Thursday, June 19, 2008

Golput Gus Dur, Obama dan Mandeknya Demokrasi Kita

Oleh : Bambang Haryanto
Esai Epistoholica No. 59/Juni 2008
Email : humorliner (at) yahoo.com
Home : Epistoholik Indonesia



Ancaman Golput. Kemelut internal Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) memuncak. Terakhir mencuat pernyataan Ketua Dewan Syuro PKB, Abdurachman Wahid (Gus Dur), yang mengancam memilih menjadi golput bila PKB versinya dikalahkan sehingga gagal mengikuti Pemilu 2009. Sementara itu Kompas (17/6/2008 : 3) memuat pernyataan analis politik Saiful Mujani bahwa potensi golput tetap tinggi tanpa perlu ada ancaman dari Gus Dur di atas. Siapa biang kerok penyebab meruyaknya angka golput itu ?

Barangkali ini jawabnya : budaya broadcast politics !

Mari kita menengok ke belakang, ketika Pemilu 2004 di Indonesia telah menempatkan televisi sebagai primadona. Adagium yang populer saat itu adalah, kuasai televisi. dulu untuk memenangkan pemilu. Umpama saja KPU tidak memberikan batasan waktu dan frekuensi tayang, mungkin tiga hari kampanye Pilpres II (14-16/9/2004), bisa jadi, sejak pagi televisi terisi acara siaran rohani, berita pagi, sinetron siang, kontes nyanyi di malam hari atau talk-show di tengah malam akan hanya memunculkan sosok Megawati-Hasyim dan SBY-Kalla semata. Kuncinya, asal para kandidat memiliki uang bermilyar-milyar guna mendominasi tayangan televisi. Kampanye yang sangat mahal.

Pemilu 2004 di Indonesia, walau pun nampaknya tak ada debat antara kedua capres, peran menonjol televisi sebagai senjata memenangkan pemilu identik dengan suasana Pemilu 1960 di Amerika Serikat yang memunculkan debat televisi Kennedy vs Nixon yang bersejarah. Karena tampil dengan citra yang lebih baik, Kennedy memenangkan pemilu.

Sejak saat itulah publik menyadari keampuhan televisi dalam arena politik dan terutama dalam kampanye presiden. Sekaligus, mulai bertumbuhnya proses alienasi publik sehingga mendorong mayoritas menjadi apatis, pesimistis dan skeptis atau apes, begitu istilah canggih dari Daniel Sparingga, di tengah hiruk pikuk wacana politik yang terjadi.


Kelompok baru. Proses alienasi itu dapat dirunut sejak dua abad lalu. Jay Rosen (2004), profesor politik dari New York University, menyatakan gagasan tentang public yang terbentuk tahun 1760 di Inggris dan Perancis. Ide publik modern menyangkut keadaan masyarakat yang memperoleh informasi mengenai sesuatu kejadian, memiliki suara dalam politik, dan pendapat mereka mendapatkan tempat.

Fenomena baru ini mengenai sejumlah besar rakyat yang berhimpun di luar gedung parlemen, di luar pemegang kekuasaan, di luar istana raja, tetapi faham tentang apa yang terjadi dalam politik, membincangkannya di rumah atau kedai kopi karena mereka memiliki perhatian mengenai apa yang dikerjakan oleh negara. Perkembangan baru ini, tentang kelompok baru orang-orang ini, disebut sebagai publik, sehingga memunculkan apa yang disebut sebagai opini publik sebagai tandingan penguasa, parlemen, kaum ningrat dan kelompok elit.

Ide radikal ini semula hanya berlaku bagi sekelompok kecil orang, tetapi prinsipnya mereka terorganisasi secara egaliter, menganut prinsip universal yaitu keterbukaan, bebas memperoleh informasi, dan punya hak bebas bicara Setiap warga punya hak suara, hak memperoleh informasi, semuanya harus bicara politik, dan berperan sebagai warga untuk terlibat dalam persoalan dunia.

Pada tahun 1860, hadirlah momen penting, lahirnya media massa. Dimulai dari koran recehan dan seiring perkembangan teknologi dalam bisnis media, telah menyebarkan publik kepada semua orang dengan asumsi surat kabar dilanggan oleh semua warga. Berita disirkulasikan kepada setiap orang, mereka merasa saling terhubung satu sama lainnya.

Tetapi muncul akibat samping yang serius. Ketika semua orang masuk dalam publik, peran mereka pun menjadi berkurang Mereka memperoleh status sebagai anggota, tetapi kehilangan peranan karena publik yang terhubung oleh surat kabar bertiras ribuan itu memang memperoleh asupan informasi, tetapi kini mereka tidak dapat bicara. Mereka tidak dapat lagi berpartisipasi.

Publik pun pelahan berubah, bahkan terlembagakan menjadi audiens. Sejak debat Kennedy vs Nixon perkembangan pengalienasian publik semakin jauh ketika televisi mengemuka sebagai senjata politik, yang kemudian dikelola oleh para profesional sampai tukang pelintir (spin doctor), sehingga memunculkan apa yang disebut oleh Joe Trippi sebagai broadcast politics.


Balapan uang di televisi. Joe Trippi, mantan direktur kampanye kandidat Partai Demokrat Howard Dean, menyebutkan bahwa broadcast politics itu secara buruk membuat rakyat dan negara gagal karena meminggirkan debat. Televisi hanya semata arena balapan uang, balapan untuk membeli sarana komunikasi satu arah yang membuat rakyat tersingkir dan tergusur dari proses politik.

Televisi tidak menunjang debat antar warga negara, baik debat tentang Perang Irak sampai Patriot Act. Debat itu tidak berlangsung di negeri ini, katanya, kecuali di Internet. Tegas Trippi dalam bukunya The Revolution Will Not Be Televised : Democracy, the Internet, and the Overthrow of Everything (2004), bahwa Internet merupakan satu-satunya harapan terakhir untuk demokrasi !

Resep sukses kandidat presiden AS dari Partai Demokrat John Kerry menghimpun dana yang memecahkan rekor 186, 2 juta dollar (Kompas, 26/7/2004), tidak lain diilhami oleh ide gemilang Joe Trippi ketika menghimpun dana untuk Howard Dean.

Penggalangan dana dilakukan dengan kartu kredit melalui Internet dengan sasaran konstituen dari lapis paling bawah. Bersenjatakan blog dan meet-up, Trippi bergerilya secara online dalam merekrut massa akar rumput, yang aktif, partisipatif, berpendekatan bawah-atas, sehingga mereka merasa dihargai dan terberdayakan.

Blog adalah jurnal elektronik dimana tim sukses Dean dapat memajang gagasan atau pikiran secara seketika di Internet, baik berisi pesan untuk calon penyumbang dan simpatisan, sehingga merasa mereka dilibatkan secara pribadi. Berbeda dibanding web, melalui blog para simpatisan dapat saling ngerumpi satu sama lain.

Sedang meet-up adalah situs web yang menfasilitasi warga yang memiliki minat atau hobi serupa. untuk berhimpun di lingkungan mereka. Dalam gerak cepat, situs meet-up Howard Dean mampu merekrut 87,985 anggota dari 562 kota di dunia. Dari pertemuan itu, mereka menggalang kampanye mendukung Dean secara mandiri.


Semprot bensin ke api. Berbeda dengan pola kampanye yang umumnya berpendekatan atas-bawah, gelora kampanye Dean justru diserahkan kepada para simpatisannya. Istilahnya, kubu Dean semata memercikkan bensin dan membiarkan api bebas berkobaran daripada berusaha mengendalikan nyala api tersebut. Pendekatan yang mengundang resiko, tetapi sejalan dengan jati diri dan kedahsyatan media Internet. Bebaskan, biarkan konstituen berbicara, tidak hanya kepada kandidat, tetapi juga dengan konstituen lainnnya.

Efek ini kemudian memicu reaksi berantai sehingga menimbulkan dampak yang luar biasa. Kalau tahun 1700, katanya, bisa disebut sebagai Revolusi 1.0 rakyat Amerika, maka kini berkat Internet telah bergulir versi beta Revolusi 2.0 untuk rakyat Amerika Serikat.

Revolusi tersebut kini hal yang mudah dilakukan oleh rakyat. Amerika, menurut Trippi, karena tidak lagi mengandalkan pada sistem yang bersendikan uang dari donor-donor besar seperti yang lajim terjadi pada Partai Republik. Melainkan hanya dibutuhkan 2 juta rakyat Amerika untuk suatu perubahan besar !

Hanya dibutuhkan kurang dari satu persen dari seluruh penduduk Amerika Serikat, di mana mereka masing-masing menyumbang seratus dollar, sehingga jumlah dana yang terhimpun sebesar 200 juta dollar, sudah mampu mengubah apa pun di negeri tersebut.

Menjelang Pilpres AS 2008, strategi model Joe Trippi itu dipakai juga oleh kandidat presiden dari Partai Demokrat, Barrack Obama. Sebagaimana ditulis peneliti CSIS, Philips J. Vermonte dalam artikel berjudul “Fenomena Obama dan Internet” di Kompas (12/6/2008), Obama menegaskan bahwa politik itu harus bersifat bottom up dan bukan top-down dan untuk itu ia memanfaatkan Internet secara cerdas. Melalui strategi penggalangan dana secara online, Obama mampu meraup donasi dari 1,3 juta penyumbang.

Kampanye Howard Dean, menurut Trippi, dan yang kini diteruskan jejaknya oleh Obama, telah mengembalikan partainya dan demokrasi kepada massa akar rumput, rakyat kebanyakan. Inilah momen bersejarah dalam kampanye presiden di Amerika Serikat, kampanye pertama yang benar-benar dimiliki oleh rakyat Amerika.

Semua itu terjadi berkat Internet, yang mampu merontokkan broadcast politics, sehingga membuat rakyat memiliki kekuasaan untuk bersatu sebagai komunitas yang kembali menjadi pemilik sah negerinya sendiri.

Apakah keteladanan dan inspirasi dari Howard Dean, Joe Trippi sampai Barrack Obama yang sukses meletuskan revolusi demokrasi bersenjatakan Internet itu, mampu juga menjadi inspirasi bagi kita, terutama menunjang kebangkitan orang muda, dalam Pilpres 2009 mendatang ? Apa pendapat Anda ?


Wonogiri, 19/6/2008

ee

No comments:

Post a Comment