Saturday, April 07, 2007

Wimar’s World, Jay Rosen dan Wawancara Harian Republika

Oleh : Bambang Haryanto
Esai Epistoholica No. 44/April 2007
Email : humorliner@yahoo.com
Home : Epistoholik Indonesia




Televisi itu kacang. Demikian menurut Orson Welles (1915–1985), bintang film dan sutradara Amerika Serikat. “Saya benci televisi. Benci saya terhadapnya seperti benci saya kepada kacang. Tetapi saya tidak bisa berhenti makan kacang,” katanya kepada New York Herald Tribune (12/10/1956). Sementara itu Robin Day (1923– ), broadcaster Inggris menjelaskan bahwa televisi itu subur berlandaskan ketidaknalaran dan ketidaknalaran juga subur di televisi (Televisi) menyentuh emosi daripada intelek.

Kedua kutipan itu melintas ketika saya memperoleh email dari Wimar Witoelar, 2/4/2007. Judulnya : “Breaking News! Wimar's World Dihentikan !”

Sebagai seseorang yang tidak memiliki pesawat televisi dan tinggal di Wonogiri, berita itu tidak begitu memberikan kejutan yang berarti. Apalagi kita semua tahu, Wimar Witoelar memang memiliki riwayat yang panjang terkait hubungan cinta dan benci dengan televisi. Tetapi menarik juga untuk berspekulasi : apakah pemberhentian acara Wimar’s World itu juga merupakan ketidaknalaran dari pengelola Jak-TV ?

Silakan Anda menjawab.

Sebagai kawan digital dari Wimar Witoelar dalam momen ini saya merasa terkait dengan kedua emailnya yang pernah ia kirimkan kepada saya. Keduanya seolah merupakan cerminan siklus alfa dan omega yang paripurna.

Alfa : ketika ia mulai mengampu acara Wimar’s World, saya memperoleh email pemberitahuan. Kemudian di situsnya, saat itu, saya tulis usul-usil agar judulnya diubah menjadi Wimar’s Wild World. Omega : kini ketika acara itu berakhir secara tiba-tiba, kembali saya memperoleh emailnya tentangnya. Sebagai perwujudan digital camaraderie dengannya, saya telah pula menulis komentar di situsnya, di mana transkripnya tertera di bawah ini.


Komentar panjang. “In the days of Caesar, kings had fools and jesters. Now network presidents have anchormen,” kata Ted Koppel. Bagi Jak-TV, Wimar Witoelar (WW) adalah pula termasuk sebagai kaum fools dan jesters itu. Ketika isi leluconnya dianggap melintasi batas, ia pun mendapat hukuman.

Ketika saya di Wonogiri memperoleh email dari Bang Wimar yang bercerita seputar dihentikannya acara Wimar’s World (saya dulu mengusulkannya : Wimar’s Wild World), saya teringat “kata mutiara” Ted Koppel di atas. Sebagai blogger dan pengelola blog Komedikus Erektus saya memandang dibungkamnya kaum fools dan jesters merupakan tanda matinya kewarasan di negeri ini.

Mengapa semua itu terjadi ?

Saya ingat di blognya ini WW pernah menulis mengenai seorang gubernur “buas” yang tak bakal berpeluang terpilih lagi sedang berkampanye. WW bertanya : untuk apa ? Ternyata, dari radio pagi tadi (5/4) saya mendengar Kwik Kian Gie menyebut bahwa beliau itu sedang merintis jalan untuk menjadi calon presiden.

Apakah ini ada kaitannya dengan dihentikannya Wimar’s World sebagai sinyal untuk WW yang selama ini kritis terhadap kebijakan-kebijakan beliau tadi ? Sinyal itu barangkali berbunyi : Anda juga bisa kami depak dari acara televisi Anda lainnya.

“Medium is the message,” kata nabi media Marshall McLuhan. Bagi saya, pemberhentian acara Wimar’s World adalah juga mengandung kebenaran dari kredo McLuhan itu. Di media yang dikuasai oleh modal besar, yang tidak egaliter, yang dekat dengan kekuasaan, maka media tersebut mampu memaksakan segala “pesan” dan kehendaknya. Baik bagi orang dalamnya sendiri, termasuk anchor, bahkan juga bagi pemirsanya. Media-media semacam itu, one-to-many itu, kini sebenarnya sekarang sedang menghitung harinya.

Hemat saya, bila WW tidak ingin kena sensor internal lagi, sebaiknya ia mendirikan stasiun televisinya sendiri. Atau terjun menerjuni media baru yang menggegerkan dunia, YouTube, hasil inovasi Jawed Karim, Chad Hurley dan Steven Chen, yang justru pernah ditulis oleh WW sendiri di blog Area Magazine, 8 November 2006. YouTube mendapatkan highlight dan accolade di majalah TIME edisi Person of The Year, 25 Desember 2006.

Sebagai seseorang yang pernah bangga disebut sebagai seorang blogger, dan saya ikut tepuk tangan dan sebenarnya mengharap banyak darinya, kini tinggal terpulang kepada diri WW sendiri : maukah ia secara drastis dan tuntas mengubah mindset-nya sebagai seorang blogger sejati ?

Kebetulan di blog saya Esai Epistoholica terkait “heboh” (badai dalam gelas) pembelotan Budi Putra, wartawan bermediakan atom, penganut jurnalisme pohon mati, menjadi blogger purna waktu (saya tidak menyebutnya sebagai blogger profesional !), saya mengungkap kembali saat WW dan Budi Putra tampil di MetroTV membincangkan blog sebagai media egaliter, fondasi kehidupan berdemokrasi. Apakah komitmen dari WW terhadap apa yang ia ucapkan itu masih kokoh kini ?

Apabila ya, maka ketika sebuah pintu media lama, lame stream media itu tertutup, ia dapat secara mudah menemukan pintu-pintu media baru lain yang terbuka. Juga terbuka bagi dirinya untuk terus menjadi fools dan jesters tanpa kuatir kena sensor atau sinyal-sinyal tak jelas, di mana peran semirip punakawan dari dirinya itu sangat vital di negeri yang karut-marut ini. Salam dari Wonogiri !


The Disuse Syndrome. Hanya itu saja yang bisa saya tulis di situsnya Wimar Witoelar. Walau pun demikian, sejauh ini, mungkin komentar saya tersebut yang paling panjang. Terbaik ? Silakan nilai sendiri. Memanglah, saya menyukai posting artikel mau pun komentar yang mampu menuntaskan gelegak perasaan dan isi pikiran, dan untuk itu, mau tak mau, harus panjang-panjang tulisan saya.

Memanglah, tidak semua orang suka.

Di kolom boks bengok blog ini pernah ada pembaca yang setengah mengeluh karena tulisan saya panjang-panjang. Saya berterima kasih untuk opini tersebut. Tetapi, agaknya, saya minta maaf tidak bisa memenuhi permintaan dirinya.

Karena menulis di blog, bagi saya, adalah pembebasan. Rasanya sudah terlalu kenyang berurusan dengan para gatekeepers baik ketika menulis surat-surat pembaca atau pun artikel sejak tahun 1973. Mereka memeriksa sampai melakukan suntingan, yang kadang tidak sesuai dengan kata hati dan alur pemikiran yang semula. Menulis di blog restriksi semacam itu tidak ada lagi.

”This is my magazine !,” demikian pembelaan Jay Rosen, pengajar mata kuliah jurnalisme di New York University sejak 1986 mengenai posting di blognya yang panjang-panjang. Artikel Jay Rosen rata-rata 1500 - 2500 kata. Ia berbeda pendapat dengan B.L. Ochman, seorang corporate blog strategist yang menetapkan bahwa panjang ideal sebuah artikel untuk blog bisnis adalah 250 kata. Yang saya setujui dari dirinya adalah nasehat : links like crazy !

[Saya sudah menulis 958 kata !]

Blog ini bukan blog bisnis. Jadi saya ikut menyetujui pendapat Jay Rosen. Kalau Anda menyukai blog ini, silakan Anda kembali. Karena sebagai seorang intellectual hedonist, menulis bagi saya adalah perjalanan, pengembaraan. Menengok kembali, membangunkan kembali atau menjemput kembali khasanah-khasanah yang selama ini tertidur, atau terbengkalai, lalu menyintesakannya dengan hal-hal baru. Menikmati proses tabrakan atau pun asimilasi yang terjadi.

Edna Ferber (1887–1968), penulis Amerika, mengatakan : “Menulis bukan pekerjaan yang amusing, menghibur. Ini merupakan kombinasi antara menggali lubang, mendaki gunung, berlari-lari di tempat dan melahirkan bayi. Menulis barangkali menarik, menyedot konsentrasi, cerah-ceria, menyakitkan, melegakan. Tetapi menghibur ? Tidak sama sekali !” Dalam semua proses itu maka otak kita harus dipakai semaksimal mungkin.

Simak cerita menarik lainnya di bawah ini.

Walter Bortz, M.D. dalam artikel berjudul “Use It or Lose It” di Saturday Evening Post (Nov/Des 1992), menceritakan cedera kaki kanannya di bagian Achilles tendon akibat kecelakaan main ski. Kaki itu harus digips selama 6 minggu. Ketika gipsnya dilepas, ia melihat kakinya dengan perasaan horor.

‘Ya Tuhan, kaki siapa ini ? Ini bukan kaki saya. Kaki itu nampak begitu tua !,”cetusnya. Tentu saja, kaki itu tidaklah tua. Ia seumur dengan kaki kirinya yang sehat. Kaki kanan yang cedera tersebut mengalami deteriorisasi begitu cepat karena terbalut gips dan tidak digunakan !

Menurutnya, demikian pula otak kita. Otak pun akan akan mengalami penuaan yang hebat dan cepat bila tidak aktif digunakan. Itulah the disuse syndrome yang mungkin berpotensi lebih mengancam para blogger yang hanya suka menulis posting atau pun komentar yang ringkas-ringkas saja :-).


Memutus tali pusar. Menulis untuk berekspresi, juga terutama sebagai intellectual exercise, merasa terus terasah ketika saya mulai menerjuni hobi sebagai seorang epistoholik sejak tahun 1973. Butir-butir topik ini mengemuka ketika Jumat malam (6/4/2007) saya diwawancarai oleh Bung Iman, wartawan harian Republika. Dirinya berminat menulis laporan mengenai kiprah komunitas Epistoholik Indonesia (EI). Ia telah meriset blog-blog saya, kini tinggal menggali hal-hal detilnya. (Update : untuk membacanya, silakan klik artikel bagian pertama dan bagian kedua).


Kontak darinya itu merupakan obrolan telepon kedua yang lumayan menghibur hari ini. Karena sebelumnya saya dapat kabar rada mengecewakan, Niz saya menunda lagi kedatangannya ke Indonesia. “PR saya di London masih seabrek, mas,” alasannya.

Sebelum ini, profil komunitas Epistoholik Indonesia telah muncul di majalah Intisari (Juli 2004), harian Solopos (10/11/2004), tayangan Bussseeet ! di TV7 (20/3/2005 dan 18/5/2005) dan majalah MataBaca (Oktober 2005). Menjadi isi mata acara Saga di jaringan radio 68H (6/11/2006) dan Saga Interaktif di Radio Utan Kayu, Jakarta (11/12/2006).

Berbeda dengan wawancara para wartawan sebelumnya, kali ini Iman Republika tertarik mengeksplorasi lebih jauh isu citizen journalism di mana kaum epistoholik memiliki peluang besar untuk ikut berperan. Sudut pandang yang jitu. Itulah inti pergolakan kami.

Dalam berinteraksi dengan media cetak, di tengah revolusi dunia digital yang terjadi, warga EI sekarang memang sedang mencari peran yang lebih progresif untuk menyuarakan aspirasi pembaca. Kalau selama ini media Internet, radio dan televisi relatif menempatkann audiens sebagai isi secara lebih signifikan, hal itu belum banyak terjadi dalam media cetak.

Mengingat media cetak selama ini terlalu journalist-centered, berpendekatan top-down, kini kami sedang mengetuk-etuk pintu mereka. Seru kami, “libatkan kami, jadikan kami sebagai sumber diskusi koran Anda, karena itu bermakna bagi masyarakat kami !”, sesuai tesis dari Dan Gillmor, pelopor citizen journalism yang kini marak di Amerika Serikat.

Untuk wawancara itu saya sempat mencontohkan sepak terjang media digital di Korea Selatan, OhMyNews, yang memiliki sumber daya 47.000 wartawan amatir di seluruh pelosok negeri.

“Kaum epistoholik, para pencandu penulisan surat pembaca merupakan cikal bakal aktor utama mazhab jurnalisme warga. Karena mereka selama ini sebenarnya merupakan radar, pencatat suara masyarakat, suara arus bawah, tetapi tidak memperoleh porsi yang berarti dalam konstelasi media berbasis atom, media cetak, akibat kolom yang terbatas itu. Ketika media massa beremigrasi ke bentuk digital, dan kapasitas tidak lagi menjadi ganjalan, membuat pendekatan top-down media arus utama menjadi terkikis kredibilitasnya. Mereka harus terbuka terhadap suara arus bawah, yang berasal dari pembacanya, dan yang paling vokal diwakili oleh para penulis surat pembaca,” demikian jual kecap saya.

Sebagaimana OhMyNews, di mana wartawan profesional dan amatir bekerja sama, saya katakan bahwa kini proyek kolaborasi pro-am serupa juga digulirkan di Amerika Serikat. Dipelopori dan didanai oleh penerbit majalah Wired. Proyek ini dikomandani oleh Jay Rosen, editornya Lauren Sandler, dibantu oleh Amanda Michel, Steve Fox, David Cohn, Evan Hansen sampai Jeff Howe. Proyek tersebut diberi label : Assignment Zero.

Dalam obrolan itu, akhirnya isu yang sensitif bagi wartawan media arus utama, terpaksa muncul juga. Sebagaimana saya ungkapkan dalam visi dan misi komunitas EI, saya memimpikan semua penulis surat pembaca memiliki blog. Karena saya berasumsi, semua orang itu cerdas, demikian pula para penulis surat pembaca.

Bagi saya, sebagai refleksi diri, surat pembaca mereka hanyalah puncak gunung es dari harta karun kecerdasan dan kearifan masing-masing. Dengan blog, harta-harta karun di bawah puncak gunung es itu dapat dibongkar, ditulis, dibagikan, disebarluaskan, sehingga menambah kaya khasanah ilmu pengetahuan yang berguna untuk kemaslahatan sesama.

Merujuk hal eksistensial itu maka semua warga EI saya dorong untuk memulai hal sama yang telah saya lakukan selama ini : berternak blog di Internet. Kalau selama ini para penulis surat pembaca ibarat tali pusarnya, umbilical cord, selalu tersambung kepada media massa, maka kehadiran blog mampu membuat penulis-penulis surat pembaca memutus tali pusar tersebut. Ibarat bayi, terputusnya tali pusar tersebut merupakan prasyarat untuk menuju kedewasaan, kemandirian dan kemerdekaan.

Berulang kali saya tulis, dengan berbekal blog diri mereka mampu menjadi warga komunitas global , sekaligus juga menjadi penerbit di muka dunia.

Iman mencecar hal yang ia nilai kontroversial tersebut. Mengapa sebagai penulis surat pembaca justru ingin memutuskan tali kehidupan atau pun eksistensinya dengan media tempat selama ini berkiprah ? Dengan meminta maaf, saya katakan bahwa surat-surat kabar seperti bentuknya seperti sekarang ini akan segera mati.

“Kapan itu terjadi ?”
“Tahun 2010,apabila...” jawab saya.

Wawancara terputus.
Gara-gara energi baterai HP saya habis.

Ketika selesai mencharge, sekitar jam 8 malam, tak ada kontak lagi dari Warung Buncit, Jakarta. Saat itu adalah saat Radio PTPN Solo merelai siaran malam Radio BBC. Bagi saya, selama dua bulan terakhir ini, relai radio satu ini mencerminkan kepongahan dan tindakan semena-mena dari pelaku old media, media lama. Karena siaran BBC yang normalnya sepanjang 30 menit, hanya mereka siarkan sekitar 7-10 menit saja. Hal itu sudah saya tulis di kolom surat pembaca Kompas Jawa Tengah (12/2007). Sungguh ironis, pelaku bisnis industri radio justru tidak menghargai nilai informasi dari radio juga

Memodifikasi ucapan itu Robin Day, kiranya dalam dunia radio masih banyak yang bisa hidup berlandaskan ketidaknalaran.


[Saya sudah menulis 2034 kata !]


Wonogiri, 6-7 April 2007.

ee

No comments:

Post a Comment