Wednesday, November 30, 2005

Dua Belas Surat Pembaca Saya Yang Ditolak !

Oleh : Bambang Haryanto
Esai Epistoholica No. 29/November 2005
Email : epsia@plasa.com
Home : Epistoholik Indonesia




Pengantar : “I'll make him an offer he can't refuse”. Saya akan memberikan penawaran bagi dirinya yang bakal tidak dapat ia tolak. Itulah salah satu dialog terkenal dalam film The Godfather. Siapa berani menolak tawaran gegedug, bos besar geng Mafia ?

Atau simak ucapan Presiden AS ke 26, Theodore Roosevelt (1858-1919) mengenai kunci sukses dalam bernego atau berdiplomasi. ”Speak softly and carry a big stick; you will go far”. Berbicaralah lembut dan bawalah pentungan besar, Anda tak mungkin gagal.

Penulis surat pembaca, tentu, bukanlah anggota geng Mafia atau sesosok tukang pukul. Walau bergelar sebagai epistoholik pun, dimuat atau tidaknya sesuatu surat pembaca yang ia kirimkan, di luar kemampuan dirinya. Redaktur koran bersangkutanlah yang punya kuasa.

Begitulah. Memperoleh penolakan atau pendiaman atas nasib surat-surat pembaca, adalah hal biasa bagi diri saya. Tak ada masalah. Terlebih kini dengan bersenjatakan situs blog, surat-surat pembaca itu masih dapat dikomunikasikan kepada masyarakat luas. Bahkan mendunia.

Dengan blog, seseorang epistoholik berpeluang memutus umbilical cord, tali pusarnya yang selama ini melulu tersambung ke media massa. Seperti halnya bayi, terputusnya tali pusar itu merupakan tanda mulai bagi perjalanan dirinya menuju kemandirian, kedewasaan dan kemerdekaan.

Kampanye ini, bagi sesama warga epistoholik, belum berhasil saya lakukan. Baiklah, itu topik yang dapat dibahas di lain kesempatan. Kini, semoga ke-12 surat pembaca saya yang tidak berhasil muncul di media massa itu masih menyisakan isi yang berguna. Selamat membaca !



GELAR TONG KOSONG. Di tengah hiruk-pikuk Pilpres Putaran Kedua, capres Susilo Bambang Yudhoyono menempuh ujian doktornya di Institut Pertanian Bogor. Sementara itu Munir, tokoh pembela hak asasi manusia dipanggil kembali oleh Sang Chalik ketika sedang dalam penerbangan dengan Garuda dari Jakarta menuju Belanda. Munir menuju Belanda guna meneruskan studinya. Kabar terakhir mengenai Amien Rais, mantan ketua MPR, adalah pulang kandang ke Universitas Gajah Mada untuk menjadi dosen kembali.

Kisah ketiga tokoh tadi pantas menjadi tauladan.
Mereka tidak berhenti belajar.

Kembali menjadi dosen, seperti yang dipilih Amien Rais, juga merupakan pilihan untuk kembali belajar. Di sekitar kita tidak sedikit birokrat sampai guru yang kembali ke kampus untuk menempuh program lanjutan S2 dan S3. Lalu bagaimana dengan mereka yang tak punya biaya atau waktu untuk menempuh program lanjutan ?

Belajar untuk meningkatkan diri yang tidak berpamrih disemati gelar akademis ketika usai, masih banyak jalan yang dapat ditempuh.

Cara terbaik adalah dengan membaca dan menulis. Membaca dapat mengandalkan sumber-sumber ilmu yang terhimpun di perpustakaan, toko buku atau Internet. Berorganisasi, menjadi relawan atau aktivis, adalah juga wahana untuk belajar.

Sedang menulis itu penting, karena mempribadikan segala asupan informasi untuk menjadi milik kita sendiri. Dengan menulis, baik di media massa cetak atau pun Internet, dirinya berbagi ilmu dengan orang lain sekaligus mampu memperkaya khasanah ilmu dirinya pribadi.

Tanpa menulis, gelar-gelar akademis itu ibarat tong kosong karena ilmu yang ia peroleh segera terlupakan dan khasanah ilmu pengetahuan tidak mendapatkan tambahan dari pemilik gelar-gelar akademis bersangkutan.

Di sini kita dapat meneladani perjuangan seorang yang pernah bekerja di perusahaan sound system sebagai juru servis, lalu jualan antene TV kelilingan, jualan sepatu dan antena parabola, tetapi semangatnya untuk belajar tanpa henti sampai terpilih menjadi satu di antara 20 Pemimpin Politik Asia Pada Millenium Baru oleh majalah AsiaWeek (1999).

Orang tersebut adalah : Munir.

(Dikirimkan : 22 Oktober 2004 ke koran di Jawa Tengah).



DOSEN OGAH DEMO. “Perpustakaan = Gubug, Rektorat = Istana. Perpustakaan Impoten, Mahasiwa Mandul”. Itulah antara lain bunyi poster yang diusung mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Agama Negeri (STIAN) Kudus, seperti diwartakan JawaPos (8/10/2004), saat berdemo menyuarakan keprihatinan mereka terhadap kondisi perpustakaan kampusnya. Sungguh demo yang langka, tetapi penting maknanya.

Sebab seperti kata sejarawan dan filsuf politik Skotlandia, Thomas Carlyle (1795-1881), the true University of these days is a collection of books atau universitas sejati masa kini adalah perpustakaan, maka perpustakaan dalam sebuah lembaga perguruan tinggi (PT) dapat disebut sebagai jantung PT bersangkutan.

Tetapi hal ideal itu di negeri kita realitasnya bisa berbeda. Banyak rektor lebih tergiur membangun pagar dibanding membangun perpustakaan dengan koleksi bahan pustaka yang andal untuk sivitas akademikanya. Juga tidak banyak dosen yang berbahagia bila perpustakaan menyediakan literatur dan jurnal ilmiah mutakhir secara lengkap guna menunjang proses pengajaran.

Sebab masih banyak dosen bermental seperti pendekar masa lalu, sengaja mengajarkan 50-60 persen materi sehingga anak didiknya tak akan melampaui ilmu yang ia miliki. Bermodal satu-dua buku pegangan dan hanya dirinya yang memiliki, lalu seolah dunia sudah dalam genggamannya. Akibatnya, luaran PT bersangkutan akan seperti boneka Misha dari Rusia, semakin tahun semakin kerdil pengetahuannya.

Bila dugaan di atas benar, maka tak ayal setiap kali ada demo bermisi penting semacam di STIAN Kudus tersebut, para dosen ogah ikut demo. Karena dengan ikut demo berarti mengguncang-guncang posisi diri mereka dan kawan-kawannya sealiran sebagai fihak status quo.

Suka atau tidak suka, kaum mapan dan memuja status quo juga tidak sulit ditemukan di lembaga- lembaga pendidikan sekitar kita. Sikap mental semacam itulah yang pantas untuk terus-menerus kita demo !

(Dikirimkan : 22 Oktober 2004 ke koran di Jawa Tengah).



MABUK BISNIS DI INTERNET. Namanya saja orang jualan, penginnya semua dagangannya laku keras, laris manis, diborong seluruhnya oleh pembeli. Itulah kesan yang muncul ketika mengikuti laporan dari Seminar Aplikasi E-Commerce Dalam Ekspor-Impor (Kompas, 11/10/2004) yang lalu.

Pembicara dari Telkom mengritik pengelolaan situs web pengusaha Indonesia yang tidak diperbarui (update) secara teratur. Bahkan ditekankan, 9 dari 10 penyelenggara lembaran online (situs web) gagal mempertahankan halamannya. Pembicara lain malah mengatakan bahwa pengusaha di Jawa Tengah masih sebatas menggunakan e-mail sebagai alat perdagangan.

Bagi saya, pemanfaatan e-mail untuk menunjang bisnis sudah merupakan kemajuan yang patut dipuji. Karena memang lebih di atas 80 persen pemanfaatan internet adalah untuk pemakaian e-mail. Sedangkan situs web sebagai sarana niaga elektronik (e-commerce) kalau tidak menemukan model bisnis yang jitu akan hanya menjadi lubang hitam, investasi sia-sia.

Apalagi sebagai sarana niaga elektronik idealnya situs web perusahaan bersangkutan tidak cukup hanya sebagai corporate web, yang sekadar memajang data brosur tercetak mereka di Internet, tetapi sekaligus sebagai marketing web, seperti gencar diusulkan pembicara dalam seminar di atas.

Mereka mungkin tidak sadar bahwa mengelola marketing web memunculkan problem yang luar biasa berat dan pelik. Martin Levin dari Microsoft Corp. dalam Seminar The Future of Interactive Marketing di Sekolah Bisnis Harvard (Harvard Business Review, Nov/Dec. 1996), menyatakan bahwa pengelola situs web bersangkutan harus agresif menarik pengunjung untuk berselancar ke situs perusahaannya.

Akibatnya, perusahaan tersebut harus sekaligus menjadi penerbit canggih yang terampil menggodok isi, menggelar trik dan menyiasati tampilan agar isi situs webnya mampu menarik pengunjung. Contohnya, semisal di bulan Puasa harus disajikan isi situs web yang relevan dengan suasana Ramadhan, demikian juga ketika Idul Fitri, Hari Natal, Tahun Baru, dan seterusnya sepanjang tahun.

Internet sebagai sarana niaga elektronik dengan berpendekatan seperti diusulkan para pembicara seminar, hanya dengan memajang kios di dunia maya, mudah dilakukan, tetapi hasilnya jauh dari efektif.

Wabah mabuk kepayang memindahkan model bisnis dunia nyata (brick and mortar) secara mentah-mentah ke dunia maya, seperti terjadi pada awal perkembangan Internet di Indonesia, terbukti hanya mengakibatkan bisnis-bisnis tersebut mampus secara berombongan !

(Dikirimkan : 8 Desember 2004 ke koran di Jawa Tengah).




JURUS MENGUSIR SETAN DARI TELEVISI. Seorang pelajar SMP mampu memaksa seorang presiden mengubah kebijaksanaannya.

“Kalau anda tidak berhenti membunuhi satwa liar sampai tanggal 15 Mei 1991, saya akan mengajak siapa saja untuk tidak membeli produk-produk asal negara Anda !”, itulah bunyi sebagian isi surat Melanie Essary, Klas II SMP PS 174 Queens, New York, Amerika Serikat yang ia kirimkan kepada Presiden Korea Selatan.

Surat itu ia buat karena Korea Selatan tidak mau ikut menandatangani pakta pengaturan perdagangan satwa liar dan produk satwa liar seperti cula badak dan gading gajah.

Melanie amat serius dengan gerakan moralnya. Surat ancamannya itu juga ditembuskan ke berbagai stasiun televisi dan toko-toko penjualan mainan anak-anak agar ikut memboikot semua produk mainan anak-anak, pakaian jadi dan elektronika Korea Selatan. Presiden Korea Selatan saat itu, Roh Tae Woo, terdesak dan akhirnya menandatangani pakta tersebut.

Kisah perjuangan Melanie Essary di atas semoga dapat mengilhami Yuli Setyowati dan rekannya se-asrama Virgo Fidelis Bawen, yang telah menulis surat pembaca di kolom ini (16/9/2004), memprotes tayangan berbau kekerasan dan mistik yang marak belakangan ini di pelbagai stasiun televisi. Tidak sedikit pemirsa, termasuk saya, yang menyetujui gagasan Yuli dan kawan-kawan.

Dia, yang tergerak menyuarakan nuraninya melalui kolom surat pembaca, telah mengambil pilihan tepat. Saya harap, dirinya tak bosan untuk terus melakukan hal yang mulia itu, termasuk mengajak rekan-rekan yang seide untuk melakukan hal yang sama. Saya yakin, opini yang bergulir tidak akan disepelekan oleh rumah produksi, pengelola televisi, dan pemasang iklan tayangan bersangkutan.

Sangat lebih revolusioner bila kita ramai-ramai menulis surat atau email dengan pendekatan seagresif Melanie Essary tadi. Yaitu secara langsung mengirimkan keberatan kita kepada perusahaan-perusahaan yang produknya diiklankan dan berarti mendukung tayangan televisi berselera rendah serta tidak bermuatan pendidikan tersebut. Tradisi baru dalam bersuara kritis bisa kita mulai.

Hari ini !

(Dikirimkan : 8 Desember 2004 ke koran di Jawa Tengah).



ASAP SHEILA ON SEVEN. Pencinta olahraga bola basket di Indonesia bertahun-tahun hanya bisa gigit jari ketika organisasi bola basket Amerika Serikat, NBA, melarang siaran langsungnya ke Indonesia selama ini. Mereka melarang karena tayangan olahraga di televisi Indonesia didominasi pabrik rokok sebagai sponsornya.


Kelompok musik terkenal, Linkin Park ketika konser di Jakarta, Juni 2004, juga menyatakan anti rokok. ”No smoking, no moshing, just fun !”, seru vokalisnya, Chester Bennington. Ia menyatakan di tengah konsernya di Ancol Jakarta bahwa ia dan kawan-kawannya tidak setuju bila ada rokok dan aksi dorong, ribut, dalam pertunjukannya.

Kesadaran tinggi para olahragawan dan musisi kelas dunia itu pantas diteladani. Bagaimana di Indonesia ? Saya pernah dibocori info wartawan olahraga, ada pebulutangkis kita yang kelas Olimpiade pun, merokok. Musisi kita ? Baca saja iklan-iklan tur mereka, pekat dikepung asap-asap sponsor rokok.

Mereka yang muda-muda dan kaya raya itu, mungkin sudah silau atau buta terhadap uang, lalu sengaja mengubur nuraninya dan tidak sadar bahwa sosok-sosok terkenal mereka telah berubah jadi monster berbaju petugas humas pabrik rokok yang mempopulerkan kebiasaan yang sesungguhnya merusak kesehatan generasi muda Indonesia.

Kolumnis Ariel Heryanto (Kompas, 17/10/2004) menulis : di Indonesia, mobil dan rokok menjadi algojo yang lebih ganas daripada terorisme. Korban rokok di Indonesia setiap tahunnya berjumlah dua ribu (bukan dua belas, bukan dua ratus) kali lipat korban bom Bali. Setiap hari 1.124 orang Indonesia yang mati karena rokok. Setiap jamnya 47 orang Indonesia mati karena rokok.

Untuk Eross dan Duta dkk di Sheila on 7, Dhani Ahmad dkk dari Dewa, Kaka dan Bimbim dari Slank, Piyu dkk dari Padi, Armand dan Dewa Bujana dkk dari Gigi dan semua musisi top Indonesia yang sering konser atau rekaman dengan sponsor pabrik rokok, di mana kira-kira nurani dan akal sehat Anda ?

Sudah terbakar habis menjadi asap ?

(Dikirimkan : 8 Desember 2004 ke koran di Jawa Tengah).



BUDI BOLOS SEKOLAH. Seorang wisudawan lari ke tengah lapangan. Masih bertoga, ia lemparkan topi wisudanya ke langit, sambil berteriak : “Dunia, saya telah lulus BA !”. Tiba-tiba dari langit terdengar suara : “Baiklah nak, dan dunia akan mengajarimu abjad-abjad kehidupan selanjutnya !”.

Seperti kiasan dalam kisah ini, idealnya lulus kuliah bukan akhir seseorang dalam menuntut ilmu. Justru sebuah awal. Tetapi kesadaran luhur semacam ini teramat mudah terlupakan begitu pesta untuk merayakan kelulusan mereka usai.

Sekadar contoh, metode ilmiah yang pernah mereka pelajari dalam penulisan karya tulis atau skripsi, sejak menentukan judul, menghimpun literatur, konsultasi pembimbing untuk menentukan sistematika penulisan, begitu mudah mereka lupakan begitu terjun dalam aktivitas berburu pekerjaan.

Padahal metode itu dapat mereka adaptasi dalam aktivitas meriset diri sendiri (self-assessment), jenis pekerjaan, bidang industri, perusahaan sampai nama-nama contact person yang memudahkan mereka dalam proses berburu pekerjaan.

Yang banyak terjadi, proses penting itu justru mereka langkahi untuk digantikan aktivitas gampangan yang bisa dikerjakan oleh mereka yang tak mengenyam pendidikan sekali pun. Yaitu : meneliti iklan-iklan lowongan dan lalu mengirimkan surat-surat lamaran. Mereka lebih suka melakukan perjudian nasib yang membuahkan frustrasi dan kegagalan.

Demikian pula begitu lulus kuliah, mudah terancam luntur pula kebutuhan aktivitas membaca secara serius, mengucapkan selamat tinggal untuk buku-buku kaya gizi inspirasi dan keteladanan, kemudian justru banyak digantikan kegiatan getol nonton televisi.

Psikolog Howard Gardner yang tesis kecerdasan majemuknya (multiple intelligence) kini sering dikutip para guru, sebenarnya juga mempunyai tesis lain yang disebutnya sebagai akal budi yang tak bersekolah (unschooled mind).

Yaitu tentang pribadi-pribadi yang bertahun-tahun bersekolah atau berkuliah, tetapi begitu lulus dan bergelar sekali pun, sebenarnya akal budi mereka justru tak pernah tersentuh oleh pendidikan. Akibatnya : sebelum dan sesudah berkuliah, sebenarnya dirinya tidak ada yang berubah. Penguasaan ilmunya tetap saja hanya setingkat abjad A-B dan tertutup untuk mempelajari hal-hal baru yang akan diajarkan oleh dunia !

(Dikirimkan : 8 Desember 2004 ke koran di Jawa Tengah).



MARSHANDA DEREP DI SAWAH. Kalau Anda jeli menyelidik, apa sumber konflik dalam pelbagai cerita sinetron di televisi-televisi kita ? Harta. Uang. Pangkat. Kedudukan. Tanah. Gedung. Perusahaan. Wanita. Tayangan sinetron itu mungkin merefleksikan semangat jaman, sebagai cermin pribadi kita sebagai bangsa Indonesia, baik mengenai impian, cita-cita sampai gambaran tentang keserakahan diri kita.

Bila analisis ini benar, mungkin kurang kita sadari, gambaran dalam sinetron-sinetron di atas sebenarnya menunjukkan bahwa sebagian besar dari diri kita masih hidup di jaman pertanian. Kalau dalam film-film barat di televisi, mungkin cocok untuk digambarkan bahwa kita masih hidup dalam era film Bonanza. Era koboi.

Dalam jaman tersebut yang diperebutkan adalah benda-benda kasat mata (tangible), seperti tanah untuk lahan ternaknya, tambang emas, uang, imbalan menangkap penjahat atau merebut hati gadis jelita.

Sinetron-sinetron kita, walau menampilkan rumah mewah dan mobil terbaru tahun 2000-an, tetapi belum pernah terdengar menampilkan konflik atau pemunculan para hero seperti Sean Connery dalam James Bond sampai Peter Graves dalam Mission : Impossible, yang di barat sana sudah muncul di televisi sejak 30-40 tahun lalu.

Berbeda dari sosok hero di era pertanian, para jagoan era informasi ini, yatu para agen rahasia, inti bisnisnya adalah berburu informasi. Dalam beraksi mereka dilengkapi alat sadap elektronik canggih, data komputer, kamera inframerah, mobil yang bisa berenang atau terbang, sampai sinar laser.

Jadi, yang lalu lalang dan tampil keren dalam sinetron-sinetron kita itu hanya tampak luarnya yang modern. Sementara isi otak dan paradigma berpikirnya masih hidup di era, menurut istilah Alvin Toffler, gelombang pertama atau era agraris. Bahkan, kini semakin terdegradasi logika berpikirnya, saat muncul kemudian wabah menu cerita-cerita hantu ke dalamnya. Jadi masih agraris, mistis lagi.

Walhasil, sama sekali tanpa bermaksud merendahkan para petani, maka Marshanda yang cantik itu cocoknya masih derep di sawah. Begitu ia mendapat perlakuan tak adil atau siksaan, adegan yang harmoni adalah melarikan diri ke dangau sambil bermain scarecrow, hantu-hantu sawah. Lalu menghibur hati laranya dengan menyenandungkan tembang-tembang Durma yang menyayat hati dan bernuansa nelangsa.

(Dikirimkan : 8 Desember 2004 ke koran di Jawa Tengah).



KARTUPOS GLADYS TANDA CINTA. Kartupos itu bergambar lanskap kota Sevilla, ibukota Andalusia, Spanyol Selatan. Lain kali panorama Birmingham, Inggris, Guangzhou di Cina, sampai Atlanta di Amerika Serikat. Selain kontak lewat e-mail, saudara saya yang berprofesi sebagai wartawan olahraga selalu mengirimkan kartupos dari tempat ia meliput event olahraga kelas dunia.

Aktivitas sederhana itu ia jadikan tradisi dan kini ia tularkan pada putrinya, Gladys, yang masih TK. Setiap ke luar kota, putrinya ia ajak membeli kartupos bergambar khas kota setempat. Lalu mengajarinya untuk menulisi kartupos itu dengan satu-dua kata atau coretan gambar.

Kebetulan Gladys sudah lancar menulis namanya sendiri, alamat, juga nama kakak, orang tua dan kakek-neneknya. Kartupos-kartupos itu lalu dimasukkan ke bis surat, ditujukan pada dirinya sendiri dan orang tuanya.

Ketika tiba kembali kerumah, sensasi mulai ia rasakan. Mungkin mirip situasi komedik-romantik dari lagu Please, Mr.Postman dari The Beatles, dulu-dulu itu. Yaitu mengharap-harap kartuposnya tiba, merasakan kegembiraan ketika mendengar suara pak pos memanggil, dan terutama ketika menerimanya.

Tentu saja diperkaya dengan cerita-cerita seisi keluarga menyambut tibanya kartupos-kartupos tersebut. Secara tidak langsung, sejak dini ia merasakan kegembiraan dalam menulis, merasakan keajaiban dan manfaat kata-kata tertulis, dan tentu saja mulai terbina mencintai aktivitas membaca.

Semua keluarga mampu melakukan hal yang sama, menjadikan menulis kartupos sebagai tanda awal cinta anak-anak mereka terhadap aktivitas belajar tanpa henti, sepanjang hayat, yang semakin dibutuhkan oleh tiap insan di tengah cepatnya perubahan global dewasa ini. Menulis dan membaca.

Silakan, hari ini Anda dapat memulainya untuk putra-putri tercinta Anda !

(Dikirimkan : 8 Desember 2004 ke koran di Jawa Tengah).



QUO VADIS, UNIVERSITAS HUMOR ? Bill Cosby adalah seorang doktor kependidikan. Steve Martin, doktor ilmu filsafat. Komedian Azhar Usman, lulusan master hukum di AS. Komedian wanita muslim asal Pakistan yang terkenal di Inggris, Shazia Mirza, belajar biokimia di Universitas Manchester.

Bruce Vilanch yang tiap tahun mengkreasi lelucon pembawa acara penganugerahan Oscar, semula wartawan hiburan. Gene Perett, penulis lawakan Bob Hope dan pemenang 3 kali Emmy Award, adalah insinyur komputer. Almarhum Wahyu Sardono, lulusan FISIP UI. Miing Bagito dan Doyok, hanya lulusan STM.

Dunia komedi adalah dunia ekspresi kreatif yang terbuka untuk semua insan, tanpa memandang asal-usul pendidikan mereka. Pelbagai latar belakang tersebut justru membuat khasanah dunia komedi menjadi sangat kaya warna dengan keanekaraman topik sampai gaya.

Merujuk realitas tersebut, maka ide Mohamad Fahmi mengenai pendirian semacam universitas humor di Indonesia (Kompas Jawa Tengah, 21/6/2005), adalah berlebihan. Ide serupa, tetapi berbentuk Institut Seni Lawak Indonesia, pernah pula diusulkan oleh Darminto M. Sudarmo (Suara Merdeka, 5/9/2004).

Di luar negeri di mana dunia komedi sudah jadi industri, ajang asah talenta di bidang penulisan humor dilaksanakan dalam mata kuliah penulisan kreatif yang dapat diikuti mahasiswa dari segala jurusan. Atau yang serius dapat mengikuti pelbagai pelatihan jangka pendek, misalnya stand-up dan comedy writing, yang di AS jumlahnya banyak sekali.

Harian Kompas (30/8/2001) pernah menulis bahwa dunia komedi Indonesia stagnan karena dunia lawak kita miskin orang-orang pintar. Semoga boom pemunculan puluhan stasiun televisi nasional dan lokal dewasa ini mampu mendorong terjunnya anak-anak muda pintar dan berbakat meramaikan dunia komedi kita.

Untuk ikut mendorong hal tersebut, saya telah membangun situs Komedikus Erektus ! yang berisi info, gagasan sampai tips seputar dunia komedi.

Tetapi ingat, seperti kata almarhum Dono, membuat lelucon yang benar-benar lucu itu setengah mati. Edmund Gwenn, aktor komedi Hollywood era 1940-an saat menjelang ajalnya berbisik kepada aktor Hollywood terkenal lainnya, Jack Lemmon, bahwa sekarat menuju kematian itu menyakitkan, tetapi tidak sebegitu menyakitkan dibandingkan berpentas sebagai komedian.

Dunia komedi bila dilihat dari luar, adalah dunia penuh canda. Tetapi bila disimak dari kacamata para pelakunya, ada tuntutan sangat keras di sana. Seperti kata guru komedi Judy Carter, bahwa para jenakawan adalah orang-orang yang aneh. Kalau kebanyakan orang berusaha menyembunyikan segala cacat dan celanya, para jenakawan justru membeberkannya kepada dunia.

Anda berani ?

(Dikirimkan : 23 Juni 2005 ke koran di Jawa Tengah).



HUMORNYA PENDOSA. Anne Bancroft (73), artis Hollywood yang terkenal memainkan Mrs. Robinson dalam film The Graduate (1967), meninggal dunia 7/6/2005 yang lalu. Sebagai penghormatan, lampu-lampu di Broadway diredupkan. Ia meninggal karena sakit kanker rahim.

Ia dinominasikan meraih Oscar lima kali dan sekali memenangkannya ketika bermain sebagai guru tokoh tuna netra terkenal, Helen Keller ketika masih muda, dalam film The Miracle Worker (1963). Istri komedian Mel Brooks ini terkenal memiliki selera humor tinggi dan menganggap tertawa merupakan harta penting yang berharga.

Tanggal 21/6/2005, Kardinal Jaime Sin dari Filipina, juga meninggal dunia dalam usia 76 tahun. Ia tokoh sentral yang ikut menumbangkan diktator Marcos (1986) dan pula Presiden Josep Estrada yang korup (2001).

Beliau punya selera humor yang tinggi pula. Konon, kepada para tamu yang mengunjungi kediamannya akan disambut dengan ucapannya yang khas, yaitu : “Selamat Datang di House of Sin”. Lelucon yang cerdas. Karena rumah beliau dalam konteks lelucon dapat diartikan sebagai rumahnya pendosa.

Mungkin karena kejelian wartawan, tetapi sungguh mengharukan, banyak catatan yang ditorehkan untuk mengenang beberapa tokoh besar yang wafat adalah justru mengenai selera humor mereka. Hal ini menyiratkan betapa penting selera humor.

Gus Dur pernah bilang, mereka yang memiliki selera humor adalah mereka yang masih waras. Artinya, masih mampu menertawakan kekurangan dirinya tanpa merasa terluka atau terhina.

Masalahnya, kalau kini Indonesia lagi boom tokoh-tokoh yang diindikasikan melakukan korupsi atau melanggar HAM, tetapi sementara mereka terus bersibuk mungkir demi mempertahankan diri, sebenarnya berapa banyak pribadi yang masih waras di republik kita dewasa ini ?

(Dikirimkan : 23 Juni 2005 ke koran di Jawa Tengah).



HUMORIS HARUS MENULIS ! Almarhum Wahyu Sardono (Dono Warkop DKI) adalah pribadi langka. Ia pelawak, pernah menjadi akademisi di universitas ternama, dan seorang penulis, baik artikel mau pun novel. Komedian Bill Cosby dan Steve Martin adalah seorang doktor, dan juga penulis. Billy Crystal, Chris Rock, George Carlin sampai Joan Rivers, adalah contoh lain para komedian yang juga penulis.

Dono jadi fenomena langka di Indonesia. Para pelawak segenerasinya atau pun penerusnya, seperti Bagito, atau Patrio, tidak menonjol sebagai penulis. Melainkan hanya sebagai pembanyol.

Prof. Sudjoko dari ITB pernah berujar bahwa semua yang kita kenal sebagai pelawak, badut, bodor, klontangan, ludruk dan sebagainya adalah pelakon, orang panggung, orang tontonan. Bukan penulis, bukan sastrawan. Dalang juga bukan penulis. Semua tidak mampu menulis. Sungguh pun begitu, bagi masyarakat (kita yang) mohbaca dan mohnulis, itu sama sekali bukan kekurangan, malah wajar, dan sudah semestinya begitu, sebab dari dulu selamanya memang begitu.

Dalam kungkungan budaya kerdil semacam itulah, pentas komedi kita selama ini disajikan. Memang muncul fenomena cerdas, seperti sitkom Bajaj Bajuri yang mengandalkan pada naskah secara ketat, tetapi selebihnya kita tahu sendiri.

Kontes untuk menyeleksi pelawak semacam Audisi Pelawak TPI (API) kalau hanya kepingin merekrut calon-calon pelawak dan mengingkari pentingnya keberadaan penulis-penulis komedi yang baru, jangan berharap muncul cakrawala baru yang cerah dalam dunia komedi kita !

Untuk menyebarluaskan pemahaman di atas dan hal-hal lain seputar kiat melawak, Anda yang berminat dapat memperoleh informasi gratis dari saya. Silakan kunjungi situs blog saya, Komedikus Erektus !

Terima kasih.

(Dikirimkan : 23 Juni 2005 ke koran di Jawa Tengah).



MANDEGNYA LELUCON PLESETAN.Yogya adalah ibukota plesetan Indonesia. Sebagai orang yang pernah bersekolah di Yogya, mengalami plesetan adalah bahasa gaul sehari-hari. Tetapi bagi saya rada mengejutkan ketika menu plesetan juga tampil dalam pentas-pentas lawakan. Bahkan dalam kontes seleksi pelawak, Audisi Pelawak TPI (API), menu plesetan nampak merajalela. Mengapa plesetan menjadi sangat marak dalam audisi pelawak TPI tersebut ?

Karena plesetan mudah dibuat atau dirancang.

Merujuk hal di atas, saya menjadi lebih heran ketika pelawak terkenal Kang Ibing dalam mengomentari penampilan kelompok lawak Bajaj (22/5/2005) yang memakai menu plesetan disebutnya sebagai lawakan yang cerdas. Apa benar demikian ?

Hemat saya, plesetan justru terbatas sekali dalam menimbulkan tawa penonton.

Pencipta lagu Amerika Ira Gershwin (1896–1983) berkata bahwa plesetan , permainan kata-kata (pun), merupakan bentuk terendah dari humor (the lowest form of wit).

Lalu seorang Gene Perret, penulis kepala untuk lawakannya komedian sohor Bob Hope, berkata bahwa humor itu bersifat visual. Orang akan tertawa bila mendengar paparan yang bila divisualkan (dalam kepala pendengar/penonton) memunculkan sesuatu gambaran yang lucu. Sementara plesetan, hampir sama sekali tidak memicu efek visual dalam benak atau kepala audiens bersangkutan.

Plesetan adalah jalan buntu untuk menuju lawakan yang cerdas. Untuk menyebarluaskan pemahaman itu dan hal-hal lain seputar kiat melawak, Anda yang berminat dapat memperoleh informasi gratis dari saya. Silakan kunjungi situs blog saya, Komedikus Erektus !

Terima kasih.

(Dikirimkan : 23 Juni 2005 ke koran di Jawa Tengah).


Wonogiri, 30 November 2005

No comments:

Post a Comment