Sunday, September 23, 2007

Tragedi 11 September, Epistoholik Indonesia dan Kampanye Nasional Menominasikan Tujuh Pesona Alam Indonesia Sebagai Tujuh Keajaiban Alam Baru Dunia

Oleh : Bambang Haryanto
Esai Epistoholica No. 49/September 2007
Email : humorliner@yahoo.com
Home : Epistoholik Indonesia




Bom saya tidak meledak. Itu yang terjadi pada tanggal 11 September 2007, di Restoran Diamond, Solo. Inilah ceritanya :

“Saya diajak Mayor Haristanto, Presiden Republik Aeng-Aeng, untuk mengikuti acara sumbang saran (brainstorming) yang bertopik pengembangan penetrasi sebuah harian di Jawa Tengah. Koran itu pernah berjaya di Solo dan kini bertekad hendak merebut kuenya terdahulu yang belakangan tergerus oleh kehadiran pesaing baru mereka. Sebagai seorang epistoholik saya protes karena kolom surat pembaca yang dulu di halaman 6 kini dionclang ke halaman 22. Padahal menurut saya, dalam wacana jurnalisme warga (citizen journalism), kolom itu idealnya harus berada di halaman pertama !

Hal menarik lain, sebagian besar peserta acara itu generasi di atas 40-an. Pembaca koran kelompok jadul, jaman dulu. Sehingga tak ayal, sebagian besar saran mereka berputar-putar seputar perbaikan isi (content) dan tak menyinggung-nyinggung konteks (context). Saran itu membuat saya terpana. Karena di tengah perkembangan teknologi komunikasi dan informasi yang cepat dan berubah-ubah, koran kini bukan lagi sebagai matahari sebagai pusat edar bumi kita ini.

Koran kini hanya sebagai salah satu planet, di mana matahari sebagai pusat edar gerakan benda-benda angkasa itu adalah para konsumen informasi. Koran kini harus bersaing mati-matian melawan empat layar media lainnya, sejak layar bioskop, televisi, komputer (internet) dan yang terbaru layar telepon genggam.

Layanan berita seketika yang dapat diakses melalui telepon genggam seperti yang baru-baru ini diluncurkan Kompas, Langlang, adalah pertarungan konteks. Dengan mengusung blue ocean strategy, membuat Langlang berpotensi menjadikan koran-koran yang baru bisa menyalurkan informasinya ke pembaca pada keesokan hari terancam menjadi tidak relevan. Termasuk bagi Kompasnya sendiri, karena penerapan teknologi baru selalu tersimpan potensi terjadinya kanibalisasi.

Persaingan koran di Solo, juga di bagian mana pun di dunia, kini tak bakal bisa dimenangkan hanya dengan mengutak-utik isi belaka. Gary Hammel dalam bukunya Leading the Revolution (Harvard Business School Press, 2000) menandaskan, perang bisnis masa depan berada di medan konteks dan bukan pada isi. Bukan pada produk, tetapi pada model bisnis.

Bagi saya, sungguh menarik mengikuti apa yang akan terjadi dalam perang koran di Solo pada masa-masa mendatang ini. Sebagai penulis surat pembaca yang juga jadul, saya akan mendukung media yang mampu menampung kiprah dan aspirasi mazhab jurnalisme warga yang kini meruyak guna menuju demokratisasi media di dunia !”


Itulah surat pembaca saya dengan judul semula “Perang Koran di Solo.” Saya kirimkan ke Kompas Jawa Tengah, 16 September 2007. Dengan judul yang kemudian diubah menjadi “Perang Media” serta mengalami penyuntingan, surat saya tersebut akhirnya dimuat di Kompas Jawa Tengah, Sabtu, 22 September 2007.

Saya tidak tahu apakah bom saya yang kedua ini, tetap seputar wacana terancamnya media cetak di tengah kepungan sarana teknologi komunikasi dan informasi yang baru, yang saya paparkan di media massa, bisa disebut meledak. Lalu misalnya mempunyai pengaruh tertentu bagi pengelolaan media massa Jawa Tengah di masa mendatang. Termasuk interaksi mereka dengan kalangan kita-kita ini, yaitu kaum epistoholik. Harapan saya itu mungkin terlalu melambung-lambung ya? Utopis ? Karena merasa sok penting ?


Pertimbangan ini perlu ditulis karena ketika di Restoran Diamond Solo itu, walau pun saya membawa dan sudah menunjukkan majalah Business Week edisi Indonesia, 11 Mei 2005, dengan sampul bertuliskan huruf yang besar, “Blog Akan Mengubah Bisnis Anda : Pelanggan dan Pesaing Sudah Menggunakan Blog. Kini Giliran Anda,” kimia yang saya rasakan seperti salah campuran. Gelombang wawasan baru mengenai jurnalisme warga yang hadir secara masif di dunia dewasa ini dengan bersenjatakan blog, social media, terasakan sebagai sinyal-sinyal yang masih asing di tengah pertemuan itu.

Mungkin saya yang harus bersabar. Atau sebaiknya memilih sikap tidak peduli ? Pilihan yang terakhir sepertinya tidak bisa saya lakukan. Sebagai penulis surat pembaca sejak tahun 1973, dengan bersikap tidak peduli maka sama dengan menumpas pohon kehidupan yang telah saya uri-uri dalam hidup saya selama ini. Sebagai seorang epistoholik, roh aktivitasnya dan alasan hidupnya adalah kepedulian. Terhadap sekitarnya. Bahkan dunia. Lalu tidak hanya diam, tetapi tergerak, beropini, dengan menuliskannya.

Saya harus bersyukur, karena saya tidak hanya bisa menuliskan semua kecerewetan itu di media cetak, tetapi juga mampu mengeksplorasikan kepedulian saya melalui media sosial, yaitu di blog-blog saya. Termasuk kepedulian tentang tragedi dalam sepakbola Indonesia.


Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket

September ceria. “Bulan September ini Kompas menjadi milik Anda,” demikian isi gurau via SMS dari Fx Triyas Hadiprihantoro, sahabat epistoholik saya, yang guru di SMA Pangudi Luhur St. Joseph, Solo. Ia merujuk tulisan saya yang berjudul “Sepak Bola : Cermin Korup dan Ambivalensi Kita,” dimuat di halaman Teroka yang digawangi sastrawan Radhar Panca Dahana, Harian Kompas, Sabtu 8 September 2007.


Saya rada kecewa karena ending artikel ini berubah. Telah disunting oleh Radhar, yang nampaknya agar menjadi “lebih sopan” dan tidak provokatif. Versi Kompas itu sebagai berikut :

“Saya mendapat cermin miskinnya prestasi Indonesia ini dari buku kedua Malcolm Gladwell, Blink : The Power of Thinking without Thinking (2005), yang saya beli seusai mendukung timnas di leg ke-2 Piala Tiger di Singapura. Gladwell bertesis, untuk menilai sebuah keadaan secara akurat, kita dapat melakukannya dengan hanya sekejap mata, dengan mengambil thin slice, irisan kecilnya saja.

Maka, untuk coba menjawab pertanyaan, “mengapa sepak bola Indonesia terus terpuruk sementara Singapura saja mampu menjuarai Piala Tiger”, saya coba menggunakan tesis Gladwell di atas. Saya membiarkan pikiran saya diam sampai akhirnya menemukan “jawaban” ironis : Ho Peng Kee, Presiden FAS, asosiasi sepak bola Singapura, adalah seorang professor. Lha, Ketua Umum PSSI saat ini ?

Apakah jawaban semacam itu yang membuat sepak bola kita terus terjungkal ? Atau kenapa kita lemah dan permisifnya dalam memilih pemimpin ? Anda, saya kira, tentu bisa turut menjawabnya.”

Artikel aslinya sebagai berikut :

“Di tengah ancaman meruyaknya tindak kekerasan suporter kita dan lilitan budaya korupsi dalam tubuh organisasinya, bulan Juli 2007 ini timnas Indonesia terjun dalam Piala Asia 2007. Kita dapat bercermin tentang prestasi tim kita di kancah Asia, walau dua tahun lalu saya pernah menemukan cermin buram wajah sepakbola Indonesia dari buku keduanya Malcolm Gladwell, Blink : The Power of Thinking without Thinking (2005). Buku itu saya beli usai mendukung timnas di leg 2 Final Piala Tiger 2004 di Singapura. Gladwell punya tesis, untuk menilai sesuatu keadaan secara akurat kita dapat melakukannya hanya dengan sekejap mata, dengan mengambil thin slice, irisan kecilnya.

Rasa ingin tahu saya, “Mengapa Singapura mampu menjadi juara Piala Tiger 2004, berprestasi tinggi dan Indonesia harus keok dan terpuruk lagi ?” Dalam penerbangan pulang, dengan mengambil tesisnya Gladwell saya memberikan jawaban : Ho Peng Kee, presiden FAS/Football Association of Singapore adalah seorang profesor. Nurdin Halid, Ketua PSSI kita, seorang koruptor.”

Mungkin hanya sebuah kebetulan, beberapa hari kemudian Nurdin Halid diputus menjadi terpidana kasus korupsi minyak goreng dan masuk penjara !


Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket


Blunder Borobudur. Artikel saya yang juga masuk Kompas di bulan September 2007 berjudul “Musibah Borobudur dan Gapteknya Kita.” Dimuat di Kompas Jawa Tengah, Rabu, 12 September 2007. Artikel ini saya kirim sejak Juli 2007 terkait momen 07-07-07 saat The7Wonders Foundation yang melakukan jajak pendapat sejak tahun 2001 telah mengumumkan hasilnya di Lisabon, 7 Juli 2007. Saat itu diumumkan bahwa Candi Borobudur tidak ikut terpilih sebagai salah satu dari tujuh keajaiban dunia yang baru.

Di tanah air muncul beragam reaksi. Termasuk artikel yang ditulis Saratri Wilonoyudho, dosen asal Semarang, dimuat di Kompas Jawa Tengah (11/7/2007). Ia menyebut tidak terpilihnya Borobudur akibat kuatnya pengaruh politik bisnis pariwisata internasional, di mana seolah di luar sana ada kartel atau mafia yang kompak dan beramai-ramai memusuhi diri kita.

Menurut saya, “musibah tersebut terjadi karena pemerintah dan dunia industri pariwisata kita yang gagap teknologi (gaptek) dan telat mikir. Kesalahan fatal itu membuat bangsa besar yang berpenduduk lebih dari 200 juta itu ibarat orang bisu di tataran global. Kita kalah vokal dibanding Brazil atau bahkan negara kecil berpenduduk 7 juta, Yordania. Situs bersejarah mereka kini menjadi terpilih di antara tujuh kejaiban dunia yang baru tersebut.” Klik disini untuk artikel komplitnya.

Pada bagian artikel, saya tuliskan : “Nasi memang sudah jadi bubur untuk Borobudur. Tetapi merujuk pendapat yang muncul, saya jadi pesimistis apakah bangsa Indonesia mampu tidak seperti keledai yang suka mengulangi kesalahan serupa. Karena The New7Wonders Foundation sekarang ini (!) sudah pula meluncurkan jajak pendapat melalui Internet, di situsnya New7Wonders of Nature, untuk memilih tujuh keajaiban alam yang baru.

Jajak pendapat berlangsung hingga tahun depan, 8 Agustus 2008 (08-08-08). Di mana suara Anda, pemerintah kita dan dunia industri pariwisata Indonesia ?”


Ayo Bangkit, Bangsa Indonesia ! Sejak artikel saya itu dimuat, sepertinya tidak ada reaksi mengenai terbukanya (lagi) peluang bagi bangsa Indonesia untuk menerkenalkan khasanah alamnya kepada dunia. Saya dengan Mayor Haristanto akhirnya bersepakat untuk mengambil prakarsa, antara lain dengan meluncurkan situs blog Tujuh Indonesia Untuk Dunia, yang isinya antara lain di bawah ini :

Dalam pelbagai literatur, Candi Borobudur tidak pernah masuk dalam daftar tujuh keajaiban dunia. Peluang bangsa Indonesia dengan kekuatannya sendiri untuk secara “resmi” memasukkannya sebagai salah tujuh keajaiban dunia yang baru, yang peluangnya dibuka oleh The New7Wonders Foundation sejak 2001, baru saja kita sia-siakan.

Jajak pendapat secara global melalui telepon dan Internet yang berhasil menghimpun 100 juta suara itu akhirnya menelorkan daftar Tujuh Keajaiban Baru Dunia, meliputi : Kuil Chichen Itza (Yucatán, Mexico), Patung Jesus Sang Penebus (Rio de Janeiro, Brazil), Tembok Besar (Cina), Komunitas Machu Picchu (Cuzco, Perú), Kota kuno Petra (Jordania), Koloseum Romawi (Roma, Italia) dan Taj Mahal (Agra, India).


Ada di mana Borobudur kebanggaan kita ?
Tidak ada.
Masuk nominasi 21 saja tidak !

Itulah akibat pemerintah kita yang cadok, gagap teknologi dan telat mikir, terbukti tidak aware dan acuh tak acuh terhadap peristiwa berskala global itu. Sebaliknya pemerintah Brazil dan Yordania, sebagai contoh, sangat aktif menyadarkan rakyatnya dan menfasilitasi untuk mengikutinya. Mereka pun sukses mengangkat situs peninggalan negaranya menjadi ikon dunia. Sementara itu ketidakacuhan pemerintah kita hanya membuat potensi suara populasi warga Indonesia yang 200-an juta lebih untuk mengikuti jajak pendapat itu, yang mampu berpotensi memenangkan Candi Borobudur, akhirnya muspra, sia-sia adanya.

Kini hadir peluang lain. Yayasan yang sama kini membuka jajak pendapat melalui Internet hingga 08-08-08 dalam menentukan Tujuh Keajaiban Alam Baru Dunia. Tergerak untuk tidak mengulangi blunder yang sama dan tidak usah menunggu prakarsa pemerintah, maka kami Epistoholik Indonesia (EI) dan Republik Aeng-Aeng berprakarsa meluncurkan kampanye nasional, menggalang warga Indonesia untuk mengikuti jajak pendapat berkelas dunia tersebut.


Berdasarkan kajian kami, situs-situs yang kami nominasikan untuk dipilih terdiri lima situs (No. 1 sd 5) yang diakui UNESCO sebagai tapak warisan dunia, ditambah satu pilihan World Wildlife Fund (WWF) pada urutan ke enam dan yang ke tujuh merupakan pilihan dari Conservation International (AS). Ketujuh nominator tersebut disajikan dalam bahasa Inggris untuk memudahkan Anda melakukan copy/paste saat mengisi formulir jajak pendapat di Internet, meliputi :


  • 1. Komodo National Park.
  • (Kategori : Animal Reserve).


  • 2. Lorentz National Park.
  • (Nature Conservancy Park).


  • 3. Sangiran Early Man Site.
  • (Prehistoric natural site).


  • 4. Ujung Kulon National Park
  • (Nature Conservancy Park).


  • 5. Tropical Rainforest Heritage of Sumatra.
  • (Forest, Wood).


  • 6. Heart of Borneo.
  • (Nature Conservancy Park).


  • 7. Coral Triangle Papua.
  • (Underwater World, Reef).


    Daftar ini dapat diperkaya dengan situs-situs lainnya, asal saja yang berada di tanah air kita tercinta. Untuk mengikuti jajak pendapat, silakan Anda akses ke New 7Wonders of Nature. Klik tombol “Make a Nomination.” Anda akan diminta mengisi data email Anda dua kali, asal negara, lalu tujuh kolom isian yang terdiri nama situs yang dinominasikan, jenis kategori dan asal negaranya.

    Anda harus memiliki alamat email yang valid, karena akan dilakukan cek ulang dengan adanya email balasan dari penyelenggara polling di kotak surat email Anda. Anda harus melakukan verifikasi dengan mengklik URL yang sudah mereka tentukan.

    Ayo bangkit bangsa Indonesia. Tunjukkan rasa patriotisme Anda. Kenali keindahan, keistimewaan dan manfaat kekayaan tanah air kita bagi kelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat dunia. Untuk itu, kini Anda dan kita semua memiliki kekuatan sendiri untuk mampu mengangkat tinggi-tinggi khasanah alam kebanggaan negeri tercinta ini untuk didaulat sebagai salah satu dari tujuh keajaiban alam yang baru.

    Beraksilah, sekarang juga dan sebarkanlah ajakan ini seluas-luasnya, termasuk mengirimkannya ke kolom surat pembaca di media massa cetak, radio, televisi dan Internet. Terima kasih.


    Situs Blog Resmi :
    TUJUH INDONESIA UNTUK DUNIA
    http://7indonesia.blogspot.com

    BAMBANG HARYANTO
    Warga Epistoholik Indonesia
    Blog EI : http://episto.blogspot.com
    Jl. Kajen Timur 72 Wonogiri 57612
    Email : humorliner@yahoo.com
    HP : +6281329306300


    MAYOR HARISTANTO
    Republik Aeng-Aeng
    Jl. Kolonel Sugiyono 37 Solo
    Email : presiden_pasoepati@yahoo.com
    HP : +628122594020



    Wonogiri, 12-24 September 2007


    ee

    No comments:

    Post a Comment