Thursday, August 17, 2006

Network Economy, Pembebek EI dan Era Penulis Surat Pembaca Bayaran

Oleh : Bambang Haryanto
Esai Epistoholica No. 37/Agustus 2006
Email : humorliner@yahoo.com
Home : Epistoholik Indonesia


If grass can grow through cement,
love can find you at every time in your life.

Cher,
The Times,30 Mei 1998



Kelinci London vs Kelinci Solo. Dalam fabel Barat, kelinci adalah lambang kecepatan. Menurut kajian profesor psikologi Robert Levine dari California State University di Fresno (1985), sang kelinci digambarkan harus lari pontang-panting mengikuti irama hidup di kota London, New York mau pun Tokyo. Sedang di Solo, kelinci itu justru tertidur dan mendengkur !

Itulah intro artikel berjudul “Solocon Valley” yang aku tulis dan telah dimuat di Harian Kompas Jawa Tengah, Sabtu, 5 Agustus 2006. Pagi hari Sabtu itu, sejak jam lima, aku melakukan jalan kaki pagi. Mendekati rumah, muncul SMS dari Mas FX Triyas Hadiprihantoro (Solo). “Hari ini Kompas Jawa Tengah menjadi milik pak Bambang. Selamat !”

Surprise !.

Aku fikir, hari ini surat pembacaku yang berjudul Resep “Anti Infotainment” yang dimuat. Isinya sebagai berikut :


RESEP “ANTI INFOTAINMENT”

Lelucon pelawak di televisi itu saya rekam dengan tape recorder. Kemudian saya pindahkan dalam bentuk teks. Sebagai peminat dan pengkaji dunia lawak, saya ingin meluaskan cakrawala saya tentang resep-resep bangunan materi lawakan. Ternyata, pengalaman menonton dan membaca memang berbeda. Ketika membaca, kita terasa lebih aktif dalam memperkerjakan otak kita, baik pikiran atau pun imajinasi, ketimbang ketika menonton yang cenderung pasif, mirip kita sedang disuapi.

Terkait dengan keputusan Nahdlatul Ulama yang mengharamkan tayangan infotainment, pengalaman saya di atas kiranya dapat Anda coba ketika menonton tayangan infotainment. Isi berita sampai ucapan artis tertentu sesudah berubah menjadi teks, dapat kita baca-baca kembali dalam suatu kesempatan yang terpisah dari hadirnya bombardir unsur visual dan auditif. Siapa tahu mampu memberikan pencerahan. Ketika membaca tersebut kita dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan : Apa si artis bersangkutan memiliki sangkut paut konkrit terhadap hidupku ? Apa manfaat informasi semacam ini untukku ? Misalnya untuk meningkatkan pengetahuanku, untuk pekerjaanku, untuk karierku, untuk keluargaku ? Sesudahnya, silakan Anda yang memutuskan sendiri.

Andrew Weil, dokter lulusan Universitas Harvard, penganjur hidup sehat dan sejahtera dari AS telah menyatakan agar hidup kita seimbang, damai, tidak gelisah, antara lain ia anjurkan agar kita lebih banyak mengurangi nonton televisi.

Bambang Haryanto
Jl.Kajen Timur 72 Wonogiri 57612
Warga Epistoholik Indonesia.


Ternyata Kompas Jawa Tengah sedang memanjakan diriku. Tidak hanya surat pembacaku yang dimuat, karena pada halaman yang sama artikelku berjudul “Solocon Valley” juga berbarengan terpajang di sana. Baru kali ini saya mengalami pengalaman yang menyenangkan tersebut.

Dalam artikel tersebut saya mengisahkan betapa irama hidup di Solo sungguh berbeda dibanding kota-kota lain. Kebetulan saya memang lahir di kota ini, di mana tanggal 24 Agustus 2006 nanti saya akan tepat berumur 53 tahun. Tetapi artikel Robert Levine yang termuat di majalah Psychology Today (3/1985) itu tidak saya temukan di Solo. Melainkan di Jakarta, saat browsing rak majalah di Perpustakaan LIA, Jl. Pramuka, Jakarta Timur.

Levine telah melakukan pengukuran waktu terhadap irama hidup di kota besar dan kota menengah di pelbagai belahan dunia. Diantaranya Jepang (Tokyo dan Sendai), Inggris (London dan Bristol), Taiwan (Taipei dan Tainan), Indonesia (Jakarta dan Solo), Italia (Roma dan Florence) dan Amerika Serikat (New York dan Rochester). Risetnya mengkaji tiga indikasi dasar : akurasi jam pada kantor bank, kecepatan pejalan kaki dan kecepatan pegawai kantorpos melayani pembelian perangko.

Akurasi waktu terbaik diraih Jepang. Indonesia menempati peringkat paling buncit dari keenam negara itu. Kecepatan seseorang sendirian berjalan kaki menempuh jarak 100 kaki, menempatkan orang Indonesia berstatus paling lambat. Levine memberikan ilustrasi ketika ia mengukur efisiensi petugas pos Solo melayani pembelian perangko.

Saat ia antri, pegawai pos yang menjual perangko itu malah asyik mengajaknya ngobrol, membicarakan kerabatnya yang tinggal di Amerika. Lima orang yang antri di belakang Levine nampak sabar. Tidak mengeluh dan bahkan ikut memberi perhatian atas obrolan mereka.


Selamat datang di Solo, kota di mana waktu tersedia melimpah di sana. Merujuk fenomena yang disebut waktu sosial atau denyut jantung masyarakat dalam memaknai waktu, masyarakat Solo khususnya dan masayarakat Jawa pada umumnya, memiliki pandangan unik.

Secara matematis manusia hidup dalam hitungan waktu yang sama, 24 jam sehari, tetapi tidak semua budaya di dunia memaknainya secara sama. Masyarakat Barat memaknai waktu sebagai komoditi yang pasti habis. Waktu adalah uang. Tetapi masyarakat Jawa menganggap waktu sebagai proses siklus, sesuatu yang dapat terulang kembali.

Pemaknaan waktu khas Jawa itu oleh pakar pemasaran Kafi Kurnia diungkap dengan ilustrasi menarik tentang fenomena umum di Solo. Ia sebutkan pemandangan unik : tukang becak yang menunggu konsumen sambil tertidur di becaknya. Juga budaya ngobrol di lapak-lapak wedangan yang juga terasa kental di Solo.

Kafi Kurnia menantang : mengapa tidak menjual kota Solo sebagai kota yang ideal untuk membunuh waktu, untuk santai-santai atau pun berbincang-bincang ?

Tantangan menarik. Terlebih dalam konteks era network economy, ekonomi jaringan dalam dunia digital dewasa ini, kita dapat menyimak pandangan Kevin Kelly yang mampu memberikan perspektif baru yang brilyan. Dalam karya tulis tonggak yang inspiratif, “New Rules for the New Economy : Twelve Dependable Principles for Thriving in a Turbulent World” (Wired, September 1997), ia katakan : Peter Drucker mencatat bahwa dalam abad industri setiap pekerja yang mampu mengerjakan pekerjaannya secara lebih baik disebut sebagai produktivitas.

Tetapi kini dalam ekonomi jaringan di mana kebanyakan mesin-mesin mengerjakan pekerjaan manufaktur yang tak cocok untuk manusia, tugas setiap pekerja bukanlah “bagaimana mengerjakan pekerjaan secara benar” melainkan “pekerjaan apa yang benar untuk dikerjakan ?” Di era mendatang, mengerjakan segala sesuatu secara benar jauh lebih produktif dibanding mengerjakan hal yang sama secara lebih baik.

Tetapi bagaimana seseorang dapat secara mudah mengukur sense penting dalam eksplorasi dan penemuan ? Semua ini tidak terlihat dalam parameter atau patok duga produktivitas. Sejatinya, menurutnya, menghambur-hamburkan waktu dan bekerja tidak efisien merupakan jalan menuju penemuan. Suatu situs web yang dioperasikan oleh anak muda seumuran 20 tahun dapat terwujud karena ia mampu menghabiskan waktu 50 jam untuk menjadi ahli merancang situs web.

Sementara itu pekerja usia 40-an tahun tidak dapat mengambil cuti liburan tanpa berpikir bagaimana dia menentukan apakah berlibur itu bisa disebut sebagai produktif atau tidak, sementara si anak muda tadi tinggal mengikuti naluri dan menciptakan beragam hal baru dalam desain webnya, tanpa menghitung apa yang ia lakukan itu efisien atau tidak. Dari otak-atik yang tidak efisien itulah akan hadir masa depan..

Dalam era ekonomi jaringan, produktivitas bukan masalah krusial. Karena kemampuan kita dalam menyelesaikan masalah sosial dan ekonomi kebanyakan dikekang, dibatasi, terutama oleh kurangnya imajinasi dalam menemukan peluang dibanding usaha mengoptimalkan suatu solusi. Seperti simpul Peter Drucker yang dikutip oleh George Gilder, rumusnya kini berbunyi : jangan menyelesaikan masalah, tetapi carilah peluang.

Apabila Anda menyelesaikan sesuatu masalah, Anda berinvestasi bagi kelemahan Anda. Tetapi bila Anda mencari peluang, maka Anda dapat mempercayai jaringan, network, Anda.

Apalagi sisi menarik mengenai ekonomi jaringan yang jelas bermain seirama dengan kelebihan manusia yang hakiki. Pengulangan atau repetisi, sekuel, mengopi dan otomasi, di era digital kini semua cenderung bebas biaya. Gratis. Sementara segi-segi inovasi, orisinalitas dan imajinatif semakin menjulang nilainya ! (Catatan : alinea penting yang tertulis dengan huruf miring ini justru diedit, hilang, dalam artikel saya di Kompas Jawa Tengah itu !-BH).

Berefleksi ke belakang, Solo pernah melahirkan tokoh-tokoh inovator seperti Ronggowarsito, Yosodipuro, Martopangrawit, sampai Sardono W. Kusumo, Rendra dan Arswendo Atmowiloto. Atau bahkan juga tokoh sekaliber Ahmad Baiquni dan Amien Rais. Termasuk juga kini, Mayor Haristanto dengan Republik Aeng-Aeng-nya.

Merujuk modal besar Solo seperti disebut Kafi Kurnia dan terlebih peluangnya bersinergi dengan budaya ekonomi jaringan yang mengedepankan inovasi, seluruh stakeholder kota Solo memiliki tantangan bagaimana mengubah kotanya menjadi magnit bagi kalangan inovator, dari mana pun di dunia, untuk datang di Solo. Sebagaimana kemajuan kota atau negara banyak dilakukan para pendatang, kehadiran mereka dapat menjadi katalisator dan stimulator bagi kalangan inovator asli Solo sendiri.

Akhirnya, sebagai warga kelahiran Solo dan merujuk gagasan pembangunan Techno Park di Mojosongo, saya ingin beriur gagasan dengan memimpikan Solo sebagai Solocon Valley, plesetan dari Silicon Valley, kluster area di negara bagian California AS yang dihuni perusahaan-perusahan teknologi informasi ternama di Amerika Serikat.

Pekerjanya di sana yang merupakan otak-otak brilyan itu ibarat campuran seniman dan ilmuwan. Atmosfir suasana kerja yang tidak formal karena kekakuan birokrasi akan membunuh inovasi, mereka pun berinteraksi dan mematangkan ide-idenya di kafe-kafe, dengan obrolan hingga larut malam, yang suasananya tak jauh berbeda dari suasana lapak-lapak wedangan di Solo.


Pembebek EI dan Godaan Kooptasi. Dalam era ekonomi jaringan di era digital dewasa ini, sekali lagi, pengulangan atau repetisi, sekuel, mengopi dan otomasi, semua cenderung bebas biaya. Gratis. Sementara segi-segi inovasi, orisinalitas dan imajinatif semakin menjulang nilainya. Sayang, atmosfir pendidikan di Indonesia belum kondusif bagi pengembangan pribadi-pribadi yang ingin berbeda, yang berani mengembangkan inovasi atau pun orisinalitas.

Cerita tentang inovasi dan orisinalitas, saya punya sedikit cerita tentang kota saya, Wonogiri. Dalam bahasa konstruksi lawakan, pernyataan berikut ini disebut sebagai premis : Wonogiri merupakan kota basisnya Orde Baru. Tetapi Anda tak usah bersusah payah menyusuri catatan sejarah bahwa Presiden Soeharto itu masa kecilnya dihabiskan di Wonogiri, sementara Menteri Hartarto sampai istrinya Harmoko, juga berasal dari Wonogiri.

Premis di atas merujuk fakta bahwa sejak saya kecil sampai kini, toko terbesar di Wonogiri adalah Toko Baru. Begitu melekatnya nama ini sehingga memunculkan fakta, di mana menurut konstruksi lawakan pernyataan berikut ini disebut sebagai “bom” atau punchline : karena banyak nama-nama toko baru yang menggunakan nama “Baru” itu pula. Misalnya, Baru Ada, Baru Special, Baru Tekstil sampai Meubel Baru.

Pembebek memang ada di mana-mana. Komunitas jaringan penulis surat pembaca yang saya gagas, saya bidani dan kelola sampai saat ini, Epistoholik Indonesia, tak luput dari riak-riak nuisance semacam itu dalam sejarah perjalanannya.


Kilas balik 1992 : Hari Jumat, 10 April 1992, saya mengunjungi Perpustakaan American Cultural Centre (ACC) yang terletak di Wisma Metropolitan II, Jl. Jenderal Sudirman, Jakarta. Saya anggota perpustakaan ACC yang menggiurkan dan modern ini. Menurut saya, saat itu ACC merupakan perpustakaan terbaik di Jakarta. Majalah-majalah manca negaranya banyak, selalu mutakhir. Buku-buku barunya selalu bikin senewen, sebab mana yang lebih dulu untuk dibaca ?

Paparan majalah TIME (6/4/1992) mengenai sosok tokoh penulis surat pembaca asal India, Anthony Parakal, segera membetot perhatian saya saat itu. Eureka ! Sebagai penulis surat pembaca sejak tahun 1970-an, kisah Anthony Parakal itu bagi saya langsung menjadi setrum ribuan volt. Sebuah booster moral bagi diri saya bahwa menulis surat pembaca itu aktivitas yang cool dan berharga. Sebutan epistoholic dari majalah TIME untuk Anthony Parakal sebagai sebutan pecandu penulisan surat pembaca dan aktivitas sosialnya, langsung nancap di kepala saya !

Pada tahun 1992, empat belas tahun lalu itu, siapakah yang hirau dengan artikel itu , kosa kata epistoholik, dan bahkan majalah TIME tersebut ? Siapakah orang Bandung, Batang, Bojonegoro, Boyolali, Jakarta, Jombang, Kaliurang, Karanganyar, Kendal, Magelang, Purbalingga, Purwodadi, Tegal, Salatiga, Semarang, Sukoharjo, Surabaya, Wonogiri sampai Yogyakarta yang membaca majalah TIME edisi itu ? Menaruh perhatian terhadap prestasi sosok Anthony Parakal serta istilah epistoholik tersebut ?

Syukurlah, ternyata selain diri saya adalah Bapak Darmawan Soetjipto (Jakarta) yang juga memperhatikan artikel di majalah TIME tersebut. Ketika saya mempromosikan Epistoholik Indonesia di majalah Tempo, tahun 1994, beliau menyatakan lewat surat, telah pula membaca profil Anthony Parakal tersebut.

Sepuluh tahun kemudian ketika surat pembaca saya yang kembali mempromosikan EI muncul di TEMPO (5-11/1/2004), kembali Bapak Darmawan Soetjipto memberikan reaksi positif. Beliau telah memberi komentar dengan menulis surat pembaca, juga di majalah Tempo. Bahkan beliau pun kemudian bergabung dalam jaringan Epistoholik Indonesia.

Impian saya tahun 1992, yaitu membentuk komunitas penulis surat pembaca, saat itu memang gagal saya ujudkan. Juga gagal lagi di tahun 1994. Ketika dalam masa pasif itu ternyata ide saya dicaplok oleh Erwin, SH dari Medan.

Ia menulis surat pembaca, redaksi isinya persis surat pembaca saya, tetapi hanya beda penyebutan nama organisasi para penulis surat pembaca yang ingin ia dirikan. Ia pun mengirimi saya surat, di mana dalam rancangan daftar personil pengurusnya dirinya tampil sebagai ketua. Saya lupa apa jabatan saya dalam organisasi itu.

Yang sangat menyedihkan dengan organisasi baru itu, Erwin berencana mengirimkan proposal ke Sekretariat Negara, yang saat itu menterinya dijabat oleh Murdiono. Inti isi proposalnya adalah, apa lagi, kalau bukan minta bantuan dana. Gagasan yang sungguh bertentangan dengan cita-cita dan nurani saya.

Komunitas penulis surat pembaca yang saya impikan adalah komunitas yang hadir sebagai salah satu pilar penegakan demokrasi. Impian dan cita-cita yang tidak sembarangan. Saya mencita-citakan komunitas yang saya cintai ini warganya menulis secara independen, kritis, bernalar dan tajam, tetapi saat itu di tangan seorang Erwin rupanya dirinya rela dlosor, merangkak dan pasrah bongkokan, merendahkan diri demi imbalan uang, hendak menyerahkan diri untuk rela terkooptasi oleh rejim Orde Baru yang sangat represif saat itu. Sokurlah, ide Erwin itu tidak menjadi kenyataan !

Impian membentuk komunitas penulis surat pembaca, yang dilandasi dengan cinta, akhirnya menjadi kenyataan ketika saya gulirkan lagi di bulan Oktober 2003. Berdirilah Epistoholik Indonesia (EI). Dengan semboyan episto ergo sum yang juga saya ciptakan. Kehadiran Epistoholik Indonesia yang dipicu terutama oleh kehadiran teknologi blog di Internet, saya yakini bila berpadu, akan mampu memberi otot dan bobot yang hebat bagi eksistensi Epistoholik Indonesia sebagai pilar demokrasi.

Prestasi ini membuat saya diprofilkan di majalah Intisari (Juli 2004), gagasan tentang komunitas kaum epistoholik memenangkan Mandom Resolution Award 2004, tercatat di Museum Rekor Indonesia 2005 dengan Piagam No. 1441/R.MURI/III/2005, dan mendeklarasikan tanggal 27 Januari (2005) sebagai Hari Epistoholik Nasional. Profil saya juga muncul dalam tayangan Bussseeet ! di TV7, 20/3/2005 dan 18/5/2005. Juga dalam liputan majalah MataBaca (Oktober 2005) yang ditulis oleh Agus M.Irkham.

Kalau Anda sudi berbaik hati mengetikkan kata “epistoholik” dalam mesin pencari Google (http://www.google.com/) di Internet, Anda akan menemukan catatan sejarah yang terjadi selama ini. Termasuk siapa saja yang telah mempopulerkan istilah yang sulit dibaca itu di Indonesia selama ini.


Komunitas Epistoholik Indonesia, sejauh ini, cukup membesarkan hati. Banyak warganya yang dedikatif dan tulus dalam memberikan darma kepada masyarakat, melalui karya-karya penanya. Tetapi tak ada gading yang tak retak. Saya masih harus menelan ludah karena bujukan saya agar mereka mau mengelola situs blog dan menjadikannya sebagai sarana ekspresi sebagai penegak pilar demokrasi, masih mengecewakan.

Saya juga meraba munculnya deviasi. Betapa kemuliaan aktivitas menulis surat pembaca yang tertumpu kepada filosofi reward is in the doing, pahala atau berkah otomatis ternikmati ketika kita asyik menulis surat pembaca itu sendiri, kini ada yang tega menggelincirkannya.

Sebagai seseorang yang sudah menulis surat pembaca lebih dari 30 tahun, hanya baru-baru ini saya menemui beruntun keganjilan. Saya mendeteksi kolom surat pembaca menjadi ajang parade berindikasikan aksi rekaculika demi memuaskan rasa kemaruknya terhadap kebanggaan pseudo, dengan melakukan self-congratulatory, memuja-muji diri sendiri. Sungguh merupakan upaya memburu popularitas dengan modus kreativitas pas-pasan bagi pelakunya. Benar-benar aksi episturbasi !


Ancaman Pembajakan Merek EI ? Orang-orang dengan jalan pikiran semacam Erwin, SH di atas, yang nampak tergiur membuat organisasi penulis surat pembaca yang mudah dikooptasi oleh fihak lain, mungkinkah kini muncul kembali ?

Mari kita simak fenomena menarik ini. Dewasa ini terdapat sekelompok sahabat yang selama ini berdedikasi sebagai penulis surat pembaca, sebagian ada yang sudah tergabung dalam EI kita, berencana mendirikan organisasi baru. Sungguh berita bagus. Sebagai pribadi dan inisiator Epistoholik Indonesia, saya menyambut antusias dengan tulus. Tetapi, marilah kita bermain dengan cantik dan menjunjung tinggi fair play secara konsisten.

Himbauan saya tentang sikap fair play di atas merupakan reaksi saya merujuk isi surat pembaca Sdr. Suprayitno (Semarang) mengenai peluncuran komunitas penulis surat pembaca baru dengan nama “Partai” Epistoholik Indonesia (SM, 30/7/2006) dan lalu S. Joko Wiyono (Semarang) yang menulis surat pembaca berjudul “Partai Epistoholik” (SM Minggu, 6/8/2006).

Mereka berdua bercerita bahwa pada pertemuan kedua para penulis surat pembaca khususnya yang selama ini menulis untuk surat kabar Suara Merdeka, telah dideklarasikan organisasi baru mereka, bernama “Partai” Epistoholik Indonesia (PEI).

Mungkin karena mereka sibuk atau karena saya yang tinggal di ndeso Wonogiri itu dinilai tidak berharga untuk dikabari, membuat diri saya menderita kemiskinan informasi mengenai perjalanan gagasan rekan-rekan sesama penulis surat pembaca di kawasan Pantura Jawa Tengah itu. Atau mungkin saya memang sengaja untuk tidak perlu untuk diberitahu atau pun dilibatkan. Akibatnya, sejak awal Agustus 2006 saya hanya bisa menunggu perkembangan.

Sebagai obat kangen, saya kemudian mengirimkan SMS kepada Suprayitno : Mas Yitno sy dukung Pagyuban Penulis SP SM. Ttp pemakaian EI dlm Partai EI, sy keberatan. Itu spt membajak merk “EI” yg sy perjuangkan sejak 1992. Maaf & makasih. (Jumat : 4-Agt-2006 /18 : 29 : 05).

Balasan Suprayitno : Mas BH maaf agak tlt balasnya, pulsa habis. Iya sehrsnya saya yg minta maaf, krn sy tlh lancang pakai nama epistoholik. Saya pkr epistoholik istilah internasional bukan ciptaan mas BH jadi sy bisa pakai tanpa hrs minta ijin panjenengan. Ok PEI ternyata disambut sangat meriah, hanya bnyk usul namanya jangan pakai EPISTOHOLIK katanya susah dan tdk merakyat. Rencana akan saya ganti jadi PKI (Partai Komunikasi Indonesia) biar SEREM diprotes PKI masa lalu gak ya. (Sabtu : 5-Agt-2006 /14 : 13 : 53).

Balasan saya lagi : Thx Mas Yitno. Epistoholik itu istilah internsnl, bukan ciptaan BH. Ttp BH yg GABUNGKAN dg Indonesia, 1992, jadilah “merek” EI. Kl EI ada di PEI, bs rancu kan ? (Sabtu : 5-Agt-2006 /15 : 07 : 17).

Kembali balasan dari Suprayitno : Ok thank infonya memang namanya hrs ganti. Lagian kata partai sbtlnya tak mengacu pd partai pol. Itu cuman buat membedakan dg ECERAN jadi partai berarti DLM JML BANYAK. Konsep EI bkn barang eceran tp PARTAI makanya tdk akan ikut pemilu+rbutan kursi. Kami cuman MEMBERI pantang meminta. Gitu lho mas BH.(Sabtu : 5-Agt-2006 / 15 : 19 : 11).

Pada saat yang hampir bersamaan, saya kemudian memperoleh SMS dari M. Fahruddin Hidayat (Warga EI dari Batang) : Met mlm Pak Bambang. apa kbr ? Katanyab tmn2 bikin Parte EI. Gimna tanggapan bpk ? Menrt sy bgs, bs trt mengeksiskan EI cipt bpk. Bgmnpun PEI bkn parte tp sbuah smangat. (Minggu : 6-Agustus-2006 /19 : 05 : 18 ).

Balasan saya : Thx Mas. Scr idiil sy stuju PEI. Ttp sbg orgnisasi baru & tiba2 MEMBAJAK MEREK EI yg sy temukan, sy bangun sjk 92 & org. EI ADA LEBIH DULU dr PEI, sy sgh keberatan ! (Senin : 7-Agustus-2006 / 11 : 23 : 38).


Kentut Semar Vs Era Penulis Surat Pembaca Bayaran. Kontak saya dengan sahabat-sahabat penulis surat pembaca dari kawasan Pantura Jawa Tengah itu, kini praktis terhenti. Tetapi informasi yang saya dengar, nampaknya aktivitas para sahabat itu semakin meningkat.

Bahkan dalam rapat mendatang, disebutkan telah melibatkan pula sosok “tokoh sepuh berpengaruh” yang mendukung agenda mereka. Apakah tokoh sepuh itu juga penulis surat pembaca ? Mengapa dirinya terpilih ? Karena kedekatan afiliasi politik, pemahaman, atau karena faktor keuangan ?

Saya tergerak untuk berpikir positif. Aktivitas para sahabat di Pantura Jawa Tengah itu menunjukkan bahwa aktivitas menulis surat pembaca kini sepertinya memperoleh bobot baru. Menggembirakan. Juga agak menguatirkan.

Bagi saya pribadi, saya tertarik dengan filosofi eagles flies alone, burung garuda itu terbang sendirian, yang selalu menghiasi baris terakhir artikel yang ditulis pakar ilmu politik dari Universitas Gajah Mada, almarhum Riswandha Imawan. Dengan slogan indah itu ia memposisikan dirinya sebagai insan bebas yang berpikir bebas, tanpa direcoki oleh interes selain isi hati nuraninya sendiri.

Alangkah idealnya, bila para penulis surat pembaca juga memiliki ugeran, pegangan, atau prinsip, yang sama. Kita dapat berkaca dari keteladanan Anthony Parakal. Beliau diceritakan berencana menerbitkan buku. Isinya berupa himpunan sekitar 5.000 surat-surat pembacanya. Rencana judul bukunya, So Far So Bad. Ketika ada sponsor yang bersedia menerbitkannya, tetapi ada beberapa surat pembaca yang harus disensor, Parakal mentah-mentah menolaknya.

Dedikasi dan keteguhan hati Anthony Parakal untuk setia pada nurani, merupakan ilham dan keteladanan bagi kaum epistoholik. Bagi saya, penulis surat pembaca kiranya cocok pula diibaratkan sebagai punokawan dalam cerita wayang. Mungkin dapat dipersonifikasikan dalam diri sosok Semar. Ia konon setengah manusia, juga setengah dewa. Bersama anak-anaknya, Semar mengabdi kepada tokoh ksatria yang membela kebenaran.

Semar menjaga para ksatria agar selalu mampu berjalan dalam arah yang lurus, dengan kritikan-kritikan yang mengena dan tidak menyakitkan. Tetapi ketika Semar marah, ia mampu pula mengeluarkan kentut yang dapat menggegerkan dunia. Semar dan anak-anaknya tidak memiliki kedudukan.

Mereka selalu mengembara.

Fenomena berhimpunnya para penulis surat pembaca dalam sebuah organisasi formal, sementara EI selama ini merupakan jaringan, organisasi tanpa bentuk( adhocracy) yang sejalan dengan era network economy, rupanya mengindikasikan betapa mereka tidak betah lagi hanya mengembara dan tinggal “di atas angin” belaka. Mereka ramai-ramai ingin turun membumi.

Saya bayangkan, mereka pasti ingin memiliki kantor. Mungkin semacam Lembaga Bantuan Penulisan Surat-Surat Pembaca. Kemudian bergerak menampung klien yang ingin mengadukan nasibnya, dimana bentuk pengabdian lembaga bersangkutan adalah dengan menuliskan problema para klien itu dalam bentuk surat-surat pembaca.

Sejauh ini, gambar itu lumayan bagus. Tetapi kelak ketika kawanan para punokawan penulis surat-surat pembaca itu mulai tergelitik syahwatnya untuk menikmati kekuasaan, tergoda memperebutkan kedudukan, pangkat, hirarki, kewenangan dan terutama uang, maka mudah dibayangkan akan seperti apa lembaga yang semula digagas nampak bagus itu.

Time will tell.
Waktu yang akan bicara.

Mungkin ini awal sebuah era baru dimana penulis surat pembaca menjadi profesional. Dirinya merasa pantas untuk memperoleh bayaran. Entah dibayar oleh lembaga atau organisasinya (uangnya diperoleh entah dari mana) atau dibayar oleh para klien.

Skenario tersebut kemudian mengingatkan saya tentang bahasan paradoks bayaran untuk para “penyebar virus” dari bukunya Seth Godin, Unleashing The IdeaVirus (2001). Menurut Seth Godin, para nara sumber yang ketahuan berbicara karena memperoleh bayaran justru akan turun kredibilitasnya di mata audiens mereka !


Sisi Manis Menulis Surat Pembaca dan Niniz. Skenario diatas dapat saja tidak terjadi. Tetapi ketika berefleksi terkait dengan hari ulang tahunku ke 53 tanggal 24 Agustus 2006 nanti, ternyata menekuni aktivitas penulisan surat-surat pembaca sejak tahun 70-an hingga kini, lumayan manis untuk dinikmati.

Menulis surat pembacanya sendiri praktis tidak ada hal yang istimewa. Tetapi ketika menyajikan isu-isu seputar aktivitas penulisan surat pembaca itu dalam bentuk artikel di blog, media yang bercakupan global, maka kejutan demi kejutan segera saya temui.

Termasuk momen bisa menemui seorang Niniz, perempuan memesona, pada tanggal 18 Juli 2006 di Bandara Adisucipto, Yogyakarta. Lima hari sebelumnya ia tiba di Jakarta setelah menempuh perjalanan 12 jam lebih dari kota tempat tinggalnya, London.

Aku tinggal di Wonogiri. Niniz selama ini sudah lebih dari 20 tahun berdomisili di London. Kita ketemu melalui Internet. Kalau aku tidak mengelola situs blog Esai Epistoholica ini dan Niniz tidak menulis komentar di blog ini pula, kisah hidup masing-masing kita akan jadi lain. Tetapi sejatinya kami dipercepat pertemuannya oleh gempa bumi.

Dirinya sebagai pekerja sosial dan pendiri sebuah lembaga donor, charity foundation yang berkedudukan di London, telah menjelajah sampai di daerah-daerah konflik, seperti Ambon, Poso, Ternate, sampai Aceh. Ia menaruh kepedulian terhadap nasib mereka yang sering terlupakan di daerah bencana dan konflik, yaitu anak-anak.

Slogan lembaganya begitu menyentuh : Give the children hope. Please give them opportunity to go back to school and hold their pencil again. Secara bercanda, aku katakan padanya bahwa kelak kata “their pencil again” itu bisa digantikan dengan, “their laptop again.”

Kalau pemerintah Thailand pada bulan Oktober 2006 mendatang mampu membagikan jutaan laptop gratis kepada murid-murid Sekolah Dasar, apa pemerintah kita tidak memiliki mimpi serupa ? Niniz punya angan-angan lebih tinggi. “Kalau kelak lingkupnya menjadi internasional, aku dibantu ya mas ?,” rajuknya.

Dalam foto-foto yang ia kirimkan, ia nampak sumringah dan lebih cantik ketika berada di tengah anak-anak yatim yang menjadi anak asuhnya. Dalam dirinya nampak kental terpateri pesan luhur dari lirik lagu indahnya Carpenters, Bless The Beast And Children :

Bless the beasts and the children
For in this world they have no voice
They have no choice

Bless the beasts and the children
For the world can never be
The world they see

Light their way
When the darkness surrounds them
Give them love
Let it shine all around them

Bless the beasts and the children
Give them shelter from a storm
Keep them safe
Keep them warm


Saya pun, karena menyukai dirinya dan misi hidupnya, pernah secara sembrono dalam obrolan di telepon sambungan internasional berandai-andai dengannya : bila saja Wonogiri atau Jawa terjadi bencana alam atau konflik, saya berharap ia bisa datang dari London untuk menyantuni, sehingga aku bisa bertemu dengan dirinya.

Kata pepatah, hati-hatilah dengan harapan Anda. Karena sebagian besar harapan itu akan terpenuhi. Saya mudah teringat kata gothendipity yang dikenalkan oleh Tony Buzan (1942 - ), pakar mind mapping dan penemu istilah mental literacy yang mengajarkan bagaimana otak kita mampu belajar secara cepat dan alamiah sehingga kita mampu mempelajari apa pun yang menjadi minat-minat kita.

Kata gothendipity merupakan hasil amalgamasi, peleburan cerdas antara ajaran penyair, novelis dan dramawan Jerman, Johann Wolfgang von Goethe (1749-1832) dengan kata serendipity, yang artinya kesanggupan untuk menemukan sesuatu keterangan secara tak disengaja waktu mencari sesuatu yang lain :

“Saat seseorang benar-benar melakukan sesuatu, maka takdir juga bergerak : segala sesuatu terjadi untuk menolong saya, yang bila saya tidak melakukan sesuatu, maka itu tidak akan pernah terjadi. Seluruh aliran peristiwa berasal dari keputusan yang akan menyebabkan timbulnya semua insiden dan bantuan material yang tidak diduganya, di mana tidak seorang pun dapat menduga kalau itu akan terjadi kepadanya. Apa pun yang Anda lakukan atau impian yang Anda impikan, mulailah. Keberanian memiliki kejeniusan, kekuatan dan keajaiban di dalamnya. Mulailah saat ini,” demikian kata Tony Buzan.

Tanggal 27 Mei 2006, gempa besar itu melanda Yogyakarta, Klaten, dan Pantai Selatan Pulau Jawa. Satu jam sebelum terjadi gempa, jam 5 pagi, aku memperoleh SMS dari Niniz, ia pengin menelpon, ingin pamit karena sore harinya ia berangkat berwisata ke Turki. Obrolan pun terjadi. Ia menasehatiku untuk pergi ke dokter gigi, juga menanyakan apa aku siap untuk menikahinya di Aceh, sejurus sebelum gempa terjadi.

Aku lari keluar rumah, tanpa bilang-bilang untuk memutus pembicaraan telepon. Ketika gempa mereda, sokurlah, Niniz di London belum menutup teleponnya. Aku menceritakan apa yang terjadi.

Siang hari, tanggal 18 Juli 2006, di Bandara Adisucipto, Yogyakarta, aku bertemu untuk pertama kali dengan Niniz. Setelah menyerahkan barang bawaan wajibnya ketika ia mengembara, yaitu laptop, handycam, kamera digital dan kamera semi otomatis, kepadaku, ia kembali masuk. Ia muncul lagi, mendorong trolley berisi tumpukan kardus. Isinya berupa beragam mainan edukatif untuk anak-anak, biskuit, sampai kembang gula. Itulah bawaannya, yang akan ia sumbangkan untuk anak-anak korban gempa.

Ia pun lalu menambahkan, “dan koper satu itu, semuanya untuk mas”. Isinya antara lain buku peta kota London (“bikin pusing orang Wonogiri”) dan buku sepakbola pesananku, Ingerland : Travels With A Football Nation (2006), karya Mark Perryman. Juga oleh-oleh kejutan : CD “I Believe I Can’t Fly”-nya stand up comedian Ahmed Ahmed, keturunan Mesir asal California AS. Ia seorang komedian muslim. CD-nya itu juga berisi pentas dirinya bersama komedian Yahudi, bekas rabbi, Bob Alper, bertajuk “One Muslim, One Jew, One Stage : Two Very Funny Guys.”

Saat itu aku hanya mampu menyambut Niniz dengan sekuntum mawar. Mawar Wonogiri. Juga bisikan : “I love you.” Ia pun sering membalas dengan ungkapan canda, “same, same, mas.”


Menghamburkan Waktu dan Penemuan. John Howkins dalam bukunya The Creative Economy : How People Make Money From Ideas (2001), antara lain telah mengatakan : “Treat the virtual as real and vice versa. Cyberspace is merely another dimension to everyday life. Do not judge reality whether it is based on technology but by more important and eternal matters such as humanity and truth.”

Aku pernah tulis dalam email : “Ninizku, alinea terakhir ini telah berbicara seratus persen pula tentang kita, bukan ? Kita ketemunya di Internet. Bukankah perasaan saling mencintai antara kita, yang tumbuh stronger and stronger day by day itu adalah eternal matters such as humanity and truth juga ? You bet. Tak salah lagi. Hidup blog. Hidup Internet !”

“Sejatinya,” kembali menurut Kevin Kelly yang aku kutip dalam tulisanku di Kompas Jawa Tengah diatas, “menghambur-hamburkan waktu dan bekerja tidak efisien merupakan jalan menuju penemuan.”

Bercermin pada apa yang aku lakukan selama ini, bagiku, menghabis-habiskan waktu untuk merancang dan mengisi situs–situs blogku selama ini, ternyata merupakan jalan menuju penemuan. Bahkan terbesar untuk hidupku : menemukan seorang Niniz, untuk masa depanku

Tentu saja semua itu tidak terjadi dalam kesempatan dan waktu yang ideal. Niniz pun pernah menulis gugatan gemes dalam SMS (30 April 2006) : Where were u all these times ? Mas kemana saja selama ini ? Kenapa baru sekarang kita jumpa ? I miss U.”

Pertanyaan Niniz yang manis. Juga menggemaskan. Kenapa aku baru menjumpainya ketika umurku mencapai 53 tahun, tepat pada tanggal 24 Agustus 2006 nanti ? Tidak masalah. Salah seorang penyanyi yang aku idolakan sejak tahun 1972 dengan lagunya Gypsies, Tramps & Thieves, yaitu Cher, mungkin telah membantuku untuk memberikan jawaban :

If grass can grow through cement,
love can find you at every time in your life.

Kalau rerumputan mampu tumbuh menyeruak di permukaan semen, maka cinta pun mampu menyapa dirimu, setiap saat, dalam sepanjang hidupmu.


Wonogiri, 13-17 Agustus 2006

ee

No comments:

Post a Comment