Oleh : Bambang Haryanto
Esai Epistoholica No. 10/September 2004
Home : Epistoholik Indonesia
NOSTALGIA HOJA. Apakah Anda merasa akrab dengan majalah anak-anak, Kawanku ? Tahun 1970-an, isi majalah ini yang paling saya sukai adalah kisah-kisah pendek seorang sufi Nasarudin Hoja. Leluconnya, saya anggap, cerdas dan jenaka.
Misalnya, suatu saat Nasarudin bilang kehilangan cincin di rumahnya. Tetapi ia mencari-cari cincin yang hilang itu justru di halaman rumah. Tetangganya, yang tahu masalahnya, lalu bertanya : “Mengapa kamu mencari cincin itu di halaman rumah, padahal cincin itu bukankah hilang di dalam rumah ?” Nasarudin dengan tenang bilang, ia mencarinya di halaman karena di dalam rumah gelap.
Tahun 1980-an, gantian saya yang mengirimkan koleksi lelucon ke majalah Kawanku ini. Saat itu saya tinggal di Jakarta dan secara rutin menagih honor di kantornya yang terasa gelap, kurang cerah, di bilangan Jl. Daan Mogot, Jakarta Barat. Pada edisi No.17/18-24 November 1988 : 12 termuat kiriman saya :
· PISAU BERSIH. Seorang pengunjung restoran berteriak kepada pelayan. “Pelayan, pisau roti ini tidak bersih !” / “Ah, masa Tuan ? Saya yakin pisau itu benar-benar bersih, sebab baru saja saya gunakan untuk mengiris sabun !”. (Bam).
· BERSAHABAT. “Saya kini punya sirkus di rumah, seekor singa yang bisa bersahabat dengan seekor domba”/”Waha, hebat. Apakah mereka tidak saling bertengkar /”/”Ya, mereka kadang bertengkar, dan sesudah itu biasanya saya harus membeli seekor domba baru lagi” (Bam).
Kemarin (27/9) saya mengirim e-mail ke majalah KaWanku ini. Bukan untuk kirim lelucon lagi. Majalah KaWanku sekarang sudah diakuisisi oleh Kompas-Gramedia Group, kantornya pun sudah pindah, dan isinya berubah menjadi majalah untuk remaja perempuan.
Edisinya yang terbaru (No.14/27 September 2004) mengangkat topik Smoking Is Not Cool At All. Antara lain diungkap 19 alasan remaja engga perlu merokok dan 7 alasan bilang “NO” buat rokok. Sampulnya menampilkan dara cantik, mengacungkan telunjuk ke bawah (thumb down) sementara t-shirtnya bertuliskan slogan : I HATE SMOKER.
BOM TERORIS NIKOTIN. Topik KaWanku itu segera memacu saya (27/9/2004) untuk mengirimkan e-mail sebagai berikut :
Dear KaWanku,
Salut untuk laporan utama KaWanku No. 14/27 September 2004 mengenai kampanye anti merokok. Saya dari Epistoholik Indonesia (komunitas orang-orang yang mabuk dan getol menulis surat-surat pembaca di media massa se-Indonesia) juga melakukan kampanye serupa melalui kolom-kolom surat pembaca. Untuk dokumentasinya silakan kunjungi situs blog B.U.B.A.R. ! (Bersihkan Udara Bebas Asap Rokok !) di : http://bubar.blogspot.com.
Liputan KaWanku itu bagus sekali untuk membuka wawasan anak muda kita. Apalagi, di Indonesia saat ini terjadi perang sengit antara pabrik rokok luar negeri vs pabrik rokok dalam negeri. Korbannya, ya anak-anak muda kita.
Wartawan William Ecenbarger dalam artikel berjudul America’s New Merchants of Death (Reader’s Digest, 4/1993 : 17-24 ) menyebutkan, raksasa industri rokok Amerika sebagai saudagar-saudagar kematian baru semakin agresif memindahkan pasarnya ke luar negeri. Sebabnya, karena sebagai negara maju dengan penduduknya rata-rata berpendidikan, memiliki kesadaran menjaga kesehatan yang tinggi, membuat konsumsi rokok di sana semakin menurun. Apalagi perangkat hukumnya ketat dan tegas.
Sasaran perpindahannya adalah negara-negara miskin dan berkembang. Indonesia dengan penduduk ratusan juta, jelas merupakan pasar yang sangat menggiurkan. Sadisnya lagi, anak-anak dan kaum muda yang menjadi sasaran bidik utama mereka.
Mengapa anak-anak ? Ketika kaum perokok tua berhenti merokok atau meninggal, membuat masa depan industri rokok bergantung kepada keberhasilan perekrutan konsumen baru mereka, yaitu anak-anak dan kaum muda. Terlebih lagi dari hasil kajian didapat data bahwa seseorang mulai merokok rata-rata pada umur 12 – 16 tahun. Mereka yang tidak merokok ketika berumur 18 tahun akan tidak kecanduan merokok.
Ketika serbuan rokok Amerika mengganas di Indonesia, reaksi apa yang dilakukan industri rokok di Indonesia ? Melawan. Terjadilah perang sengit antar saudagar kematian. Anak-anak muda kita menjadi korban ledakan bom-bom nikotin yang dipoles citra gaya hidup muda, gaul, gaya, funky, masa kini.
Sampai-sampai mahasiswa dan dosen dua perguruan tinggi negeri, UNS di Solo dan Undip di Semarang (Kompas Jawa Tengah, 17/9), termehek-mehek mengikuti seminar promosi rokok yang terselubung jubah pendidikan untuk terbius sihir seputar kejuligan para kreator iklan dalam memasarkan produk yang berbahaya itu untuk anak-anak muda kita.
Perang antarprodusen rokok di atas mirip fenomena perang melawan teroris di negeri kita, pasca serangan teroris 11 September 2001. Saat itu Amerika Serikat bangkit, bergegas menata diri untuk memerangi terorisme. Peraturan imigrasi yang ketat sampai kewaspadaan tinggi, mampu mempersempit ancaman teroris. Akibatnya, kaum teroris memindahkan teater terornya melawan AS dan sekutunya di negara-negara luar AS. Termasuk ke Indonesia, di mana teror bom di Bali, Hotel Mariott Jakarta dan di depan Kedubes Australia adalah contoh aktualnya.
Sebagaimana terorisme, perang perebutan pasar rokok merembet ke negara kita. Indonesia dengan perangkat hukum relatif lemah dalam regulasi rokok, bahkan presiden perempuan kita enggan menandatangani FCTC, menjadikan negeri ini ideal menjadi arena perang antarpara penjaja bom-bom nikotin itu.
Korbannya ? Menteri Kesehatan AS Richard Carmona mengutip isi Laporan Pemerintah AS No. 28 (Deutsche Presse-Agentur, 27/5/2004) menyatakan bahwa merokok mengakibatkan penyakit untuk semua organ tubuh, pada semua tingkatan usia, di seluruh dunia.
Tercatat 440.000 warga AS meninggal tiap tahun akibat penyakit yang terkait dengan merokok dan menghamburkan biaya 157 milliar dollar per tahun, di mana 75 milliar untuk pengobatan dan 82 milliar dollar untuk produktivitas kerja yang hilang.
Itu di AS, sebuah negeri kaya yang penduduknya kebanyakan berpendidikan dan memiliki kesadaran kesehatan yang tinggi. Bagaimana jumlah korban bom-bom teroris nikotin di Indonesia ? Mari kita tanyakan kepada presiden kita yang baru.
BAMBANG HARYANTO
Epistoholik Indonesia
P.S. : Profil saya sebagai kaum epistoholik telah diulas Majalah Intisari (Juli 2004) dan surat pembaca saya di Intisari (September 2004). Oh ya, untuk mBak Mutiara Siahaan, di Kompas edisi Muda, Anda pernah menganjurkan anak muda belajar berpolitik antara lain dengan menulis surat-surat pembaca di media massa. Mohon maaf, saya tanpa minta ijin, anjuran Anda itu telah saya kutip dan saya muat di situs blog bagian dari situs blog Epistoholik Indonesia, yaitu di http://serbaserbi.blogspot.com. Harap maklum.
Terima kasih untuk atensi Anda. Sukses untuk KaWanku. Oh ya, ketika alamatnya masih di Daan Mogot, saya masih suka kirim lelucon kepada Kawanku yang Orde Lama.
SERENDIPITY !. Laporan utama majalah KaWanku itu, entah kenapa, sepertinya nyambung dengan apa yang saya lakukan akhir-akhir ini. Seperti sebuah serendipity, kebetulan yang menakjubkan. Karena beberapa hari sebelumnya, pada tanggal 23 September 2004 telah kirimkan ide kerjasama ke Lembaga Menanggulangi Masalah Merokok (Lembaga M3) di Jakarta :
Yth. Bapak dr. Didy Purwanto
(lembaga_m3@yahoo.com)
Sekretaris Umum LM3 di Jakarta
Salam sejahtera. Semoga kiprah LM3 senantiasa sukses. Apa agenda terbaru dari LM3 saat ini, sehubungan dengan terpilihnya presiden kita yang baru ? Semoga beliau mau segera menandatangai protokol FCTC.
Sekadar cerita, pada bulan Oktober 2003, saya telah membentuk komunitas penulis surat pembaca se-Indonesia, bernama Epistoholik Indonesia. Slogannya, niru kalimat saktinya Eyang Rene Descartes, Episto ergo sum : saya menulis surat pembaca karena saya ada. Kiprah ini telah diliput di Majalah Intisari, Juli 2004 dan tambahan di Intisari, September 2004. Situs blog EI di http://episto.blogspot.com.
Seperti saya ceritakan kepada Bapak di email saya setahun lalu (13/9/2003), saya mencoba menghimpun penulis surat pembaca yang kebetulan se-ide dalam mengkampanyekan anti merokok. Baru ada dua orang, saya sendiri (http://beha.blogspot.com) dan Joko Suprayoga (http://jokos.blogspot.com).
Merujuk ide di atas, saya ingin terus merekrut para penulis surat pembaca yang seide, dengan mengundang mereka untuk menulis surat-surat pembaca anti rokok, dan kepada mereka akan diberi penghargaan berupa kaos. Untuk itu, saya berharap, LM3 bersedia menjadi sponsor yang menyediakan kaos hadiah tersebut dan sekaligus mengirimkannya kepada mereka yang karyanya terpilih.
Mekanismenya, saya dari Epistoholik Indonesia, akan menulis surat-surat pembaca, mengajak publik untuk menulis seputar bahaya merokok. Karya terpilih, saya katakan akan mendapat suvenir dari LM3 Jakarta. Fotokopi surat pembaca itu nantinya dikirimkan ke alamat saya. Kemudian akan saya pilih, misalnya dalam bulan Oktober 2004 dipilih dua pemenang. Nah, nama dan alamat pemenang itu akan saya kirim via e-mail ke LM3, dan dari LM3 dikirimkan hadiah kaos (plus brosur LM3 dan info lain) kepada mereka.
Saya usulkan, kaos itu dibuatkan desain/gambar yang funky dan slogan yang trendy. Misalnya, slogan : Cigarette : A pinch of tobacco rolled in paper with fire at one end and a fool on the other. Rokok adalah sejumput tembakau yang dilinting pada selembar kertas yang menyala pada satu ujungnya dan ujung lainnya terdapat seseorang yang tolol. Lalu ada logo LM3 dan juga logo Epistoholik Indonesia.
Begitulah Bapak Didi, sekadar obrolan dan iuran gagasan dari kami. Semoga bermanfaat. Saya tunggu respons dan nasehat dari LM3. Terima kasih.
Hormat saya,
Bambang Haryanto
Epistoholik Indonesia
AYO GABUNG DI B.U.B.A.R !. Kapan ide B.U.B.A.R ! itu muncul ? Sepuluh tahun lalu. Hal itu tercatat di Tabloid Karina No. 10/Minggu IV Juli 1994 yang telah memuat surat pembaca saya sebagai berikut :
Kampanyekan Terus Bahaya Rokok !
Dear Karina,
GeMa Karina No. 2 tentang remaja yang kecanduan rokok, membuat saya ngeri. Say lantas teringat laporan utama majalah Reader’s Digest (April 1993) yang menulis bahwa di Amerika Serikat kini sudah menjadi saudagar penyebar maut di dunia. Maut yang disebar oleh Paman Sam itu tidak lain adalah rokok !
Kita tahu di Amrik terus berlangsung kampanye gencar mengenai baya merokok, segencar larangan merokok di tempat kerja dan fasilitas umum. Penduduk negara maju tersebut yang rata-rata berpendidikan tinggi dan sadar akan kesehatan, telah menerima pesan positif tersebut. Di sana lantas kecenderungan merokok pun menurun.
Tetapi kecenderungan yang demikian ternyata menggelisahkan raksasa pabrik rokok. Ketika pasar rokok menurun di AS, pabrik-pabrik rokok itu lantas mulai gencar lagi memasarkan asap mautnya ke negara-negara berkembang, termasuk ke negara kitra.
Gencarnya serbuan rokok dari AS itu sekaligus membangkitkan pabrik-pabrik rokok dalam negeri, yang kemudian bersama-sama mempergencar promosi. Promosi yang dilakukan antara lain mendompleng event olahraga, bagi-bagi rokok gratis bagi pengunjung konser rock, dalam rangka mengincar konsumen baru, yakni remaja putra mau pun putri.
Kecenderungan yang membahayakan itu harus dicegah. Dan Karina telah memicu usaha yang positif itu. Satu usul, bagaimana kalo Karina menyediakan kolom untuk iklan layanan masyarakat yang mengingatkan remaja tentang bahaya merokok. Sokur-sokur Karina bisa menghimpun pembaca untuk tergabung dalam klub yang bermisi mengkampanyekan bahaya rokok.
Terakhir, siapa di antara pembaca yang tahu alamat Forum Komunikasi Penanggulangan Bahaya Merokok (FKPBM) di Jakarta ? Saya, pengin gabung sebagai relawan.
Bambang Haryanto
Bersihkan Udara Bebas Asap Rokok (BUBAR)
Po Box 6255/Jatra
Jakarta 13062
A RACE TO THE DEATH. Harian Solopos (25/9/2004) dalam kolom olahraga mewartakan kecaman majalah kesehatan bergengsi Inggris, The Lancet, terhadap penyelenggaraan Grand Prix Formula 1 di Shanghai, Cina (26/9/2004) yang disponsori pabrik rokok raksasa. Acara itu disebut sebagai, “sebuah adu cepat menuju kematian”.
Editorial The Lancet menggambarkan penyelenggaraan Grand Prix Formula 1 di Shanghai itu sebagai kemenangan raksasa-raksasa perusahaan rokok yang sangat ingin menggunakan Grand Prix Formula 1 untuk mempromosikan produknya guna menguasai pasar Cina dan Asia. Cina adalah pasar rokok terbesar dunia, dengan 350 juta perokok.
Bahkan majalah tersebut mengutip isi dokumen internal perusahaan British American Tobacco (BAT) yang mengakui bahwa tujuan di balik mensponsori tim Grand Prix Formula 1 British American Racing (BAR) adalah untuk meningkatkan popularitas merek rokoknya di Cina, India dan Asia Tenggara.
Pada halaman koran Solopos yang sama, terpampang berita turnamen sepakbola lokal yang ditempeli blok iklan nama turnamen tersebut : Liga Sepakbola Solopos Djarum Super 2004.
Indonesia memang medan laga ideal untuk perang antarpabrik rokok, di mana jutaan anak-anak muda kita yang bakal terus menjadi korbannya. Apakah Presiden kita yang baru juga telah menyadari besarnya ancaman semacam ini ?
Wonogiri, 28 September 2004
Tuesday, September 28, 2004
Sunday, September 19, 2004
Nubuat Nabi-Nabi Tertulis Di Tembok-Tembok Subway
Oleh : Bambang Haryanto
Esai Epistoholica No. 09/September 2004
Home : Epistoholik Indonesia
TABIK EPISTOHOLIK SENIOR. Salam, Episto ergo sum : Saya menulis surat pembaca karena saya ada. Semoga Anda semua, warga komunitas Epistoholik Indonesia, sehat-sehat dan selalu sejahtera. Saya ingin menyapa Bapak Darmawan Soetjipto, Dion Desembriarto, FX Triyas Hadi Prihantoro, Hariyanto Imadha, Herman Tony, Joko Suprayoga, Lasma Siregar, dan Wahyu Priyono.
Cerita pembuka obrolan, bulan September ini saya mendapat kiriman hadiah dobel dari Majalah Intisari. Pertama, surat pembaca saya bisa dimuat di kolom Dialog, Intisari edisi September 2004. Saya senang karena di surat pembaca itu saya bisa memberikan accolade, rasa takzim dan hormat, dengan bangga menyebutkan nama-nama para epistoholik senior yang selalu saya catat diam-diam selama ini.
Saya mengamati nama-nama hebat itu sejak, oh, tiba-tiba sudah 20 tahun lalu. Yaitu di tahun 1980-an, ketika saya belajar di Jakarta dan memperoleh kemewahan akses terhadap banyak media Ibukota. Para epistoholik senior itu antara lain : Bapak Suharsono Hadikusumo, S. Mangoenatmodjo, Haji G. Malikmass, Rachmat Djoko Pradopo, Ir. R.M. Pradiko Reksopranoto, F. Pudiyanto Suradibroto dan Darmawan Soetjipto. Tiga nama yang terakhir, kini menjadi Warga Epistoholik Indonesia. Beberapa nama yang seharusnya ikut saya sebutkan, baru sadar kemudian, tentu saja Bapak Soeroyo, Lucas Sumanto dan Drs. Sunarto Prawirosujanto. Bapak Moegono, SH, seharusnya juga ikut saya sebut.
Khusus Bapak Pak Ir. R.M. Pradiko, di tahun 2002 saya malah pernah ngobrol dengan beliau. Lokasinya di hall Stadion Manahan, Solo. Saat itu lagi ada Festival Aeng-Aeng II. Tetapi materi obrolannya memang tidak spesifik bertopik epistoholik. Tetapi kalau dikilas balik, memori saya sebenarnya sudah mencatat nama beliau sebagai penulis surat pembaca sejak tahun 1970. Ketika itu saya bersekolah di STM Negeri II Yogyakarta dan sering menemukan nama beliau di koran-koran Yogya.
Yang Terhormat
Warga Epistoholik Indonesia,
Dalam obrolan ini, spesial saya ingin sebutkan tentang hadiah dari Bapak DARMAWAN SOETJIPTO. Nama beliau kalau saya telusuri via mesin pencari Google (www.google.com), akan muncul 6 artikel yang relevan. Empat artikel berkaitan dengan EI dan dua artikel sisanya berkaitan dengan nama Arijono Darmawan Soetjipto yang alumnus perguruan tinggi Inggris. Apakah ini nama lengkap beliau ? Nama putra beliau ? Atau bahkan tidak ada kaitannya sama sekali ?
Baiklah. Yang menarik, beberapa saat lalu beliau mem-bom saya dengan kiriman tulisan, yang bila dijadikan buku bisa setebal 85 halaman lebih. Saat ini, saya lagi kewalahan untuk mempelajari kuliah beliau tersebut. Sempat saya forward ke Melbourne, biar saya dibantu mikir, tapi belum muncul komentar dari pemegang marga Siregar di Aussi itu.
Yang juga mengesankan, dari materi bom beliau tersebut menunjukkan bahwa Pak Darmawan, sebagaimana Pak Soeroyo, H. Soerodjokartono (terkenal dengan idiom awurisme dan kiralogi), Lasma Siregar dan saya, semoga juga Anda semua, diam-diam punya minat yang sama terhadap : humor. Lain kali, saya akan obrolkan topik ha-ha-ha tersebut di kolom ini. Matur sembah nuwun, Pak Darmawan !
SALAM DARI HAYU PRATIDINA. Senang yang kedua di bulan September ini, saya mendapatkan hadiah kaos dari Intisari. Setiap surat pembaca yang dimuat, penulisnya memperoleh hadiah kaos. Wah, umpama saja harian Kompas Jawa Tengah mengetrapkan kebijakan serupa, pastilah untuk tiga bulan terakhir saja, Juli – September 2004, saya sudah memiliki 14 buah kaos. Bambang jadi juragan kaos.
Bonus hebat lainnya, di kolom Dialog itu ada pembaca dari Magelang, Hayu Pratidina, menulis : “Saya tertarik sekali pada tulisan tentang penulis surat pembaca di edisi Juli 2004. Saya baru tahu kalau ada orang yang sangat “getol” menulis surat pembaca hingga puluhan tahun dan sampai mendapat penghargaan dari MURI. Tulisan itu menginspirasi saya bahwa orang jangan takut mencoba, jangan mudah menyerah dan tekun. Selamat kepada Pak Bambang dan Pak Gandhi...Semoga ide-idenya tidak pernah kering dan terus menulis surat pembaca”.
Sayang, Intisari menyembunyikan (!) alamat Hayu Pratidina itu, hanya ditulis “Magelang 56172”, mengakibatkan saya sulit mengontaknya guna memberikan apresiasi dan ucapan terima kasih.
Ngobrolin tentang hadiah kaos selama menjadi epistoholik, seingat saya, saya sudah memperolehnya sebanyak tiga kali. Antara lain dari majalah Jakarta-Jakarta, Tabloid Monitor (bahkan surat saya, bikin surprise, diberi honor Rp. 50.000,00 ditambah payung) dan dari Intisari kali ini. Kalau kaos-kaos itu dipakai, mungkin orang mengira diri saya adalah agen koran.
September lagi hujan kaos. Sebelum kaos Intisari datang, saya juga dapat kiriman serupa. Gara-gara mengirim tulisan bernada humor bertopik Seandainya Saya Jadi Presiden dan kemudian terpilih untuk disiarkan, Radio BBC Siaran Indonesia (London) telah menghadiahi saya kenangan kaos BBC. Di amplop besar itu tertulis : Bambang Haryanto, Epistoholik Indonesia. Kalau kaos itu saya pakai, mungkin kini saya rada bisa gede rasa karena bisa memancing orang untuk mengira : wah Bambang kini wartawan BBC London ya ?
Saya pun kalau ditanya juga akan ngaku, saya memang wartawan BBC. Tetapi BBC yang dimaksud adalah akronim dari Bebas BiCara, kolom surat pembacanya Harian Bernas Yogyakarta yang kapling langganannya Dion Desembriarto dan Triyas HP mengamuk, ber-epistoholik-ria.
Yang Terhormat
Warga Epistoholik Indonesia,
Di bawah ini saya tuliskan aneka sketsa yang bisa saya catat dari kiprah terbaru warga EI kita. Silakan menambahinya.
DION DESEMBRIARTO. Mas dosen Dion Desembriarto, asal Yogyakarta ini, tiba-tiba memberi saya tembusan e-mail tentang korespondensinya dengan warga asing. Dia nampak asyik mengobrolkan aktivitas, kalau tak salah, tukar-menukar badge kesatuan militer. Hobi yang hebat dan menarik, yang mungkin terkait dengan minatnya pada kajian bidang sosial, politik dan keamanan. Saya pikir, info baru ini harus juga dicantumkan di biodatamu, Dion. Gimana ? Saya tunggu realisasi janjinya, yang mau mengamuk lagi di kolom-kolom surat pembaca Yogya.
FX TRIYAS HADI PRIHANTORO. Prestasinya ngebut, membanggakan, Mas Triyas HP berkali-kali muncul di kolom surat pembaca Kompas Jawa Tengah. Bahkan berkenan membawa bendera sebutan sebagai Warga Epistoholik Indonesia. Mungkin hal yang sama juga ia lakukan di media lain, mohon maaf bila saya tidak tahu.
Malahan, saya secara khusus telah beliau beri tepuk tangan, dengan menyebut-nyebut diri saya sebagai provokator dan penganjur budaya menulis. Matur nuwun, matur nuwun. Tidak hanya itu, dan ini harus ditiru, Mas Triyas juga makin sering menampilkan buah pikirannya yang cemerlang. Bukan hanya berupa surat pembaca, tetapi berwujud artikel. Selamat, saya ikut bangga dan hormat. Kalau bisa, silakan bikin cabang blog baru, kali ini khusus memuat artikkel-artikel Anda. OK ?
Mas Triyas, Anda sudah pernah mengetikkan nama Anda ke mesin pencari Google untuk menemukan bagaimana dunia (maya) mencatat eksistensi Anda ? Silakan coba. Tetapi jangan gusar bila mendapatkan reaksi bahwa Google itu sepertinya malah menyarankan Anda untuk segera bancakan, kendurian, demi mengganti nama. “Kekurangajaran” Google itu juga mengambil korban Lasma Siregar. Silakan Anda berdua kompak kirim komplain ke Google !
HARIYANTO IMADHA. Gimana kabarnya, Mas ? Moga warnetnya makin sukses dan makin laris. Apa tertarik memakai layanan Indosat yang terbaru ? Mas Hariyanto dan saya, diam-diam, pernah saling lirik-lirikan terhadap karya surat pembaca masing-masing. Saat itu, waktu beliau tinggal di Jakarta.
Kini, saya yang harus melotot dan salut, melihat beliau makin tancap gas dan makin sering mengamuk. Kolomnya Kompas Nasional, yang bagi saya sulit nembus, akhir ini saya temukan dua surat pembaca Hariyanto Imadha. Koran Solopos juga beliau jangkau dari Bojonegoro, menjual ide brilian : pengumpulan dana olahraga via SMS. Belum lagi, juga koran yang bagi saya sulit ditembus, eh Hariyanto Imadha muncul di Jawa Pos. Pendek kata, kayak Daendels, tulisan surat pembacanya membentang dari Anyer sampai Panarukan. Membanggakan !
Bagi saya, beliau adalah epistoholik yang paling melek teknologi informasi, baik visi mau pun teknologinya. Surat pembacanya yang futuristik tentang miskinnya situs web Pemkot/Pemda, saya kutip di Esai Epistoholica No. 04. Beliau juga juragan warnet, fasih Front Page dan HTML hingga mampu merancang situs web, apa engga menggiurkan untuk kita timba ilmunya ?
HERMAN TONY. Gimana kabarnya, Pak Herman ? Apa bom di Kedubes Australia ikut mengguncang occupancy rate hotel di Yogya ? Apa Yogya nanti buka obyek wisata yang khusus menyuguhkan belasan mall ? Yogya mungkin akan menyaingi Singapura, kita ke sana khusus dirayu untuk belanja, belanja dan belanja. Ditunggu kabar Anda terbaru.
JOKO SUPRAYOGA, dari Kendal, tanggal (17/9/2004) muncul di Kompas Jawa Tengah dan mengusung pula predikat sebagai Warga Epistoholik Indonesia. Terima kasih, Mas Joko. Tulisannya berjudul Negeri Para Selebriti, bagi saya, menggiurkan untuk didiskusikan lebih lanjut. Mengingatkan topik aktual bahwa kita kini lagi musim bermewah-mewah, seperti terakhir ditulis Pak Darmawan di Harian Kompas.
Joko pun pernah bercerita, berusaha membujuk sobat-sobat mayanya (ratusan ?) dalam milisnya, untuk gabung dalam komunitas EI. Kita tunggu. Oh ya, silakan ketik namanya di Google, saya kira dia yang paling buanyak di antara warga EI lainnya tampil menggairahkan untuk digerayangi, lalu dicatat, oleh robot-robot pengarsip dari Google.
JIN KELUAR DARI BOTOL !. Baru-baru ini saya juga kirim e-mail kepada Joko Suprayoga, cerita impian saya tentang masa depan EI. Saya impikan, EI itu akan seperti amuba, yang membelah dan terus membelah. Saya impikan, misalnya si A akan mandiri untuk menghimpun para penulis surat pembaca khusus topik X, si B melakukan hal sama dengan spesialisasi topik Y, dan begitulah seterusnya.
Kepada Pak Herman Tony, pernah pula saya ceritakan, EI ingin menghimpun street smart intellectuals, cendekiawan jalanan. Karena masing-masing orang, menurut saya, adalah cendekiawan. Tetapi karena keterbatasan media untuk berekspresi, membuat gembolan, ilmu simpanan, baik pengetahuan, pengalaman sampai wisdom milik mereka, sulit keluar dan akhirnya tidak diketahui orang lain. Kini, gempa bumi 10,5 skala Richter telah terjadi. Berkat Internet, setiap orang bisa menjadi penerbit di muka dunia. Jin itu kini bisa keluar dari botol. Kucing pun bisa meloncat keluar dari karungnya. Setiap diri kita mampu ber-tiwikrama guna bersuara di persada dunia !
Bagi saya, karya-karya surat pembaca Anda, barulah puncak sebuah gunung es. Di bawah puncak itu, saya melihat dalam setiap diri Anda tersimpan khasanah yang lebih besar, yang lebih dibutuhkan masyarakat, yang menunggu meledak untuk diaktualisasikan. Dan Internet adalah media terdahsyat untuk tujuan tersebut.
Memanglah, di Internet kita ini ibarat pulau-pulau cendekia, yang kecil-kecil, banyak, saling tersambung, tanpa hirarki, terikat dalam adhocracy atau organisasi tanpa struktur. Di jaman Orba mungkin itu yang disebut sebagai OTB, organisasi tanpa bentuk. Satu sama lain lepas-lepas tapi saling berhubungan, dipandu kesamaan visi dan tujuan. Gambaran yang senada dengan visi pakar Internet, David Weinberger, yang baru saja ikut membidani revolusi kampanye presiden di AS untuk bekas Gubernur Vermont, Howard Dean (Demokrat). Dalam bukunya Small Pieces, Loosely Joined. (Perseus, 2002), ia menyimpulkan : Situs web itu hanyalah ujud lain dari seutas benang dan kaleng. Tetapi situs web itu kini adalah diri kita sendiri.
NUBUAT NABI-NABI. Pulau-pulau cendekia yang kecil-kecil itu akan berdampak dahsyat bila tergabung dalam sebuah jaringan. Akumulasi pengetahuan, pengalaman (terlebih lagi, seperti kata ibu Asrie M. Iman, pengalaman yang hanya bisa didapatkan melalui perjalanan waktu)
, keahlian sampai kearifan, nantinya berharga sebagai rujukan atau pos informasi tempat kita untuk saling bertanya, meminta nasehat, berbagi informasi, saling menyemangati dalam menempuh kehidupan di dunia, yang dalam nyanyian Karen Carpenter disebut sebagai a restless world, dunia yang gelisah.
Dunia yang gelisah, dunia yang membutuhkan nubuat nabi-nabi. Di tahun 1970-an duo legendaris Simon & Garfunkel dalam lagu Sound of Silence mencoba memberi petunjuk, dikutip sebagai judul tulisan ini : the words of the prophets are written on the subway walls. Siapa tahu, di era Internet ini, akan ada penyanyi lain yang menggubah lagu dengan lirik baru, tentang nubuat nabi-nabi yang tertulis dalam situs-situs blog masa kini.
JALAN MASIH JAUH, TETAPI SATU LANGKAH HARUS MULAI DIKAYUH. Saat ini, sebagai awal, baiklah saya yang kerja bakti membentuk semacam pos induk awal bagi komunitas Epistoholik Indonesia ini. Bagi mereka yang belum melek komputer dan buta Internet, bolehlah, saya yang mengetik kembali surat–surat pembaca mereka , lalu merayu agar mereka mau main ke warnet, dan mari kita lihat apa yang kemudian terjadi.
Tetapi bagi kita-kita yang sudah melek Internet, saya ajak untuk mencoba mengenali blog, lalu melakukan aksi separatisme positif, kemudian mencoba belajar mengelola situs blog masing-masing. Kecintaan, cita-cita, makna semboyan Episto ergo sum dan tujuan mulia, semoga tetap mampu mengikat kiprah-kiprah kita.
RULES OF THE NET. Sekadar mengingatkan, surat-surat pembaca kita di media atom/cetak itu sebenarnya boleh disebut sebagai etalase terbaik bagi media digital (situs blog/web) kita. Tetapi media cetak punya keterbatasan khas, kita sulit melakukan dialog dengan pembaca karya kita. Karena koran bersangkutan memang bukan media milik kita, teknologinya yang rigid memang sulit memungkinkan berlangsungnya interaksi.
Tetapi di media digital, dialog itu bisa kita langsungkan, bahkan bisa real time, sebab dari sononya Internet pada hakekatnya adalah media interaktif. Pernah ada rumusan, mengutip Rules of The Net-nya Thomas Mandel dan Gerard Van der Leun : bila situs web tidak ada mekanisme umpan baliknya, lupakanlah !
Situs blog saya (http://beha.blogspot.com), dan lainnya, tidak ada mekanisme umpan baliknya. Saat merintis EI, bulan Oktober 2003, memang host (Blogger) belum menyediakannya. Masih blog versi primitif. Lalu muncul desain baru, antara lain seperti yang kita temui pada situs blognya Andreas Adhy Aryanto, Ary Yudhianto, Mas Triyas, Joko Suprayoga, Muh. Fahruddin Hidayat, EI (http://episto.blogspot.com), Esai Epistoholica (http://esaiei.blogspot.com) dan Episto ergo sum (http://warei.blogspot.com), yang sudah ada mekanisme umpan baliknya.
Yaitu undangan bagi pembaca untuk menuliskan comment, di setiap akhir posting kita. Promosikan hal penting tersebut dan daya gunakan sebaik-baiknya. Layani pertanyaan fans Anda secara bijaksana. Dialog itu adalah tanda eksistensi Anda. Mudah-mudahan, situs blog warga EI lainnya bisa migrasi ke template yang ada mekanisme umpan baliknya tersebut.
LASMA SIREGAR. Kembali menyapa warga EI. Gara-gara bom di kedubes Australia, saya kuatir warga EI satu ini yang ngendon bersama koala di Melbourne dapat strange look dari bule setempat, gara-gara berasal dari Indonesia. Atau diuber-uber agen rahasia Australia, dibantu Kadaica, siapa tahu, akan ditanyai soal-soal bom. Apalagi ia pernah menulis, hampir menyamakan JEI (Jaringan EI) dengan JI yang dimusuhi Pak Howard dan Pak Bush itu.
Semoga sehat-sehat, bung Lasma. Kiriman decoder Anda bab pengobatan Cina, juga gelitikan buah Dewi Aphrodite, dan Yoga terus saya pelajari. Bab yoga, mungkin karena saya terlalu tua, merubah habit itu masih tetap sulit.
Hal lain, saya lagi kesengsem sama buku The Shadow of The Sun yang Anda kirimkan itu. Cerita tentang Afrika dari Ryszard Kapuscinski, sungguh absurd. Ia mengamati, mencatat peristiwa mencekam : setiap hari, karena miskinnya, segerombol penduduk Afrika menjalani hidup hanya dengan duduk-duduk atau berbaring di bawah keteduhan pohon, sementara di langit matahari panasnya memanggang kulit. Aktivitas hidup mereka hanya berupa ingsutan mengikuti perubahan keteduhan di bawah pohon itu agar bisa terhindar dari (katanya : tikaman sinar matahari di siang bolong Afrika itu mirip tajamnya pisau !) sengatan matahari. Begitu, setiap hari.
Ada cerita lain, satu-satunya benda peradaban modern yang masuk ke desa suku Afrika hanyalah senjata, alat pembunuh. Sampai cerita ambruknya diktator Idi Amien, gara-gara kalah bertempur melawan : satu tank !
Sekian dulu, selamat ngelaras kroncongnya Mus Mulyadi, bayangkanlah Putri Solo (kalau Putri Kraton Solo, ya, saat ini lagi ramai ikut bergabung dalam dua kubu saling rebutan tahta. Diantaranya, saya kenal dari jauh, yang menjadi bahan cerita nostalgia saya dalam Esai Epistoholica, No. 08/September 2004.).
WAHYU PRIYONO. Dia adalah salah satu pionir EI. Di awal EI, si “Jack” (sebutannya) ini tampil pro-aktif, dengan sukarela mengamuk, mempromosikan EI ke pelbagai media massa. Setahu saya di Republika, Pikiran Rakyat dan juga BOLA. Mungkin Anda kini bisa bergabung dalam EI gara-gara rayuan maut Wahyu Sang Penyair ini.
Penulis surat pembaca rada spesialis olahraga ini, berasal dari Karanganyar Solo, lumayan lama terasa menghilang. Sokurlah, kini tiba-tiba muncul kembali. Entakannya bergaya bak pola pikirnya SBY : Siswono Bin Yudhohusodo yang Ketua HKTI. Pasalnya, Wahyu, sarjana arsitektur, penyair dan sastrawan ini, telah menulis surat pembaca (hampir bareng munculnya) di Solopos dan Kompas Jawa Tengah, bertopik jeritan petani kita justru ketika musim panen tiba.
Namanya saja sastrawan, sehingga membahas petani pun ia pakai sentuhan humanis dan serasi dengan mengikutkan lirik-lirik karya penyair asal Lebanon, Khalil Gibran. Selamat mengamuk, Wahyu. Kapan karya-karya puisimu juga di-blog-kan ? Saya tunggu kabarnya.
WARGA EI LAINNYA. Pak ANDREAS ADHY ARYANTO, asal Purwodadi, yang surat pembacanya mirip isi kitab suci, saya baca di Solopos pasang iklan menikahkan putrinya. Sayang beliau belum punya e-mail, jadi sulit kita keroyok dengan e-mail kiriman ucapan.
Warga baru EI asal Semarang, ARI YUDHIANTO, SH, spesialisasinya lingkungan hidup. Dia itu unik, setelah saya kirimi surat, wah, dia tidak kirim contoh-contoh surat pembaca dan biodatanya, tetapi justru kirim surat pembaca di Solopos. Isinya, mengucapkan terima kasih karena telah didaulat sebagai warga EI. Mas Ary yang unik !
Warga baru lainnya, MUHAMMAD FAHRUDIN HIDAYAT, asal Batang (kota asal penyair Goenawan Muhamad), punya pendapat menarik tentang keterampilan menulis. Katanya, lebih gampang ngomong daripada menulis. Ngomong mudah, sebab jarak otak dan mulut itu dekat. Tapi menulis ? Jarak otak sampai ke tangan, yang terhubung via jaringan syaraf, bila dihitung ada ribuan kilometer.
Perumpamaan yang hebat. Dia akan saya bujuki agar segera punya e-mail. Bisa nulis tapi buta komputer atau Internet, ibarat ayam : punya sayap, tapi tak bisa terbang. Ia pun terampil menulis surat pembaca dengan penuh bunga-bunga kata. Silakan simak dalam situs blognya.
SAYA LAGI MEMBANGUN PANTI ASUHAN. Oh ya, ada juga warga EI yang tega membom saya dengan kiriman 30-an judul surat pembacanya. Fotokopian. Bikin saya kelenger, karena sebelumnya sudah saya wanti-wanti untuk lebih dulu mengalihkannya ke bentuk digital, disimpan ke disket. Mengetik kembali karya orang lain itu kan sama dengan perang melawan ego ?
Kejadian ini, waduh, mengingatkan saya kisah tentang seseorang yang mau berbuat mulia, dengan mendirikan panti asuhan untuk yatim-piatu. Lalu ada orang kaya tetapi pelit, langsung cerita kesana-kemari, sesumbar, bahwa dirinya akan berderma besar untuk membantu panti asuhan itu.
Apa yang ia sumbangkan ? Tiga puluh anak yatim piatu !
KI R.M. ISMUNANDAR SURYOSEDONO, asal Salatiga, adalah warga paling gres EI kita. Beliau telah menerjemahkan 30-an buku, bahasa Jawa, Inggris dan Belanda. Silakan simak biodata beliau yang mengesankan. Juga punya resep ramuan untuk obat sakit liver !
MEGA DI WONOGIRI. Terakhir, artikel saya berjudul “Indonesia Kita, Apakah Bangsa Yang Lamban ?” dimuat di Kompas edisi Jawa Tengah (16/9/2004). Berbarengan dengan surat pembacanya Triyas HP yang menyoal masa depan bangsa ini pasca-ledakan bom teroris di Kuningan, Jakarta. Sampai pertengahan September ini, sudah ada 4 surat pembaca saya muncul di koran yang sama.
Tanggal 1 September 2004 lalu, di Wonogiri, saya ikut barisan anak-anak SMP menyambut Megawati yang datang ke Wonogiri. Mega melengos. Peristiwanya saya tulis dalam Esai Epistoholica No. 08/September 2004, bercampur dengan kisah becak Internet di India, mengintai puteri-puteri Keraton Solo ketika masih muda, sampai potensi daya kreativitas jutaaan anak-anak Indonesia yang terancam tumpas ketika masih duduk di TK. Tulisan ngalor-ngidul, ngetan-ngulon. Selamat menyimak, dan memberi komentar.
Sekian dulu obrolan dari Wonogiri. Mohon maaf bila ada kesalahan. Selamat terus mengamuk, menulis surat-surat pembaca bersemboyankan Episto ergo sum. Saya menulis surat pembaca karena saya ada. Sungguh, karena para pembaca dan dunia terus membutuhkan Anda.
Sukses untuk Anda semua.
Wonogiri, 17-18 September 2004
Esai Epistoholica No. 09/September 2004
Home : Epistoholik Indonesia
TABIK EPISTOHOLIK SENIOR. Salam, Episto ergo sum : Saya menulis surat pembaca karena saya ada. Semoga Anda semua, warga komunitas Epistoholik Indonesia, sehat-sehat dan selalu sejahtera. Saya ingin menyapa Bapak Darmawan Soetjipto, Dion Desembriarto, FX Triyas Hadi Prihantoro, Hariyanto Imadha, Herman Tony, Joko Suprayoga, Lasma Siregar, dan Wahyu Priyono.
Cerita pembuka obrolan, bulan September ini saya mendapat kiriman hadiah dobel dari Majalah Intisari. Pertama, surat pembaca saya bisa dimuat di kolom Dialog, Intisari edisi September 2004. Saya senang karena di surat pembaca itu saya bisa memberikan accolade, rasa takzim dan hormat, dengan bangga menyebutkan nama-nama para epistoholik senior yang selalu saya catat diam-diam selama ini.
Saya mengamati nama-nama hebat itu sejak, oh, tiba-tiba sudah 20 tahun lalu. Yaitu di tahun 1980-an, ketika saya belajar di Jakarta dan memperoleh kemewahan akses terhadap banyak media Ibukota. Para epistoholik senior itu antara lain : Bapak Suharsono Hadikusumo, S. Mangoenatmodjo, Haji G. Malikmass, Rachmat Djoko Pradopo, Ir. R.M. Pradiko Reksopranoto, F. Pudiyanto Suradibroto dan Darmawan Soetjipto. Tiga nama yang terakhir, kini menjadi Warga Epistoholik Indonesia. Beberapa nama yang seharusnya ikut saya sebutkan, baru sadar kemudian, tentu saja Bapak Soeroyo, Lucas Sumanto dan Drs. Sunarto Prawirosujanto. Bapak Moegono, SH, seharusnya juga ikut saya sebut.
Khusus Bapak Pak Ir. R.M. Pradiko, di tahun 2002 saya malah pernah ngobrol dengan beliau. Lokasinya di hall Stadion Manahan, Solo. Saat itu lagi ada Festival Aeng-Aeng II. Tetapi materi obrolannya memang tidak spesifik bertopik epistoholik. Tetapi kalau dikilas balik, memori saya sebenarnya sudah mencatat nama beliau sebagai penulis surat pembaca sejak tahun 1970. Ketika itu saya bersekolah di STM Negeri II Yogyakarta dan sering menemukan nama beliau di koran-koran Yogya.
Yang Terhormat
Warga Epistoholik Indonesia,
Dalam obrolan ini, spesial saya ingin sebutkan tentang hadiah dari Bapak DARMAWAN SOETJIPTO. Nama beliau kalau saya telusuri via mesin pencari Google (www.google.com), akan muncul 6 artikel yang relevan. Empat artikel berkaitan dengan EI dan dua artikel sisanya berkaitan dengan nama Arijono Darmawan Soetjipto yang alumnus perguruan tinggi Inggris. Apakah ini nama lengkap beliau ? Nama putra beliau ? Atau bahkan tidak ada kaitannya sama sekali ?
Baiklah. Yang menarik, beberapa saat lalu beliau mem-bom saya dengan kiriman tulisan, yang bila dijadikan buku bisa setebal 85 halaman lebih. Saat ini, saya lagi kewalahan untuk mempelajari kuliah beliau tersebut. Sempat saya forward ke Melbourne, biar saya dibantu mikir, tapi belum muncul komentar dari pemegang marga Siregar di Aussi itu.
Yang juga mengesankan, dari materi bom beliau tersebut menunjukkan bahwa Pak Darmawan, sebagaimana Pak Soeroyo, H. Soerodjokartono (terkenal dengan idiom awurisme dan kiralogi), Lasma Siregar dan saya, semoga juga Anda semua, diam-diam punya minat yang sama terhadap : humor. Lain kali, saya akan obrolkan topik ha-ha-ha tersebut di kolom ini. Matur sembah nuwun, Pak Darmawan !
SALAM DARI HAYU PRATIDINA. Senang yang kedua di bulan September ini, saya mendapatkan hadiah kaos dari Intisari. Setiap surat pembaca yang dimuat, penulisnya memperoleh hadiah kaos. Wah, umpama saja harian Kompas Jawa Tengah mengetrapkan kebijakan serupa, pastilah untuk tiga bulan terakhir saja, Juli – September 2004, saya sudah memiliki 14 buah kaos. Bambang jadi juragan kaos.
Bonus hebat lainnya, di kolom Dialog itu ada pembaca dari Magelang, Hayu Pratidina, menulis : “Saya tertarik sekali pada tulisan tentang penulis surat pembaca di edisi Juli 2004. Saya baru tahu kalau ada orang yang sangat “getol” menulis surat pembaca hingga puluhan tahun dan sampai mendapat penghargaan dari MURI. Tulisan itu menginspirasi saya bahwa orang jangan takut mencoba, jangan mudah menyerah dan tekun. Selamat kepada Pak Bambang dan Pak Gandhi...Semoga ide-idenya tidak pernah kering dan terus menulis surat pembaca”.
Sayang, Intisari menyembunyikan (!) alamat Hayu Pratidina itu, hanya ditulis “Magelang 56172”, mengakibatkan saya sulit mengontaknya guna memberikan apresiasi dan ucapan terima kasih.
Ngobrolin tentang hadiah kaos selama menjadi epistoholik, seingat saya, saya sudah memperolehnya sebanyak tiga kali. Antara lain dari majalah Jakarta-Jakarta, Tabloid Monitor (bahkan surat saya, bikin surprise, diberi honor Rp. 50.000,00 ditambah payung) dan dari Intisari kali ini. Kalau kaos-kaos itu dipakai, mungkin orang mengira diri saya adalah agen koran.
September lagi hujan kaos. Sebelum kaos Intisari datang, saya juga dapat kiriman serupa. Gara-gara mengirim tulisan bernada humor bertopik Seandainya Saya Jadi Presiden dan kemudian terpilih untuk disiarkan, Radio BBC Siaran Indonesia (London) telah menghadiahi saya kenangan kaos BBC. Di amplop besar itu tertulis : Bambang Haryanto, Epistoholik Indonesia. Kalau kaos itu saya pakai, mungkin kini saya rada bisa gede rasa karena bisa memancing orang untuk mengira : wah Bambang kini wartawan BBC London ya ?
Saya pun kalau ditanya juga akan ngaku, saya memang wartawan BBC. Tetapi BBC yang dimaksud adalah akronim dari Bebas BiCara, kolom surat pembacanya Harian Bernas Yogyakarta yang kapling langganannya Dion Desembriarto dan Triyas HP mengamuk, ber-epistoholik-ria.
Yang Terhormat
Warga Epistoholik Indonesia,
Di bawah ini saya tuliskan aneka sketsa yang bisa saya catat dari kiprah terbaru warga EI kita. Silakan menambahinya.
DION DESEMBRIARTO. Mas dosen Dion Desembriarto, asal Yogyakarta ini, tiba-tiba memberi saya tembusan e-mail tentang korespondensinya dengan warga asing. Dia nampak asyik mengobrolkan aktivitas, kalau tak salah, tukar-menukar badge kesatuan militer. Hobi yang hebat dan menarik, yang mungkin terkait dengan minatnya pada kajian bidang sosial, politik dan keamanan. Saya pikir, info baru ini harus juga dicantumkan di biodatamu, Dion. Gimana ? Saya tunggu realisasi janjinya, yang mau mengamuk lagi di kolom-kolom surat pembaca Yogya.
FX TRIYAS HADI PRIHANTORO. Prestasinya ngebut, membanggakan, Mas Triyas HP berkali-kali muncul di kolom surat pembaca Kompas Jawa Tengah. Bahkan berkenan membawa bendera sebutan sebagai Warga Epistoholik Indonesia. Mungkin hal yang sama juga ia lakukan di media lain, mohon maaf bila saya tidak tahu.
Malahan, saya secara khusus telah beliau beri tepuk tangan, dengan menyebut-nyebut diri saya sebagai provokator dan penganjur budaya menulis. Matur nuwun, matur nuwun. Tidak hanya itu, dan ini harus ditiru, Mas Triyas juga makin sering menampilkan buah pikirannya yang cemerlang. Bukan hanya berupa surat pembaca, tetapi berwujud artikel. Selamat, saya ikut bangga dan hormat. Kalau bisa, silakan bikin cabang blog baru, kali ini khusus memuat artikkel-artikel Anda. OK ?
Mas Triyas, Anda sudah pernah mengetikkan nama Anda ke mesin pencari Google untuk menemukan bagaimana dunia (maya) mencatat eksistensi Anda ? Silakan coba. Tetapi jangan gusar bila mendapatkan reaksi bahwa Google itu sepertinya malah menyarankan Anda untuk segera bancakan, kendurian, demi mengganti nama. “Kekurangajaran” Google itu juga mengambil korban Lasma Siregar. Silakan Anda berdua kompak kirim komplain ke Google !
HARIYANTO IMADHA. Gimana kabarnya, Mas ? Moga warnetnya makin sukses dan makin laris. Apa tertarik memakai layanan Indosat yang terbaru ? Mas Hariyanto dan saya, diam-diam, pernah saling lirik-lirikan terhadap karya surat pembaca masing-masing. Saat itu, waktu beliau tinggal di Jakarta.
Kini, saya yang harus melotot dan salut, melihat beliau makin tancap gas dan makin sering mengamuk. Kolomnya Kompas Nasional, yang bagi saya sulit nembus, akhir ini saya temukan dua surat pembaca Hariyanto Imadha. Koran Solopos juga beliau jangkau dari Bojonegoro, menjual ide brilian : pengumpulan dana olahraga via SMS. Belum lagi, juga koran yang bagi saya sulit ditembus, eh Hariyanto Imadha muncul di Jawa Pos. Pendek kata, kayak Daendels, tulisan surat pembacanya membentang dari Anyer sampai Panarukan. Membanggakan !
Bagi saya, beliau adalah epistoholik yang paling melek teknologi informasi, baik visi mau pun teknologinya. Surat pembacanya yang futuristik tentang miskinnya situs web Pemkot/Pemda, saya kutip di Esai Epistoholica No. 04. Beliau juga juragan warnet, fasih Front Page dan HTML hingga mampu merancang situs web, apa engga menggiurkan untuk kita timba ilmunya ?
HERMAN TONY. Gimana kabarnya, Pak Herman ? Apa bom di Kedubes Australia ikut mengguncang occupancy rate hotel di Yogya ? Apa Yogya nanti buka obyek wisata yang khusus menyuguhkan belasan mall ? Yogya mungkin akan menyaingi Singapura, kita ke sana khusus dirayu untuk belanja, belanja dan belanja. Ditunggu kabar Anda terbaru.
JOKO SUPRAYOGA, dari Kendal, tanggal (17/9/2004) muncul di Kompas Jawa Tengah dan mengusung pula predikat sebagai Warga Epistoholik Indonesia. Terima kasih, Mas Joko. Tulisannya berjudul Negeri Para Selebriti, bagi saya, menggiurkan untuk didiskusikan lebih lanjut. Mengingatkan topik aktual bahwa kita kini lagi musim bermewah-mewah, seperti terakhir ditulis Pak Darmawan di Harian Kompas.
Joko pun pernah bercerita, berusaha membujuk sobat-sobat mayanya (ratusan ?) dalam milisnya, untuk gabung dalam komunitas EI. Kita tunggu. Oh ya, silakan ketik namanya di Google, saya kira dia yang paling buanyak di antara warga EI lainnya tampil menggairahkan untuk digerayangi, lalu dicatat, oleh robot-robot pengarsip dari Google.
JIN KELUAR DARI BOTOL !. Baru-baru ini saya juga kirim e-mail kepada Joko Suprayoga, cerita impian saya tentang masa depan EI. Saya impikan, EI itu akan seperti amuba, yang membelah dan terus membelah. Saya impikan, misalnya si A akan mandiri untuk menghimpun para penulis surat pembaca khusus topik X, si B melakukan hal sama dengan spesialisasi topik Y, dan begitulah seterusnya.
Kepada Pak Herman Tony, pernah pula saya ceritakan, EI ingin menghimpun street smart intellectuals, cendekiawan jalanan. Karena masing-masing orang, menurut saya, adalah cendekiawan. Tetapi karena keterbatasan media untuk berekspresi, membuat gembolan, ilmu simpanan, baik pengetahuan, pengalaman sampai wisdom milik mereka, sulit keluar dan akhirnya tidak diketahui orang lain. Kini, gempa bumi 10,5 skala Richter telah terjadi. Berkat Internet, setiap orang bisa menjadi penerbit di muka dunia. Jin itu kini bisa keluar dari botol. Kucing pun bisa meloncat keluar dari karungnya. Setiap diri kita mampu ber-tiwikrama guna bersuara di persada dunia !
Bagi saya, karya-karya surat pembaca Anda, barulah puncak sebuah gunung es. Di bawah puncak itu, saya melihat dalam setiap diri Anda tersimpan khasanah yang lebih besar, yang lebih dibutuhkan masyarakat, yang menunggu meledak untuk diaktualisasikan. Dan Internet adalah media terdahsyat untuk tujuan tersebut.
Memanglah, di Internet kita ini ibarat pulau-pulau cendekia, yang kecil-kecil, banyak, saling tersambung, tanpa hirarki, terikat dalam adhocracy atau organisasi tanpa struktur. Di jaman Orba mungkin itu yang disebut sebagai OTB, organisasi tanpa bentuk. Satu sama lain lepas-lepas tapi saling berhubungan, dipandu kesamaan visi dan tujuan. Gambaran yang senada dengan visi pakar Internet, David Weinberger, yang baru saja ikut membidani revolusi kampanye presiden di AS untuk bekas Gubernur Vermont, Howard Dean (Demokrat). Dalam bukunya Small Pieces, Loosely Joined. (Perseus, 2002), ia menyimpulkan : Situs web itu hanyalah ujud lain dari seutas benang dan kaleng. Tetapi situs web itu kini adalah diri kita sendiri.
NUBUAT NABI-NABI. Pulau-pulau cendekia yang kecil-kecil itu akan berdampak dahsyat bila tergabung dalam sebuah jaringan. Akumulasi pengetahuan, pengalaman (terlebih lagi, seperti kata ibu Asrie M. Iman, pengalaman yang hanya bisa didapatkan melalui perjalanan waktu)
, keahlian sampai kearifan, nantinya berharga sebagai rujukan atau pos informasi tempat kita untuk saling bertanya, meminta nasehat, berbagi informasi, saling menyemangati dalam menempuh kehidupan di dunia, yang dalam nyanyian Karen Carpenter disebut sebagai a restless world, dunia yang gelisah.
Dunia yang gelisah, dunia yang membutuhkan nubuat nabi-nabi. Di tahun 1970-an duo legendaris Simon & Garfunkel dalam lagu Sound of Silence mencoba memberi petunjuk, dikutip sebagai judul tulisan ini : the words of the prophets are written on the subway walls. Siapa tahu, di era Internet ini, akan ada penyanyi lain yang menggubah lagu dengan lirik baru, tentang nubuat nabi-nabi yang tertulis dalam situs-situs blog masa kini.
JALAN MASIH JAUH, TETAPI SATU LANGKAH HARUS MULAI DIKAYUH. Saat ini, sebagai awal, baiklah saya yang kerja bakti membentuk semacam pos induk awal bagi komunitas Epistoholik Indonesia ini. Bagi mereka yang belum melek komputer dan buta Internet, bolehlah, saya yang mengetik kembali surat–surat pembaca mereka , lalu merayu agar mereka mau main ke warnet, dan mari kita lihat apa yang kemudian terjadi.
Tetapi bagi kita-kita yang sudah melek Internet, saya ajak untuk mencoba mengenali blog, lalu melakukan aksi separatisme positif, kemudian mencoba belajar mengelola situs blog masing-masing. Kecintaan, cita-cita, makna semboyan Episto ergo sum dan tujuan mulia, semoga tetap mampu mengikat kiprah-kiprah kita.
RULES OF THE NET. Sekadar mengingatkan, surat-surat pembaca kita di media atom/cetak itu sebenarnya boleh disebut sebagai etalase terbaik bagi media digital (situs blog/web) kita. Tetapi media cetak punya keterbatasan khas, kita sulit melakukan dialog dengan pembaca karya kita. Karena koran bersangkutan memang bukan media milik kita, teknologinya yang rigid memang sulit memungkinkan berlangsungnya interaksi.
Tetapi di media digital, dialog itu bisa kita langsungkan, bahkan bisa real time, sebab dari sononya Internet pada hakekatnya adalah media interaktif. Pernah ada rumusan, mengutip Rules of The Net-nya Thomas Mandel dan Gerard Van der Leun : bila situs web tidak ada mekanisme umpan baliknya, lupakanlah !
Situs blog saya (http://beha.blogspot.com), dan lainnya, tidak ada mekanisme umpan baliknya. Saat merintis EI, bulan Oktober 2003, memang host (Blogger) belum menyediakannya. Masih blog versi primitif. Lalu muncul desain baru, antara lain seperti yang kita temui pada situs blognya Andreas Adhy Aryanto, Ary Yudhianto, Mas Triyas, Joko Suprayoga, Muh. Fahruddin Hidayat, EI (http://episto.blogspot.com), Esai Epistoholica (http://esaiei.blogspot.com) dan Episto ergo sum (http://warei.blogspot.com), yang sudah ada mekanisme umpan baliknya.
Yaitu undangan bagi pembaca untuk menuliskan comment, di setiap akhir posting kita. Promosikan hal penting tersebut dan daya gunakan sebaik-baiknya. Layani pertanyaan fans Anda secara bijaksana. Dialog itu adalah tanda eksistensi Anda. Mudah-mudahan, situs blog warga EI lainnya bisa migrasi ke template yang ada mekanisme umpan baliknya tersebut.
LASMA SIREGAR. Kembali menyapa warga EI. Gara-gara bom di kedubes Australia, saya kuatir warga EI satu ini yang ngendon bersama koala di Melbourne dapat strange look dari bule setempat, gara-gara berasal dari Indonesia. Atau diuber-uber agen rahasia Australia, dibantu Kadaica, siapa tahu, akan ditanyai soal-soal bom. Apalagi ia pernah menulis, hampir menyamakan JEI (Jaringan EI) dengan JI yang dimusuhi Pak Howard dan Pak Bush itu.
Semoga sehat-sehat, bung Lasma. Kiriman decoder Anda bab pengobatan Cina, juga gelitikan buah Dewi Aphrodite, dan Yoga terus saya pelajari. Bab yoga, mungkin karena saya terlalu tua, merubah habit itu masih tetap sulit.
Hal lain, saya lagi kesengsem sama buku The Shadow of The Sun yang Anda kirimkan itu. Cerita tentang Afrika dari Ryszard Kapuscinski, sungguh absurd. Ia mengamati, mencatat peristiwa mencekam : setiap hari, karena miskinnya, segerombol penduduk Afrika menjalani hidup hanya dengan duduk-duduk atau berbaring di bawah keteduhan pohon, sementara di langit matahari panasnya memanggang kulit. Aktivitas hidup mereka hanya berupa ingsutan mengikuti perubahan keteduhan di bawah pohon itu agar bisa terhindar dari (katanya : tikaman sinar matahari di siang bolong Afrika itu mirip tajamnya pisau !) sengatan matahari. Begitu, setiap hari.
Ada cerita lain, satu-satunya benda peradaban modern yang masuk ke desa suku Afrika hanyalah senjata, alat pembunuh. Sampai cerita ambruknya diktator Idi Amien, gara-gara kalah bertempur melawan : satu tank !
Sekian dulu, selamat ngelaras kroncongnya Mus Mulyadi, bayangkanlah Putri Solo (kalau Putri Kraton Solo, ya, saat ini lagi ramai ikut bergabung dalam dua kubu saling rebutan tahta. Diantaranya, saya kenal dari jauh, yang menjadi bahan cerita nostalgia saya dalam Esai Epistoholica, No. 08/September 2004.).
WAHYU PRIYONO. Dia adalah salah satu pionir EI. Di awal EI, si “Jack” (sebutannya) ini tampil pro-aktif, dengan sukarela mengamuk, mempromosikan EI ke pelbagai media massa. Setahu saya di Republika, Pikiran Rakyat dan juga BOLA. Mungkin Anda kini bisa bergabung dalam EI gara-gara rayuan maut Wahyu Sang Penyair ini.
Penulis surat pembaca rada spesialis olahraga ini, berasal dari Karanganyar Solo, lumayan lama terasa menghilang. Sokurlah, kini tiba-tiba muncul kembali. Entakannya bergaya bak pola pikirnya SBY : Siswono Bin Yudhohusodo yang Ketua HKTI. Pasalnya, Wahyu, sarjana arsitektur, penyair dan sastrawan ini, telah menulis surat pembaca (hampir bareng munculnya) di Solopos dan Kompas Jawa Tengah, bertopik jeritan petani kita justru ketika musim panen tiba.
Namanya saja sastrawan, sehingga membahas petani pun ia pakai sentuhan humanis dan serasi dengan mengikutkan lirik-lirik karya penyair asal Lebanon, Khalil Gibran. Selamat mengamuk, Wahyu. Kapan karya-karya puisimu juga di-blog-kan ? Saya tunggu kabarnya.
WARGA EI LAINNYA. Pak ANDREAS ADHY ARYANTO, asal Purwodadi, yang surat pembacanya mirip isi kitab suci, saya baca di Solopos pasang iklan menikahkan putrinya. Sayang beliau belum punya e-mail, jadi sulit kita keroyok dengan e-mail kiriman ucapan.
Warga baru EI asal Semarang, ARI YUDHIANTO, SH, spesialisasinya lingkungan hidup. Dia itu unik, setelah saya kirimi surat, wah, dia tidak kirim contoh-contoh surat pembaca dan biodatanya, tetapi justru kirim surat pembaca di Solopos. Isinya, mengucapkan terima kasih karena telah didaulat sebagai warga EI. Mas Ary yang unik !
Warga baru lainnya, MUHAMMAD FAHRUDIN HIDAYAT, asal Batang (kota asal penyair Goenawan Muhamad), punya pendapat menarik tentang keterampilan menulis. Katanya, lebih gampang ngomong daripada menulis. Ngomong mudah, sebab jarak otak dan mulut itu dekat. Tapi menulis ? Jarak otak sampai ke tangan, yang terhubung via jaringan syaraf, bila dihitung ada ribuan kilometer.
Perumpamaan yang hebat. Dia akan saya bujuki agar segera punya e-mail. Bisa nulis tapi buta komputer atau Internet, ibarat ayam : punya sayap, tapi tak bisa terbang. Ia pun terampil menulis surat pembaca dengan penuh bunga-bunga kata. Silakan simak dalam situs blognya.
SAYA LAGI MEMBANGUN PANTI ASUHAN. Oh ya, ada juga warga EI yang tega membom saya dengan kiriman 30-an judul surat pembacanya. Fotokopian. Bikin saya kelenger, karena sebelumnya sudah saya wanti-wanti untuk lebih dulu mengalihkannya ke bentuk digital, disimpan ke disket. Mengetik kembali karya orang lain itu kan sama dengan perang melawan ego ?
Kejadian ini, waduh, mengingatkan saya kisah tentang seseorang yang mau berbuat mulia, dengan mendirikan panti asuhan untuk yatim-piatu. Lalu ada orang kaya tetapi pelit, langsung cerita kesana-kemari, sesumbar, bahwa dirinya akan berderma besar untuk membantu panti asuhan itu.
Apa yang ia sumbangkan ? Tiga puluh anak yatim piatu !
KI R.M. ISMUNANDAR SURYOSEDONO, asal Salatiga, adalah warga paling gres EI kita. Beliau telah menerjemahkan 30-an buku, bahasa Jawa, Inggris dan Belanda. Silakan simak biodata beliau yang mengesankan. Juga punya resep ramuan untuk obat sakit liver !
MEGA DI WONOGIRI. Terakhir, artikel saya berjudul “Indonesia Kita, Apakah Bangsa Yang Lamban ?” dimuat di Kompas edisi Jawa Tengah (16/9/2004). Berbarengan dengan surat pembacanya Triyas HP yang menyoal masa depan bangsa ini pasca-ledakan bom teroris di Kuningan, Jakarta. Sampai pertengahan September ini, sudah ada 4 surat pembaca saya muncul di koran yang sama.
Tanggal 1 September 2004 lalu, di Wonogiri, saya ikut barisan anak-anak SMP menyambut Megawati yang datang ke Wonogiri. Mega melengos. Peristiwanya saya tulis dalam Esai Epistoholica No. 08/September 2004, bercampur dengan kisah becak Internet di India, mengintai puteri-puteri Keraton Solo ketika masih muda, sampai potensi daya kreativitas jutaaan anak-anak Indonesia yang terancam tumpas ketika masih duduk di TK. Tulisan ngalor-ngidul, ngetan-ngulon. Selamat menyimak, dan memberi komentar.
Sekian dulu obrolan dari Wonogiri. Mohon maaf bila ada kesalahan. Selamat terus mengamuk, menulis surat-surat pembaca bersemboyankan Episto ergo sum. Saya menulis surat pembaca karena saya ada. Sungguh, karena para pembaca dan dunia terus membutuhkan Anda.
Sukses untuk Anda semua.
Wonogiri, 17-18 September 2004
Friday, September 17, 2004
Gempa 10,5 Skala Richter, Kenangan Kraton Solo dan Matinya Picasso
Oleh : Bambang Haryanto
Esai Epistoholica No. 08/September 2004
Home : Epistoholik Indonesia
MEGA MELENGOS. Ketika Amerika Serikat diserang teroris 11 September 2001, Presiden Bush lagi membacakan cerita untuk anak-anak di sebuah sekolah dasar. Peristiwa bernuansa edukatif itu melintas di benak saya ketika hari Rabu, 1/9/2004, saya terpaksa berada di tengah keriuhan anak-anak pelajar menyambut kedatangan Presiden di Wonogiri. Saya sebut terpaksa karena tujuan saya hari itu adalah ke perpustakaan, yang gedungnya dekat lokasi pendaratan helikopter Ibu Mega dan rombongan.
Di sekitar perpustakaan saat itu puluhan pelajar SMP Negeri 3 Wonogiri, sekolah keponakan saya Yuriko Novean Mahendra duduk di kelas I-E, berkumpul. Tetapi justru karena kerumunan pelajar itu, sebenarnya ironis, perpustakaan terpaksa ditutup. Bisa dimaklumi, petugas perpustakaan pimpinan Drs. Samino kuatir koleksinya teracak-acak karena membeludaknya pengunjung, sementara sistem layanannya terbuka di mana pembaca bisa langsung bisa ke rak tempat koleksi buku ditata.
Menunggu Mega menjemukan.Saya menguping, beberapa pelajar perempuan asyik ngobrol tentang handphone. Hebat juga, pikir saya. Maklum, saya tidak punya handphone. Lainnya setengah hati membaca-baca komik Jepang. Atau bertukar kertas tulis warna-warni, yang digunakan untuk menulis biodata, kesan, puisi dan coretan seni, di mana saya dulu membuatnya dengan menuangkan tinta dan lalu meniupnya, hasilnya wujud aneh, mirip ink blot dari tes Roscharch.
Di sisi lokasi lain, dua kubu gerombolan pelajar laki-laki “bertempur”, saling ganti menyerang dengan amunisi botol plastik yang ditendang-tendang. Aktivitas lainnya, jajan. Ada yang membeli kue bulan, es krim, ada pula kue biting, bentuknya seperti french fries tetapi hanya sebesar lidi.
Kedatangan presiden terlambat dua jam. Lalu ketika mobil rombongan presiden lewat, berjalan pelahan, para pelajar pun melambaikan bendera merah-putih. Saya yang berjarak 2-3 meter bisa melihat jelas presiden berada di balik kaca bening Range Rover hitam, bernomor polisi Indonesia-1. Ia duduk di tepi kiri, jadi strategis dan jelas dalam tatapan barisan pelajar sebaris dengan tempat saya berdiri. Tetapi Mega tidak melihat kami. Sepertinya sengaja melengos dan nampak setengah hati untuk melambai ke arah sisi kanan jalan. Perjumpaan sekilas dengan presiden yang tidak mengguratkan pesan.
Ketika konvoi mobil berlalu, saya berpikir, para pelajar yang sudah ramai-ramai membolos, seharian tidak belajar, lalu adakah makna edukatif dari peristiwa sekilasan seperti ini ? Pengerahan pelajar untuk kegiatan seremonial semacam, bukankah ini hanya pemborosan belaka ?
KAMPANYE MENULIS. Hari itu saya gagal ke perpustakaan. Perpustakaan tidak dibuka. Saya pulang dan di benak ini terjalin angan-angan : untuk memberi imbangan atas aksi bolos resmi ratusan pelajar itu, tidak bisakah digagas oleh kalangan guru adanya kegiatan edukatif untuk mereka yang menyertai kegiatan seremonial semacam ini ?
Gagasan yang segera terlintas, anak-anak itu bisa diwajibkan membuat karangan, baik prosa, puisi atau surat mengenai peristiwa kedatangan presiden di kotanya. Tugas itu secara tidak langsung mendorong mereka (juga guru) mencari tahu, dari koran atau sumber lainnya, mengenai misalnya apa maksud dan tujuan kunjungan presiden ke daerahnya itu. Mereka pun dapat menuliskan kesan dan pendapat mereka tentang apa yang terjadi dan rasakan. Karya-karya mereka dipajang di sekolah, karya yang terbaik diumumkan dalam upacara sekolah.
Angan-angan saya pun kemudian meloncat ke Istana Negara. Kalau saja saya bertugas di bidang protokol kepresidenan, saya akan selalu menghimpun data sekolah-sekolah mana saja yang menyambut konvoi presiden tadi. Dengan kertas surat berkop resmi kepresidenan, saya akan menulis surat ke masing-masing sekolah itu berisikan salam dari presiden dan ucapan terima kasih atas sambutan mereka. Bolehlah ditambah kata-kata penyemangat, selamat tekun belajar dan tegar menyongsong Indonesia masa depan. Aksi ini tidak membutuhkan biaya mahal, tetapi bernilai sebagai gesture, sebagai tanda, bahwa presiden juga hirau terhadap pengorbanan para pelajar yang menyambutnya. Itulah, angan-angan saya, membumikan perhatian presiden menjadi aksi yang bernilai pendidikan.
BECAK INTERNET. Saya tak tahu apa angan-angan saya itu kelak bisa jadi kenyataan. Tetapi memasuki September, dan mudah dibayangi kenangan buruk tragedi serangan teroris 11 September 2001 di AS dan kekagetan, juga kepedihan, karena terjadinya teror bom di depan Kedutaan Besar Australia di Jakarta, 9 September 2004, entah kenapa, saya lagi suka menulis topik-topik pendidikan dalam surat pembaca.
Antara lain tentang inspirasi keberadaan becak Internet di India. Harian Jawapos (18/8/2004) menulis, di Bithoor, Uttar Pradesh, India Utara, becak istimewa. Becak Internet. Bentuknya mirip kereta penjual roti kelilingan itu,tetapi yang diangkut di dalamnya adalah seperangkat komputer yang mampu mengakses Internet tanpa kabel dan berkecepatan tinggi. Seperti halnya perpustakaan keliling yang menggunakan mobil (di Wonogiri belum ada), becak Internet yang djuluki infothela (gerobak informasi) itu keliling dan mangkal di sekolah-sekolah atau balai desa. Tujuannya untuk meningkatkan pendidikan, akses informasi kesehatan dan pertanian, bagi penduduk di daerah pedesaaan.
India memang terkenal agresif mengenalkan rakyatnya manfaat teknologi informasi (TI). Kalau di Indonesia rakyatnya mengalir ke luar negeri untuk jadi TKI, sering jadi korban tindak kekerasan, pemerasan sampai pemerkosaan, di India justru pekerjaan dari negara maju yang mengalir kesana. Dikenal dengan istilah outsourcing, beberapa perusahaan TI asal AS memindahkan sebagian unit kerjanya untuk dikerjakan oleh pekerja India secara jarak jauh. Kalau Anda menelpon perusahaan yang bermarkas di AS, yang bakal menjawab dan melayani Anda adalah orang India dan bertempat tinggal di India pula. Itulah contoh kelebihan dari TI, di mana kini orang bisa bekerja dari mana saja di belahan bumi ini.
Contoh lain, di Garut, seorang guru Deny Suwarja dan muridnya dari SMP Cibatu, juga aktif menggunakan Internet. Mereka dari desanya berkolaborasi dengan seorang guru, Chona L. Maderal dan muridnya dari Makati Science High School, Filipina, menggalang proyek bersama untuk dipresentasikan dalam Konferensi IV Asia Europe Classroom di Gromitz, Jerman, 27 September-1 Oktober 2004 mendatang. Pak Deny yang hebat itu dan para muridnya setiap kali harus berkunjung ke warnet, yang jauhnya 6 kilometer dari desanya. Ujar beliau, seperti dikutip Kompas (30/7/2004) : “kelak anak-anak akan banyak belajar sendiri dengan menggunakan Internet”
Betul, Pak Deny. Internet membawa perubahan dahsyat dalam pendidikan. Seperti kata begawan digital dari Massachusetts Institute of Technology (MIT), Nicholas Negroponte, Internet adalah gempa bumi berkekuatan 10,5 skala Richter yang mengguncang sendi-sendi ekonomi dan sosial.
Tetapi seberapa banyak kalangan guru–guru kita sudah melek Internet dan tidak gaptek, alias gagap teknologi ? Juga mampu secara proaktif dan produktif memanfaatkan keguncangan dahsyat yang sedang terjadi ini hingga dapat memberi manfaat besar bagi sekolah, siswa dan diri mereka sendiri ? Kisah gerobak info dari India dan pandangan masa depan yang hebat dari Pak Deny Suwarja tadi, semoga mampu menjadi inspirasi bagi kita semua.
GURU ORANG JAWA DI SURINAME. Topik Internet dan pendidikan, rupanya keterusan untuk saya tulis di surat pembaca. Gara-garanya dipicu berita di harian Suara Merdeka (25/8/2004) bahwa Sekolah Menengah Atas Negeri I Solo baru saja meluncurkan situs webnya di Internet.
Saya tulis, bahwa upaya maju ini pantas menjadi pemacu sekolah lain di Solo dan sekitarnya, walau pelbagai sekolah di Bandung sudah memulainya sejak 1998. Sebagai pemerhati Internet dan pengelola lebih dari 30 situs blog warga Epistoholik Indonesia (http://episto.blogspot.com) di Internet, saya berharap pendayagunaan Internet untuk pendidikan itu menghormati fitrah Internet itu sendiri.
Sebab bila pendekatannya masih tradisional, atas-bawah, top-down, di mana guru atau penguasa pendidikan menjadi fihak yang superior, merasa paling tahu, maka hal itu hanya akan menyerimpung kedigdayaan Internet itu sendiri. Demikian pula pemanfaatan Internet hanya untuk papan pengumuman elektronik atau ratusan ribu situs web yang ada itu hanya sebagai sumber informasi, maka nilai edukasinya tidak pula maksimal.
Hemat saya, pelajar kita, dari SD s.d PT, harus menjadi kreator, memproduksi informasi dan mengeksploitasi kelebihan Internet yang mendunia itu. Karena Internet ampuh sebagai sarana collaborative learning, misalnya bisa digagas ada sekelompok siswa membuat proyek pengajaran bahasa Jawa. Mereka mengajar secara interaktif untuk murid-muridnya, misalnya anak-cucu orang Jawa yang tinggal di Suriname, di Liuzhov Propinsi Guanxi China Selatan, Patani di Thailand Selatan, juga mereka yang tinggal di Jakarta atau Jayapura. Sementara kelompok lain mengajar bahasa Indonesia untuk murid-murid SMA di Australia, Meksiko atau Rusia.
Majalah TIME (5/1995) ketika memuat tulisan pemanfaatan Internet di sekolah sebagai revolusi pembelajaran, memberi contoh tentang guru Malcolm Thompson dari Sekolah Dalton di New York, ketika mengajarkan astronomi. Tujuh komputer di kelas itu secara real time menayangkan jagat raya hasil amatan teleskop Observatorium Palomar di California. Dengan bantuan piranti lunak, para murid diminta memilih tiga bintang dan menghitung kekuatan cahaya serta suhunya. Intinya : para pelajar itu tidak lagi belajar astronomi, melainkan mereka tampil sebagai astronom itu sendiri !
Menjadikan para pelajar sebagai pengajar, kreator dan menjadi pelaku aktif, merupakan metode terampuh guna memacu penyerapan mereka terhadap materi pelajaran. Metode ini jauh lebih menyenangkan, memorable, ketimbang metode suap, beo dan hapalan yang merajalela di atmosfir sekolah kita selama ini.
GUSTI MUNG DAN SENYUM KENIL. Surat pembaca saya bertopik pendidikan, juga saya tulis di ujung bulan Agustus. Dimuat di Harian Kompas edisi Jawa Tengah (31/8/2004), judulnya : Bantai Kreativitas Anak Kita !
Sebagai mantan mentor melukis anak-anak ( sekaligus penggagas dan kepala sekolah) di Gallery Mandungan Muka Kraton Surakarta, saya prihatin atas maraknya kegiatan seni lukis anak-anak yang tidak terkait dengan pengembangan kreativitas anak-anak. Kegiatan itu adalah lomba lukis anak-anak dan lomba mewarnai yang dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan acara non-seni, entah dikaitkan dengan peringatan hari nasional tertentu, peresmian gedung, perintah birokrat, ulang tahun perusahaan atau peluncuran produk tertentu.
Sekadar kilas balik, bangunan Gallery Mandungan yang nama aslinya Kori Kamandungan, berada di sebelah timur laut depan Kraton Surakarta. Tahun 1977-1980, saya pernah menongkronginya saat jadi aktivis seni dan bikin pelbagai aktivitas kesenian dan pendidikan ketika fasilitas gedung itu dipinjamkan Kraton kepada Pusat Kebudayaan Jawa Tengah (PKJT).
Di galeri itu kita pernah mengadakan lomba majalah dinding pelajar SLTA Surakarta (1977-1998), memamerkan majalah dinding SMA Yogyakarta, menyelenggarakan bimbingan melukis anak-anak (1979-1981), mengadakan lomba lukis anak-anak se-Jawa Tengah Anugerah Samskara Pinastika 1980-1981 (nama anugerah ini artinya imajinasi yang terpilih, saya temukan ketika dipinjami kamus bahasa Jawa oleh teman saya Harsoyo, mahasiswa Sastra Jawa UNS, kini bekerja di Taman Budaya Surakarta”), pemutaran film Perancis, dan berkali-kali pameran lukisan.
Workshop melukis anak-anak didirikan bersama rekan mahasiswa Seni Rupa UNS, Anang Syahroni, Putut Handoko Pramono, dan Wahyu Soekirno. Saya sendiri bukan berlatar belakang seni, karena hanya jebolan Fakultas Keguruan Teknik (Mesin) UNS. Teman sekuliah yang juga sering nongkrong, Yohanes Yantono (kini empu keris di STSI) dan Martinus Driyarkara (kini di Dian desa, Yogya). Cabang workshop ini ada di Lanuma Adisumarmo, kemudian juga di kompleks Polri Gendengan. Di antara ribuan murid melukis itu adalah siswa-siwa SD 15 Mangkubumen, asuhan Bu Rolly. Termasuk Krisandari (“apa gunanya tulang, nDari ?”), yang cantik, adik terkecil dari Nina Akbar Tanjung.
Aktivitas lainnya, kalau malam, mengamuk dan berduel dalam permainan scrabble. Sering sampai pagi. Semboyan kita, cara terbaik untuk bisa bangun pagi adalah bila semalaman tidak tidur. Musuh abadi saya antara lain, Prof. Dr. Heribertus Sutopo, Conny Suprapto dan Narsen Afatara ( semuanya dosen Seni Rupa UNS), Murtidjono (saat itu mahasiswa Filsafat UGM dan kini Ketua TBS), H. S. Marsudi (tokoh ketoprak dan birokrat di Pemkot Solo, almarhum), Harsoyo, juga Broto (saat itu mahasiswa FE-UGM).
Tak kalah menarik, secara sambil lalu, dari galeri itu kita bisa memantau untuk mengenali putra-putri Keraton Solo. Tiap pagi melihat Gusti Mung (Koes Murtiyah) dan Koes Indriyah dijemput mobil Colt untuk berangkat ke SMA IV, juga Koes Sabandiyah (kini Pemred Tabloid Nova, adik dari Tedjowoelan) yang berseragam SMA Regina Pacis. Sedang malam minggu, melihat Gusti Koes Raspiyah (kakak Tedjowoelan, saya mengenalnya karena sama-sama tergabung dalam klub Tekssi, Teknik dan Sastra Inggris), diantar pulang oleh cowoknya dengan mengendarai Vespa. Calon mantu keraton ini nampak sering memberi tips kepada abdi dalem, penjaga yang membuka-tutup lawang gapit, pintu gerbang kraton, melewati jam 10 malam.
Yang juga lewat dan sering melambai dengan senyum menawan adalah “Kenil”, putri Pak Panji Mloyosuman yang terkenal, seragamnya SMA Regina Pacis. Kakak “Kenil” yang terkenal karena membintang film garapan Slamet Raharjo, Rembulan dan Matahari, adalah Drs. R.M. Resi Budhisatwo Widya Sasongko SH, Msi. Ia di lingkungan pelajar SMA Negeri I Solo dan penduduk Baluwarti, apalagi yang sering nongkrong di warung wedangan Pak Tego, dikenal dengan sebutan Jago. Saya ikut sedih membaca berita di Suara Merdeka (20/7/2004), bahwa Jago yang mantan Camat Gatak Sukoharjo itu meninggal dunia.
DUA PULUH JUTA OTAK TERANCAM SIA-SIA !. Kembali ke obrolan mengenai seni lukis anak-anak. Menurut saya dan dalam pandangan pengembangan kreativitas anak-anak, lomba seperti itu berpotensi merusak kreativitas dan rasa percaya diri anak-anak. Apalagi hal itu terjadi dalam masa emas, masa-masa paling berkesan dalam hidup dan pertumbuhan mereka. Dampak negatifnya akan tergurat sepanjang hayat.
Aktivitas melukis yang seharusnya mendorong anak-anak berkreasi bebas, dalam lomba mewarnai mereka didorong untuk berkompromi. Mereka cenderung memberi warna sesuai patron, misalnya tokoh kartun yang ia kenal, gambar pemandangan yang bercorak realis, atau bahkan warna logo suatu produk atau perusahaan yang sudah baku. Tak tersisa lagi untuk pengembaraan imajinasi dan dorongan mencipta bagi mereka.
Dr. Ashfaq Ishaq dari ICAF (International Child Art Foundation) di AS menulis, di Indonesia terdapat 20 juta anak-anak (1998) yang beresiko besar terkikis habis daya kreativitasnya, risk of diminishing creativity, ketika bersekolah, pada usia 8-12 tahun. Ia sebutkan, anak-anak itu ketika duduk di kelas 4 SD mengalami apa yang disebut sebagai fourth-grade slump, karena cenderung mulai berkompromi, tidak berani lagi ambil resiko, takut bermain-main ide dan luntur spontanitasnya. Cara pencegahannya adalah, dengan memaksimalkan usia sebelum 8 tahun untuk ditumbuhsuburkan daya-daya kreativitasnya secara benar.
Merujuk rekomendasi ICAF di atas, maka sungguh menyedihkan dan juga mengerikan betapa kita secara besar-besaran terus melakukan pembantaian terhadap daya-daya kreativitas anak-anak kita, justru sebelum mereka memasuki bangku TK. Kalau jutaan anak itu terbantai peluang tumbuh kembang kreativitasnya, maka bayangkanlah betapa ribu calon pemenang Nobel, calon Picasso, Vincent van Gogh, Einstein atau Stephen Hawking, Septinus George Saa, Affandi atau Widayat, telah terbunuh sia-sia oleh lingkungannya dan kita semua justru tidak menyadarinya.
Sayangnya pula, fenomena kritis semacam itu tak pernah digubris oleh kalangan seniman, akademisi, mahasiswa seni rupa atau pun guru-guru seni rupa. Bagaimana dengan Anda ?
Wonogiri, 17 September 2004
Esai Epistoholica No. 08/September 2004
Home : Epistoholik Indonesia
MEGA MELENGOS. Ketika Amerika Serikat diserang teroris 11 September 2001, Presiden Bush lagi membacakan cerita untuk anak-anak di sebuah sekolah dasar. Peristiwa bernuansa edukatif itu melintas di benak saya ketika hari Rabu, 1/9/2004, saya terpaksa berada di tengah keriuhan anak-anak pelajar menyambut kedatangan Presiden di Wonogiri. Saya sebut terpaksa karena tujuan saya hari itu adalah ke perpustakaan, yang gedungnya dekat lokasi pendaratan helikopter Ibu Mega dan rombongan.
Di sekitar perpustakaan saat itu puluhan pelajar SMP Negeri 3 Wonogiri, sekolah keponakan saya Yuriko Novean Mahendra duduk di kelas I-E, berkumpul. Tetapi justru karena kerumunan pelajar itu, sebenarnya ironis, perpustakaan terpaksa ditutup. Bisa dimaklumi, petugas perpustakaan pimpinan Drs. Samino kuatir koleksinya teracak-acak karena membeludaknya pengunjung, sementara sistem layanannya terbuka di mana pembaca bisa langsung bisa ke rak tempat koleksi buku ditata.
Menunggu Mega menjemukan.Saya menguping, beberapa pelajar perempuan asyik ngobrol tentang handphone. Hebat juga, pikir saya. Maklum, saya tidak punya handphone. Lainnya setengah hati membaca-baca komik Jepang. Atau bertukar kertas tulis warna-warni, yang digunakan untuk menulis biodata, kesan, puisi dan coretan seni, di mana saya dulu membuatnya dengan menuangkan tinta dan lalu meniupnya, hasilnya wujud aneh, mirip ink blot dari tes Roscharch.
Di sisi lokasi lain, dua kubu gerombolan pelajar laki-laki “bertempur”, saling ganti menyerang dengan amunisi botol plastik yang ditendang-tendang. Aktivitas lainnya, jajan. Ada yang membeli kue bulan, es krim, ada pula kue biting, bentuknya seperti french fries tetapi hanya sebesar lidi.
Kedatangan presiden terlambat dua jam. Lalu ketika mobil rombongan presiden lewat, berjalan pelahan, para pelajar pun melambaikan bendera merah-putih. Saya yang berjarak 2-3 meter bisa melihat jelas presiden berada di balik kaca bening Range Rover hitam, bernomor polisi Indonesia-1. Ia duduk di tepi kiri, jadi strategis dan jelas dalam tatapan barisan pelajar sebaris dengan tempat saya berdiri. Tetapi Mega tidak melihat kami. Sepertinya sengaja melengos dan nampak setengah hati untuk melambai ke arah sisi kanan jalan. Perjumpaan sekilas dengan presiden yang tidak mengguratkan pesan.
Ketika konvoi mobil berlalu, saya berpikir, para pelajar yang sudah ramai-ramai membolos, seharian tidak belajar, lalu adakah makna edukatif dari peristiwa sekilasan seperti ini ? Pengerahan pelajar untuk kegiatan seremonial semacam, bukankah ini hanya pemborosan belaka ?
KAMPANYE MENULIS. Hari itu saya gagal ke perpustakaan. Perpustakaan tidak dibuka. Saya pulang dan di benak ini terjalin angan-angan : untuk memberi imbangan atas aksi bolos resmi ratusan pelajar itu, tidak bisakah digagas oleh kalangan guru adanya kegiatan edukatif untuk mereka yang menyertai kegiatan seremonial semacam ini ?
Gagasan yang segera terlintas, anak-anak itu bisa diwajibkan membuat karangan, baik prosa, puisi atau surat mengenai peristiwa kedatangan presiden di kotanya. Tugas itu secara tidak langsung mendorong mereka (juga guru) mencari tahu, dari koran atau sumber lainnya, mengenai misalnya apa maksud dan tujuan kunjungan presiden ke daerahnya itu. Mereka pun dapat menuliskan kesan dan pendapat mereka tentang apa yang terjadi dan rasakan. Karya-karya mereka dipajang di sekolah, karya yang terbaik diumumkan dalam upacara sekolah.
Angan-angan saya pun kemudian meloncat ke Istana Negara. Kalau saja saya bertugas di bidang protokol kepresidenan, saya akan selalu menghimpun data sekolah-sekolah mana saja yang menyambut konvoi presiden tadi. Dengan kertas surat berkop resmi kepresidenan, saya akan menulis surat ke masing-masing sekolah itu berisikan salam dari presiden dan ucapan terima kasih atas sambutan mereka. Bolehlah ditambah kata-kata penyemangat, selamat tekun belajar dan tegar menyongsong Indonesia masa depan. Aksi ini tidak membutuhkan biaya mahal, tetapi bernilai sebagai gesture, sebagai tanda, bahwa presiden juga hirau terhadap pengorbanan para pelajar yang menyambutnya. Itulah, angan-angan saya, membumikan perhatian presiden menjadi aksi yang bernilai pendidikan.
BECAK INTERNET. Saya tak tahu apa angan-angan saya itu kelak bisa jadi kenyataan. Tetapi memasuki September, dan mudah dibayangi kenangan buruk tragedi serangan teroris 11 September 2001 di AS dan kekagetan, juga kepedihan, karena terjadinya teror bom di depan Kedutaan Besar Australia di Jakarta, 9 September 2004, entah kenapa, saya lagi suka menulis topik-topik pendidikan dalam surat pembaca.
Antara lain tentang inspirasi keberadaan becak Internet di India. Harian Jawapos (18/8/2004) menulis, di Bithoor, Uttar Pradesh, India Utara, becak istimewa. Becak Internet. Bentuknya mirip kereta penjual roti kelilingan itu,tetapi yang diangkut di dalamnya adalah seperangkat komputer yang mampu mengakses Internet tanpa kabel dan berkecepatan tinggi. Seperti halnya perpustakaan keliling yang menggunakan mobil (di Wonogiri belum ada), becak Internet yang djuluki infothela (gerobak informasi) itu keliling dan mangkal di sekolah-sekolah atau balai desa. Tujuannya untuk meningkatkan pendidikan, akses informasi kesehatan dan pertanian, bagi penduduk di daerah pedesaaan.
India memang terkenal agresif mengenalkan rakyatnya manfaat teknologi informasi (TI). Kalau di Indonesia rakyatnya mengalir ke luar negeri untuk jadi TKI, sering jadi korban tindak kekerasan, pemerasan sampai pemerkosaan, di India justru pekerjaan dari negara maju yang mengalir kesana. Dikenal dengan istilah outsourcing, beberapa perusahaan TI asal AS memindahkan sebagian unit kerjanya untuk dikerjakan oleh pekerja India secara jarak jauh. Kalau Anda menelpon perusahaan yang bermarkas di AS, yang bakal menjawab dan melayani Anda adalah orang India dan bertempat tinggal di India pula. Itulah contoh kelebihan dari TI, di mana kini orang bisa bekerja dari mana saja di belahan bumi ini.
Contoh lain, di Garut, seorang guru Deny Suwarja dan muridnya dari SMP Cibatu, juga aktif menggunakan Internet. Mereka dari desanya berkolaborasi dengan seorang guru, Chona L. Maderal dan muridnya dari Makati Science High School, Filipina, menggalang proyek bersama untuk dipresentasikan dalam Konferensi IV Asia Europe Classroom di Gromitz, Jerman, 27 September-1 Oktober 2004 mendatang. Pak Deny yang hebat itu dan para muridnya setiap kali harus berkunjung ke warnet, yang jauhnya 6 kilometer dari desanya. Ujar beliau, seperti dikutip Kompas (30/7/2004) : “kelak anak-anak akan banyak belajar sendiri dengan menggunakan Internet”
Betul, Pak Deny. Internet membawa perubahan dahsyat dalam pendidikan. Seperti kata begawan digital dari Massachusetts Institute of Technology (MIT), Nicholas Negroponte, Internet adalah gempa bumi berkekuatan 10,5 skala Richter yang mengguncang sendi-sendi ekonomi dan sosial.
Tetapi seberapa banyak kalangan guru–guru kita sudah melek Internet dan tidak gaptek, alias gagap teknologi ? Juga mampu secara proaktif dan produktif memanfaatkan keguncangan dahsyat yang sedang terjadi ini hingga dapat memberi manfaat besar bagi sekolah, siswa dan diri mereka sendiri ? Kisah gerobak info dari India dan pandangan masa depan yang hebat dari Pak Deny Suwarja tadi, semoga mampu menjadi inspirasi bagi kita semua.
GURU ORANG JAWA DI SURINAME. Topik Internet dan pendidikan, rupanya keterusan untuk saya tulis di surat pembaca. Gara-garanya dipicu berita di harian Suara Merdeka (25/8/2004) bahwa Sekolah Menengah Atas Negeri I Solo baru saja meluncurkan situs webnya di Internet.
Saya tulis, bahwa upaya maju ini pantas menjadi pemacu sekolah lain di Solo dan sekitarnya, walau pelbagai sekolah di Bandung sudah memulainya sejak 1998. Sebagai pemerhati Internet dan pengelola lebih dari 30 situs blog warga Epistoholik Indonesia (http://episto.blogspot.com) di Internet, saya berharap pendayagunaan Internet untuk pendidikan itu menghormati fitrah Internet itu sendiri.
Sebab bila pendekatannya masih tradisional, atas-bawah, top-down, di mana guru atau penguasa pendidikan menjadi fihak yang superior, merasa paling tahu, maka hal itu hanya akan menyerimpung kedigdayaan Internet itu sendiri. Demikian pula pemanfaatan Internet hanya untuk papan pengumuman elektronik atau ratusan ribu situs web yang ada itu hanya sebagai sumber informasi, maka nilai edukasinya tidak pula maksimal.
Hemat saya, pelajar kita, dari SD s.d PT, harus menjadi kreator, memproduksi informasi dan mengeksploitasi kelebihan Internet yang mendunia itu. Karena Internet ampuh sebagai sarana collaborative learning, misalnya bisa digagas ada sekelompok siswa membuat proyek pengajaran bahasa Jawa. Mereka mengajar secara interaktif untuk murid-muridnya, misalnya anak-cucu orang Jawa yang tinggal di Suriname, di Liuzhov Propinsi Guanxi China Selatan, Patani di Thailand Selatan, juga mereka yang tinggal di Jakarta atau Jayapura. Sementara kelompok lain mengajar bahasa Indonesia untuk murid-murid SMA di Australia, Meksiko atau Rusia.
Majalah TIME (5/1995) ketika memuat tulisan pemanfaatan Internet di sekolah sebagai revolusi pembelajaran, memberi contoh tentang guru Malcolm Thompson dari Sekolah Dalton di New York, ketika mengajarkan astronomi. Tujuh komputer di kelas itu secara real time menayangkan jagat raya hasil amatan teleskop Observatorium Palomar di California. Dengan bantuan piranti lunak, para murid diminta memilih tiga bintang dan menghitung kekuatan cahaya serta suhunya. Intinya : para pelajar itu tidak lagi belajar astronomi, melainkan mereka tampil sebagai astronom itu sendiri !
Menjadikan para pelajar sebagai pengajar, kreator dan menjadi pelaku aktif, merupakan metode terampuh guna memacu penyerapan mereka terhadap materi pelajaran. Metode ini jauh lebih menyenangkan, memorable, ketimbang metode suap, beo dan hapalan yang merajalela di atmosfir sekolah kita selama ini.
GUSTI MUNG DAN SENYUM KENIL. Surat pembaca saya bertopik pendidikan, juga saya tulis di ujung bulan Agustus. Dimuat di Harian Kompas edisi Jawa Tengah (31/8/2004), judulnya : Bantai Kreativitas Anak Kita !
Sebagai mantan mentor melukis anak-anak ( sekaligus penggagas dan kepala sekolah) di Gallery Mandungan Muka Kraton Surakarta, saya prihatin atas maraknya kegiatan seni lukis anak-anak yang tidak terkait dengan pengembangan kreativitas anak-anak. Kegiatan itu adalah lomba lukis anak-anak dan lomba mewarnai yang dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan acara non-seni, entah dikaitkan dengan peringatan hari nasional tertentu, peresmian gedung, perintah birokrat, ulang tahun perusahaan atau peluncuran produk tertentu.
Sekadar kilas balik, bangunan Gallery Mandungan yang nama aslinya Kori Kamandungan, berada di sebelah timur laut depan Kraton Surakarta. Tahun 1977-1980, saya pernah menongkronginya saat jadi aktivis seni dan bikin pelbagai aktivitas kesenian dan pendidikan ketika fasilitas gedung itu dipinjamkan Kraton kepada Pusat Kebudayaan Jawa Tengah (PKJT).
Di galeri itu kita pernah mengadakan lomba majalah dinding pelajar SLTA Surakarta (1977-1998), memamerkan majalah dinding SMA Yogyakarta, menyelenggarakan bimbingan melukis anak-anak (1979-1981), mengadakan lomba lukis anak-anak se-Jawa Tengah Anugerah Samskara Pinastika 1980-1981 (nama anugerah ini artinya imajinasi yang terpilih, saya temukan ketika dipinjami kamus bahasa Jawa oleh teman saya Harsoyo, mahasiswa Sastra Jawa UNS, kini bekerja di Taman Budaya Surakarta”), pemutaran film Perancis, dan berkali-kali pameran lukisan.
Workshop melukis anak-anak didirikan bersama rekan mahasiswa Seni Rupa UNS, Anang Syahroni, Putut Handoko Pramono, dan Wahyu Soekirno. Saya sendiri bukan berlatar belakang seni, karena hanya jebolan Fakultas Keguruan Teknik (Mesin) UNS. Teman sekuliah yang juga sering nongkrong, Yohanes Yantono (kini empu keris di STSI) dan Martinus Driyarkara (kini di Dian desa, Yogya). Cabang workshop ini ada di Lanuma Adisumarmo, kemudian juga di kompleks Polri Gendengan. Di antara ribuan murid melukis itu adalah siswa-siwa SD 15 Mangkubumen, asuhan Bu Rolly. Termasuk Krisandari (“apa gunanya tulang, nDari ?”), yang cantik, adik terkecil dari Nina Akbar Tanjung.
Aktivitas lainnya, kalau malam, mengamuk dan berduel dalam permainan scrabble. Sering sampai pagi. Semboyan kita, cara terbaik untuk bisa bangun pagi adalah bila semalaman tidak tidur. Musuh abadi saya antara lain, Prof. Dr. Heribertus Sutopo, Conny Suprapto dan Narsen Afatara ( semuanya dosen Seni Rupa UNS), Murtidjono (saat itu mahasiswa Filsafat UGM dan kini Ketua TBS), H. S. Marsudi (tokoh ketoprak dan birokrat di Pemkot Solo, almarhum), Harsoyo, juga Broto (saat itu mahasiswa FE-UGM).
Tak kalah menarik, secara sambil lalu, dari galeri itu kita bisa memantau untuk mengenali putra-putri Keraton Solo. Tiap pagi melihat Gusti Mung (Koes Murtiyah) dan Koes Indriyah dijemput mobil Colt untuk berangkat ke SMA IV, juga Koes Sabandiyah (kini Pemred Tabloid Nova, adik dari Tedjowoelan) yang berseragam SMA Regina Pacis. Sedang malam minggu, melihat Gusti Koes Raspiyah (kakak Tedjowoelan, saya mengenalnya karena sama-sama tergabung dalam klub Tekssi, Teknik dan Sastra Inggris), diantar pulang oleh cowoknya dengan mengendarai Vespa. Calon mantu keraton ini nampak sering memberi tips kepada abdi dalem, penjaga yang membuka-tutup lawang gapit, pintu gerbang kraton, melewati jam 10 malam.
Yang juga lewat dan sering melambai dengan senyum menawan adalah “Kenil”, putri Pak Panji Mloyosuman yang terkenal, seragamnya SMA Regina Pacis. Kakak “Kenil” yang terkenal karena membintang film garapan Slamet Raharjo, Rembulan dan Matahari, adalah Drs. R.M. Resi Budhisatwo Widya Sasongko SH, Msi. Ia di lingkungan pelajar SMA Negeri I Solo dan penduduk Baluwarti, apalagi yang sering nongkrong di warung wedangan Pak Tego, dikenal dengan sebutan Jago. Saya ikut sedih membaca berita di Suara Merdeka (20/7/2004), bahwa Jago yang mantan Camat Gatak Sukoharjo itu meninggal dunia.
DUA PULUH JUTA OTAK TERANCAM SIA-SIA !. Kembali ke obrolan mengenai seni lukis anak-anak. Menurut saya dan dalam pandangan pengembangan kreativitas anak-anak, lomba seperti itu berpotensi merusak kreativitas dan rasa percaya diri anak-anak. Apalagi hal itu terjadi dalam masa emas, masa-masa paling berkesan dalam hidup dan pertumbuhan mereka. Dampak negatifnya akan tergurat sepanjang hayat.
Aktivitas melukis yang seharusnya mendorong anak-anak berkreasi bebas, dalam lomba mewarnai mereka didorong untuk berkompromi. Mereka cenderung memberi warna sesuai patron, misalnya tokoh kartun yang ia kenal, gambar pemandangan yang bercorak realis, atau bahkan warna logo suatu produk atau perusahaan yang sudah baku. Tak tersisa lagi untuk pengembaraan imajinasi dan dorongan mencipta bagi mereka.
Dr. Ashfaq Ishaq dari ICAF (International Child Art Foundation) di AS menulis, di Indonesia terdapat 20 juta anak-anak (1998) yang beresiko besar terkikis habis daya kreativitasnya, risk of diminishing creativity, ketika bersekolah, pada usia 8-12 tahun. Ia sebutkan, anak-anak itu ketika duduk di kelas 4 SD mengalami apa yang disebut sebagai fourth-grade slump, karena cenderung mulai berkompromi, tidak berani lagi ambil resiko, takut bermain-main ide dan luntur spontanitasnya. Cara pencegahannya adalah, dengan memaksimalkan usia sebelum 8 tahun untuk ditumbuhsuburkan daya-daya kreativitasnya secara benar.
Merujuk rekomendasi ICAF di atas, maka sungguh menyedihkan dan juga mengerikan betapa kita secara besar-besaran terus melakukan pembantaian terhadap daya-daya kreativitas anak-anak kita, justru sebelum mereka memasuki bangku TK. Kalau jutaan anak itu terbantai peluang tumbuh kembang kreativitasnya, maka bayangkanlah betapa ribu calon pemenang Nobel, calon Picasso, Vincent van Gogh, Einstein atau Stephen Hawking, Septinus George Saa, Affandi atau Widayat, telah terbunuh sia-sia oleh lingkungannya dan kita semua justru tidak menyadarinya.
Sayangnya pula, fenomena kritis semacam itu tak pernah digubris oleh kalangan seniman, akademisi, mahasiswa seni rupa atau pun guru-guru seni rupa. Bagaimana dengan Anda ?
Wonogiri, 17 September 2004
Thursday, September 02, 2004
MEDIA BARU DAN IMPIAN KAUM EPISTOHOLIK MASA DEPAN
Oleh : Bambang Haryanto
Esai Epistoholica No. 7/September 2004
Home : Epistoholik Indonesia
JOR-JORAN GRATIS. Berita hot diwartakan oleh situs web Kompas Cyber Media/KCM (www.kompas.com), 22/8/2004 : Hotmail akan merilis layanan e-mail berkapasitas 2 GB pada bulan September mendatang. Layanan ini diluncurkan bagi para pelanggan Hotmail dan agar bisa bersaing dengan layanan webmail lainnya.
Banyak pengguna Hotmail, termasuk kalangan bisnis yang memiliki account MSN merasa kapasitas inbox 2 MB di Hotmail sudah tak mencukupi untuk menampung e-mail. Apalagi kini muncul e-mail berkapasitas besar dari Gmail dan Yahoo. Hotmail pun segera memekarkan kapasitas layanan e-mailnya menjadi dua gigabyte yang cukup untuk menampung e-mail, gambar, serta attachment lain. Khusus untuk batas pengiriman attachment, Hotmail menyediakan kapasitas hingga 20 MB.
Microsoft, selaku pemilik layanan Hotmail, juga menjanjikan versi baru Hotmail tak akan berisi iklan dan banner yang mengganggu tampilan. Selain itu, di layanan Hotmail baru tersebut tak ada lagi batasan aktivasi selama 30 hari.
Sebagai pengguna Hotmail (humorline@hotmail), seperti saya ceritakan di Esai Epistoholica No. 04, saya tentu bergembira menyambut peningkatan layanan ini. Bila nanti terjadi, maka layanan email Yahoo yang hanya berkapasitas 100 MB itu akan menjadi anak kerdil di dunia e-mail gratisan. Apalagi layanan karya anak negeri sendiri, Plasa.com yang hanya 10 MB, ibarat gurem di dunia layanan webmail. Tetapi, saya kira, persaingan ke depan akan semakin marak.
PENYAKIT KRONIS INDONESIA. Selain menyimaki berita tentang jor-joran pemberian account email gratis sampai 2 GB oleh Microsoft Corporation di Seattle, AS, sebagai pemilik Hotmail itu, saya telah mem-posting dua surat pembaca ke situs Kompas Cyber Media itu.
Kedua surat tersebut sebenarnya sudah pernah dimuat di Harian Kompas edisi Jawa Tengah. Topiknya tentang pentingnya pengenalan komputer dan Internet untuk kaum lanjut usia dan surat kedua, berisi protes saya terhadap kebiasaan buruk, pembelian tiket pertandingan olahraga yang diberi bonus sebungkus rokok.
Esoknya, 23 Agustus 2004, sambil mem-posting Esai Epistoholica No. 06, saya melongoki situs KCM itu. Kedua surat pembaca saya itu ternyata belum muncul. Ada apa ? Apakah waktu sehari itu kurang cukup bagi Redaksi KCM untuk menentukan sesuatu surat pembaca dapat dimuat ? Apalagi KCM itu media Internet, di mana up date data amat mudah secara elektronik, bahkan harus dilakukan secara real time, seketika, bukan ?
Saya berpikiran, surat saya itu tidak bakal dimuat. Ini dugaan, yang bisa keliru : mungkin karena surat saya tentang pengenalan komputer dan Internet itu dipandang sarat pesan promosi. Karena isinya memang mencantumkan penjelasan kiprah situs blog Epistoholik Indonesia kita. Alamat situsnya, sudah pasti, juga tersaji di sana.
Kalau memang itu yang terjadi, maka jelas hal ini hanya menandakan adanya perbedaan paradigma dalam mengelola suatu media berbasis Internet. Menurut saya, apa yang berlaku pada benak pengelola KCM merupakan penyakit kronis yang rata-rata melanda insan-insan Internet di Indonesia !
KRITIK SITUS AMIEN RAIS. Artikel saya berjudul Internet Sebagai Senjata Kampanye Presiden pernah dimuat pada tanggal 8 Maret 2004 di lembaran Teknologi Informasi Harian Kompas, yang terbit tiap Senin. Lembaran TI itu dijaga oleh wartawan Kompas senior, Rene L. Pattirajawane, yang berbasis di Hongkong.
Sekadar cerita, satu-dua bulan sebelum kirim artikel itu saya pernah bersilaturahmi gagasan dengannya seputar menu sajian halaman TI selama ini. Menurut saya, sajiannya lebih condong memenuhi khalayak pembaca yang oleh konsultan pemasaran TI terkenal Geoffrey Moore dijuluki sebagai early adopter, orang-orang techie yang kecanduan teknologi baru dan mau beresiko mengeluarkan uang untuk memiliki gadget teknologi informasi garda depan. Padahal, menurut saya, harian Kompas yang koran umum itu sebaiknya lebih memperhatikan segmen konsumen teknologi yang disebut sebagai early majority, yang populasinya lebih banyak.
Baiklah, kembali ke artikel saya tentang Internet dan kampanye presiden. Artikel itu mencoba membandingkan pemahaman antara tim sukses kampanye calon presiden John F. Kerry di AS dan tim sukses Amien Rais dalam memanfaatkan Internet sebagai senjata kampanyenya.
Saya kutipkan sebagian : “....situs kampanye tokoh utama PAN ini tidak ubahnya baru mengalihkan media cetak ke dalam bentuk digital. Pemahaman terhadap Internet yang mendasari eksekusinya ini baru mengolah isi (content), tetapi belum mengeksplorasi pentingnya konteks (context) media berbasis Internet.
Pengelola situs ARC (Amien Rais Centre) berasumsi peselancar datang ke situsnya semata-mata untuk membaca berita terbaru mengenai diri Amien Rais. Artikelnya pun kering. Sekadar ilustrasi, kalau di situs John Kerry ada tulisan profil Teresa, istrinya, di situs ARC (Amien Rais Centre) tak ada cerita tentang istri Amien Rais. Eksekusi situs web hanya sebagai koran digital itu mengakibatkan peluang simpatisan untuk ikut menjadi bagian integral isi situs secara signifikan, serius terkendala. Paling-paling hanya boleh memberi komentar untuk sesuatu berita, atau ikut jajak pendapat, yang tidak ubahnya seperti pembaca menulis di kolom surat pembaca di media cetak
Situs web ARC berpeluang tampil sepenuh tenaga bila dilandasi pemahaman terhadap Internet dalam konteks yang tepat. Gregory P. Gerdy, pakar Internet dari Dow Jones, dalam Mary J. Cronin (ed.) The Internet Strategy Handbook : Lessons from the New Frontier of Business (Harvard Business School Press, 1996), menegaskan bahwa situs web merombak proses penerbitan yang selama ini ada.
Dalam penerbitan cetak tradisional, aktivitas penciptaan informasi, produksi, distribusi dan konsumsi informasi, terjadi secara terpisah-pisah. Tetapi di Internet, semua proses itu terintegrasi dalam satu sistem. Terutama harus didaulatnya informasi dari para konsumennya sebagai bagian integral isi situs itu sendiri. Perubahan konteks maha vital inilah yang tidak disadari pengelola situs ARC, juga oleh mayoritas pengelola situs lainnya di Indonesia selama ini”
DIALOG ANTAR KONSTITUEN. Situs web John F. Kerry, lebih agresif pendekatannya. Informasi dari konstituen, atau konsumen situs webnya, justru menjadi bagian integral dari situsnya. Ia bahkan menyebutnya sebagai “situs saya, tetapi ini bukan milik saya pribadi. Ini juga situs milik Anda, membukakan peluang untuk melakukan perubahan bagi tanah air kita demi menjadikan Amerika kembali pada jalurnya, dengan memensiunkan George W. Bush, serta memilih arah benar untuk negara yang sama-sama kita cintai ini !”
Ucapan bahwa situsnya bukan hanya miliknya semata, ditunjukkkan dengan tersajinya link untuk situs web tak resminya, fasilitas chat dan puluhan blog, yaitu situs pribadi berisi jurnal atau catatan harian para pendukungnya di Internet.
Situs blog pendukungnya antara lain arizonaforkerry, AZ4Kerry, CAforKerry2004, cbusforkerry, DCforKerry2004, Democrats-only, fairfaxforkerry, GeorgiaforKerry, johnkerry4president, johnkerrycutthebush2004, tnwomenforkerry sampai veteransforkerry.. Riuhnya para blogger, penulis buku harian, mengisi situs Kerry itu memicu interaksi unik dan kreatif ketika dukungannya tidak hanya sekedar kata-kata di dunia maya.
Dua orang blogger setianya, Tom AZ dari Arizona dan Mark dari Iowa memutuskan berlomba saat mendukung tim basket favoritnya dan sekaligus mendukung gerakan pengumpulan dana Satu Juta Dollar Melalui Internet Bagi John Kerry yang ditutup akhir September 2003. Caranya : ketika tim basket Arizona State Sun Devils dukungan Tom AZ bertanding melawan tim Hawkeyes dari Iowa yang didukung Mark, keduanya sepakat mendonasikan dua dollar untuk setiap angka yang dihasilkan tim yang didukungnya dalam pertandingan tersebut untuk John Kerry.
Ilustrasi tadi menunjukkan John Kerry membuka peluang dan akses agar konstituennya saling berinteraksi dalam mendukung kampanyenya di Internet. Tim sukses Kerry menyadari bahwa kampanye bermedia Internet jauh lebih efektif apabila tidak dijalankan secara monolitis, terpusat, top-down, melainkan justru digerakkan menurut norma Internet sebagai media yang egaliter, yaitu dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Di sinilah kedigdayaan Internet menyelipkan pesan politik yang luhur, bahwa keberhasilan kandidat dalam memanfaatkannya untuk kampanye justru harus memberi peluang dan mendorong konstituennya buka suara, sementara para kandidat itu pun harus pula membuka lebar-lebar telinganya guna menyerap aspirasi dan suara rakyatnya.
DIALOG KENA BLOK. Kasus surat pembaca saya di situs KCM itu mengindikasikan masih banyak media massa cetak dan media online kita justru melakukan blok alias tidak membuka akses bagi konsumennya untuk bisa berinteraksi satu sama lainnya. Sebagai contoh, alamat pengirim surat pembaca tidak dicantumkan secara penuh. Alamat e-mail, disensor. Fenomena ini merupakan langkah salah dalam mengantisipasi masa depan.
Adalah Pablo J. Boczkowski, asisten profesor bidang kajian organisasi dari MIT, dalam bukunya Digitizing the News: Innovation in Online Newspapers (MIT Press, 2004), memaparkan skenario mengenai media online masa depan. Detilnya silakan kunjungi : http://ojr.org/ojr/workplace/1075928349.php
Menurutnya, media baru tidaklah muncrat dari perubahan teknologi yang revolusioner melainkan hasil asimilasi antara struktur dan praktik media lama dengan kemampuan teknis yang tersedia. Inovasi surat kabar online kini prosesnya sedang berlangsung dengan pelbagai kombinasi yang beragam dari kondisi awal dan faktor-faktor lokal yang membimbing penerbit akan menempuh jalur yang berbeda-beda.
Tetapi yang pasti, peranserta pembaca secara online akan merubah definisi apa yang disebut sebagai berita. “Alih-alih bertitik berat kepada pendekatan yang berfokus pada wartawan, journalist-centered, berita dalam sajian online semakin meningkat untuk juga bertitik berat kepada pembaca”, tulis Boczkowski. “Dalam lingkungan online, pembaca memiliki dampak langsung yang lebih besar kepada berita”.
Berita yang semula bertitik berat kepada wartawan, dikomunikasikan secara satu arah atau monolog, bersifat lokal, akan semakin meningkat titik beratnya kepada pembaca, berlangsung dalam percakapan yang majemuk, serta mikro-lokal. Dalam ranah online, pelbagai jenis kelompok aktor akan terjun bermain, memiliki dampak langsung dalam proses produksi berita dibanding selama ini yang tipikal terjadi di ruang-ruang berita media cetak atau pun radio.
FAJAR BARU JURNALISME MADANI. Kecenderungan ke arah sajian berita online yang bertitik berat kepada pembaca/konsumen secara de facto akan memperkokoh sosok gerakan jurnalisme publik atau jurnalisme madani, karena meningkatnya peran yang lebih besar warga dalam proses editorial dan publikasi “semua berita yang ingin diketahui oleh warga”.
Sajian berita yang selama ini secara fundamental bersifat monolog, dimana respons masyarakat hanya sebatas mengisi atau menulis di kolom-kolom surat pembaca (letters to the editor, dalam berita online akan semakin meningkat ragam sumber sekaligus spektrum yang lebih luas perbincangannya.
Liputan secara online untuk sesuatu peristiwa (terutama, walau bukan eksklusif, peristiwa penting) cenderung menyajikan spektrum pendapat, sekaligus secara eksplisit dan implisit terjadi pertukaran antar beragam suara tersebut. Akibatnya, terbukanya sesuatu berita terangkat ke tingkat kontestasi yang lebih tinggi, diekspresikan dalam konflik opini secara langsung atau dalam pandangan beragam yang tidak langsung, dibanding sajian oleh tipikal media tradisional.
Berita sebagai percakapan berakibat pula kepada meningkatnya kesadaran wartawan mengenai titik pandang pembacanya. Hal ini merupakan sebagian dari dampak tumbuhnya kepengarangan bermediakan media baru yang diluncurkan oleh individu, baik terwujud dalam bentuk situs web berita tradisional atau pun yang tidak tradisional seperti weblog atau blog.
WE'VE ONLY JUST BEGUN. Weblog atau blog kini menjadi media kita, kaum epistoholik Indonesia, untuk mengekspresikan diri. Saat ini memang hanya saya sendiri yang menjadi tukang untuk mempublikasikan surat-surat pembaca warga Epstoholik Indonesia., kata Carpenters. Kita baru saja memulainya. Merintis jalan panjang.
Angan-angan saya, kelak setiap sosok epistoholik di masa depan dapat mengelola “surat kabar” atau “buku harian”-nya itu, berupa situs blog mereka sendiri, sebagai corong online untuk menyatakan eksistensinya di muka dunia.
Mereka yang kini sudah terbiasa menyuarakan opini di pelbagai media cetak, dengan media online semoga mereka merasakan kebebasan dan keleluasaan yang lebih optimal dalam menyuarakan opini, pendapat, aspirasi, dan berdialog pula dengan pembaca atau pengelola blog lainnya. Kehadiran media online bakal semakin riuh, sebagai cerminan riuhnya demokrasi.
Perjalanan menuju penyadaran itu, mungkin masih panjang. Banyak kendala. Sekadar ilustrasi, seperti cerita di awal tulisan ini : pada satu sisi kita menikmati kemurahan hati dan kepercayaan sebuah provider e-mail seperti Hotmail, yang bersedia memberikan layanan e-mail gratis sebesar 2 GB kepada setiap mahkluk di jagat ini, tanpa ditanyakan KTP-nya.
Demikian pula kalau Anda membuka account situs blog pada www.blogger.com (seperti situs blog ini), Anda hanya menempuh tiga langkah mudah. Juga waktu yang singkat. Tetapi untuk urusan serupa dengan media online dalam negeri, misalnya untuk membuat blog serupa di situs Indosiar, Anda bakal menghadapi suasana seperti seseorang berwajah Timur Tengah meminta visa untuk berkunjung ke Amerika Serikat.
Francis Fukuyama dalam bukunya Trust : The Social Virtues and the Creation of Prosperity (Free Press, 1995) menegaskan bahwa keberhasilan pembangunan ekonomi suatu bangsa bergantung tidak hanya kepada aplikasi SDM atau akumulasi modal, tetapi juga bergantung kepada derajat bagaimana bangsa itu memperlakukan modal sosial, yaitu kepercayaan (trust).
Indonesia terus saja terpuruk, mungkin karena kepercayaan atau trust adalah sesuatu yang langka pada diri bangsa kita saat ini. Itulah kira-kira juga penyebabnya mengapa dua buah surat pembaca yang paling hanya menghabiskan kapasitas 60-an KB tidak dapat dimuat dalam sebuah media online nasional. Mereka mengelola media baru, tetapi pola pikirnya masih berkarat pada paradigma lama. Mungkin itu pula pola pikir kita yang umum sebagai bangsa ?
Wonogiri, 31 Agustus 2004
Esai Epistoholica No. 7/September 2004
Home : Epistoholik Indonesia
JOR-JORAN GRATIS. Berita hot diwartakan oleh situs web Kompas Cyber Media/KCM (www.kompas.com), 22/8/2004 : Hotmail akan merilis layanan e-mail berkapasitas 2 GB pada bulan September mendatang. Layanan ini diluncurkan bagi para pelanggan Hotmail dan agar bisa bersaing dengan layanan webmail lainnya.
Banyak pengguna Hotmail, termasuk kalangan bisnis yang memiliki account MSN merasa kapasitas inbox 2 MB di Hotmail sudah tak mencukupi untuk menampung e-mail. Apalagi kini muncul e-mail berkapasitas besar dari Gmail dan Yahoo. Hotmail pun segera memekarkan kapasitas layanan e-mailnya menjadi dua gigabyte yang cukup untuk menampung e-mail, gambar, serta attachment lain. Khusus untuk batas pengiriman attachment, Hotmail menyediakan kapasitas hingga 20 MB.
Microsoft, selaku pemilik layanan Hotmail, juga menjanjikan versi baru Hotmail tak akan berisi iklan dan banner yang mengganggu tampilan. Selain itu, di layanan Hotmail baru tersebut tak ada lagi batasan aktivasi selama 30 hari.
Sebagai pengguna Hotmail (humorline@hotmail), seperti saya ceritakan di Esai Epistoholica No. 04, saya tentu bergembira menyambut peningkatan layanan ini. Bila nanti terjadi, maka layanan email Yahoo yang hanya berkapasitas 100 MB itu akan menjadi anak kerdil di dunia e-mail gratisan. Apalagi layanan karya anak negeri sendiri, Plasa.com yang hanya 10 MB, ibarat gurem di dunia layanan webmail. Tetapi, saya kira, persaingan ke depan akan semakin marak.
PENYAKIT KRONIS INDONESIA. Selain menyimaki berita tentang jor-joran pemberian account email gratis sampai 2 GB oleh Microsoft Corporation di Seattle, AS, sebagai pemilik Hotmail itu, saya telah mem-posting dua surat pembaca ke situs Kompas Cyber Media itu.
Kedua surat tersebut sebenarnya sudah pernah dimuat di Harian Kompas edisi Jawa Tengah. Topiknya tentang pentingnya pengenalan komputer dan Internet untuk kaum lanjut usia dan surat kedua, berisi protes saya terhadap kebiasaan buruk, pembelian tiket pertandingan olahraga yang diberi bonus sebungkus rokok.
Esoknya, 23 Agustus 2004, sambil mem-posting Esai Epistoholica No. 06, saya melongoki situs KCM itu. Kedua surat pembaca saya itu ternyata belum muncul. Ada apa ? Apakah waktu sehari itu kurang cukup bagi Redaksi KCM untuk menentukan sesuatu surat pembaca dapat dimuat ? Apalagi KCM itu media Internet, di mana up date data amat mudah secara elektronik, bahkan harus dilakukan secara real time, seketika, bukan ?
Saya berpikiran, surat saya itu tidak bakal dimuat. Ini dugaan, yang bisa keliru : mungkin karena surat saya tentang pengenalan komputer dan Internet itu dipandang sarat pesan promosi. Karena isinya memang mencantumkan penjelasan kiprah situs blog Epistoholik Indonesia kita. Alamat situsnya, sudah pasti, juga tersaji di sana.
Kalau memang itu yang terjadi, maka jelas hal ini hanya menandakan adanya perbedaan paradigma dalam mengelola suatu media berbasis Internet. Menurut saya, apa yang berlaku pada benak pengelola KCM merupakan penyakit kronis yang rata-rata melanda insan-insan Internet di Indonesia !
KRITIK SITUS AMIEN RAIS. Artikel saya berjudul Internet Sebagai Senjata Kampanye Presiden pernah dimuat pada tanggal 8 Maret 2004 di lembaran Teknologi Informasi Harian Kompas, yang terbit tiap Senin. Lembaran TI itu dijaga oleh wartawan Kompas senior, Rene L. Pattirajawane, yang berbasis di Hongkong.
Sekadar cerita, satu-dua bulan sebelum kirim artikel itu saya pernah bersilaturahmi gagasan dengannya seputar menu sajian halaman TI selama ini. Menurut saya, sajiannya lebih condong memenuhi khalayak pembaca yang oleh konsultan pemasaran TI terkenal Geoffrey Moore dijuluki sebagai early adopter, orang-orang techie yang kecanduan teknologi baru dan mau beresiko mengeluarkan uang untuk memiliki gadget teknologi informasi garda depan. Padahal, menurut saya, harian Kompas yang koran umum itu sebaiknya lebih memperhatikan segmen konsumen teknologi yang disebut sebagai early majority, yang populasinya lebih banyak.
Baiklah, kembali ke artikel saya tentang Internet dan kampanye presiden. Artikel itu mencoba membandingkan pemahaman antara tim sukses kampanye calon presiden John F. Kerry di AS dan tim sukses Amien Rais dalam memanfaatkan Internet sebagai senjata kampanyenya.
Saya kutipkan sebagian : “....situs kampanye tokoh utama PAN ini tidak ubahnya baru mengalihkan media cetak ke dalam bentuk digital. Pemahaman terhadap Internet yang mendasari eksekusinya ini baru mengolah isi (content), tetapi belum mengeksplorasi pentingnya konteks (context) media berbasis Internet.
Pengelola situs ARC (Amien Rais Centre) berasumsi peselancar datang ke situsnya semata-mata untuk membaca berita terbaru mengenai diri Amien Rais. Artikelnya pun kering. Sekadar ilustrasi, kalau di situs John Kerry ada tulisan profil Teresa, istrinya, di situs ARC (Amien Rais Centre) tak ada cerita tentang istri Amien Rais. Eksekusi situs web hanya sebagai koran digital itu mengakibatkan peluang simpatisan untuk ikut menjadi bagian integral isi situs secara signifikan, serius terkendala. Paling-paling hanya boleh memberi komentar untuk sesuatu berita, atau ikut jajak pendapat, yang tidak ubahnya seperti pembaca menulis di kolom surat pembaca di media cetak
Situs web ARC berpeluang tampil sepenuh tenaga bila dilandasi pemahaman terhadap Internet dalam konteks yang tepat. Gregory P. Gerdy, pakar Internet dari Dow Jones, dalam Mary J. Cronin (ed.) The Internet Strategy Handbook : Lessons from the New Frontier of Business (Harvard Business School Press, 1996), menegaskan bahwa situs web merombak proses penerbitan yang selama ini ada.
Dalam penerbitan cetak tradisional, aktivitas penciptaan informasi, produksi, distribusi dan konsumsi informasi, terjadi secara terpisah-pisah. Tetapi di Internet, semua proses itu terintegrasi dalam satu sistem. Terutama harus didaulatnya informasi dari para konsumennya sebagai bagian integral isi situs itu sendiri. Perubahan konteks maha vital inilah yang tidak disadari pengelola situs ARC, juga oleh mayoritas pengelola situs lainnya di Indonesia selama ini”
DIALOG ANTAR KONSTITUEN. Situs web John F. Kerry, lebih agresif pendekatannya. Informasi dari konstituen, atau konsumen situs webnya, justru menjadi bagian integral dari situsnya. Ia bahkan menyebutnya sebagai “situs saya, tetapi ini bukan milik saya pribadi. Ini juga situs milik Anda, membukakan peluang untuk melakukan perubahan bagi tanah air kita demi menjadikan Amerika kembali pada jalurnya, dengan memensiunkan George W. Bush, serta memilih arah benar untuk negara yang sama-sama kita cintai ini !”
Ucapan bahwa situsnya bukan hanya miliknya semata, ditunjukkkan dengan tersajinya link untuk situs web tak resminya, fasilitas chat dan puluhan blog, yaitu situs pribadi berisi jurnal atau catatan harian para pendukungnya di Internet.
Situs blog pendukungnya antara lain arizonaforkerry, AZ4Kerry, CAforKerry2004, cbusforkerry, DCforKerry2004, Democrats-only, fairfaxforkerry, GeorgiaforKerry, johnkerry4president, johnkerrycutthebush2004, tnwomenforkerry sampai veteransforkerry.. Riuhnya para blogger, penulis buku harian, mengisi situs Kerry itu memicu interaksi unik dan kreatif ketika dukungannya tidak hanya sekedar kata-kata di dunia maya.
Dua orang blogger setianya, Tom AZ dari Arizona dan Mark dari Iowa memutuskan berlomba saat mendukung tim basket favoritnya dan sekaligus mendukung gerakan pengumpulan dana Satu Juta Dollar Melalui Internet Bagi John Kerry yang ditutup akhir September 2003. Caranya : ketika tim basket Arizona State Sun Devils dukungan Tom AZ bertanding melawan tim Hawkeyes dari Iowa yang didukung Mark, keduanya sepakat mendonasikan dua dollar untuk setiap angka yang dihasilkan tim yang didukungnya dalam pertandingan tersebut untuk John Kerry.
Ilustrasi tadi menunjukkan John Kerry membuka peluang dan akses agar konstituennya saling berinteraksi dalam mendukung kampanyenya di Internet. Tim sukses Kerry menyadari bahwa kampanye bermedia Internet jauh lebih efektif apabila tidak dijalankan secara monolitis, terpusat, top-down, melainkan justru digerakkan menurut norma Internet sebagai media yang egaliter, yaitu dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Di sinilah kedigdayaan Internet menyelipkan pesan politik yang luhur, bahwa keberhasilan kandidat dalam memanfaatkannya untuk kampanye justru harus memberi peluang dan mendorong konstituennya buka suara, sementara para kandidat itu pun harus pula membuka lebar-lebar telinganya guna menyerap aspirasi dan suara rakyatnya.
DIALOG KENA BLOK. Kasus surat pembaca saya di situs KCM itu mengindikasikan masih banyak media massa cetak dan media online kita justru melakukan blok alias tidak membuka akses bagi konsumennya untuk bisa berinteraksi satu sama lainnya. Sebagai contoh, alamat pengirim surat pembaca tidak dicantumkan secara penuh. Alamat e-mail, disensor. Fenomena ini merupakan langkah salah dalam mengantisipasi masa depan.
Adalah Pablo J. Boczkowski, asisten profesor bidang kajian organisasi dari MIT, dalam bukunya Digitizing the News: Innovation in Online Newspapers (MIT Press, 2004), memaparkan skenario mengenai media online masa depan. Detilnya silakan kunjungi : http://ojr.org/ojr/workplace/1075928349.php
Menurutnya, media baru tidaklah muncrat dari perubahan teknologi yang revolusioner melainkan hasil asimilasi antara struktur dan praktik media lama dengan kemampuan teknis yang tersedia. Inovasi surat kabar online kini prosesnya sedang berlangsung dengan pelbagai kombinasi yang beragam dari kondisi awal dan faktor-faktor lokal yang membimbing penerbit akan menempuh jalur yang berbeda-beda.
Tetapi yang pasti, peranserta pembaca secara online akan merubah definisi apa yang disebut sebagai berita. “Alih-alih bertitik berat kepada pendekatan yang berfokus pada wartawan, journalist-centered, berita dalam sajian online semakin meningkat untuk juga bertitik berat kepada pembaca”, tulis Boczkowski. “Dalam lingkungan online, pembaca memiliki dampak langsung yang lebih besar kepada berita”.
Berita yang semula bertitik berat kepada wartawan, dikomunikasikan secara satu arah atau monolog, bersifat lokal, akan semakin meningkat titik beratnya kepada pembaca, berlangsung dalam percakapan yang majemuk, serta mikro-lokal. Dalam ranah online, pelbagai jenis kelompok aktor akan terjun bermain, memiliki dampak langsung dalam proses produksi berita dibanding selama ini yang tipikal terjadi di ruang-ruang berita media cetak atau pun radio.
FAJAR BARU JURNALISME MADANI. Kecenderungan ke arah sajian berita online yang bertitik berat kepada pembaca/konsumen secara de facto akan memperkokoh sosok gerakan jurnalisme publik atau jurnalisme madani, karena meningkatnya peran yang lebih besar warga dalam proses editorial dan publikasi “semua berita yang ingin diketahui oleh warga”.
Sajian berita yang selama ini secara fundamental bersifat monolog, dimana respons masyarakat hanya sebatas mengisi atau menulis di kolom-kolom surat pembaca (letters to the editor, dalam berita online akan semakin meningkat ragam sumber sekaligus spektrum yang lebih luas perbincangannya.
Liputan secara online untuk sesuatu peristiwa (terutama, walau bukan eksklusif, peristiwa penting) cenderung menyajikan spektrum pendapat, sekaligus secara eksplisit dan implisit terjadi pertukaran antar beragam suara tersebut. Akibatnya, terbukanya sesuatu berita terangkat ke tingkat kontestasi yang lebih tinggi, diekspresikan dalam konflik opini secara langsung atau dalam pandangan beragam yang tidak langsung, dibanding sajian oleh tipikal media tradisional.
Berita sebagai percakapan berakibat pula kepada meningkatnya kesadaran wartawan mengenai titik pandang pembacanya. Hal ini merupakan sebagian dari dampak tumbuhnya kepengarangan bermediakan media baru yang diluncurkan oleh individu, baik terwujud dalam bentuk situs web berita tradisional atau pun yang tidak tradisional seperti weblog atau blog.
WE'VE ONLY JUST BEGUN. Weblog atau blog kini menjadi media kita, kaum epistoholik Indonesia, untuk mengekspresikan diri. Saat ini memang hanya saya sendiri yang menjadi tukang untuk mempublikasikan surat-surat pembaca warga Epstoholik Indonesia.
Angan-angan saya, kelak setiap sosok epistoholik di masa depan dapat mengelola “surat kabar” atau “buku harian”-nya itu, berupa situs blog mereka sendiri, sebagai corong online untuk menyatakan eksistensinya di muka dunia.
Mereka yang kini sudah terbiasa menyuarakan opini di pelbagai media cetak, dengan media online semoga mereka merasakan kebebasan dan keleluasaan yang lebih optimal dalam menyuarakan opini, pendapat, aspirasi, dan berdialog pula dengan pembaca atau pengelola blog lainnya. Kehadiran media online bakal semakin riuh, sebagai cerminan riuhnya demokrasi.
Perjalanan menuju penyadaran itu, mungkin masih panjang. Banyak kendala. Sekadar ilustrasi, seperti cerita di awal tulisan ini : pada satu sisi kita menikmati kemurahan hati dan kepercayaan sebuah provider e-mail seperti Hotmail, yang bersedia memberikan layanan e-mail gratis sebesar 2 GB kepada setiap mahkluk di jagat ini, tanpa ditanyakan KTP-nya.
Demikian pula kalau Anda membuka account situs blog pada www.blogger.com (seperti situs blog ini), Anda hanya menempuh tiga langkah mudah. Juga waktu yang singkat. Tetapi untuk urusan serupa dengan media online dalam negeri, misalnya untuk membuat blog serupa di situs Indosiar, Anda bakal menghadapi suasana seperti seseorang berwajah Timur Tengah meminta visa untuk berkunjung ke Amerika Serikat.
Francis Fukuyama dalam bukunya Trust : The Social Virtues and the Creation of Prosperity (Free Press, 1995) menegaskan bahwa keberhasilan pembangunan ekonomi suatu bangsa bergantung tidak hanya kepada aplikasi SDM atau akumulasi modal, tetapi juga bergantung kepada derajat bagaimana bangsa itu memperlakukan modal sosial, yaitu kepercayaan (trust).
Indonesia terus saja terpuruk, mungkin karena kepercayaan atau trust adalah sesuatu yang langka pada diri bangsa kita saat ini. Itulah kira-kira juga penyebabnya mengapa dua buah surat pembaca yang paling hanya menghabiskan kapasitas 60-an KB tidak dapat dimuat dalam sebuah media online nasional. Mereka mengelola media baru, tetapi pola pikirnya masih berkarat pada paradigma lama. Mungkin itu pula pola pikir kita yang umum sebagai bangsa ?
Wonogiri, 31 Agustus 2004
Subscribe to:
Posts (Atom)