Friday, September 17, 2004

Gempa 10,5 Skala Richter, Kenangan Kraton Solo dan Matinya Picasso

Oleh : Bambang Haryanto
Esai Epistoholica No. 08/September 2004
Home : Epistoholik Indonesia



MEGA MELENGOS. Ketika Amerika Serikat diserang teroris 11 September 2001, Presiden Bush lagi membacakan cerita untuk anak-anak di sebuah sekolah dasar. Peristiwa bernuansa edukatif itu melintas di benak saya ketika hari Rabu, 1/9/2004, saya terpaksa berada di tengah keriuhan anak-anak pelajar menyambut kedatangan Presiden di Wonogiri. Saya sebut terpaksa karena tujuan saya hari itu adalah ke perpustakaan, yang gedungnya dekat lokasi pendaratan helikopter Ibu Mega dan rombongan.

Di sekitar perpustakaan saat itu puluhan pelajar SMP Negeri 3 Wonogiri, sekolah keponakan saya Yuriko Novean Mahendra duduk di kelas I-E, berkumpul. Tetapi justru karena kerumunan pelajar itu, sebenarnya ironis, perpustakaan terpaksa ditutup. Bisa dimaklumi, petugas perpustakaan pimpinan Drs. Samino kuatir koleksinya teracak-acak karena membeludaknya pengunjung, sementara sistem layanannya terbuka di mana pembaca bisa langsung bisa ke rak tempat koleksi buku ditata.

Menunggu Mega menjemukan.Saya menguping, beberapa pelajar perempuan asyik ngobrol tentang handphone. Hebat juga, pikir saya. Maklum, saya tidak punya handphone. Lainnya setengah hati membaca-baca komik Jepang. Atau bertukar kertas tulis warna-warni, yang digunakan untuk menulis biodata, kesan, puisi dan coretan seni, di mana saya dulu membuatnya dengan menuangkan tinta dan lalu meniupnya, hasilnya wujud aneh, mirip ink blot dari tes Roscharch.

Di sisi lokasi lain, dua kubu gerombolan pelajar laki-laki “bertempur”, saling ganti menyerang dengan amunisi botol plastik yang ditendang-tendang. Aktivitas lainnya, jajan. Ada yang membeli kue bulan, es krim, ada pula kue biting, bentuknya seperti french fries tetapi hanya sebesar lidi.

Kedatangan presiden terlambat dua jam. Lalu ketika mobil rombongan presiden lewat, berjalan pelahan, para pelajar pun melambaikan bendera merah-putih. Saya yang berjarak 2-3 meter bisa melihat jelas presiden berada di balik kaca bening Range Rover hitam, bernomor polisi Indonesia-1. Ia duduk di tepi kiri, jadi strategis dan jelas dalam tatapan barisan pelajar sebaris dengan tempat saya berdiri. Tetapi Mega tidak melihat kami. Sepertinya sengaja melengos dan nampak setengah hati untuk melambai ke arah sisi kanan jalan. Perjumpaan sekilas dengan presiden yang tidak mengguratkan pesan.

Ketika konvoi mobil berlalu, saya berpikir, para pelajar yang sudah ramai-ramai membolos, seharian tidak belajar, lalu adakah makna edukatif dari peristiwa sekilasan seperti ini ? Pengerahan pelajar untuk kegiatan seremonial semacam, bukankah ini hanya pemborosan belaka ?


KAMPANYE MENULIS. Hari itu saya gagal ke perpustakaan. Perpustakaan tidak dibuka. Saya pulang dan di benak ini terjalin angan-angan : untuk memberi imbangan atas aksi bolos resmi ratusan pelajar itu, tidak bisakah digagas oleh kalangan guru adanya kegiatan edukatif untuk mereka yang menyertai kegiatan seremonial semacam ini ?

Gagasan yang segera terlintas, anak-anak itu bisa diwajibkan membuat karangan, baik prosa, puisi atau surat mengenai peristiwa kedatangan presiden di kotanya. Tugas itu secara tidak langsung mendorong mereka (juga guru) mencari tahu, dari koran atau sumber lainnya, mengenai misalnya apa maksud dan tujuan kunjungan presiden ke daerahnya itu. Mereka pun dapat menuliskan kesan dan pendapat mereka tentang apa yang terjadi dan rasakan. Karya-karya mereka dipajang di sekolah, karya yang terbaik diumumkan dalam upacara sekolah.


Angan-angan saya pun kemudian meloncat ke Istana Negara. Kalau saja saya bertugas di bidang protokol kepresidenan, saya akan selalu menghimpun data sekolah-sekolah mana saja yang menyambut konvoi presiden tadi. Dengan kertas surat berkop resmi kepresidenan, saya akan menulis surat ke masing-masing sekolah itu berisikan salam dari presiden dan ucapan terima kasih atas sambutan mereka. Bolehlah ditambah kata-kata penyemangat, selamat tekun belajar dan tegar menyongsong Indonesia masa depan. Aksi ini tidak membutuhkan biaya mahal, tetapi bernilai sebagai gesture, sebagai tanda, bahwa presiden juga hirau terhadap pengorbanan para pelajar yang menyambutnya. Itulah, angan-angan saya, membumikan perhatian presiden menjadi aksi yang bernilai pendidikan.


BECAK INTERNET. Saya tak tahu apa angan-angan saya itu kelak bisa jadi kenyataan. Tetapi memasuki September, dan mudah dibayangi kenangan buruk tragedi serangan teroris 11 September 2001 di AS dan kekagetan, juga kepedihan, karena terjadinya teror bom di depan Kedutaan Besar Australia di Jakarta, 9 September 2004, entah kenapa, saya lagi suka menulis topik-topik pendidikan dalam surat pembaca.

Antara lain tentang inspirasi keberadaan becak Internet di India. Harian Jawapos (18/8/2004) menulis, di Bithoor, Uttar Pradesh, India Utara, becak istimewa. Becak Internet. Bentuknya mirip kereta penjual roti kelilingan itu,tetapi yang diangkut di dalamnya adalah seperangkat komputer yang mampu mengakses Internet tanpa kabel dan berkecepatan tinggi. Seperti halnya perpustakaan keliling yang menggunakan mobil (di Wonogiri belum ada), becak Internet yang djuluki infothela (gerobak informasi) itu keliling dan mangkal di sekolah-sekolah atau balai desa. Tujuannya untuk meningkatkan pendidikan, akses informasi kesehatan dan pertanian, bagi penduduk di daerah pedesaaan.

India memang terkenal agresif mengenalkan rakyatnya manfaat teknologi informasi (TI). Kalau di Indonesia rakyatnya mengalir ke luar negeri untuk jadi TKI, sering jadi korban tindak kekerasan, pemerasan sampai pemerkosaan, di India justru pekerjaan dari negara maju yang mengalir kesana. Dikenal dengan istilah outsourcing, beberapa perusahaan TI asal AS memindahkan sebagian unit kerjanya untuk dikerjakan oleh pekerja India secara jarak jauh. Kalau Anda menelpon perusahaan yang bermarkas di AS, yang bakal menjawab dan melayani Anda adalah orang India dan bertempat tinggal di India pula. Itulah contoh kelebihan dari TI, di mana kini orang bisa bekerja dari mana saja di belahan bumi ini.

Contoh lain, di Garut, seorang guru Deny Suwarja dan muridnya dari SMP Cibatu, juga aktif menggunakan Internet. Mereka dari desanya berkolaborasi dengan seorang guru, Chona L. Maderal dan muridnya dari Makati Science High School, Filipina, menggalang proyek bersama untuk dipresentasikan dalam Konferensi IV Asia Europe Classroom di Gromitz, Jerman, 27 September-1 Oktober 2004 mendatang. Pak Deny yang hebat itu dan para muridnya setiap kali harus berkunjung ke warnet, yang jauhnya 6 kilometer dari desanya. Ujar beliau, seperti dikutip Kompas (30/7/2004) : “kelak anak-anak akan banyak belajar sendiri dengan menggunakan Internet”

Betul, Pak Deny. Internet membawa perubahan dahsyat dalam pendidikan. Seperti kata begawan digital dari Massachusetts Institute of Technology (MIT), Nicholas Negroponte, Internet adalah gempa bumi berkekuatan 10,5 skala Richter yang mengguncang sendi-sendi ekonomi dan sosial.

Tetapi seberapa banyak kalangan guru–guru kita sudah melek Internet dan tidak gaptek, alias gagap teknologi ? Juga mampu secara proaktif dan produktif memanfaatkan keguncangan dahsyat yang sedang terjadi ini hingga dapat memberi manfaat besar bagi sekolah, siswa dan diri mereka sendiri ? Kisah gerobak info dari India dan pandangan masa depan yang hebat dari Pak Deny Suwarja tadi, semoga mampu menjadi inspirasi bagi kita semua.


GURU ORANG JAWA DI SURINAME. Topik Internet dan pendidikan, rupanya keterusan untuk saya tulis di surat pembaca. Gara-garanya dipicu berita di harian Suara Merdeka (25/8/2004) bahwa Sekolah Menengah Atas Negeri I Solo baru saja meluncurkan situs webnya di Internet.

Saya tulis, bahwa upaya maju ini pantas menjadi pemacu sekolah lain di Solo dan sekitarnya, walau pelbagai sekolah di Bandung sudah memulainya sejak 1998. Sebagai pemerhati Internet dan pengelola lebih dari 30 situs blog warga Epistoholik Indonesia (http://episto.blogspot.com) di Internet, saya berharap pendayagunaan Internet untuk pendidikan itu menghormati fitrah Internet itu sendiri.

Sebab bila pendekatannya masih tradisional, atas-bawah, top-down, di mana guru atau penguasa pendidikan menjadi fihak yang superior, merasa paling tahu, maka hal itu hanya akan menyerimpung kedigdayaan Internet itu sendiri. Demikian pula pemanfaatan Internet hanya untuk papan pengumuman elektronik atau ratusan ribu situs web yang ada itu hanya sebagai sumber informasi, maka nilai edukasinya tidak pula maksimal.

Hemat saya, pelajar kita, dari SD s.d PT, harus menjadi kreator, memproduksi informasi dan mengeksploitasi kelebihan Internet yang mendunia itu. Karena Internet ampuh sebagai sarana collaborative learning, misalnya bisa digagas ada sekelompok siswa membuat proyek pengajaran bahasa Jawa. Mereka mengajar secara interaktif untuk murid-muridnya, misalnya anak-cucu orang Jawa yang tinggal di Suriname, di Liuzhov Propinsi Guanxi China Selatan, Patani di Thailand Selatan, juga mereka yang tinggal di Jakarta atau Jayapura. Sementara kelompok lain mengajar bahasa Indonesia untuk murid-murid SMA di Australia, Meksiko atau Rusia.

Majalah TIME (5/1995) ketika memuat tulisan pemanfaatan Internet di sekolah sebagai revolusi pembelajaran, memberi contoh tentang guru Malcolm Thompson dari Sekolah Dalton di New York, ketika mengajarkan astronomi. Tujuh komputer di kelas itu secara real time menayangkan jagat raya hasil amatan teleskop Observatorium Palomar di California. Dengan bantuan piranti lunak, para murid diminta memilih tiga bintang dan menghitung kekuatan cahaya serta suhunya. Intinya : para pelajar itu tidak lagi belajar astronomi, melainkan mereka tampil sebagai astronom itu sendiri !


Menjadikan para pelajar sebagai pengajar, kreator dan menjadi pelaku aktif, merupakan metode terampuh guna memacu penyerapan mereka terhadap materi pelajaran. Metode ini jauh lebih menyenangkan, memorable, ketimbang metode suap, beo dan hapalan yang merajalela di atmosfir sekolah kita selama ini.


GUSTI MUNG DAN SENYUM KENIL. Surat pembaca saya bertopik pendidikan, juga saya tulis di ujung bulan Agustus. Dimuat di Harian Kompas edisi Jawa Tengah (31/8/2004), judulnya : Bantai Kreativitas Anak Kita !

Sebagai mantan mentor melukis anak-anak ( sekaligus penggagas dan kepala sekolah) di Gallery Mandungan Muka Kraton Surakarta, saya prihatin atas maraknya kegiatan seni lukis anak-anak yang tidak terkait dengan pengembangan kreativitas anak-anak. Kegiatan itu adalah lomba lukis anak-anak dan lomba mewarnai yang dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan acara non-seni, entah dikaitkan dengan peringatan hari nasional tertentu, peresmian gedung, perintah birokrat, ulang tahun perusahaan atau peluncuran produk tertentu.

Sekadar kilas balik, bangunan Gallery Mandungan yang nama aslinya Kori Kamandungan, berada di sebelah timur laut depan Kraton Surakarta. Tahun 1977-1980, saya pernah menongkronginya saat jadi aktivis seni dan bikin pelbagai aktivitas kesenian dan pendidikan ketika fasilitas gedung itu dipinjamkan Kraton kepada Pusat Kebudayaan Jawa Tengah (PKJT).

Di galeri itu kita pernah mengadakan lomba majalah dinding pelajar SLTA Surakarta (1977-1998), memamerkan majalah dinding SMA Yogyakarta, menyelenggarakan bimbingan melukis anak-anak (1979-1981), mengadakan lomba lukis anak-anak se-Jawa Tengah Anugerah Samskara Pinastika 1980-1981 (nama anugerah ini artinya imajinasi yang terpilih, saya temukan ketika dipinjami kamus bahasa Jawa oleh teman saya Harsoyo, mahasiswa Sastra Jawa UNS, kini bekerja di Taman Budaya Surakarta”), pemutaran film Perancis, dan berkali-kali pameran lukisan.

Workshop melukis anak-anak didirikan bersama rekan mahasiswa Seni Rupa UNS, Anang Syahroni, Putut Handoko Pramono, dan Wahyu Soekirno. Saya sendiri bukan berlatar belakang seni, karena hanya jebolan Fakultas Keguruan Teknik (Mesin) UNS. Teman sekuliah yang juga sering nongkrong, Yohanes Yantono (kini empu keris di STSI) dan Martinus Driyarkara (kini di Dian desa, Yogya). Cabang workshop ini ada di Lanuma Adisumarmo, kemudian juga di kompleks Polri Gendengan. Di antara ribuan murid melukis itu adalah siswa-siwa SD 15 Mangkubumen, asuhan Bu Rolly. Termasuk Krisandari (“apa gunanya tulang, nDari ?”), yang cantik, adik terkecil dari Nina Akbar Tanjung.


Aktivitas lainnya, kalau malam, mengamuk dan berduel dalam permainan scrabble. Sering sampai pagi. Semboyan kita, cara terbaik untuk bisa bangun pagi adalah bila semalaman tidak tidur. Musuh abadi saya antara lain, Prof. Dr. Heribertus Sutopo, Conny Suprapto dan Narsen Afatara ( semuanya dosen Seni Rupa UNS), Murtidjono (saat itu mahasiswa Filsafat UGM dan kini Ketua TBS), H. S. Marsudi (tokoh ketoprak dan birokrat di Pemkot Solo, almarhum), Harsoyo, juga Broto (saat itu mahasiswa FE-UGM).

Tak kalah menarik, secara sambil lalu, dari galeri itu kita bisa memantau untuk mengenali putra-putri Keraton Solo. Tiap pagi melihat Gusti Mung (Koes Murtiyah) dan Koes Indriyah dijemput mobil Colt untuk berangkat ke SMA IV, juga Koes Sabandiyah (kini Pemred Tabloid Nova, adik dari Tedjowoelan) yang berseragam SMA Regina Pacis. Sedang malam minggu, melihat Gusti Koes Raspiyah (kakak Tedjowoelan, saya mengenalnya karena sama-sama tergabung dalam klub Tekssi, Teknik dan Sastra Inggris), diantar pulang oleh cowoknya dengan mengendarai Vespa. Calon mantu keraton ini nampak sering memberi tips kepada abdi dalem, penjaga yang membuka-tutup lawang gapit, pintu gerbang kraton, melewati jam 10 malam.

Yang juga lewat dan sering melambai dengan senyum menawan adalah “Kenil”, putri Pak Panji Mloyosuman yang terkenal, seragamnya SMA Regina Pacis. Kakak “Kenil” yang terkenal karena membintang film garapan Slamet Raharjo, Rembulan dan Matahari, adalah Drs. R.M. Resi Budhisatwo Widya Sasongko SH, Msi. Ia di lingkungan pelajar SMA Negeri I Solo dan penduduk Baluwarti, apalagi yang sering nongkrong di warung wedangan Pak Tego, dikenal dengan sebutan Jago. Saya ikut sedih membaca berita di Suara Merdeka (20/7/2004), bahwa Jago yang mantan Camat Gatak Sukoharjo itu meninggal dunia.


DUA PULUH JUTA OTAK TERANCAM SIA-SIA !. Kembali ke obrolan mengenai seni lukis anak-anak. Menurut saya dan dalam pandangan pengembangan kreativitas anak-anak, lomba seperti itu berpotensi merusak kreativitas dan rasa percaya diri anak-anak. Apalagi hal itu terjadi dalam masa emas, masa-masa paling berkesan dalam hidup dan pertumbuhan mereka. Dampak negatifnya akan tergurat sepanjang hayat.

Aktivitas melukis yang seharusnya mendorong anak-anak berkreasi bebas, dalam lomba mewarnai mereka didorong untuk berkompromi. Mereka cenderung memberi warna sesuai patron, misalnya tokoh kartun yang ia kenal, gambar pemandangan yang bercorak realis, atau bahkan warna logo suatu produk atau perusahaan yang sudah baku. Tak tersisa lagi untuk pengembaraan imajinasi dan dorongan mencipta bagi mereka.

Dr. Ashfaq Ishaq dari ICAF (International Child Art Foundation) di AS menulis, di Indonesia terdapat 20 juta anak-anak (1998) yang beresiko besar terkikis habis daya kreativitasnya, risk of diminishing creativity, ketika bersekolah, pada usia 8-12 tahun. Ia sebutkan, anak-anak itu ketika duduk di kelas 4 SD mengalami apa yang disebut sebagai fourth-grade slump, karena cenderung mulai berkompromi, tidak berani lagi ambil resiko, takut bermain-main ide dan luntur spontanitasnya. Cara pencegahannya adalah, dengan memaksimalkan usia sebelum 8 tahun untuk ditumbuhsuburkan daya-daya kreativitasnya secara benar.

Merujuk rekomendasi ICAF di atas, maka sungguh menyedihkan dan juga mengerikan betapa kita secara besar-besaran terus melakukan pembantaian terhadap daya-daya kreativitas anak-anak kita, justru sebelum mereka memasuki bangku TK. Kalau jutaan anak itu terbantai peluang tumbuh kembang kreativitasnya, maka bayangkanlah betapa ribu calon pemenang Nobel, calon Picasso, Vincent van Gogh, Einstein atau Stephen Hawking, Septinus George Saa, Affandi atau Widayat, telah terbunuh sia-sia oleh lingkungannya dan kita semua justru tidak menyadarinya.


Sayangnya pula, fenomena kritis semacam itu tak pernah digubris oleh kalangan seniman, akademisi, mahasiswa seni rupa atau pun guru-guru seni rupa. Bagaimana dengan Anda ?



Wonogiri, 17 September 2004

No comments:

Post a Comment