Wednesday, July 20, 2005

Anti Gadis Berambut Basah, Komet Halley, dan Intellectual Hedonist : Impian Seorang Epistoholik

Oleh : Bambang Haryanto
Esai Epistoholica No. 25/Juli 2005
Email : epsia@plasa.com
Home : Epistoholik Indonesia



They've seen places beyond my land
and they've found new horizons
They speak strangely but I understand
And I dream I'm an eagle

(ABBA, “Eagle”)



HIDUPKU IBARAT KOMET. Prof. Soenario, SH adalah orang yang sangat beruntung. Beliau yang mantan Menteri Luar Negeri RI itu berkesempatan menonton komet Halley dua kali. Tahun 1910 dan 1986. Untuk penyaksiannya yang terakhir, dini hari 28 Maret 1986, di lantai 26 Gedung Balaikota DKI Jakarta, saya beruntung bisa mendengarkan langsung cerita-cerita beliau. Kalau Anda saat itu belum menyaksikannya, jangan kuatir. Tunggu saja di tahun 2061 nanti !

Komet sebelumnya pernah saya saksikan di tahun 1965. Saat itu, pagi-pagi, saya dibangunkan oleh ibu saya (ayah saya bertugas di Yogya) untuk melihat ke arah timur. Saya melihat pemandangan menakjubkan, seperti semburan kembang api raksasa dari bawah ke atas. Ibuku menyebutnya sebagai lintang kemukus dan konon pertanda atau isyarat yang tidak baik bagi bangsa dan negara ini. Entah benar atau tidak, kemudian meletuslah apa yang kemudian oleh Orde Baru disebut sebagai peristiwa G 30 S. Sampai kini, saya juga belum tahu apa nama komet yang muncul di tahun 1965 itu.

Bulan Maret-April-Mei 1986, bagi saya, adalah bulan mabuk Komet Halley. Saya terjun bergaul dengan para penyambutnya. Mempelajarinya. Memburu dan memotretnya. Menceritakannya. Menuliskannya. Mencari cinta dari sana. Sekaligus mencari uang dari semua hiruk pikuk yang terjadi.

Hari ini, hampir tepat dua puluh tahun kemudian, aku tersentak betapa peristiwa itu merupakan gambaran panggung hidupku selama ini. Hidupku sepertinya memang bagai komet !


MABUK KOMET ! Nonton penampakan komet Halley di puncak Gedung Balaikota DKI adalah sebuah awal. Dipicu berita koran Sinar Harapan (25/3/1986) mengenai acara tersebut, di hari Kamis malam (27/3) itu saya pamit dari ajang main remi dengan tetangga di komplek Balai Pustaka Timur, Rawamangun. Bersama tetangga, Bustami dan Momon, memakai mobil Datsunnya Andre, kami meluncur ke Balaikota DKI. Datang tanpa undangan dan mengaku sebagai anggota Himpunan Astronomi Amatir Jakarta (HAAJ), kami yang berpakaian urakan itu dicegat oleh Satpam DKI. Dilarang memasuki gedung.

Kami tahu diri dan tidak protes. Kami sabar menanti di luar pintu gedung. Jam 01.30. Masih ada waktu. Saat itu saya memakai sweater yang bertuliskan Case Western Reserve University. Ini nama universitas ternama di kota Michigan, Ohio, AS. Sweater itu merupakan oleh-oleh dari dosen saya yang memperoleh gelar doktor ilmu perpustakaan dan ilmu informasi dari sana.

Saat itu saya juga membawa edisi terbaru majalah Newsweek (24/3/1986), koran Sinar Harapan (25/3/1986) dan selebaranku untuk mempromosikan t-shirt bertema “Hello Halley” yang aku produksi dan dijual secara mail order atau lewat pos. Konon 10 Menteri Kabinet Pembangunan IV seperti Abdul Ghafur, Munawir Sjadzali dan Fuad Hassan, akan hadir di dini hari itu.

Berbekal majalah Newsweek yang berisi uraian lengkap seputar kehadiran Komet Halley, saya melakukan show of force, menceritakan seluk beluk komet Halley kepada Bustami dan Momon. Para Satpam DKI rupanya menjadi tertarik. Pimpinannya ikut bergabung dan bertanya-tanya pula.

Es telah mencair.

Kami bertiga kemudian diijinkan untuk naik lift, menuju lantai 23. Dari sana naik tangga, mencapai pelataran teratas tempat helikopter bisa mendarat. Sayang, dini hari itu awan begitu tebal di atas Jakarta, membuat komet temuan astronom Inggris Edmund Halley (1656–1742) itu tidak muncul untuk bisa ditonton. Untunglah saya bisa mendapatkan cerita dari Prof. Soenario. Komet Halley pun semakin memercikkan api penasaran !

Tanggal 5 April 1986 saya bergabung dalam rombongan tur menonton Komet Halley yang dikoordinasikan oleh Himpunan Astronomi Amatir Jakarta (HAAJ). Tempat ngumpulnya di Planetarium Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini. Rombongan naik bis PPD, berangkat sekitar jam 16.00 dan tiba di area Bumi Perkemahan Cibubur sekitar jam 18.00.

Tempat duduk saya di bis bersebelahan dengan beberapa anak muda, pelajar SMA. Di antara mereka ada yang membawa mini compo. “Lho, kok tidak dibunyikan ?”, tanyaku. Mereka nampak ragu-ragu. “Ayo, dibunyikan. Musik !”, tegasku.

Keraguan mereka pun cair. Mereka bergembira karena seolah mendapatkan teman. Sungguh mengejutkan, yang terdengar justru lagu-lagu dari The Beatles. Kami lalu nyanyi bareng-bareng di sepanjang perjalanan. Di antaranya yang menggaung di hatiku saat itu adalah nomor Ingin Kurengkuh Tanganmu. “I Want To Hold Your Hand”.

I'll tell you
tell you something
I think you'll understand
When I say that something
I want to hold your hand
I want to hold your hand
I want to hold your hand

Oh please, say to me
you'll let me be your man
and please, say to me
You'll let me hold your hand
now let me hold your hand
I want to hold your hand

Tangan lembut yang benar-benar ingin kurengkuh saat itu, untuk menemaniku menonton peristiwa angkasa sekali dalam seumur hidup manusia itu, adalah milik Ranti “Anti” Katriana.

I want to hold your hand, Anti”.

Gadis berpenampilan selalu gembira ini suka menyanyi dan menari. Selain berkuliah di Fakultas Ekonomi, ia bangga menjadi “artis” di tempat kerjanya, perusahaan asuransi besar di Indonesia. Ketika Anti menghadiahiku foto saat dirinya tampil menyanyi, entah kenapa, ia nampak bersemangat menerangkan bahwa saat itu ia memakai gel agar rambutnya nampak selalu basah. Ah, ah, ah.

Anti beberapa hari sebelumnya saya kontak untuk saya ajak nonton Komet Halley. Aku engga kepikiran dia sudah tahu atau tidak tentang Komet Halley, pokoknya aku telah mengeluarkan isi hati. Mungkin ini suatu kejutan. Atau bahkan indecent proposal baginya. Karena kami hanya baru bertemu sekali, selebihnya hanya kontak surat dan telepon, tetapi aku nekad mengajaknya untuk menerbangkan angannya guna menjelajah angkasa raya di fikirannya. Menjelang Hari-H tur, aku kesulitan mengontaknya. Akhirnya Ranti memang tidak bersamaku saat berburu Halley dini hari itu.

Aku mendapat kemah nomor 12. Bersama Hartanto, siswa klas I SMA 31 Jakarta yang berasal dari Lampung, Mukhlis dan Ison yang keduanya mahasiswa APP Jakarta, ditambah beberapa anak SMP Negeri I Jakarta. Saya suka anak-anak muda yang meminati ilmu pengetahuan. Di tengah kegelapan hutan Cibubur, diadakan ceramah dan pemutaran slide. Juga ada pembacaan doa, memohon kepada Tuhan agar tur ini berhasil melihat komet Halley yang ciptaanNya.

Jam 1 dini hari, di angkasa terhampar rasi bintang Scorpio. “Jelas mana kepala, jantung kalajengking yang berupa bintang merah Antares, lalu buntut yang terdiri dua bintang Alfa dan Beta Centauri, tetapi Komet Halley yang ditunggu masih terblokir awan”, begitu yang aku tulis dalam buku harianku.

“Ketika awan menyibak, protokol dari HAAJ mulai memandu pandangan peserta. Melalui binokular milik Hartanto aku mengikuti, dan, ya Tuhan, aku bisa melihat Komet Halley, sekitar jam 02.00 dini hari, hari Minggu 6 April 1986 (Saat itu aku berumur 33 tahun, aku bekerja cari makan dengan menulis, jualan t-shirt ; saat itu aku memakai t-shirt Halley yang kudesain sendiri, walau atas nama IHW/International Halley Watch ; teks t-shirt itu : HELLO HALLEY ! International Halley Watch. NASA”

Aku memotretnya, memakai slide merk OGA (Obergassner KG. D-8000 Munchen 40) ASA 1000. Saat itu, dalam kegelapan, aku bisa bertemu wartawan harian Pikiran Rakyat, yang sebelumnya telah aku temui saat bareng-bareng nonton Halley di lantai 26 Gedung Balaikota DKI yang lalu.

Hari-hari mabuk Halley, sesudah malam itu, membuat saya harus tiga-empat kali lagi mendatangi komplek Cibubur yang saat itu langitnya masih gelap, karena penetrasi pemukiman belum semasif saat ini. Satu kali gagal masuk area, karena Presiden Soeharto sedang pula ingin melihat komet legendaris itu.

Pagi-pagi, ketika tiba kembali ke rumah, aku melihat warga kampungku di Rawamangun sedang mempersiapkan acara Bazaar Hari Kartini. Aku tulis di buku harianku : “Well, aku lagi sibuk liat angkasa raya dan tak acuh pada kegiatan di bumi”


AKU MASUK RADAR. Godaan mengurusi angkasa raya itu hampir berlanjut semakin parah. Tanggal 22 Mei 1986, saya mengikuti rapat HAAJ di Planetarium, TIM. Sekalian temu kangen sama teman-teman, dan mau mempromosikan lagi t-shirt Komet Halley.

Saat itu, selain merancang kaos untuk ITSC (Ideas T-Shirt Club) yang aku dirikan, aku juga merancang desain untuk kaos-kaos yang dijual di konter bursa mahasiswa di lingkungan Universitas Indonesia. Salah satu bonus kepuasan rohani sebagai desainer adalah : suatu saat saya duduk bersebelahan dengan seorang gadis, di bis kota. Aku tidak mengenalnya. Ia mengenakan kaos Komet Halley rancangan saya !

Kembali ke rapat HAAJ. Rapat saat itu malah rusuh. Antarpengurus terbelah jadi dua, dalam suasana demokratis mereka saling serang, membongkar aib masing-masing. Akhirnya rapat memutuskan membentuk Komisi A, yang mempersiapkan tatacara pemilihan pengurus HAAJ yang baru.

Ternyata aku harus terlibat. Keikutsertaanku dalam acara berburu Halley di Cibubur yang lalu ternyata masuk radar pantauan warga HAAJ. Aku sama sekali tidak menduganya. Inilah buktinya : sekelompok anak-anak HAAJ yang hanya pernah kenal selintasan dalam ngobrol-ngobrol denganku di Cibubur itu, tiba-tiba saat itu mendaulatku agar aku mau menjadi Ketua Komisi A !

Aku tahu diri. Aku tak tahu medan. Dengan melucu, aku hanya bersedia dipilih sebagai anggota saja. “Dwi Raharja dan Johnny T. Setiawan, orang-orang pendahulu HAAJ dan pengurus yang baru dikup, nampak menyayangkan penolakanku itu. Ada apa ini ? Bimo yang nampak diorbitkan kelompoknya untuk jadi ketua HAAJ yang baru nampak berubah dingin, tak acuh....Ada apa pula ini ?”, begitu tulisku di buku harian.

Saat bubar, aku pulang dikerubungi anak-anak HAAJ yang tadi mendaulatku. Rupanya aku mereka pandang sebagai seseorang yang bisa mereka percayai. Tanpa aku minta, mereka bercerita tentang adanya klik-klikan dalam tubuh HAAJ. Di antara yang mendaulatku itu ada mahasiswa yang bernama Fofo Setiaatmaja. Fofo menginginkan agar aku nanti sebagai wakil Ketua HAAJ sebagai wakil aspirasi mereka.

Hari-hari kemudian aku rada sering ngobrol sama Fofo. Bahkan ia pernah pula main ke tempat kosku. Pesan kaos bertema Khadaffy. Ia tak pernah cerita siapa dirinya. Teman mainnya hanya bilang kepadaku, “ia tinggal di Menteng, anak jenderal”. Beberapa tahun kemudian, aku membaca di surat kabar : Fofo kini adalah salah satu anggota Dewan Komisaris SCTV !


INTELLECTUAL HEDONIST. Terjun total dalam hiruk-pikuk berburu komet Halley sampai terlibat dalam keributan di HAAJ, mungkin merupakan perwujudan pribadiku yang memang menyukai hal-hal baru. Saya juga suka memunculkan hal-hal baru.

Marina Margaret Heiss pernah menulis ciri kepribadian seseorang yang disebut sebagai Introverted, iNtuitive, Thinking, Judge (INTJ). Julukannya : The Mastermind. Pribadi INTJ adalah kaum perfeksionis, pendamba kesempurnaan, memiliki kapasitas tak terbatas untuk berusaha memperbaiki segala hal yang menjadi minatnya. Satu-satunya yang dapat mengerem kekronisannya mengejar kesempurnaan adalah sikap pragmatisme yang juga ia miliki.

Ia selalu dihantui pertanyaan, “Apakah ini bisa berhasil ?”, yang ia ajukan terus-menerus baik dari kancah riset atau norma-norma sosial umum yang ia jumpai. Dampaknya, ia menikmati kebebasan pikir yang istimewa, terbebas dari terkaman penguasa, konvensi atau sentimennya sendiri.

Apakah saya seorang INTJ ? Mungkin ya. Mungkin tidak. Tetapi saya lebih menyukai istilah yang pernah diberikan oleh majalah Fortune untuk seorang Richard Saul Wurman. Wurman memiliki forum kongkow-kongkow yang ia sebut sebagai TED. Dalam acara yang bercampur antara karakter seminar yang serius dengan acara obrolan bak acara makan model lesehan, tak jarang muncul sosok-sosok seperti Bill Gates, Donald Trump, Nicholas Negroponte, Tim Berners-Lee, Andrew Grove, Paul Krugman, sampai nama-nama para pemenang Nobel.

Julukan majalah Fortune untuk penulis buku Information Anxiety (1989) itu adalah : intellectual hedonist! Julukan yang hebat. Saya juga merasa boleh ge-er sebagai orang yang gemar berfoya-foya dengan hal-hal yang terkait dengan olah intelektual, dengan ilmu pengetahuan. Semampunya. Sebisanya.

Kata mutiara dari penyair, kritikus dan leksikografer Inggris, Samuel Johnson (1709-1784), menjadi pegangan saya. Samuel Johnson terkenal dengan ucapannya ini : Knowledge is of two kinds. We know a subject ourselves, or we know where we can find information upon it. Ilmu pengetahuan terdiri dua jenis. Kita tahu subjek ilmu pengetahuan itu sendiri atau kita mengetahui di mana memperoleh informasi tentang ilmu pengetahuan bersangkutan.

Saya bisa mengklaim : saya ahli dalam ilmu pengetahuan jenis yang kedua. Saya memperoleh pendidikan di Universitas Indonesia tentang hal khusus itu. Kalau orang lain dikaruniai kemudahan untuk meraih pangkat atau meraup uang, saya merasa dikaruniai kemudahan untuk memperoleh informasi.

Modal awalnya adalah apa yang disebut oleh psikolog Joyce Brothers sebagai bujukan untuk komitmen total. Begitu Anda terjun ke dalamnya, akan terjadi sesuatu yang hebat. Anda mulai melihat pemecahan, menemukan cara dan sarana yang sebelumnya tidak tertangkap oleh perhatian Anda.

Dengan bekal kemudahan akses informasi itu membuat saya bisa bebas menari, kesana dan kemari. Berloncatan dari satu bunga ilmu pengetahuan tertentu ke bunga ilmu pengetahuan yang lainnya. Untuk mereguk putik atau saripati bunga bersangkutan.

Untuk semua kesenangan itu saya selalu mencoba meninggalkan bekas. Dengan menuliskannya. Dengan menceritakannya. Beberapa contoh eksplorasi saya tersaji di bawah ini.


EPISTOHOLIK INDONESIA DALAM BAHAYA. Kalau hari-hari ini dunia mengenang 60 tahun peledakan bom nuklir yang pertama di gurun terpencil Jornado del Muerto, dekat Alamogordo, New Mexico, 16 Juli 1945, saya pun pernah menuliskan peristiwa bersejarah itu.

Dalam artikel berjudul, “Hidup Bersama Maut” di majalah Aha ! Aku Tahu (September 1985), saya menceritakan hari itu sebagai hari “Trinity”, nama kode hari peledakan yang dipilih oleh J. Robert Oppenheimer. Dia adalah ilmuwan fisika dan direktur Laboratorium Los Alamos tempat bom itu dibuat dengan nama sandi Proyek Manhattan. Oppenheimer menyukai hal-hal yang berbau Indonesia sehingga mobilnya bernama Garuda dan ia juga menyukai nasi goreng.

Ketika Presiden Ronald Reagan mencanangkan Prakarsa Pertahanan Strategis (Strategic Defence Initiative/SDI), 23 Maret 1983, yang kemudian dikenal sebagai Perang Bintang (Star Wars), saya pun menulis di kolom Ilmu & Teknologi Harian Sinar Harapan, “Sinar Laser Dalam Perang Bintang” (20/3/1985).

Menyusul terjadinya bencana kebocoran reaktor nuklir Chernobyl, saya menulis artikel seputar kontroversi pemanfaatan tenaga nuklir. Saya mengutip pendapat ilmuwan tenaga nuklir dari Universitas Pittsburg (AS), Bernard L. Cohen yang mendukung penggunaan teknologi nuklir dalam bukunya yang tidak memihak dan cemerlang, Before It’s Too Late : A Scientist’s Case for Nuclear Energy (1983). Hasilnya telah saya tulis di harian Jayakarta (20/9/1988).

Masalah kartun pun saya rambah. Sebagai orang yang dikaruniai keluarga yang suka membuat kartun, di mana adik saya terkecil Basnendar HPS yang kini pengajar di STSI Solo masih terus melakoninya, saya pernah menulis artikel berjudul “Kemelut Bisnis Kartun” di Kompas, 13/11/1994.

Ketika Internet masih hal baru di Indonesia, di harian Media Indonesia, Sinar Harapan dan Suara Karya, antara tahun 1996-1998, saya rutin menulis artikel seputar Internet dan komputer. Termasuk artikel “Mengintai Pengunjung Web Porno di Internet” (Kompas, 11/7/1998). Menjelang kampanye pemilihan presiden, saya telah menulis artikel “Internet Sebagai Senjata Kampanye Presiden” (Kompas, 8/3/2004) yang memperbandingkan kesaktian situs web kandidat presiden AS, John Kerry dengan situs web calon presiden, Amien Rais.

Jauh sebelumnya, artikel saya berjudul “Bila Demam Bisnis Internet Makan Korban” (Solopos, 25/9/1999) memenangkan Juara Harapan I Kategori Kelompok Umum dalam Lomba Karya Tulis Teknologi Telekomunikasi dan Informasi (LKT3I) III/1999 yang diselenggarakan oleh PT Indosat, Harian Kompas, Republika dan LIPI.

Sebagai suporter sepakbola Indonesia, saya tercatat di Museum Rekor Indonesia (MURI) sebagai pencetus Hari Suporter Nasional, 12 Juli (2000). Impian besar saya mengenai paradigma baru suporter sepakbola yang saya tulis di Tabloid BOLA (13/7/2001) berjudul “Suporter Sang Penghibur”, kemudian saya elaborasi berbentuk esai, akhirnya memenangkan kontes Hondas’s The Power of Dreams Contest 2002. Profil saya sebagai suporter sepakbola ditayangkan di TransTV, 27/7/2002.

Impian saya tahun 1992, yaitu membentuk komunitas penulis surat pembaca, ternyata gagal saya ujudkan saat itu dan gagal lagi di tahun 1994. Ketika dalam masa pasif itu ternyata ide saya tersebut dicaplok oleh seseorang bernama Erwin, SH, dari Medan. Ia menulis surat pembaca, persis isi surat pembaca saya, tetapi hanya beda penyebutan nama organisasi para penulis surat pembaca yang ingin ia dirikan. Ia pun mengirimi saya surat, di mana dalam rancangan daftar personil pengurusnya dirinya tampil sebagai ketua. Saya lupa apa jabatan saya dalam organisasi itu. Tetapi bukan ketua.

Yang sangat menyedihkan, dengan organisasi baru itu Erwin berencana mengirimkan proposal ke Sekretariat Negara, yang saat itu menterinya dijabat oleh Murdiono. Inti isi proposalnya adalah, apa lagi, kalau bukan minta bantuan dana. Gagasan yang sungguh bertentangan dengan cita-cita dan nurani saya.

Komunitas penulis surat pembaca yang saya impikan adalah komunitas yang hadir sebagai salah satu pilar penegakan demokrasi. Impian dan cita-cita yang tidak sembarangan. Saya mencita-citakan komunitas yang saya cintai ini warganya menulis secara independen, kritis, bernalar dan tajam, tetapi saat itu di tangan seorang Erwin rupanya harus dlosor dan pasrah bongkokan, merendahkan diri demi imbalan uang, menyerahkan diri untuk terkooptasi oleh rejim Orde Baru yang sangat represif saat itu. Sokurlah, ide Erwin itu tidak menjadi kenyataan !

Impian membentuk komunitas penulis surat pembaca, yang dilandasi dengan cinta, akhirnya menjadi kenyataan ketika saya gulirkan lagi di bulan Oktober 2003. Berdirilah Epistoholik Indonesia. Kehadiran Epistoholik Indonesia yang dipicu munculnya teknologi blog di Internet, saya yakini bila berpadu, akan mampu memberi otot dan bobot yang hebat bagi eksistensi Epistoholik Indonesia sebagai pilar demokrasi.

Prestasi ini membuat saya diprofilkan di majalah Intisari (Juli 2004), memenangkan Mandom Resolution Award 2004, tercatat di Museum Rekor Indonesia 2005 dengan Piagam No. 1441/R.MURI/III/2005, dan mendeklarasikan tanggal 27 Januari (2005) sebagai Hari Epistoholik Nasional. Profil saya juga muncul dalam tayangan Bussseeet ! di TV7, 20/3/2005 dan 18/5/2005.

Komunitas Epistoholik Indonesia, sejauh ini, membesarkan hati. Banyak warganya yang dedikatif dan tulus dalam memberikan darma kepada masyarakat, melalui karya-karya penanya. Tetapi tak ada gading yang tak retak. Saya masih harus menelan ludah karena bujukan saya agar mereka mau mengelola situs blog dan menjadikannya sebagai sarana ekspresi sebagai penegak pilar demokrasi, masih mengecewakan.

Saya juga meraba munculnya deviasi. Betapa kemuliaan aktivitas menulis surat pembaca yang tertumpu kepada filosofi reward is in the doing, pahala atau berkah otomatis ternikmati ketika kita asyik menulis surat pembaca itu sendiri, kini ada yang tega menggelincirkannya.

Sebagai seseorang yang sudah menulis surat pembaca lebih dari 30 tahun, hanya baru-baru ini saya menemui beruntun keganjilan. Saya mendeteksi kolom surat pembaca menjadi ajang parade berindikasikan aksi rekaculika demi memuaskan rasa kemaruknya terhadap kebanggaan pseudo, dengan melakukan self-congratulatory, memuja-muji diri sendiri. Sungguh merupakan upaya memburu popularitas dengan modus kreativitas pas-pasan bagi pelakunya. Benar-benar aksi episturbasi !

Nama besar Epistoholik Indonesia juga terendus disalahgunakan untuk melakukan pemerasan terhadap sesuatu perusahaan yang produknya memang memiliki kekurangan. Bagi saya, semua hal itu sangat menyedihkan !


GOETHENDIPITY ! Pelbagai kemewahan atau capaian dalam mengeksplorasi beragam cabang ilmu pengetahuan, antara lain karena saya merasa dikaruniai kemampuan untuk belajar cepat. Kalau ada motivasi kuat, semua bisa aku kerjakan. Pernah ketika di awal Januari 2002, saat mabuk menggagas masa depan suporter sepakbola, di Perpustakaan British Council, Gedung Widjojo, Jakarta, saya sempat merenung : untuk apa semua ini aku lakukan ? Siapa pula yang menyuruh ?

Di depan saya, saat itu, terdapat setumpuk majalah sepakbola Inggris, FourFourTwo, buku Kevin Keegan : My Autobiography (1997), juga biografinya David Beckham, My World (2000), buku hebat suntingan Gary Armstrong dan Richard Giulianotti, Football Cultures and Identities (1999) dan juga Fear and Loathing in World Football (2001). Belum lagi literatur penunjang seperti karya Raymond Boyle dan Richard Haynes, Power Play : Sport, the Media and Popular Culture (2000) dan bukunya Frank Kew, Sport : Social Problems and Issues (1997). Semuanya mengundang untuk dipelajari dan diresapi.

Imbalan untuk aksi terbujuk melakukan komitmen total dalam mengkaji masalah suporter sepakbola, mungkin mirip fenomena yang diungkapkan oleh Tony Buzan, yaitu goethendipity. Amalgamasi cerdas antara ajaran penyair, novelis dan dramawan Jerman, Johann Wolfgang von Goethe (1749-1832) dengan kata serendipity , yang artinya kesanggupan untuk menemukan sesuatu keterangan secara tak disengaja waktu mencari sesuatu yang lain :

“Saat seseorang benar-benar melakukan sesuatu, maka takdir juga bergerak : Segala sesuatu terjadi untuk menolong saya, yang bila saya tidak melakukan sesuatu, maka itu tidak akan pernah terjadi. Seluruh aliran peristiwa berasal dari keputusan yang akan menyebabkan timbulnya semua insiden dan bantuan material yang tidak diduganya, di mana tidak seorang pun dapat menduga kalau itu akan terjadi kepadanya. Apa pun yang Anda lakukan atau impian yang Anda impikan, mulailah. Keberanian memiliki kejeniusan, kekuatan dan keajaiban di dalamnya. Mulailah saat ini”

Pertanyaan saya di Perpustakaan British Council itu, untuk apa semua ini aku lakukan, rupanya segera memperoleh jawaban. Takdir bergerak ke arah yang terjanji. Esai saya berjudul “The Power Of Dreams : Revolusi Mengubah Budaya Suporter Sepakbola Yang Destruktif Menjadi Penghibur Kolosal Yang Atraktif” masuk final dalam Honda’s The Power of Dreams Contest 2002. Sekaligus kemudian memenangkannya !

Pengalaman lain. Ketika berkuliah di Jurusan Ilmu Perpustakaan FSUI, saat teman-teman saya sibuk mempelajari catatan, diktat dan buku pegangan, saya menambahi sendiri dengan mereguk informasi dari majalah-majalah profesi. Di majalah tersaji informasi-informasi yang mutakhir.

Faham saya, cara terbaik untuk menyerap dan memahami semuanya itu, adalah dengan menuliskannya. Sebab menulis adalah aktivitas berpikir. Baik berbentuk surat pembaca atau pun artikel. Ketika dimuat, selain ilmu tersebut meresap secara otomatis ke dalam sanubari, nama dan reputasi pun menjulang. Menjadi bahan perbincangan para dosen. Menulis adalah bukti cinta, keseriusan dan dedikasi. Ramuan kimia yang kemudian terjadi antara diri saya dan dosen-dosen saya, menjadi lebih cair, lebih memudahkan untuk membangun harmoni dalam berinteraksi.

Dorongan untuk mampu belajar cepat dalam menerjuni beragam pengetahuan-pengetahuan baru, mengingatkan saya isi nasehat penting sebuah features di surat kabar USA Today (12/2/1992). Isinya menceritakan anjuran Harry Davis, Deputi Dekan Program MBA dari Sekolah Bisnis Universitas Chicago. Ia mengajar mahasiswa MBA-nya untuk menjadi performer andalan.

Menurutnya, salah satu keterampilan kritis untuk menjadi performer andalan adalah kemampuan dalam mengobservasi dan belajar. Ia merujuk kemampuan itu pada orang Jepang. “Orang-orang Jepang pergi keliling dunia, mereka melakukan observasi, dan mengumpulkan data. Dari himpunan data itu mereka mengambil keputusan”. Produk-produk asal Jepang yang memenuhi selera pasar, kemudian membanjir untuk menguasai dunia !

Harry Davis menyarankan kepada mahasiswanya untuk selalu membawa-bawa bloknot kemana saja dan kapan saja, hingga mereka selalu siap mencatat hasil observasinya yang dapat dimanfaatkan bagi kemajuan karier atau pun dalam kehidupannya.

Ia juga menyarankan agar kita selalu mengembangkan sikap rendah hati. “Kita harus tahu bahwa dalam sepanjang karier kita, kita harus mengganti inventaris pengetahuan kita beberapa kali”. Artinya, seseorang harus selalu siap untuk mempelajari keterampilan-keterampilan baru. Anjuran ini bagi saya merupakan undangan untuk terjun ke ajang foya-foya, sebagai perwujudan sebagai sosok seorang hedonis ilmu pengetahuan !


NGGA ADA LOE, NGGA RAME. Menjadi bintang, walau bintang sekecil pun, sering menyenangkan dan juga menyusahkan. Yang menyenangkan, banyak orang sering meminta kita untuk terlibat dalam kegiatan mereka. Heboh rapat di HAAJ dan permintaan sebagian besar dari mereka kepadaku, walau baru saja saling kenal, adalah sekadar contoh.

Di ujung tahun 1970-an, di Gallery Mandungan Muka Kraton Surakarta, teman-teman seniman Solo akan kecewa kalau saya tidak mau bermain scrabble melawan mereka. Karena mereka selalu penasaran untuk bisa mengalahkan diri saya. Kontender saat itu adalah HB Sutopo, kini profesor di Seni Rupa UNS, Conny Suprapto, juga dosen di UNS, Murtidjono yang kini Kepala Taman Budaya Surakarta (TBS), Broto yang saat itu mahasiswa FE UGM, Harsoyo Rajiyowiryono yang kini staf di TBS, sampai almarhum H. Marsudi, dramawan dan tokoh ketoprak Solo.

Di sisi lain, pengetahuan saya tentang film-film baru, membuat beberapa teman sering mengajak berdiskusi atau minta pendapat saya tentang sesuatu film. The Graduate. The Godfather. Last Tango In Paris. The Arrangement. Tidak jarang mereka mengajak nonton. Lalu sambil nongkrong di warung jajanan khas Solo, yang disebut hik, kami menyeruput jahe kopi panas dan mengobrolkan film tadi sampai puncak malam tiba.

Saking getol terhadap film, saya pernah menulis surat pembaca berisi protes kepada pengelola gedung bioskop di Solo. Pasalnya, begitu film mendekati usai dan terjadi di saat klimaks cerita, petugasnya sering terlalu dini membuka gordin yang menutup pintu keluar. Suara kait gordin yang terdengar nyaring itu ibarat suara teror yang seolah menyatakan bahwa film akan segera usai.

Hal lain yang juga saya protes keras, adalah tidak ditayangkannya secara lengkap kredit judul di bagian akhir tayangan film. Padahal di sini tersaji informasi, baik casting dan juga nama-nama tenaga kreatif film bersangkutan. Bagi saya, itu data penting. Setelah surat pembaca saya dimuat, gangguan semacam praktis berkurang.

Tahun 1978, saya mendapatkan “beasiswa” untuk belajar film. Suprapto Suryodarmo, saat itu selaku salah satu pimpinan di Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI), Solo, meminta saya untuk mondok di desa Sawahan, Bantul. Di sana sedang dibuat filmnya Teguh Karya, November 1828. Saya berangkat dan sekitar 20-an hari saya berkenalan dan berinteraksi dengan aktor seperti Slamet Rahardjo, Herman Felani, Mang Udel, Budi Mualam sampai tenaga kreatif seperti Labes Widar, Benny Benhardi dan Rudy Badil. Tahun 1982, tak sengaja di Pusat Teknologi Pendidikan di Jakarta, saya ketemu lagi sama Labes Widar yang dosen film di IKJ.


IMPIAN YANG KANDAS. Tahun 1980 saya meninggalkan Solo menuju tempat studi baru ke Jakarta, dengan agak berat hati. Karena saya saat itu sedang bersemangat mengurus workshop melukis anak-anak. Saya merasa dekat dengan mereka, bahkan saya hafal murid-murid saya satu per satu. Kemudian menikmati perkembangan lukisan mereka, dari minggu ke minggu, yang selalu saja menimbulkan rasa takjub pada diri saya. Bila ada yang tidak masuk sampai dua kali, mereka saya kirimi surat dengan cerita-cerita lucu.

Niat untuk mengobarkan api kreativitas mereka mendorong saya untuk menciptakan interaksi yang beragam. Mereka dan orang tuanya, saya undang bila ada pameran lukisan. Menonton pemutaran film. Mengikutsertakan karya mereka dalam pelbagai lomba. Mengenalkan mereka dengan pelukis cilik yang berprestasi, misalnya saat itu Dian Kurniasih Wahyusari Nador, dari Yogya.

Sebagian anak-anak itu, kadang malah mengundang saya. Ketika mengadakan acara berkemah, misalnya, saya diminta datang. Saya datang, membawa sebungkus permen, lalu ngobrol-ngobrol sebentar. Mereka senangnya bukan main. Ketika saya tinggal di Jakarta, ada beberapa yang terus kontak dengan surat.

Tahun lalu, di majalah Intisari ada bekas murid saya, Sri Hascarya, yang menulis artikel. Saat itu ia tinggal di Australia. Ia sedang mengambil program Doktor. Saya segera membongkar-bongkar album foto digital saya dan ketemu : foto dia saat menjadi murid saya. Saat itu ia duduk di kelas 2 SD. Melalui redaksi Intisari, foto yang tak pernah ia sangka ada itu, sampai ke padanya. Ia pun membalas dengan keterkejutan dan rasa sukacita.

Saat itu saya juga menciptakan Anugerah Samskara Pinastika (Imajinasi Yang Terpilih) untuk pemenang lomba melukis anak-anak se-DIY dan Jawa Tengah. Penghargaan ini ingin saya proyeksikan sebagai cikal bakal penghargaan lomba lukis anak-anak kelas dunia.

Selama yang saya ketahui, lukisan anak-anak Indonesia termasuk sering menjuarai lomba-lomba kelas dunia. Misalnya di kancah Shankar’s International Children’s Competition di India yang mengambil nama penggagasnya, K. Shankar Pillai (31 July 1902–26 December 1989), sejak tahun 1950. Sementara di Amerika Serikat ada lembaga International Child Art Foundation (ICAF) di Washington AS yang tiap 4 tahun sekali mengadakan Olimpiade Seni Lukis anak-Anak.

Kepindahan saya ke Jakarta ingin saya gunakan untuk menggalang jaringan dengan penggiat seni lukis anak-anak di Jakarta. Dengan asumsi rekan-rekan di Solo yang saya tinggalkan masih terus menghidup-hidupkan workshop yang ada, hingga suatu saat bisa memunculkan kolaborasi. Saya sempat bergembira ketika teman-teman di Solo itu berencana mengadakan pameran lukisan anak-anak se-Jawa. Ide bagus.

Saya pun diminta ikut membantu. Saya dengan senang hati melakukan kontak ke pelbagai sanggar lukis anak-anak di Jakarta. Misalnya Sanggar UI Rawamangun, Sanggar LPKJ (kini IKJ) di TIM sampai Sanggar Museum Fatahilah yang salah satu muridnya sangat terkenal, berprestasi internasional, yaitu Lie Fhung. Beberapa tahun kemudian, Lie Fhung yang lulusan Seni Rupa ITB itu, adalah adik kelas doi saya, Tya, di SMA Tarakanita 2 Jakarta.

Pameran itu jadi berlangsung, tetapi akhirnya saya harus merasa kecewa. Dalam katalog pameran, nama saya tidak diikutkan. Tidak pula dicantumkan sebagai salah satu pendukung terselenggaranya kegiatan ini. Padahal pengantar dalam katalog itu persis sama dengan isi panduan bagi pengajar yang saya tulis selama ini.

Cinta saya yang masih berkobar-kobar terhadap sanggar/workshop di Solo yang baru saja saya tinggalkan dengan berat hati itu, ternyata tidak mendapatkan apresiasi yang memadai dari bekas teman-teman saya itu. Mungkin mereka memang sengaja menyingkirkan bekas-bekas kehadiran saya.

Sesudah pameran itu, workshop pun tutup. Teman-teman saya, yang sebenarnya memiliki pendidikan formal di bidang seni rupa, rupanya tidak memiliki nafas panjang atau kecintaan dalam menyemai hingga menumbuhkan bibit-bibit generasi baru yang berpotensi memiliki, setidaknya apresiasi, terhadap seni rupa di masa depan. Sejak saat itu, sepengetahuan saya, Solo tidak punya lagi sentra pengembangan seni lukis anak-anak yang memiliki visi, kegairahan, kewibawaan dan berkesinambungan.

Hingga kini.


ANAK ANJING YANG DITENDANG. Tahun 1986 saya mendapatkan undangan untuk mengikuti tes bahasa Inggris guna mendapatkan bea siswa Fulbright, belajar untuk memperoleh gelar Master di Amerika Serikat. Untuk mencoba mencari dukungan moral, dalam suatu pertemuan, saya ceritakan hal undangan tes itu kepada dosen saya. Saya merasa dekat dengannya. Ia sosok yang saya kagumi pula.

Saya senang mempersonifikasikan diri saya sebagai seekor anak anjing. Hanya dengan sobekan kain atau perca, bola, atau kain meja, ia mampu bermain dan bergembira. Berlarian kesana dan kemari. Mengitari si empunya, atau siapa saja yang dirasa bersahabat, untuk digodanya, diajaknya bermain dan bercanda.

Sebagai seseorang yang dikaruniai intuisi peka, saya terkaget ketika melihat perubahan muka pada dosen saya saat itu. Justru menunjukkan ketidaksukaan. Perasaan tidak bahagia muncul dari wajahnya. Walau hanya sekejap, dan sesudah itu dirinya berusaha untuk netral dan memberikan dorongan, tetapi saya sudah terlanjur kecewa setelah mengetahui apa isi terdalam dirinya tentang diriku ini. Saya merasa seperti seekor anak anjing, yang semula bergairah mengajaknya bercanda, tetapi kemudian justru memperoleh tendangan yang kuat darinya.

Begitulah. Di kancah akademisi, hidup saya tergambar ibarat perjalanan sebuah komet. Melintas sebentar. Bercahaya terang. Dan kemudian menghilang.


MIMPIKAN MEDIA INTERNET RAKSASA. Tahun 2001 saya memperoleh pekerjaan di perusahaan Internet Jakarta. Juga berkat kemampuan belajar cepat itu. Setelah membaca profil perusahaan tersebut di koran Solopos, saya tertarik pada filosofinya, lalu saya mem-browsing situsnya. Saya pun mengirimkan email, memberinya pujian.

Buntutnya adalah, mereka meminta saya untuk berkunjung ke kantornya di Jakarta. Ongkos transportasi dan akomodasi, ditanggung mereka. Pemiliknya adalah orang Sunda yang beribu Jerman. Mereka mulanya menawarkan agar saya bisa bekerja secara jarak jauh, terhubung secara online antara Jakarta-Wonogiri. Ide yang hebat. Sayang, saat itu saya belum memiliki komputer. Akhirnya diputuskan, sebulan kemudian, saya sudah bekerja di Jakarta. Tanpa perlu menulis surat lamaran. Tanpa ditanya lulusan dari mana.

Situs ini konsep aslinya berasal dari Amerika dan mempunyai cabang di Jerman. Situs yang berbahasa Jerman itulah yang kemudian dijiplak pemilik situs tempat saya bekerja yang memang blasteran Jerman tersebut. Pemilik ini mempunyai bawahan, Direktur Umum, yang menjadi atasan saya.

Situs ini menghimpun opini konsumen terhadap sesuatu jasa atau barang yang mereka konsumsi. Dalam opininya, mereka juga memberikan skor. Opini para konsumen lainnya untuk produk yang sama kemudian dihimpun dan menghasilkan skor akhir. Berdasar skor akhir inilah seseorang konsumen dapat menimbang-nimbang sampai memutuskan ketika mereka hendak mengonsumsi sesuatu produk atau jasa tertentu.

Para pemberi opini itu dibayar. Dengan poin yang bila mencapai akumulasi tertentu dapat dirupiahkan dan ditransfer langsung ke rekening bank mereka. Kalau opini mereka dihargai oleh pemberi opini lainnya, bayarannya pun bertambah.

Sebagai Direktur Komunikasi, setiap saya menemukan surat pembaca yang isinya mengeluhkan mutu produk atau layanan/jasa tertentu, segera saya kontak penulisnya. Saya ajak mereka untuk menuliskan opini mereka di situs saya. Saya juga berusaha membakar semangat warga komunitas situs ini untuk gencar saling berinteraksi, saling menilai, hingga suasana gaulnya menjadi hidup dan bergairah.

Saat itu saya sudah mengangankan bahwa akan tiba saatnya telepon genggam mampu untuk mengakses Internet. Kemudian akan hadir pemandangan yang mengagumkan : seseorang yang belanja di supermarket, sebelum memilih merek barang tertentu akan memencet tombol telepon selulernya. Mereka perlu berkonsultasi secara online untuk memperoleh informasi produk terbaik dari himpunan opini yang tersimpan di situs tempat saya bekerja itu.

Angan-angan liar saya yang lain, situs saya ini akan melewati peranan organisasi perlindungan konsumen. Demikian pula, kalau selama ini terdapat lembaga riset pemasaran yang meriset kepuasan konsumen dan dirayakan setahun sekali seperti penganugerahan Indonesia Consumers Satisfaction Awards (ICSA), situs saya ini mampu memberikan laporan kepuasan konsumen tiap minggu atau tiap bulannya untuk setiap kategori produk yang ada. Peranti lunak secara otomatis yang mengerjakannya. Daftar penting ini berpeluang dijual atau dilanggan oleh banyak perusahaan atau pun individu.

Agregasi atau himpunan opini para konsumen yang bersatu hingga kuat melalui situs saya ini, akan membuat keder produsen yang asal-asalan atau menghasilkan produk/jasa yang medioker. Saya yakin, situs saya ini akan menjadi sebuah “gempa bumi” yang hebat dalam dunia niaga di Indonesia. Karena ideologinya memang sejalan dengan revolusi di era Internet di mana konsumenlah yang menjadi raja !

Begitu saya bekerja di situs ini, saya belajar banyak. Dan cepat. Inovasi pun mencuat. Ketika di almari kantor saya temukan beberapa merchandise yang nganggur, seperti tas, poster, stiker dan leaflet, saya minta ijin bos saya bahwa benda-benda itu akan saya jadikan sebagai hadiah. Begitulah, tiap minggu kami mengadakan lomba menulis opini untuk warga komunitas situs ini mengenai pelbagai kategori produk. Ada kegairahan baru muncul di kantor ketika melakukan undian dalam menentukan pemenangnya.

Saya telah pula merancang tulisan untuk media massa, bahkan juga berusaha menggalang kontak agar berpeluang untuk diliput oleh televisi. Pamrih saya, situs saya ini harus ngetop dan populer. Jabatan saya sebagai Direktur Komunikasi, dengan lingkup tugas mencakup pemasaran, komunikasi dan kehumasan, bukankah kepopuleran merupakan indikasi dan nilai yang melekat sebagai indikator keberhasilan ?

Tetapi hal buruk yang tidak saya duga, kemudian muncul. Inovasi dan beragam gagasan saya itu rupanya justru mulai mengusik ketenteraman bos saya. Bos saya yang keahliannya pada pemrograman dan webmaster, yang lebih banyak bekerja di balik layar dan ngumpet di belakang monitor komputer, rupanya menjadi ketakutan bila nama atau unjuk kerjanya menjadi tenggelam oleh kepopuleran diri saya. Lalu siapa yang keliru dalam hal ini ?

Ganjalan itu baru saya ketahui ketika maklumat untuk warga komunitas situs tersebut, yang saya buat, terkirim tanpa nama saya sebagai pejabat tugas-tugas komunikasi. Nama saya dalam email itu telah dihapus oleh bos saya. Saya kecewa berat. Pernah pula saya menggalang kontak dengan salah satu calon pemasang iklan. Mereka ingin ketemu. Tetapi oleh bos saya, saya tak disediakan waktu atau pun mobil untuk menemui calon klien tadi.

Kimia antara dia dan diri saya kemudian memburuk. Dalam suasana tak serasi itu, saya gunakan akses Internet kantor itu untuk mencari hiburan : humor, humor dan humor. Pada puncak konflik, ia memberi saya tugas hitung-hitungan, menjumlah angka kunjungan ke situs bersangkutan, secara manual. Saya menolak. Itu bukan tugas bidang saya. Sorenya, ia menitipkan surat kepada bagian sekretaris untuk disampaikan kepada saya. Dirinya tidak berani berhadapan muka. Isi surat itu : saya kena PHK.

Itulah kiprah saya di dunia pekerjaan. Kembali, hidup saya mungkin memang ibarat perjalanan komet. Melintas sebentar, bercahaya terang, dan kemudian menghilang. Mungkin juga seperti isi lirik lagu dari ABBA yang bercerita tentang seekor elang :

Ia menerbangi daerah-daerah di luar daerahku
untuk menemukan horison-horison baru
berbicara aneh tetapi bisa aku mengerti

Benarkah diriku yang suka “berbicara aneh” ini bisa dimengerti ?

Ranti “Anti” Katriana tidak mengerti. Tidak apa-apa, Anti. Itu karena kesalahanku. Teman dalam workshop melukis anak-anak, tidak mengerti. Warga Epstoholik Indonesia yang belum mengelola blog, tidak mengerti. Dosen saya tidak mengerti. Bos Internet saya juga tidak mengerti..

Diriku mungkin harus bahagia tertakdir ibarat elang dalam mengarungi karunia Tuhan yang bernama hidup ini. Mungkin hanya mereka-mereka yang berada di atas-atas awan sana yang mau atau bisa mengerti diriku ini. Para juri dalam kontes Honda’s The Power of Dreams Contest 2002, mengerti. Juri Mandom Resolution Award 2004, juga mengerti.

Ketika merenung dan mengilas balik, ah, hidupku memang bukan seperti matahari yang rutin dan setia hadir setiap pagi. Baik dalam cita-cita, minat, pekerjaan, atau pun cinta. Tetapi ibarat perjalanan komet yang melintas-lintas dalam banyak langit, di banyak angkasa, pada banyak waktu yang berbeda-beda. Dalam cita-cita, minat, pekerjaan, atau pun cinta.

The great source of pleasure is variety, begitu tutur Samuel Johnson. Variety is the soul of pleasure, tandas lagi Aphra Behn (1640-1689) yang dramawan, penyair dan novelis Inggris. Komet memang tertakdir hadir penuh ragam dan pesona, tetapi memiliki ciri abadi :

Muncul sebentar.
Menimbulkan kehebohan.
Kemudian menghilang.



Wonogiri, 16-19 Juli 2005

Sunday, July 10, 2005

I Love You, Ditta Amahorseya !

(Tentang Dusta, Kejujuran, Dan Hidup Seorang Epistoholik)

Oleh : Bambang Haryanto
Esai Epistoholica No. 24/Juli 2005
Email : epsia@plasa.com
Home : Epistoholik Indonesia


PELAJARAN DUSTA REPORTER TV. Seorang selebritas menjalani pemotretan sinar X, roentgen, untuk memastikan ada atau tidaknya sesuatu penyakit dalam tubuhnya. Sebelum hasil pemotretan diserahkan ke dokter untuk dianalisis, si artis berbisik kepada operator mesin roentgen tersebut. Ia minta agar hasil pemotretannya terlebih dulu di-retouching, istilah teknis kamar gelap dalam dunia fotografi, yang intinya menjadikan hasil pemotretan tersebut menjadi lebih indah dibanding aslinya.

Itu lelucon. Untuk menggambarkan betapa dunia selebritas adalah dunia fetish, yang sarat pemujaan terhadap kesempurnaan, baik kecantikan sampai ketampanan. Sehingga hasil foto sinar X pun harus direkayasa demi untuk menjaga citra. Kita pun tahu, kini semangat pemujaan terhadap kesempurnaan merupakan senjata ampuh para pemasang iklan untuk menjual produk-produknya. Lihatlah, akibat tumbuh jerawat atau berketombe, mereka gambarkan dunia bak kiamat bagi yang memilikinya. Kemasan dusta yang canggih !

Orang televisi adalah salah satu rujukan yang pernah mengenalkan kepada saya budaya “dusta itu boleh” dalam tayangan media. Momen itu terjadi di tahun 1986. Atas prakarsa Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial (YIIS) yang dipimpin Prof. Selo Sumardjan, guru besar di FISIP UI, digagas tayangan seri informasi untuk mengenalkan pelbagai cabang disiplin ilmu-ilmu sosial di layar TVRI. Saat itu saya sebagai asisten dosen di Jurusan Ilmu Perpustakaan FSUI, mendapat tugas dari jurusan untuk menggarap proyek tersebut.

Ibarat Steven Spielberg, saya pun melakukan casting atau pemilihan calon pelakonnya. Selain ketua jurusan Lily K. Soemadikarta, ada Soelistyo Basuki, dosen yang baru saja pulang dari AS membawa gelar doktor, Theresia Emir, alumnus yang saat itu pemimpin redaksi majalah remaja Mode Indonesia, dan Djati Wahyuni, seorang insinyur, staf Pusat Dokumentasi Informasi Ilmiah – LIPI (PDII-LIPI). Tentu saja, diri saya sendiri ikut pula. Saya juga yang menulis skripnya.

Sebelumnya, kami pernah bertemu dengan wakil dari disiplin ilmu sosial lainnya. Kebanyakan dari sesama pengajar di lingkungan UI. Pertemuannya di kantor YIIS, Kwitang. Langsung dipimpin oleh Pak Selo Sumardjan. Saat itu media televisi satu-satunya hanya TVRI. Banyak orang berpendapat, karena bersifat monopoli membuat orang-orang TVRI terkesan arogan. Entah benar atau tidak, sebagai kalangan yang belum ngeh terhadap kerja media televisi, membuat kami kaum akademisi ini banyak berbagi keluhan.

Misalnya, mbak cantik yang dosen Antropologi FISIP UI membeber uneg-unegnya kepada saya. Katanya, saat syuting untuk Ilmu Politik ada hal yang membuat kru TVRI tersinggung. Akibatnya, tayangan yang memunculkan ilmuwan politik Prof. Miriam Budihardjo (keponakan beliau sekelas dengan saya dalam mata kuliah bahasa Perancis), begitu menurut si mbak cantik tadi, gambarnya menceng-menceng jadinya !


“Mas, ini untuk tayangan televisi. Banyak direkayasa. Ini seperti sandiwara”, kata reporter dari TVRI yang seorang wanita kepada saya. Ia didampingi asistennya, juga wanita.. Namanya : Kadek. Asal Bali. Ia jelita sekali. Kamerawannya, Hendro, mengaku dari Jagalan, Solo.

Syuting kami berlangsung dua hari. Hari pertama di kampus FSUI Rawamangun dan Pusat Studi Ilmu Komputer (Pusilkom) UI di kampus Salemba. Hari keduanya di gedung PDII-LIPI, Gatot Subroto. mBak Threes Emir yang awet muda dan modis itu sempat meledeki saya, karena : “dua hari engga berganti baju”


DIJODOHIN DENGAN POLISI. Di sela penggarapan program televisi tersebut, bersama pengajar lainnya di jurusan, saya mengajar kursus Perpustakaan dan Dokumentasi untuk staf di lingkungan Pusat Sejarah ABRI. Saya dapat jatah mengajar Media Teknologi. Mengenalkan media literacy, melek terhadap media, dengan prakteknya berupa pengenalan dasar-dasar fotografi dan kegiatan pemotretan. Ada 20-an peserta, baik kalangan sipil mau pun militer, dari pelbagai angkatan. Pangkat tertinggi peserta adalah Letnan Kolonel. Dilaksanakan di lingkungan Museum ABRI Satria Mandala, Gatot Subroto, Jakarta Selatan.

Setelah kursus berlangsung beberapa saat dan mengetahui status saya yang bujangan, perwira yang memimpin pelaksanaan kursus, Letkol (U) Harris, yang perwira Angkatan Udara, kasak-kusuk. Ia berbaik hati. Yaitu ingin menjodohkan saya dengan peserta kursus. Ah, asmara memang bisa bersemi dan mekar di mana-mana. Ia merujuk kepada dua wanita muda, manis-manis, berkulit putih dengan pangkat letnan dua polisi. Boleh milih, kata Pak Harris. Netty atau Agnes. Saat itu, peserta wanita lainnya, Lettu Sus (U) Mardiana Saragih, juga meminta dengan rada serius alamat saya.

Tawaran tak dinyana ini saya tanggapi dengan serius pula. Jawaban saya, “Hal terberat mempunyai istri dari kalangan militer atau polisi, adalah bila ingin melakukan sesuatu, yang paling intim sekali pun, kita wajib melapor terlebih dulu. Kalau mereka belum menyatakan ‘Siap !’, kita tidak bisa melakukannya”.

Saya sebagai anak tentara kan juga tahu leluconnya tentara. Begitulah, setelah mengalami dan menghayati mata pelajaran saya yang lebih banyak diisi canda, sampai ada peserta kursus sengaja meminjami saya buku kartun asal luar negeri. Isinya : lelucon tentara yang bercampur rada-rada porno. Buku itu kami nikmati ramai-ramai. Klop sudah selera antara murid dengan gurunya !

Ketika pelajaran praktek memotret dengan slide selesai, hasilnya saya tayangkan dengan proyektor ke layar. Potretnya standar, seperti foto saat kita berwisata. Ketika di layar tersaji gambar, mereka berpakaian seragam dan berdiri berjajar di muka pagar kolam, saya berkomentar : “Inilah contoh mereka yang sukses memelihara ikan sebagai peserta program Transmigrasi Angkatan Darat di Muara Bungo, Sumatra”.


Program Pengetahuan Ilmu-Ilmu Sosial yang mengenalkan Ilmu Perpustakaan jadi ditayangkan di TVRI, Jumat, 30 Januari 1987. Jam 20.00. Aku nonton di rumah mBah Roto, Rawamangun. Upaya untuk merekamnya ke kaset video, gagal. Aku tulis sebagian kesanku di buku harianku : “He-he, aku geli nonton diri sendiri !”

Tetapi, esoknya, ketika mengajar ke kursus, seisi kelas menyambut penampilanku di TVRI kemarin dengan hurra. Baik Sri Atmakusumah (teman kuliahku yang bekerja di Pusjarah ABRI, kini pindah ke Perpustakaan Nasional, dan istri tokoh pers nasional, Atmakusumah), Letda (Pol) Entin Kustini, Pak Harris, Letkol Sumadi, Mayor Taryono Tartar sampai Mayor Hermana Sulaiman, semuanya mengucapkan selamat untuk penampilanku di televisi.

Esoknya lagi, Tya, doi saya, justru berlaku getas. Mengomentari sebaliknya. Ia cerita, katanya langsung senyum-senyum saat begitu diriku muncul di televisi. Tetapi, lanjutnya lagi, ia tak tanggung-tanggung memvonis bahwa penampilanku di televisi kurang wajar. Kurang rileks. Kaku. Sampai omongannya engga natural. Benar-benar omongan gadis jujur. Memang tak mudah secara instan menjadi aktor di televisi. Aku tak bisa mengelak.

Yang pasti : apa yang Tya katakan memang benar adanya. Aku akui. Saya senang terhadap keterusterangannya itu. Karakter tersebut merupakan salah satu daya tarik diri pribadinya. Termasuk ketika berkata bahwa ia ingin membeli buku mengenai kiat-kiat bagaimana hidup dan mencintai seseorang yang berkarakter sulit. Termasuk pula kemudian sebagai gadis keturunan etnis Tionghoa, Tya berani berterus terang mengatakan bahwa ia suka pria Jawa.

Setelah puas menggebuki saya dengan kritikan, ia pun bermurah hati membedaki luka itu dengan taburan komplimen : Tya senang melihatku tampil di televisi dengan rada rapi. Beberapa bulan kemudian ketika aku ia minta mewakili orang tuanya dalam pertemuan antara orang tua/wali mahasiswa dengan fihak fakultasnya, dan saat kami bertemu pagi-pagi di kampus Universitas Trisakti, Tya sempat bernostalgia : “Kok engga tampil seperti saat muncul di TV dulu lagi ?”


MENTERI YANG DUSTA. Setelah kami bubaran, aku tak tahu apakah Tya juga pernah nonton lagi penampilanku di televisi. Seingatku, aku pernah muncul di antv, Indosiar, TransTV, dan juga TV7 akhir-akhir ini. Muncul di televisi, memang mampu memunculkan sensasi.

Walau pun demikian, sebagai sumber informasi, televisi kini bukan favorit saya lagi. Saya jarang menonton televisi. Tayangan berita, hampir tidak pernah. Hanya kadang nonton sepakbola Indonesia atau sitkom “Friends” di RCTI bila tidak keburu mengantuk saat menjelang puncak malam Senin itu.

Tetapi, suatu hari, secara tak sengaja, saya nonton televisi yang menayangkan acara jumpa pers seseorang mantan pejabat tinggi negara yang dikait-kaitkan dengan pelanggaran HAM. Gerak-gerik dirinya di depan kamera lalu mengingatkan saya isi artikel majalah Reader’s Digest (6/1985), berjudul “How To Tell If Someone Is Lying”. Bagaimana Mengetahui Bila Seseorang Melakukan Kebohongan.

Tulisan tersebut merupakan petikan dari bukunya Allan Pease, Body Language (Bantam, 1984). Isinya mengenai kiat-kiat praktis, tanpa kita perlu memakai alat lie detector, sehingga kita mampu mendeteksi ketika seseorang melakukan dusta atau sebaliknya.

Pernah, seorang Menteri Dalam Negeri di era Orde Baru termuat fotonya di sampul suatu majalah berita dengan pose jari telunjuknya bersilang di depan mulutnya. Saya pun segera berkesimpulan : ia berdusta. Ketika mantan pejabat tinggi negara yang dikait-kaitkan dengan pelanggaran HAM tersebut tampil dengan berwajah tegang, berkali mengusap hidung atau menggaruk lehernya, saya pun segera kembali berkesimpulan : dirinya juga sedang berdusta.

Kiat-kiat Allan Pease ini, oh, entahlah, merupakan berkah atau justru merupakan musibah bagi diri saya. Karena saya sering secara tidak sadar, bila berinteraksi dengan seseorang, sindrom “malaikat pencatat keburukan” itu otomatis berjalan di benakku. Aku seperti tergoda untuk mencari tanda-tanda, clues, atau mengharapkannya muncul, sehingga aku segera memperoleh kesimpulan bahwa dirinya orang yang jujur, apa adanya, atau manipulatif, alias suka melakukan dusta.

Lebih merepotkan lagi, ketika misalnya hubungan antarkita kemudian merosot atau memburuk, aku kadang terdorong untuk memutar ulang momen-momen perjumpaan atau catatan yang lalu, guna mencari-cari dan menemukan isyarat bahwa dirinya dulu-dulu itu memang telah melakukan dusta. Oh, aku tahu, sindrom merasa jujur sendiri atau merasa benar sendiri seperti ini tentu bukan hal yang sehat. Tetapi, entah kenapa, sepertinya penilaian yang dituntun oleh intuisi dan isi artikel tersebut lebih sering mendekati kebenaran.

Akibatnya, bagiku, ternyata menemukan kebenaran sering menimbulkan kekecewaaan. Juga berderet pertanyaan. Mengapa seseorang yang kepadanya telah aku sajikan diriku sebenarnya, justru mereka balas dengan dusta ? Mengapa seseorang yang nampak ingin memproyeksikan dirinya sebagai sosok yang jauh dari perbuatan dosa, taat kepada agamanya, juga melakukan hal yang sama pula ?

Meminjam penggalan lirik lagu “Simple Man”-nya Lobo, pertanyaan itu berbunyi : “Why does everyone have more than one face ?”. Mengapa setiap orang mempunyai banyak muka ?

Jawabnya : karena dunia ini memang berisi macam-macam manusia.

Lebih detil, Allan Pease mengatakan bahwa gerakan tangan menyentuh wajah sering melukiskan tindakan desepsi, dusta. Ketika seseorang berbicara, melihat dan mendengar kebohongan atau ketidakjujuran, dirinya akan mencoba berusaha menutup mulut, mata dan telinga dengan tangannya.

Anak kecil bila berbohong, dirinya seringkali menutup mulut dengan tangan dalam upaya menyetop keluarnya kata-kata bohong dari mulutnya. Apabila ia tidak ingin mendengar cercaan dari orang tuanya, ia akan menutup telinga dengan kedua tangannya. Begitu pula, bila ia tak ingin melihat sesuatu, dirinya akan menutupkan tangan ke matanya. Ketika semakin dewasa, gerak tangan ke wajah tersebut akan lebih halus, lebih tersembunyi, tetapi tetap muncul.

Menurut Allan Pease lagi, ketika seseorang mulai berdusta, tubuhnya mengirimkan sinyal-sinyal yang saling bertentangan. Walau pun sinyal itu secara sadar ingin ditekan, toh tanda-tandanya tetap muncul di sana-sini. Misalnya, otot wajah jadi menegang, pupil mata membesar dan berkontraksi, berkeringat di kening, pipi memerah, dan peningkatan frekuensi kedipan mata.

Jeffery P. Davidson dalam bukunya mengenai kiat sukses meniti karier, Blow Your Own Horn : How To Market Yourself and Your Career (Amacom, 1987), menyarankan agar kita berhati-hati dengan bahasa tubuh kita. Bahasa tubuh, katanya, lebih jujur menghadirkan isyarat ketika seseorang melakukan kebohongan. Agnes de Mille, penari dan penata tari Amerika Serikat seperti dikutip New York Times Magazine (11/5/1975) pernah bilang bahwa ekspresi sejati seseorang itu tercermin pada tari dan musiknya. Tubuh tak pernah berbohong, katanya.

Kajian Dr. Robert Goldstein dari Universitas New York yang termuat dalam buku The Average Books menyimpulkan rata-rata orang Amerika melakukan dusta 1.000 kali tiap tahunnya. Para pendusta itu tingkah laku gaulnya cenderung :

* Singkat dan minimal dalam perubahan ekspresi mukanya
* Hemat gerak tangan dan menghindari kontak mata
* Cenderung menjauh dengan lawan bicara
* Menjadi terlalu sadar diri, suka mengubah posisi duduk, ribet merapikan pakaian dan menggaruk-garuk
* Bicaranya pelahan dan kalimatnya lebih singkat dibanding normalnya, karena berpikir bila semakin panjang omongannya akan semakin terbuka kedoknya


Di luar rumus-rumus canggih yang diajukan oleh Allan Pease dan Robert Goldstein tadi, sebenarnya tiap diri kita telah dikaruniai intuisi guna menentukan apakah lawan bicara kita sedang berdusta atau tidak. Tetapi, hemat saya, dari semua interaksi yang terjadi, sebenarnya yang jauh lebih tidak berbahagia adalah justru si pendusta itu sendiri.

Sudah sering terbukti, guna melindungi dustanya terdahulu maka dirinya akan terdorong untuk berdusta lagi. Berdusta lagi. Lagi dan lagi. Dirinya kemudian, mungkin justru tidak ia sadari, sungguh-sungguh semakin tenggelam dalam pusaran spiral kedustaan. Kobaran api neraka kecil mulai membakar diri mereka sendiri.


AWAL PESONA DITTA. Masih terkait dengan dusta, kolumnis humor terkenal Amerika Serikat, Art Buchwald, pernah mengatakan bahwa petugas humas, public relations, adalah orang-orang yang selalu terpaksa mengatakan sesuatu yang sebenarnya tidak ingin mereka katakan.

Ungkapan ini, di sela-sela acara Deklarasi Asosiasi Suporter Sepakbola Indonesia (ASSI) di Gedung Yayasan Tenaga Kerja Indonesia (YTKI), Jl. Gatot Subroto Jakarta (11/8/2001), aku lontarkan kepada Bogie Priadi, Senior Officer Divisi Komunikasi dan Korporasi Bank Mandiri. Dialah petugas top humasnya bank pemerintah yang saat itu mensponsori Liga Indonesia. Pak Bogie tersenyum lebar menanggapi gurauanku ini. Petugas PR atau Humas memang digaji untuk mengatakan hal-hal yang serba baik mengenai perusahaannya kepada masyarakat.


Rumusan tersebut pasti juga dikenal oleh seorang Ditta Amahorseya. Siapakah Ditta ? Kalau Anda membaca harian Kompas (6/7/2005) di halaman 33, dalam rubrik “Teropong”, Anda akan mendapati cerita penuh inspirasi tentang dirinya.

Bukan mengenai kiprahnya sebagai pejabat top humasnya Citibank Indonesia, atau sebutan resminya sebagai Corporate Affairs Head of Citibank Indonesia. Tetapi tentang pergulatan pribadinya yang mengidap kelainan jantung, sekaligus spirit perjuangannya mengelola penyakitnya tersebut, hingga berani meniti keputusan yang berada di batas tipis antara hidup dan mati. Ditta yang mengagumkan.

Sejak dulu, saya menyukai Ditta Amahorseya. Saya merasa mengenalnya sejak tahun, kalau tak salah, 1978, 1979, atau 1980. Semula saya mengenalnya dari majalah Gadis. Saya menulis cerita pendek dan esai di majalah ini. Mau tak mau juga tergiur membaca-baca kegiatan yang diadakan majalah Gadis, yaitu pemilihan Putri Remaja Indonesia. Antara lain pernah tampil nama-nama pemenangnya seperti Ella dan Petty Tunjungsari, keduanya anak Titiek Puspa. Tika Bisono (“saya kenal Tika, ia juri saya di kontes Mandom Resolution Award 2004”). Marina Sastrowardoyo. Tentu saja, juga Ditta Amahorseya.

Tahun 1980, baru saya bisa melihat diri Ditta dengan mata kepala saya sendiri. Sosoknya lebih tinggi di antara rata-rata rekannya. Sekitar 170 cm. Berkacamata, rambutnya panjang, dan agak berbobot. Rada chubby. Tapi, menurutku, Ditta sungguh charming dan mencitrakan wanita berintelejensia. Saya baru tahu Ditta punya turunan darah sastrawan Sutan Takdir Alisjahbana ketika membaca iklan duka cita di Kompas saat meninggalnya ayahandanya.

Saya melihat Ditta saat itu sebagai salah satu dari kaum “WTS” yang rutin mangkal di Rawamangun. Jangan berpikir yang bukan-bukan dulu. Walau mungkin sebuah kebetulan ketika di tahun 60-an sejumlah mahasiswa Fakultas Sastra UI Rawamangun menyatakan marah dan tersinggung ketika merasa pernah mendapatkan sangkaan agak “miring” tersebut.

Bacalah isi buku harian Catatan Seorang Demonstran (1983), karya Soe Hok Gie. Buku ini saya beli di Jakarta, 30 Juni 1983. Buku yang kini difilmkan oleh Riri Riza (aku kenal Riri Riza, ia menjadi juriku di Honda’s The Power of Dreams Contest 2002) dengan judul Gie, dimana dalam catatatannya seorang Soe Hok Gie yang saat itu mahasiswa Jurusan Sejarah FSUI telah geram dan melampiaskan kemarahannya atas penilaian seperti itu :

Hari itu hari Jumat tanggal 7 Januari 1966. Aku tiba di Fakultas Sastra kira-kira jam 11.30 dengan mengendarai jip dari Drs. Nugroho Notosusanto. Ketika aku tiba di ruang Senat terlihat suasana resah........Ketika aku dan Herman kembali ke ruang Senat rupanya sudah ada persoalan lain yang cukup memusingkan kepala. Beberapa jam yang lalu Senat menerima surat dari Prof. Prijono, Menko Pendidikan dan Kebudayaan yang pada pokoknya meminta agar (Fakultas) Sastra mengirimkan 20 orang mahasiswi untuk “nonton” wayang di istana semalam suntuk. Cara memintanya sangat menyinggung perasaan, seolah-olah Sastra adalah tempat supply wanita untuk konsumsi istana. Tidak seorang mahasiswa pun yang diundang”


”WTS-WTS” YANG MEMESONA. Di komplek kampus Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Rawamangun, terdapat taman yang dipayungi rimbun pepohonan yang diisi beberapa kupel dan bangku taman. Di sana-sini mangkal pedagang makanan. Komplek ini tiap hari kuliah selalu ditaburi sosok-sosok yang mampu melahirkan inspirasi, bukan saja cantik dan jelita, tetapi juga memesona. Mereka itulah yang lajim disebut sebagai para “WTS” : Wanita Taman Sastra.

Misalnya, dari Arkeologi ada Widhiana Laneza. Bercelana jin biru, baju jin biru pula, rambut panjangnya digerai. Mirip penyanyi rock. Kacamatanya frame besar seperti yang dipakai komedian Drew Carrey. Bagiku, ini pemandangan yang memesona. Ada pula Deasy Indriati, yang mungil dan gemintang. Dari Ilmu Perpustakaan : Saraswati, Sri Mulungsih, Arlima Mulyono (adik dari pelawak Warkop, almarhum Nanu Mulyono), Poppy sampai Evy yang mengejar-ejar cinta saya.

Dari Sastra Cina, misalnya penyanyi Christine Panjaitan. Teman kentalnya, Prianti Gagarin Singgih, yang seperti cewek bule Amerika. Sosok menawan dari Sastra Inggris antara lain, Siti Rabyah Parvati. Ayahnya dari Padang, ibunya, Ibu Poppy, priyayi dari Solo.

Rumah eyangnya di Solo kini menjadi lokasi berdirinya Balai Sudjatmoko. Intelektual raksasa dan Rektor Universitas PBB di Tokyo tersebut tidak lain adalah oomnya Siti Rabyah Parvati, yang akrab dipanggil Upik ini. Ayah Upik adalah Perdana Menteri Sutan Syahrir.

Kalau ada ulangan mata kuliah Bahasa Perancis, saya suka duduk di belakangnya. Biar mendapatkan bocoran jawaban yang benar dari dia. Ketika menulis skripsi, Upik cerita dirinya akan menulis tinjauan terhadap karya pengarang besar Amerika berkulit hitam, Ralph Ellison. Sebagai orang yang kebetulan tahu teknik-teknik meriset, menelusur dan menemukan informasi, saya telah membuatkan daftar artikel di pelbagai majalah Amerika Serikat yang pernah menulis tentang Ellison.

Melalui temannya, daftar itu saya berikan kepada Upik. Dengan catatan : dokumen komplitnya harus diuber ke pelbagai perpustakaan di AS sana. Suatu ketika kami bertemu di Perpustakaan Pusat Kebudayaan Amerika, di Wisma Metropolitan II. Ketika saya tanya tentang skripsinya, Upik malah bilang, “forget lah, Mas”.

Dari Sastra Indonesia, ada Ani “Trio Bebek” Harahap, putri seorang profesor yang sering manggung bersama Guruh Soekarnoputra. Dari Sastra Jepang, saya punya favorit : St. Hanifah Misa Lestari yang berwajah teduh dan inosen. Yasmina Kusuma Dewi, yang tinggi besar dan serasi itu, juga amatlah menawan.

Dari Sastra Jerman, sosok menawan tentunya peragawati top Indonesia, Pinkan Vemy Runtu. Dari Sastra Perancis, Dewi L. Primawati. Saat Dewi menikah, resepsinya dilangsungkan di India, tempat ayah Dewi menjabat sebagai duta besar RI di negeri anak benua itu. Ada pula Titi Widoretno, yang terkenal dengan nama Neno Warisman.

Jangan lupakan Reda Gaudiamo. Sosok perempuan satu ini memesona bila tampil di panggung, memetik gitar, dan melakukan musikalisasi puisi-puisinya wong Solo, Sapardi Djoko Damono, yang penyair dan guru besar di Sastra Indonesia. Sampai kini. Tampilan Reda, dengan dres kasual dan rambut panjang tergerai, mudah mengingatkan pesona penyanyi rakyat sohor Amerika : Joan Baez.


Saya tidak tahu, Ditta yang saat itu tercatat sebagai mahasiswa Sastra Indonesia, masuk tahun 1979 atau 1980. Ia kemudian pindah ke FISIP UI, mengambil Ilmu Komunikasi. Tahun 1990, ia mengambil Master di Universitas Boston, Amerika Serikat. Kalau masuk tahun 1979, mungkin di Sastra Indonesia ia seangkatan dengan Mien Lindim Pongoh. Gustinia Farida. Evy Suhaemi. Ibnu Wahyudi ? Kalau masuk tahun 1980, seangkatan dengan Eko Endarmoko. Juga, Dwi Retno “Tutut” Setiarti.

Cerita lain dulu. Di tahun 1981, saat dunia terpincut berat sama Lady Diana, saya mendapati kemiripan style rambut Princess Diana pada seorang Nia. Nama lengkapnya : Gustinia Farida. Sosoknya tinggi, slim dan cantik. Mencerminkan gadis yang penggembira. Saya suka bila ia memakai rok span warna biru Benhur. Senyumnya cemerlang.

Dalam upaya untuk berkenalan dengan dirinya, oh, rupanya saya telah melakukan blunder yang asyik, sangat memalukan, tetapi juga tidak terlupakan sepanjang hidup saya. Saya senang mengenang karena telah melakukan kekonyolan yang unik !

Saya memberanikan diri mengirim surat pujian dan beberapa pertanyaan untuknya, tentu menyangkut pengetahuannya sebagai mahasiswa Sastra Indonesia. Aku boleh menyombongkan diri, sebagai seorang epistoholik, betapa hebat daya sihir surat yang aku kirimkan saat itu. Tetapi aku kemudian justru menjadi terkaget sendiri ketika mengalami akibatnya yang tidak terduga-duga !

Di surat, aku mengaku bernama Hari, seorang pelajar SMP yang bertanya kepadanya bagaimana cara menulis puisi yang baik. Skenarioku, Nia akan sudi membalas dan secara pelan-pelan, aku akan mengenalkan diriku yang sebenarnya. Benar-benar taktik yang mengandalkan kebohongan, sehingga aku memang pantas kena batunya !

Suatu sore, ketika aku baru bangun tidur siang, tiba-tiba di depan rumah kosku yang berupa lapangan volley di Jl. Balai Pustaka Timur, terparkir sebuah mobil jip Jimny coklat. Dari dalam jip muncul sosok yang aku kenal :

Gustinia Farida !

Ia ditemani dua teman cewek yang kemudian salah satunya aku kenal bernama Mien Lindim Pongoh. Terjadilah pertemuan yang kaku dan lucu. Aku tetap mengaku sebagai Hari, kuliah di Jurusan Ilmu Perpustakaan FSUI. Tetapi aku pura-pura tidak mengenal mereka. Mereka bertiga juga tidak mengaku mahasiswa FSUI pula.

Liar ! Liar ! Liar !

Aku juga cerita berasal dari Solo, dan di kos ini bersama rekan di Fakultas Kedokteran UI. Kemudian mereka bertiga pamit. Terlanjur kejeblos, esoknya aku justru mengirim surat lagi kepadanya. Intinya, menanyakan kok suratku dulu engga dibalas.

Mungkin karena terlanjur malu, gengsi atau tak mau mundur dari kebohongan, aku ragu-ragu untuk meneruskan manuverku untuk mengenal Gustinia Farida. Goblog ! Padahal, di kampus dan kalau aku melewati dia yang sedang ngerumpi dengan temannya, kerumunan itu terdengar bersorak. Namaku terseru pula dari sana. Tetapi, oh, aku malah cepat-cepat ingin kabur saja !

Ia pun kiranya pernah meminta bantuan petugas perpustakaan FSUI agar aku dipinjami buku seputar panduan menulis puisi. Petugas itu berkali-kali titip pesan kepada rekannya, yaitu petugas perpustakaan di jurusanku, untuk disampaikan kepadaku.

Tahun 1982, kalau tak salah, Gustinia Farida sudah tidak aku temui di kampus FSUI lagi. mBak Yayi, petugas perpustakaan FSUI dan sebagai salah satu pusat sumber gosip mengenai mahasiswa FSUI, mengabarkan bahwa Nia berpindah ke Australia.

Cerita masih berlanjut. Beberapa tahun kemudian, ketika aku menjadi asisten dosen mata kuliah Media Teknologi, aku membutuhkan mahasiswi yang mempunyai suara enak, microphonic. Saat itu aku sedang membuat program slide bersuara. mBak Yayi, petugas perpustakaan FSUI, bersedia membantu mencarikannya. Ia tahu ada mahasiswi Sastra Indonesia yang pernah menjadi penyiar radio. Setelah ketemu, siapa dia ?

Mien Lindim Pongoh.

Ah, dunia memang kecil. Begitulah “reuni” antara kita terjadi. Berhari-hari Mience, panggilan akrabnya, dengan baik hati membantuku dalam perekaman suara di Lab Bahasa FSUI. Kita sama-sama menahan diri. Seolah baru saling kenal saat itu.

Aku tidak menanyakan kabarnya Gustinia Farida. Apalagi menanyakan momen saat ia memergoki aku bangun tidur di kosku dulu-dulu itu. Mien, wanita semampai, manis, santun, berkulit putih asal Manado, tetapi merasa tak punya kaitan keluarga dengan pemain bulutangkis terkenal Lius Pongoh, rupanya juga tidak tergoda untuk membongkar-bongkar rahasiaku yang ia ketahui sejak dulu itu.

Sebelum lulus, ia telah menikah dengan seorang wartawan Suara Pembaruan dan dikaruniai satu putra. Aku sempat mendapat cerita-cerita mengenai putranya itu. Tetapi Mien tidak menyiar di radio lagi.


Mahasiswi Sastra Indonesia yang sempat membuat saya patah hati adalah Dwi Retno Setiarti. Menurutku, ia mirip Pam Dawber yang saat itu bermain dalam sitkom “Mork and Mindy” bersama Robin Williams. Orang cantik asal Slipi ini setelah lulus SMA sempat menjadi pramugari. Tidak aneh bila dibanding rekan sesama angkatannya ia punya rasa percaya diri yang lebih kuat. Aku mengalami reaksi kimia yang menggelora ketika Tutut (nama panggilannya di rumah) menebar pesona dengan pandangannya.

Di lorong kampus Rawamangun itu, tak hanya sekali, pandangan mata Tutut seolah mengabarkan sinyal-sinyal gelora seperti lirik lagu “Strangers In The Night”-nya Frank Sinatra. Sebuah nyala api infatuation mulai memercik di dadaku ini :

Something in your eyes was so inviting,
something in your smile was so exciting,
something in my heart told me I must have you


Semula aku tak tahu namanya. Aku minta bantuan temanku, Bakhuri Jamaluddin yang satu kelas dengannya dalam mata kuliah Bahasa Sumber Belanda. Tutut jelas orang Jawa. Berdasar rujukan nama dan alamatnya, aku berhari-hari melakukan aksi scanning terhadap buku telepon Jakarta yang tebal itu. Tidak pula ketemu nomor telepon rumahnya.

Suatu malam, saya memutuskan main ke rumahnya. Sebelum masuk gang, saya bertanya pada beberapa wanita yang sedang berkumpul di mulut gang tersebut. Ketika itu saya bertanya rumahnya Dwi Retno Setiarti, “yang kuliah di Rawamangun”. Salah satu dari mereka bilang, “mBak Tutut lagi pergi”. Rupanya ia pembantunya. Aku lalu bertanya nama ayahnya. Bingo ! Problemku terselesaikan.

Aku kejutkan Tutut, keesokan harinya, dengan menelponnya. “Dari mana kau bisa mendapat nomor teleponku ? Dari Henny ya ?”, tanyanya dengan penasaran. Aku jawab dengan gombal : “Aku hanya minta bantuan ke Telkom. Kataku, tolong carikan nomor teleponnya Tutut, orang Slipi yang sangat cantik dan mahasiswa UI. Dari mereka aku lalu dapat nomor telepon rumah kamu !” Tutut terdengar tergelak renyah.

Sayang, walau pun penuh gelora, ramuan kimia antara kita di hari-hari mendatang kurang berjalan serasi. Saya pernah pula memotretnya. Obrolan-obrolan singkat di kampus atau di telepon, terasa tidak mulus. Kurang nyambung. Kesalahanku yang utama dalam relasi ini adalah kurang sabar. Kesalahan fatal dalam urusan cinta. Akibatnya, jatuh cinta itu cepat berkobar dan cepat pula padam apinya. Tetapi, Tutut tidak mudah terlupakan.


SPIRIT DITTA AMAHORSEYA. Aku menyukai Ditta Amarhoseya, walau jelas tidak ada api asmara yang meletup di sana. Yang mengemuka adalah berupa perasaan kagum, bercampur rasa hormat. Seperti kita menyukai dan sekaligus mengagumi sosok Aung San Su Kyi, Ibu Teresa, Corazon Aquino, Oprah Winfrey, Meg “Ebay” Whitman, Karlina Supelli, Dita Indah Sari, Marsinah dan mereka yang dari pribadinya memancarkan pesona luhur atau keteladanan tertentu.

Didorong saking tertariknya kepada Ditta, aku sempat menyediakan map khusus untuk menghimpun kliping penampilannya dalam liputan media. Ditta adalah seorang avid reader, pembaca buku yang jempolan. Aku pernah tergoda untuk mengirimkan surat, ketika ia masih bekerja untuk sebuah perusahaan rokok yang kini diakuisisi perusahaan rokok raksasa Amerika. Aku pengin mengirim protes ke Ditta, “mengapa Anda sebagai wanita yang cerdas mau bekerja pada perusahaan yang produknya merugikan kesehatan, juga mengakibatkan kematian yang tidak perlu ?”

Apakah karena penyakit kelainan jantung itu yang telah mendorong Ditta pindah bekerja, dari pabrik rokok ke lembaga perbankan ? Saya tidak tahu.

Mengidap kelainan jantung bawaan bukan berarti kehilangan harapan hidup. Ditta Amahorseya (44), Corporate Affairs Head of Citibank Indonesia, telah membuktikannya. Tidak ada kata “menyerah” dalam kamus hidupnya kendati telah beberapa kali di ambang ajal karena serangan jantung dan dioperasi lima kali. Itulah cerita awal wartawati Kompas, Evy Rachmawati, ketika menulis tentang perjuangan hidup seorang Ditta.

Pantang menyerah. Begitulah prinsip yang dijalani oleh Ditta menghadapi penyakit jantungnya. Karena itu, ia memutuskan menjalani serangkaian operasi jantung kendati peluang keberhasilannya tipis dan menimbulkan rasa sakit yang luar biasa.

“Kematian buat saya adalah pilihan. Kalau kedamaian itu bisa didapatkan dengan kematian, mengapa tidak. Apa bedanya saya mati dua jam setelah operasi atau beberapa tahun lagi, saya tidak mau menunggu dalam kesakitan”, tuturnya.

“Saya harus menerima kenyataan kalau kelainan jantung saya tidak bisa sembuh seratus persen. Ini kelainan. Kalau bocor ya dibetulin, begitu seterusnya”, papar Ditta.

Ditta mengaku sempat marah atas gangguan jantung yang dideritanya sehingga ia harus dioperasi berulang kali, minum obat seumur hidup, dan setiap minggu harus diambil darahnya untuk diperiksa kekentalannya. Memang, dalam merespons sesuatu keadaan yang buruk seseorang wajar melewati tahap penyangkalan (denial), marah (anger), tawar-menawar (bargain), depresi (depression) dan akhirnya penerimaan atau pasrah (acceptance).

“Saya marah selama lebih dari setahun ketika mengetahui tidak bisa hamil dan punya anak gara-gara ini”, ujar cucu sastrawan Sutan Takdir Alisjahbana itu. Namun, pendalaman pada nilai-nilai spiritual belakangan membuat ia pasrah atas kelainan jantung yang juga dialami ibu, nenek dan adiknya. Kepasrahan itu, acceptance, ternyata amat membantu proses operasi karena ia seolah bekerja sama dengan dokter dengan alam bawah sadarnya.

“Saya banyak bersyukur pada apa yang ada sekarang. Saya menikmati apa yang bisa dipetik sampai saatnya saya mati nanti”, katanya.


Ditta, bagi saya, sungguh pribadi yang luar biasa. Bukan hanya karena telah menunjukkan semangat die hard untuk mempertahankan hidup, tetapi juga kepasrahan yang ia yakini dan rasa syukur yang selalu ia panjatkan kepada Tuhan. Pribadinya pun makin bersinar, inspiratif, ketika ia dengan terbuka dan rela menceritakan cacat dan cela yang ia miliki kepada masyarakat luas.

Ketika budaya dunia selebritis semakin mengepung dan memengaruhi kita untuk tampil menomorsatukan kesempurnaan, Ditta tidak memilih jalan itu. Ditta memilih jalan untuk tampil sebagaimana manusia dengan segala kekurangannya.

Pilihan yang luhur sehingga tiap orang mampu menemukan kaitan, juga relevansi, antara diri mereka dengan spirit dan perjuangan seorang Ditta selama ini. Apalagi keterusterangan dan kejujuran, bukan dusta atau upaya menutup-nutupi kekurangan, adalah hal langka untuk ditemui di negara yang berdiri dalam jajaran nomor wahid dalam kejahatan korupsi di dunia ini.

Keteladanan yang Ditta tampilkan, mungkin suatu koinsidensi atau kebetulan, mengingat hari-hari ini ekonom UI, Faisal Basri (Kompas, 3/7/2005) sedang pula mengampanyekan pentingnya sikap kejujuran bagi seluruh bangsa ini. Kebetulan yang indah.

Selamat panjang umur, mBak Ditta.
Semoga Anda sehat-sehat selalu.

Sayang, saya hanya baru bisa mengenal Anda secara selintasan saja di Rawamangun, puluhan tahun lalu itu. Rasanya saya pengin mampu untuk menulis lebih lanjut tentang diri Anda lagi, suatu saat nanti. Atau, bagaimana kalau Anda merintis untuk menulis buku tentang diri Anda sendiri ?




Wonogiri, 10 Juli 2005

Monday, July 04, 2005

Reporter TV Seksi Berkaki Belalang Dan Nasionalisme

(Sepakbola Dalam Kehidupan Seorang Epistoholik - 1)

Oleh : Bambang Haryanto
Esai Epistoholica No. 23/Juli 2005
Email : epsia@plasa.com
Home : Epistoholik Indonesia



---------

Pengantar : Tanggal 12 Juli 2000, di Kantor Tabloid BOLA Jakarta, saya telah mengusulkan tanggal tersebut sebagai Hari Suporter Nasional. Bertepatan dengan Hari Koperasi Nasional. Saat itu perwakilan kelompok suporter dari Aremania (Malang), The Jakmania (Jakarta), Pasoepati (Solo) dan Viking Persib Fans Club, berhimpun dan secara aklamasi menyetujui gagasan saya tersebut. Prestasi saya sebagai pencetus Hari Suporter Nasional 12 Juli kemudian tercatat di Museum Rekor Indonesia (MURI).

Di bawah ini tersaji beragam bunga rampai buah pikiran saya sebagai seorang epistoholik sekaligus pencinta sepakbola. Termasuk mengenang balik peristiwa yang terjadi pada tanggal 12 Juli 2000 tersebut. Juga merenungi mengenai makna nasionalisme dalam era globalisasi, setelah saya menyaksikan final Piala Tiger 2004/2005, baik di Jakarta mau pun di Singapura. Selamat menikmati. (BH).

---------



“Siapakah Kurt Cobain ?”
“Pemain Manchester United !”


BAWA PULANG : ALYA ROHALI ! Kalau Anda suka menonton tayangan infotainment di televisi, tolong beritahu saya : siapa selebritis yang statusnya sebagai orang tua tunggal, single parent, saat ini ? Sosok yang bisa saya ingat saat ini baru satu : Alya Rohali.

Wanita semampai dan cantik ini pernah saya minta tanda tangannya, 12 Maret 2002. Di studio Indosiar, Jakarta Barat, usai kami mengikuti kuis “Siapa Berani ?” yang ia pandu. Alya Rohali dan juga Helmy Yahya saya minta untuk membubuhkan tanda tangannya di kaos kontingen saya yang ada slogan dan sekaligus lirik lagu yang kami bawakan untuk “merayunya” dalam kuis itu

Saat itu saya merasakan salah satu momen puncak kiprah saya sebagai suporter sepakbola Indonesia. Kontingen suporter yang mengikuti kuis heboh tersebut adalah Aremania (suporter Arema Malang), Jakmania (Persija Jakarta), Pasoepati (Pelita Solo), Viking (Persib Bandung) dan ASSI (Asosiasi Suporter Sepakbola Indonesia). Saya tergabung dalam kontingen ASSI, organisasi induk suporter sepakbola Indonesia yang sejak dari gagasan sampai saat pendeklarasiannya saya ikut membidaninya.

Kami berlatih tanggal 11 Maret 2002, di gedung sekolah Harapan Ibu, Ciputat, Jakarta Selatan. Di sekolah tempat penyanyi cilik bersuara malaikat, Sherina dan Sulis Hadad Alwi bersekolah, yang menjadi tuan rumah adalah Eko Haryanto. Selain sebagai suporter Persebaya, pengurus ASSI, ia juga guru sekolah Harapan Ibu tersebut.

Sigit Nugroho, Ketua ASSI, memimpin kontingen berlatih. Dari Viking (suporter Persib tetapi tinggal di Jakarta) tampil Agus Rahmat, Eri Hendrian, Tantry, Margaretha “Nonny” Malaihollo dan Maureen “Audry” Malaihollo. Juga Erwin Fitriansyah, suporter Surabaya. The MaczMan (suporter PSM) diwakili Andre “Daeng” Pangeran dan dua temannya. Slemania Jabotabek diwakili dua orang. Dari suporter Persikota, tampil dua wakil. Pasoepati (Solo) diwakili Ryan Adhianto, Taufik Ismail (kini telah meninggal), Andi Setyawan dan Bambang Haryanto.

Aktor utama pada sesi latihan itu adalah Eko “Bonek” Haryanto. Ia pula yang telah memilihkan lagu bersemangat, mudah diingat, liriknya pun heroik untuk mengiringi aksi panggung kontingen ASSI. “Lagu ini lagu demonya mahasiswa saat tumbangnya Soeharto”, tutur Eko. Lagu tersebut langsung kita setujui.

Kemudian nakal saya kumat. Saya melakukan modifikasi liriknya sehingga ending lagu kontingen ASSI tersebut punya daya ledak kejutan humornya. Ketika gladi resik, floor director kuis itu tersenyum simpul. Lirik lengkapnya akhirnya berbunyi :

Wahai suporter sepakbola kita
Di mana pun kini kau berada
Yuk bersatu seia sekata
Untuk ASSI, kita jaya

Maju ASSI terus maju
Ajaklah dia, dia, dia
Tuk bergabung beradu kreasi
Di arena Siapa Berani

Helmy, Alya Rohali
Memberi peluang rejeki
Kalah menang kita tak peduli
Bawa pulang Alya Rohali !
Bawa pulang Alya Rohali !

Helmy Yahya tinggal di sini !


Saat itu Alya belum bercerai. Kini statusnya sebagai single parent, mungkin menunjukkan bahwa dirinya tidaklah sendirian. Saya punya adik perempuan, masih muda, juga berstatus sama. Sedang kalau Anda pernah membaca novelnya Nick Hornby, About A Boy, akan Anda temui tokoh pria bernama Will yang pernah menyatakan bahwa para ibu tunggal, wanita cantik, atraktif, belum punya pasangan, jumlah mereka ribuan di London. Menurut Will, mereka adalah ciptaan terbaik yang pernah ia ketahui !

Novel ini menceritakan lika-liku pria lajang, Will, yang menyusup masuk dalam organisasi para orangtua tunggal, SPAT : Single Parent – Alone Together. Ia berpura-pura sebagai ayah seorang anak dan berstatus cerai. Lalu terlibat hubungan asmara dengan ibu tunggal yang punya kecenderungan melakukan bunuh diri dan terbelit hubungan persahabatan yang unik dengan anak lelakinya.

Anak lelaki umur 12 tahun ini, bernama Marcus, juga antik. Kalau anak seumurnya suka penyanyi MC Hammer, Snoop Doggy Dog atau Paul Weller, ia justru menyukai Mozart (“yang paling saya sukai adalah Symphony No. 40 in G Major, sementara A Musical Joke, belum saya temukan di mana lucunya”), juga penyanyi tahun 60-an, generasi pesta musik Woodstock, Joni Mitchell. Marcus suka menyenandungkan lagu Joni Mitchell yang terkenal, “Big Yellow Taxi“ :

Late last night I heard the screen door slam
And a big yellow taxi carried off my old man
Don't it always seem to go
That you don't know what you've got till it's gone
They paved paradise and they put up a parking lot
(Shoo-bop-bop-bop-bopbop)


Marcus juga menyukai penyanyi reggae berambut gimbal dari Jamaica, Bob Marley. Saking kuper-nya, saat diajukan nama penyanyi kelompok Nirvana, Kurt Cobain, justru ia menyebutnya bahwa Cobain adalah pemain sepakbola dari klub Manchester United.

Kisah Will dan Marcus telah difilmkan dengan bintang Hugh Grant. Novel ini kemudian mengingatkan saya bahwa pengarangnya, Nick Hornby, memiliki ucapan yang persis menggambarkan perasaan saya terhadap sepakbola. Katanya :

“Saya jatuh cinta kepada sepakbola seperti halnya ketika jatuh cinta kepada seorang wanita. Semuanya berlangsung secara tiba-tiba, tanpa pikiran kritis, juga tidak berpikir mengenai kesakitan yang bakal diakibatkannya “

Dari ucapan inilah tulisan ini saya mulai. Berisi pelangi beragam kisah seorang epistoholik yang menyukai sepakbola !



THE GLORIOUS GOAL ! Ketika Inggris menjadi Juara Dunia 1966, saya mendengar dari siaran pandangan mata radio milik teman sekelas di SD Wonogiri III, Sugeng Sudewo. Pertandingan Piala Dunia yang saya saksikan pertama kali di televisi adalah Piala Dunia 1974 di Jerman. Saya menontonnya di rumah Eyang Laksmintorukmi, Tamtaman, Baluwarti, lingkungan lingkar tembok dalam Kraton Surakarta, Solo.

Momen bermain sepakbola yang tidak terlupakan adalah ketika kelas saya, 1 B SMP Negeri I Wonogiri mengalahkan kelas 1 A. Saat itu saya rehat sebentar, meminum air tawar yang ditimba dari sumur dekat lapangan Sukorejo. Ketika masuk lagi, ada operan bola. Kalau dalam peraturan sekarang saya jelas off-side, tetapi saya terus.

Ibarat melakukan serangan solo, walau tak secanggih gocekan Maradona ketika menaklukkan Terry Butcher sampai Peter Shilton di Piala Dunia 1986, akhirnya saya berhadapan satu lawan satu dengan kiper. Kipernya adalah sobat dekat saya waktu SD, rumahnya yang berjarak 200 meter dari rumah saya adalah tempat saya bermain pingpong, sekaligus teman asyik berbagi cerita mengenai buku-buku serial cerita Nogososro Sabukinten-nya SH Mintardjo dan Bende Mataram karya Herman Praktikto. Teman saya itu adalah Sugeng Sudewo. Kali ini saya berhasil membobol gawang yang ia jaga.

Berpuluh tahun kemudian, bila saya jalan kaki pagi dan melintasi lapangan Sukorejo ini, momen kenangan the glorious goal tersebut sering muncul kembali ! (BH).



IDE MARY FURLONG DAN ANCAMAN KIPER. Sepakbola bisa bersinergi, dinikmati bersama dengan teknologi informasi. Bukunya John Hagel III dan Arthur G. Armstrong yang diterbitkan oleh Harvard Business School Press (1997), Netgain : Expanding Markets Through Virtual Communities, saya baca sambil berselang-seling menonton sepakbola.

Lokasinya di lapangan sepakbola kompleks IKIP (kini Universitas Negeri Jakarta), Rawamangun. Di sebelah barat lapangan tersebut terdapat masjid besar dan dari berandanya kita seperti berada di tribun terhormat untuk menonton sepakbola.

Buku Netgain itu saya beli sebagai hadiah ulang tahun saya ke 44, 24 Agustus 1997. Saya membelinya di Toko Buku Gramedia Matraman, Jakarta Timur. Harganya, Rp. 104.200,00. Sumber rujukan untuk membeli buku ini adalah laporan khusus The Economist, majalah bisnis Inggris yang bergengsi.

Saya mulanya sih rada pesimis apakah buku ini bisa segera tersedia di Jakarta. Ternyata saya keliru. Iklan dari Toko Buku Gramedia yang dimuat di Kompas, 15 Agustus 1997, memuat buku tersebut. Sungguh kebetulan, artikel saya berjudul “Ancaman dan Peluang Masa Depan Internet” dimuat di harian Media Indonesia, 7 dan 14 Agustus 1997. Honor tulisan tersebut sebagian untuk membeli buku idaman ini.

Buku Netgain ini merupakan manifesto bagi pebisnis generasi baru yang hendak mengeksploitasi ekonomi online. Berbeda dibanding gerakan rush yang menghebat di awal pertumbuhan Internet, di mana kuatnya dorongan mabuk berbisnis di Internet dengan membuka beragam gerai maya, yang akhirnya berakhir dengan bust, ketika pebisnis Internet ramai-ramai bergelimpangan dijemput kematian, buku ini menyarankan strategi lain.

Bangunlah dulu komunitas maya Anda di Internet. Komunitas ini merupakan pengejawantahan naluri orang untuk membina hubungan. Misalnya, sesama penderita diabetes atau kanker, akan terdorong untuk bergabung, bisa saling curhat, saling menguatkan bahwa mereka tidak sendirian dalam menerima cobaan.

Salah satu komunitas yang dirujuk sebagai contoh adalah SeniorNet, komunitas maya bagi kaum pensiunan. Dimulai dari proyek penelitian di Universitas San Francisco tahun 1986 oleh Dr. Mary Furlong, lalu diluncurkan di Internet pada tahun1990. Dalam komunitas maya itu warga dapat bergabung dalam kelompok forum Christian Corner, Sahabat Yang Bercerai, Pensiunan Pegawai Negeri sampai Wiraswastawan Senior.


Mary Furlong menerangkan filosofi kerja komunitas tersebut : “Aspek paling penting dari SeniorNet bahwa para warga adalah juga para produsernya. Mereka adalah kreator. Mereka sumber talenta. Kami hanya merangkainya secara bersama”

Dr. Mary Furlong kemudian menemukan istilah bahasa Perancis, troisieme age, the third age, usia ketiga, untuk sebutan periode kehidupan saat seseorang bebas melakukan apa yang ia inginkan. Periode Usia Pertama, seseorang berkembang sebagai pribadi. Periode Usia Kedua, mengejar karier dan membentuk keluarga. Di Usia Ketiga, usia pensiun, dirinya menjadi miliknya sendiri.

Berbeda dari anggapan bahwa masa pensiun adalah saat dirinya tidak lagi dibutuhkan, lalu menjadi apatis dan loyo, sebenarnya masa pensiun merupakan waktu terbaik untuk mengembangkan kreativitas, terus belajar dan terus bereksplorasi.

Sebagaimana telah saya tulis dalam surat pembaca di Kompas Jawa Tengah (17/11/2004), fenomena di AS tentang kaum lansia yang tetap aktif dan terus belajar ditunjukkan dengan data bahwa pengguna Internet yang terbanyak justru berasal dari kelompok demografis usia 50-an ke atas. Alias kaum usia ketiga, para pensiunan !

Kembali ke sepakbola. Suatu sore saya melihat pertandingan latihan, di mana para pemainnya adalah para remaja. Saya tertarik mengamati teriakan berbau ancaman salah seorang penjaga gawang, yang berbadan bongsor, kepada pemain back yang mengawal daerah pertahanannya secara gigih. Pemain belakang itu berbadan kecil, tetapi semangat bertarungnya mungkin mirip Ivan Cordoba asal Kolombia yang menjadi kapten Inter Milan saat menjuarai Copa Italia 2005 yang lalu.

Apa teriakan ancaman sang kiper kepada pemain back-nya tersebut ? Saya mencatatnya :

“Kalau musuh lolos, lu gue injek-injek !” (BH).


MENAKLUKKAN BONEK, POPOR SENJATA DAN BUNGA. Kereta api luar biasa (KLB) Pasoepati tiba di Stasiun Gubeng Surabaya sekitar jam 11.30. Tanggal 6 April 2000. Dari Stasiun Balapan Solo 12 rangkaian gerbong kereta api yang khusus disewa untuk membawa suporter Pelita Solo ke Surabaya bolak-balik itu dilepas oleh Walikota Solo Slamet Suryanto.

Inilah tur pertama kali bagi sekitar 1850 Pasoepati keluar kota dengan kereta api carteran ! Tidak tanggung-tanggung. Langsung terjun ke kota yang terkenal dengan boneknya, berbekal tema From Solo With Love yang diadaptasi dari judul filmnya Sean Connery, si Agen 007, From Russia With Love. Kami datang untukmu Surabaya, membawa cinta untuk Anda !

“Surabaya shock melihat kami yang membuat merah stasiun Gubeng !”, begitu aku tulis dalam buku harianku. Di sisi lain, stasiun ini juga menggodaku untuk sedikit bernostalgia. Tahun 1974 aku pernah berjualan koran dan majalah di sini, beberapa hari, sebelum kemudian melanjutkan perjalanan keluyuran ke Bali.

Setelah mampir di wartel stasiun untuk mengirim fax berupa siaran pers mengenai makna dan tujuan tur Pasoepati ke Stasiun TVRI Surabaya, saya ikut rombongan yang bersiap bergerak jalan kaki beriringan menuju Tambaksari.

Seminggu sebelumnya saya sebagai Menteri Media dan Propaganda Pasoepati telah mengirim surat ke pelbagai surat kabar Surabaya, seperti Surabaya Post, Surya dan Tabloid Libero, yang isinya Pasoepati mengucapkan kulo nuwun, permisi, minta ijin kepada warga Surabaya untuk berkunjung secara bersahabat ke kota mereka.

Satu surat kami dimuat di Surya, dan seorang warga Surabaya sudi menelpon ke markas Pasoepati untuk menyampaikan simpati sekaligus ucapan selamat datang.

Ucapan permisi dari Pasoepati juga terungkap melalui bahasa bunga. Telah disiapkan puluhan untaian bunga imitasi warna-warni, di mana padanya tergantung kertas mungil berisi tema From Solo With Love dan ucapan pesan-pesan damai dan bersahabat dari warga Solo untuk Surabaya.

Pada sepanjang melakukan long march Gubeng–Tambaksari, yang mendapat pendampingan rekan-rekan PFC (Persebaya Fans Club) berseragam kaus hijau pupus bertuliskan sponsor Hartono Kroto Kristal dan juga rekan Yayasan Suporter Surabaya (YSS) dengan rompi yang bernomor punggung besar-besar, Pasoepati menyapa hati Surabaya dengan bunga.

Bintangnya adalah Lintang Rembulan, gadis cantik SD di bantu kakaknya Ayu Permata Pekerti, yang dengan rada malu-malu membagikan bunga. Ada personil pasukan Brimob, polisi lalu lintas, penjual buah, rumah-rumah di tepian jalan, pengendara motor, juga anak-anak sebayanya yang nampak dengan senang menerimanya.

Sentuhan kecil ini esok harinya menjadi sesuatu yang tidak terduga dan membanggakan warga Pasoepati. Harian Surya (7/4/2000) di halaman depan memasang foto close-up dan keterangan berbunyi :

“Senapan otomatis petugas Brimob diselipi bunga plastik, tanda kasih sayang dari suporter Pasopati (seharusnya Pasoepati –BH) Solo”.

Pesan yang ingin disampaikan kepada Surabaya dari lubuk hati Pasoepati, rupanya telah sampai kepada sasaran yang dituju. Dengan sempurna. (BH).


BUNG HATTA DAN HARI SUPORTER NASIONAL. Klub sepakbola mana yang paling tua di Indonesia ? Mungkin klub yang berasal dari Padang, yang didirikan oleh orang Belanda di tahun 1901. Namanya : Padangsche Voetbal Club (PSV).

Beberapa tahun kemudian muncul enam tim berikutnya, termasuk tiga tim beranggotakan warga etnis Minang dan satu klub dari kesatuan tentara yang bernama Sparta. Julukan ini mengambil nama dari legenda Yunani, menggambarkan sosok-sosok tangguh dan suka perang, hingga populer dijadikan nama tim sepakbola di lingkungan tentara Hindia Belanda saat itu.

Tahun 1905 ada tujuh klub bergabung membentuk asosiasi WSVB (West Sumatran Football Association). Sejarah mencatat bertahun kemudian WSVB bertahan sebagai persatuan klub sepakbola yang memungkinkan klub dengan anggota beragam etnis, yaitu Minang, Eropa dan Cina, melaksanakan kompetisi dan duduk berdiskusi dalam satu meja.

Arena bertanding mereka punya nama keren, Plein van Rome (Stadion Roma), berupa lapangan luas dengan rumput bagus, karena merupakan tempat upacara dan parade militer dilaksanakan. Apabila kompetisi berlangsung, seputar stadion akan didirikan dinding penghalang terbuat dari anyaman bambu seperti kini juga biasa terjadi saat pertandingan tarkam (antarkampung) dilangsungkan di Solo dan sekitarnya.


Kerusuhan sepakbola rupanya juga sudah meruyak saat itu. Freek Colombijn, doktor antropologi lulusan Leiden yang lama tinggal di Padang (sejak usia 9 tahun ia bermain di posisi bek kanan pada klub tertua Belanda, Haarlemsche Football Club) dalam tulisannya memaparkan bahwa kerusuhan saat itu tidak dapat dilihat dengan teori kacamata modern seperti halnya kasus berandal sepakbola (hooligans), melainkan dalam konteks masyarakat yang plural.


Sepakbola saat itu, katanya, merupakan sarana mengekspresikan identitas sesuatu etnis dalam beroposisi dengan etnis lainnya. Itu terjadi karena tiap klub saat itu memang hanya menghimpun anggota dari etnis yang sama, dan pertandingan antarklub merupakan sarana pelepasan uneg-uneg mereka terhadap etnis lainnya.

Kerusuhan sering meletus apabila terjadi pertandingan antarklub yang didukung oleh latar belakang etnis yang berbeda. Kerusuhan serupa juga pernah meletus di Kalimantan Barat, dan di Jakarta pun terjadi pada tahun 1909. Di Jawa pada jaman kolonial itu, perasaan tidak suka terhadap etnis lain sempat memunculkan istilah “main Padang” dari lapangan sepakbola. Artinya, merujuk kepada seseorang yang berlaku curang, baik dalam bisnis atau pun ketika bermain sepakbola.


Tetapi dari lapangan sepakbola Padang di jaman itu, jelas tidak hanya memunculkan bahan ejekan semata. Sungguh mengejutkan, bahwa wakil presiden pertama kita, Bung Hatta, yang dilahirkan pada tanggal 14 Agustus 1902 di desa Aur Tajungkang, kini jadi bagian pusat Kota Bukit Tinggi, Padang, semasa hidupnya juga menggemari sepakbola.

Sejauh manakah Anda mengenal Bung Hatta ? Saya sendiri belum pernah membaca-baca bukunya. Informasi normatif yang teringat bahwa beliau disebut sebagai Bapak Koperasi, yang diperingati tiap tanggal 12 Juli sebagai Hari Koperasi.

Tanggal itu kebetulan adalah juga tanggal di mana pada tahun 2000 saat pentolan suporter dari Aremania, The Jakmania, Pasoepati dan Viking, bertemu dan bersepakat mencetuskannya sebagai Hari Suporter Nasional. Berikut reportase Tabloid BOLA (14/7/2000) mengenai peristiwa yang melibatkan diri saya sebagai salah satu fokusnya :


DEKLARASI 12 JULI :
MENYEPAKATI HARI SUPORTER NASIONAL


Rabu, 12 Juli 2000. Di ruang rapat Redaksi BOLA, Jalan Pal Merah Selatan 3 Jakarta, sebuah kesepakatan telah diambil. Dalam dialog seusai santap siang, para kelompok suporter pembaru menetapkan tanggal 12 Juli sebagai Hari Suporter Nasional (HSN).

Mereka adalah Aremania, The Jakmania, dan Pasoepati, yang sudah kerap beraksi dengan segala kreativitasnya, serta Viking Persib Fans Club yang ingin menjejaki langkah langkah ketiga pendahulunya.

“Kelak tiap tahun kita akan memperingati hari persaudaraan antarsuporter se-Indonesia dengan kegiatan-kegiatan positif bersifat sosial. Kita akan berkumpul lagi seperti ini. Terima kasih kepada BOLA yang telah menjembatani dan memberi perhatian secara aktif terhadap perkembangan suporter di Indonesia”, papar Bambang Haryanto dari Departemen Humas dan Media Pasoepati.

Bambang-lah yang mengusulkan penetapan HSN dan semua peserta mendukungnya. Peristiwa ini diharapkan menjadi momentum penyatuan visi dan mempererat tali silaturahmi antarkelompok suporter yang beragam.

Para kelompok suporter diwakili para pentolannya masing-masing. Sebut saja Yuli Sugiarto dan Muhammad Noer dari Aremania. Mayor Haristanto selaku Presiden Pasoepati. The Jak langsung dipimpin Ferry Indrasjarief dan Faisal, sementara Viking diwakili Eri Hendrian dan Nandang Leo Rukaran. Acara dipandu Sigit Nugroho, Koordinator Liputan Sepakbola Nasional BOLA.

Dialog informal berjalan penuh keakraban dalam semangat kesetaraan. Mereka saling berbagi pengalaman dan bertukar pikiran dalam mengorganisasikan kelompoknya.

Peserta sepakat bahwa wadah kelompok suporter bisa menjadi sarana untuk menularkan virus positif, seperti persaudaraan, sportivitas, serta antikekerasan. “Inilah salah satu cara untuk mengikis sikap fanatisme sempit di kalangan suporter”, sebut M. Noer dari Aremania. (Josep/cw-6).


Kembali ke topik Bung Hatta. Selebihnya, pada tahun 1980-an di kampus Universitas Indonesia, Rawamangun, saya hanya dapat melihat sepintas-lintas sosok putri sulung beliau, Meutia Hatta, yang merupakan dosen di Antropologi FSUI saat itu. Kini Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan.

Di bulan Agustus 2002 ketika berlangsung peringatan seabad Bung Hatta, sosok beliau sedikit demi sedikit terkuak. Menurut penuturan anak angkat beliau, Des Alwi asal Banda, tempat Bung Hatta, Sutan Sjahrir, Tjipto Mangunkusumo dan Iwa Kusuma Sumantri diasingkan pemerintah kolonial 66 tahun silam, terungkap salah satu bacaan Bung Hatta adalah kisah petualangan Baron von Munchaussen.

Bagi saya, buku tentang baron yang kisahnya sangat gila-gilaan itu mampu memuaskan gelora khayal anak-anak. Salah satu adegan ceritanya adalah ketika baron dan kuda yang ia tunggangi terjebak pada sebuah rawa. Keduanya terancam tenggelam. Ketika air rawa sudah setinggi leher kudanya, baron pun punya akal jitu.

Ia kepit erat tubuh kuda dengan kedua kakinya. Lalu dengan tangan ia tarik rambutnya sendiri sekuat tenaga. Baron dan kudanya pun terangkat ke permukaan dan urung tenggelam di rawa. Berjuang dengan kekuatan sendiri model baron tersebut, itukah pesan yang kemudian mengilhami Bung Hatta tentang pentingnya gerakan koperasi sebagai soko guru perekonomian bangsa ini ?

Saya tidak tahu.

Lebih lanjut ketika membaca Tempo edisi khusus 100 Tahun Bung Hatta (12/12/2002), makin terbukakan sisi menarik dari pribadi dirinya. Masa remaja Hatta tidak semata-mata diisi dengan urusan ilmu dan agama.

Sebagai anak muda, dia juga menemukan kesenangan hidup, joei de vivre, salah satunya ada di Plein van Rome, lapangan sepak bola yang terletak di alun-alun kota, di depan kantor Gemeente. Padang. Hatta bergabung dalam klub sepak bola Young Fellow. Pemainnya terdiri anak-anak Belanda dan pribumi. Klub ini pernah menjadi juara Sumatera selama tiga tahun berturut-turut semasa Hatta menjadi anggotanya.


Marthias Doesky Pandoe (78 tahun), seorang wartawan tua dari Padang, menyimpan banyak kenangan tentang periode ini. Menurutnya, teman-teman sepermainan Hatta yang pernah ditemuinya bercerita bahwa proklamator kita adalah gelandang tengah, sesekali dia menjadi bek, yang tangguh. Orang-orang Belanda memberinya julukan onpas seerbar, sukar diterobos begitu saja.

Rahim Oesman, bekas temannya di MULO yang belakangan menjadi dokter ahli penyakit dalam, adalah tukang jinjing sepatu bola Hatta. Dengan menenteng sepatu itu, dia bisa masuk ke lapangan pertandingan dan menonton pertandingan dengan gratisan. Kegemaran Hatta pada bola tak hilang ketika dia telah menjadi salah satu tokoh politik terpenting Indonesia. Dia tak pernah absen menonton pertandingan besar.

Dan Hatta adalah salah satu dari dua tokoh, selain Sultan Hamengku Buwono IX yang saat itu menjadi Ketua KONI, yang mendapat hadiah kartu gratis untuk menonton sepakbola dari Ali Sadikin tatkala mantan Gubernur DKI Jakarta itu menjabat sebagai Ketua PSSI.

Di masa tuanya, Hatta tetap menggemari bola dan mengenang Plein van Rome. Pada awal 1970-an, saat Pandoe bertamu ke rumah Hatta di Jakarta, tuan rumah bertanya, “Di mana letak Plein van Rome sekarang ?” Pandoe menjawab bahwa lapangan bola itu masih ada, tapi kini telah menjadi alun-alun Kota Padang. Namanya sudah berganti menjadi Lapangan Imam Bonjol, yang berlokasi tepat di depan Kantor Balai Kota Padang.

Umpama Bung Hatta masih hidup, kira-kira klub mana yang menjadi favoritnya ? Siapakah pemain bek nasional dan dunia yang menjadi idolanya ? Juga menarik untuk didengar, apa saja komentarnya mengenai prestasi tim nasional sepakbola Indonesia selama ini ? (BH).



REPORTER TV SEKSI BERKAKI BELALANG DAN NASIONALISME. Anda pernah menonton film Year of the Dragon yang dibintangi oleh Michael Rourke dan John Lone ? Film ini mengenai upaya polisi di New York membasmi gerombolan kriminal bawah tanah yang digerakkan oleh mafia Cina yang berseteru dengan mafia Vietnam.

Film seru ini pernah jadi obrolan antara saya dan Felisia, mahasiswi yang mengambil Jurusan Manajemen di Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanegara, Jakarta. Nama lengkap Felisia panjang sekali, ada lima suku kata. Ia menyukai aktor yang memainkan penjahat Cina yang tampan, John Lone, sementara saya menyukai pemain figuran, Tracy Tsu, yang menjadi reporter televisi. Felisia dan Tracy punya kemiripan. Sama-sama unik berwajah oriental. Rambutnya pun sama-sama pendek. Tracy punya kaki seperti kaki belalang. Gorgeous leg. Tya juga punya kaki belalang.

Felisia pernah memberi saya foto. Dirinya sedang memeluk boneka Teddy Bear dan berdiri di depan poster Victoria Principal. Saya pernah membaca hasil riset di majalah Psychology Today bahwa kecantikan itu dapat menular. Hasil riset ini lalu aku gunakan sebagai senjata untuk memuji, “bahwa Victoria Principal jadi nampak cantik karena ketularan dari Felisia” Ia bilang tak percaya. Tetapi ia jelas menyukainya.

Dari Felisia saya ingin belajar mengenai urut-urutan hirarki dalam manajemen kantor atau pabrik. Saya ingin menulis artikel untuk mengoreksi persepsi salah kaprah dan parah di kalangan pencari kerja bahwa yang menentukan dalam penerimaan karyawan baru adalah bagian personalia.

Semula Felisia bersikap defensif. Ia tak percaya bahwa apa yang aku utarakan itu adalah hal sebenarnya. Ia rada mau membuka diri setelah saya kirimi kaos hasil rancangan saya, bergambar tokoh astronomi dari Cornell University yang maha terkenal, Carl Sagan. Novel Carl Sagan berjudul “Contact” telah difilmkan dan dibintangi aktris pemenang Oscar, Jodie Foster. Juga kemudian Felisia aku hadiahi buku kumpulan humorku. Suatu saat Felisia juga memberi kabar, “aku lihat buku kumpulan humormu di toko buku”.

Felisia pernah saya gombali, bahwa benar rata-rata pria itu berorientasi visual. Suka sama wanita yang cantik. Tetapi cantik saja tidak cukup. Sejatinya, lelaki pertama kali dan yang paling utama, menyukai wanita yang punya intelejensia. Lalu punya selera humor, bersikap mandiri, dan barulah kecantikan. Pendapat ini bukan rekaan gombal saya sendiri, tetapi dari artikel “What Men Really Think About Women” karya Pete Hamill di majalah Cosmopolitan (April 1988). Kutipannya :

Intelligence. All my friends say this is the most important quality. They are not interested in slow-witted or purposefully ignorant women. Men of all ages express contempt for the smart woman who plays dumb out of fear her intelligence will turn men off. “If she hiding her brains”, one man contends, “she’ll hide others things too”

Jadi, jangan ragu, Felisia, tunjukkan harta karun intelejensiamu itu. Sebab kalau wanita menyembunyikan intelejensianya, pastilah ia juga menyembunyikan hal-hal penting lainnya. Misiku sukses. Felisia lalu memberi saya bagan-bagan hirarki manajemen perkantoran yang saya perlukan.

Kalau saja saat itu pemusik yang aku sukai, Yanni, sudah mengeluarkan album berjudul “Yanni Live At The Acropolis With The Royal Philharmonic Concert Orchestra”, maka akan aku katakan ke Felisia, “namamu terkenal dan mendapat tepuk tangan gemuruh di Acropolis”.

“Tak percaya ? Setelah mendengar nomor “Santorini” yang indah penuh emosi dan bergemuruh, “Until The Last Moment”, “Keys to Imagination”, dan “The Rain Must Fall”, dengarkan ungkapan cinta yang menyentuh dari Yanni sebelum memainkan judul lagu yang semirip indahnya namamu”


Stop ! Tulisan ini bukan bertopik cinta atau rayuan. Tetapi tentang nasionalisme. Tracy atau pun Felisia memang sama-sama keturunan etnis Cina, tetapi apa warna nasionalisme yang tertanam di dada mereka ? Indonesianis terkenal Benedict G. Anderson ( New Left Review 9, May–June 2001) punya cerita menarik.

Empat tahun lalu, ceritanya, Pak Ben, begitu konco-konco Indonesianya menyebut akrab nama beliau, mengajar seminar mengenai nasionalisme di Universitas Yale. Untuk itu ia meminta para mahasiswanya untuk menyatakan apa identitas nasional mereka.

Di antaranya terdapat tiga orang mahasiswa, yang menurut pengamatannya, beretnis Cina berdasar raut muka dan warna kulitnya. Tetapi ketiganya ternyata memberikan jawaban yang mengagetkan dirinya dan juga seluruh isi kelas.

Mahasiswa pertama yang beraksen Pantai Barat Amerika secara tegas bahwa ia punya nasionalisme sebagai orang Cina, walau ia lahir di Amerika dan belum pernah mengunjungi Tanah Leluhur. Mahasiswa kedua mengaku ingin menjadi warga Taiwan. Ia berasal dari keluarga pendukung KMT (Koumintang), gerakan Cina Nasionalis yang tergusur dari daratan Cina bersama Chiang Kai-shek tahun 1949. Ia lahir di Taiwan dan tidak ingin disebut sebagai etnis Cina.

Mahasiswa yang ketiga, berkata sambil kuat nada marahnya : “Saya warga Singapura. Saya bosan dan capek menanggapi penilaian orang-orang Amerika bahwa saya orang Cina. Saya bukan orang Cina !”. Begitulah, Pak Ben lalu menyimpulkan, satu-satunya mahasiswa yang mengaku memiliki nasionalisme Cina ternyata orang Amerika !

Cerita Pak Ben itu mirip hal yang saya alami saat saya dan Mayor Haristanto, melakukan perjalanan sebagai suporter sepakbola mendukung tim nasional di Final Piala Tiger 2004/2005 di Stadion Kallang, Singapura (16/1/2005).

Saat menunggu pengurusan boarding pass di Bandara Soekarno-Hatta, saya mengajak mengobrol seorang pria muda yang dari raut wajah dan kulitnya beretnis Cina. Saya menyapa memakai bahasa Indonesia. Alamak, ternyata ia berasal dari Hongkong.

Kami berganti obrolan dalam bahasa Inggris. Ia mengaku secara moral ingin mendukung kemenangan tim Indonesia. Ia mungkin ingin menyenangkan hati kami, setelah membaca tulisan di kaos kami : Tame The Lions & Heal The Nation. Jinakkan Singa-Singa & Sembuhkan Luka Bangsa.

Ketika kami menaiki pesawat, berbarengan pula dengan rombongan 20-an mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia yang akan melakukan kunjungan belajar ke Singapura dan Malaysia. Saya sempat mengobrol dengan mereka. Termasuk obrolan tentang sepakbola.

Kemudian saat mengatur tas di bagasi dalam pesawat, di belakang saya ada suara rada berisik : ”Soccer boys. Soccer boys”. Kuping ini menjadi risih. Lalu saya menengok ke arah suara tersebut dan kami saling berbagi senyum. Tanyaku sok akrab :

“Excuse me. Are you Singaporean ?”
”Yeah”
“See you tonight at Kallang Stadium. Good luck to you”

Kedua warga Singapura yang beretnis Cina itu lalu membalas ramah. Ketika pesawat mengudara, sebenarnya aku pengin ngobrol-ngobrol. Tetapi mereka tertidur. Kita saling melambai dan bertukar senyum lagi saat seusai mengambil tas-tas kita dari ban berjalan di Bandara Changi. Juga dengan si Hongkong tadi. Ah, sepak bola. Bahasa universal antarbangsa !


Malamnya, saya terjun di tengah-tengah gemuruh suporter sepakbola Indonesia di tribun timur Stadion Kallang, Singapura. Dari wajah dan kulitnya banyak yang beretnis Cina. Tetapi di pipi-pipi atau jidat mereka, baik cewek atau cowok, diberi warna kebanggaan : merah-putih. Tetapi saya juga bisa ngomong jowo dengan salah satu dari mereka. Chandra, lulusan SMA Negeri III Solo asal Palur, yang kini belajar di Nanyang University, Singapura.

Ketika saya dan Mayor berbaur di tengah mereka, lalu secara demonstratif membentangkan spanduk besar kami yang bertuliskan “BANGKIT INDONESIA !”, muncul keajaiban. Seperti dikomando, seluruh penghuni tribun serentak berbarengan menyanyikan lagu Indonesia Raya !

Dahsyat. Bikin merinding. Mengharukan. Menggetarkan hati.

Kedatangan kami berdua yang ibarat katalis dalam mempercepat reaksi kimia sehingga mampu mengubah atmosfir tribun suporter Indonesia saat itu menjadi lebih hidup, rupanya menarik perhatian Chan Yi Shen. Ia wartawan olahraga koran The Straits Times, Singapura. Kemudian ia mengajakku untuk menyingkir dari keriuhan dan melakukan wawancara. Apa yang kami obrolkan, akan saya laporkan di tulisan lain.

Nasionalisme kami yang dibakar lagu “Indonesia Raya” semakin mendidih ketika suporter tuan rumah yang sebanyak 55.000 mulai menyanyikan lagu-lagu. Saat itu pertandingan telah dimulai. Serentak kami menimpalinya dengan chanting hasil adaptasi Ole, ole, ole, ole ! Ole, ole., yang diubah secara instan.

Semangatnya sungguh jahil. Meledek. Dampaknya bermakna magis sekaligus tragis, karena mampu mengerosi atau bahkan membungkam kebanggaan atau rasa nasionalisme kubu tuan rumah :

Impor, impor, impor , impor ! Impor, impor !

Singapura akhirnya juara, menang 2-1. Secara agregat : 5-2. Esoknya koran The Straits Times (17/1/2005) di halaman depan memajang foto kapten timnasnya Aedi Iskandar mengangkat Piala Tiger tinggi-tinggi. Judul beritanya, “Tiger Cup victory for Lions”. Masih mending, gumamku, Aedi Iskandar yang esok harinya sempat berfoto denganku di Changi, adalah warga keturunan Melayu.

Kemudian bila melongoki isi koran The Straits Times lebih dalam, akan kita temui hal ganjil. Terdapat 4 seri adegan foto jungkir balik penyerang Singapura, Agu Casmir, setelah mencetak gol. Agu adalah warga Singapura. Tetapi kulitnya hitam. Sementara pemain belakangnya, Daniel Bennet, adalah bule kelahiran Inggris.

Impor, impor, impor , impor ! Impor, impor !


Sementara koran lain The New Paper, melukiskan kemenangan Singapura dengan kata-kata yang inklusif, bersemangat untuk melibatkan emosi seluruh bangsa dan tersaji indah. Belum pernah saya temukan metafora serupa di koran-koran Indonesia. Di halaman depan tertulis besar-besar :

“Kemenangan ini bukan tentang piala. Sungguh. Apa yang kita raih adalah kebanggaan sebagai warga Singapura biasa yang berprestasi. Seperti halnya para finalis Singapura Idol, tidak ada pemain superstar dalam tim sepakbola kita. Tetapi kita mencintai semua yang telah bekerja keras karena mereka adalah diri-diri kita sendiri !”

“Diri-diri kita sendiri” itu tercermin dalam foto besar di halaman 4. Dengan judul besar, “Our spirit”, dibawahnya terpajang foto saat pemain timnas Singapura berangkulan, membentuk lingkaran dan merunduk berdoa bersama. Tetapi ada satu wajah yang menonjol. Dirinya tidak merunduk. Rambutnya keriting dicat kuning keemasan. Wajahnya berkulit hitam. Ia, Agu Casmir. Kelahiran Nigeria.

Impor, impor, impor , impor ! Impor, impor !

Kebanggaan nasionalisme Singapura, negara yang populasinya didominasi warga keturunan etnis Cina, justru diwakili wajah seorang kulit hitam kelahiran Nigeria ? Aku bingung.

Mungkinkah ejekan suporter Indonesia dengan teriakan impor, impor, impor ! justru tidak relevan dan tidak punya nilai lagi di jaman globalisasi saat ini ?

Nicholas Negroponte dalam bukunya Being Digital (1995) telah bilang bahwa negara bangsa ibarat kapur barus. Dari bentuk padat yang segera habis menguap menjadi gas. Nasionalisme kemudian hanya ibarat penyakit cacar, yang kini nyaris telah tereradikasi dari muka bumi ini. Apalagi Albert Einstein pun pernah bilang : Nasionalisme adalah penyakit kekanak-kanakan. Nasionalisme adalah penyakit sampar umat manusia !

Wow ! Betapa aku kini hidup di jaman yang hebat. Atau justru jaman yang menakutkan bagi kelangsungan republik yang negara bangsa ini ? (BH).



Wonogiri, 3 Juli 2005


-----------------------------