tetapi untuk mampu membuat pembacanya terbang ke awan, surat yang ditulis tangan, adalah yang paling menawan.

Dan jangan lupa, seperti terekam dalam ribuan adegan film atau sinetron, surat biasanya dibaca di tempat yang paling pribadi. Pada sebuah cocoon, hideaway, atau sanctuary, tempat dirinya mampu membayangkan impian yang paling liar sekali pun seolah mampu menjadi kenyataan. Di kamar pribadinya. Di tempat tidurnya. Surat itu bisa dibaca berulangkali olehnya.



“Aku membalas surat-surat kamu ketika seluruh keluargaku lelap tertidur. Angin malam mendesis lewat sela-sela jendela di dekat meja belajarku. Dingin. Mendekati subuh. Dari gorden yang tersibak sedikit, mengintip sebuah bintang. Berkelip. Aku bayangkan ia dirimu, mengajakku bercakap hingga habis separo malam”, tulis Tya dalam suratnya.

Surat-suratku pula yang ikut membuat hati Tya penuh bunga. Termasuk ketika ia lulus SMA. Saat mau mendaftar ke Seni Rupa ITB, Bandung, ia memintaku untuk mengantarnya. Sayang sekali, aku tak bisa mengantarnya. Seharusnya aku menyesal. Sebab saat itu ia menawarkan iming-iming. Tulisnya, bila dirinya lolos diterima di ITB, “aku akan mencium kamu”.

Ia mungkin kualat. Cita-cita dirinya masuk Seni Rupa ITB akhirnya terhambat. Tinggal angan-angan belaka dan aku hanya bisa menghiburnya. Hampir ia memutuskan kuliah di Malang. Tetapi akhirnya memilih di Universitas Trisakti, Jakarta.

Ketika diadakan pertemuan untuk menjelaskan seluk-beluk perkuliahan oleh fihak fakultas untuk kalangan orang tua mahasiswa, aku justru yang diminta Tya untuk mewakili orang tuanya. Antara merasa aneh, kurang percaya diri, aku luluskan permintaannya ini. Hari itu aku datang ke Universitas Trisakti. Ketika pertemuan berlangsung, dari balik kaca pintu, nampak ia dan teman-temannya bergerombol. Lain hari ia cerita, saat itu teman-teman dan dirinya saling menunjuk masing-masing orang tua dan atau yang mewakilinya.

Suatu saat ia malah membuatku serasa terbang. Saat itu ia bilang bahwa sesudah lulus ia pengin mengajakku untuk kuliah lagi. Yaitu menyusul kakak-kakaknya, di Australia. Begitulah wanita, saat ia merasa berharga, saat ia lagi mabuk cinta. Dan aku kira, dia tidak tahu pula akibat dari tsunami yang terjadi pada diri ini, ketika semua angan-angan kita kandas di tengah jalan. Kami bubaran. Ia meninggalkan seekor anjing yang kami sebut dengan nama “Pipi”, berwarna abu-abu. Boneka itu kini masih saja tertimbun di antara baju-baju dan kaosku.


NANYA-NANYA UKURAN BH ! Pengobat terbaik untuk semua sakit akibat patah hati yang parah adalah waktu. Juga humor. Dr. Lila Gruzen, terapis, konsultan perkawinan dari California (AS) dan pengarang buku 10 Foolish Dating Mistake, bilang bahwa humor adalah senjata merayu yang paling sering diabaikan oleh para pria.

“Ketika lelaki kehilangan sense of humour-nya, hal ini jelas merupakan kesalahan bodoh dan fatal dalam berkencan”, tuturnya. Imbuhnya, kaum wanita benar-benar menghargai pria yang bisa lepas tertawa, tidak jaim dan tidak terlalu kenceng dalam menghadirkan dirinya.

Humor itu pula yang membuat diri saya masih waras ketika menemui situasi rayuan yang tidak terduga sebelumnya. Situasi membingungkan yang aku hadapi saat ini.

Mrs. Robinson telah berani merayu pacar putrinya. Aksi yang memang tidak lajim. Mendebarkan. Hal yang tidak lajim juga terjadi pada diriku, akhir-akhir ini. Karena tidak tahu, saat ini aku terjebak kebablasan melakukan rayuan terhadap seseorang yang sudah bersuami dan beranak pula. Repotnya lagi, seolah dirinya juga memberi sinyal-sinyal yang terbuka.

Pengakuan mengenai status dirinya memang sejak awal tidak secara jelas ia ungkapkan. Bisa difahami. Interaksi antarkita juga belum lama. Aku juga sengaja tidak rewel bertanya-tanya. Sebab seperti Men’s Health Real Life Survival Guide (2001) memberiku nasehat :

Don’t go barging into her personal life, asking things like her age, her marital status, her cup size. She’ll let you know the things she want you to know.

Jangan seret dia ke masalah-masalah pribadi, seperti nyinyir nanya-nanya umur, status perkawinan, atau ukuran BH-nya. Dirinya akan memberitahu segala sesuatu yang ia ingin Anda mengetahuinya.

Benar. Baru akhir-akhir ini ada beberapa isyarat yang ia munculkan. Mixed signals. Isyarat yang saling bertentangan. Fahamku : kalau dirinya sudah bersuami dan sebagai wanita yang tentu memiliki naluri yang peka, mengapa tidak ia cuek-kan saja berondongan aksi pdkt yang telah aku lakukan selama ini ? Tetapi, oh, mengapa dirinya justru memberikan sinyal yang sebaliknya ?

Apakah dirinya sedang menerapkan taktik model Rusia saat menjebak dan menghabisi tentara Nazi di tahun 1940-an ? Mula-mula mereka biarkan tentara Jerman itu merangsek masuk dan masuk. Lalu akan muncul problem logistik. Tentara yang berada di garis depan semakin sulit memperoleh pasokan logistik dari garis belakang yang semakin menjauh. Lalu muncul musim dingin. Ofensif balasan tentara Rusia tinggal menghancurkan tentara Nazi yang kecapekan dan kelaparan.

Ofensif dia, baru-baru ini, dengan memberikan data alamat email baru yang kini mencantumkan nama seorang lelaki. Bisa jadi nama ayahnya. Atau nama suaminya. Tetapi pada saat yang sama dirinya juga memunculkan sinyal lain. Dalam SMS yang sama justru menyiratkan bahwa pintunya terkesan masih terbuka : dirinya memintaku untuk menulis-nulis surat lagi untuknya. Sebagai seorang epistoholik, apa ada penghargaan yang lebih tinggi dan melambungkan angan daripada pengakuan bahwa suratnya dinantikan ? Tetapi kemudian dalam voice mailbox teleponnya, kini muncul suara renyah anak kecil yang menyapa. Putrinya ? Boleh jadi pula.

Di tengah seliweran sinyal-sinyal yang membingungkan, apa yang seharusnya aku lakukan ? Menanyakannya. Tetapi seorang Susan G. Rabin, direktur Sekolah Merayu (School of Flirting) di New York dan pengarang buku 101 Ways to Flirt, cepat-cepat memberi masukan tambahan :

“Anda telah pernah mendengar banyak hal mengenai pentingnya kesabaran dan sikap tidak tergesa-gesa dalam berinteraksi dengan kaum wanita. Ada alasan logisnya. Sebagaimana dalam hal seks, wanita memang butuh waktu lama untuk menghangatkan hubungan. Para pria akan lebih berpeluang memetik hasil bila dirinya mampu bersikap sabar. Ketika dirinya merasa aman, wanita akan menjadi lebih terbuka. Ia pun akan datang kepada Anda”.

Ya. Saya akan dengan sabar menantikannya.

Atau suatu saat bila waktunya kurasa tepat, aku akan menanyakannya. Atau mengikhlaskannya. Yang pasti, rumusan untuk dapat merayu dengan baik kita harus berasumsi bahwa kesenangan yang diperoleh dari rayuan adalah tujuan dari merayu itu sendiri, telah aku camkan selama ini. Merayu telah aku lakukan sebaik-baiknya, kurasa. Dan kesenangan juga telah saya peroleh. Kini saya sedang menunggu bonusnya. Bisa positif. Bisa pula negatif.

Tidak ada masalah. No problemo.
Saya siap.

Yang pasti, hidup akan berlanjut.
Aktivitas merayu akan pula terus berlanjut.
Dengan penuh gaya.


Wonogiri, 11 Juni 2005







No comments:

Post a Comment