Wednesday, August 24, 2005

Blog, Internet dan Kematian : Menurut Yahoo Namaku Telah Meninggal Dunia Tetapi Seseorang Di Paris Juga Telah Mencatatnya

Oleh : Bambang Haryanto
Esai Epistoholica No. 27/Agustus 2005
Email : epsia@plasa.com
Home : Epistoholik Indonesia



GUYONAN KEMATIAN WOODY ALLEN. Anda pernah membaca bukunya pakar pemasaran dunia, Al Ries & Laura Ries, The Fall of Advertising & The Rise of PR ?

Buku bersampul kehijauan bergambar kepala boneka anjing yang tergeletak lunglai disamping mikrofon berlabelkan pets.com ini terbit tahun 2002. Isinya mengenai realitas bahwa periklanan kini sedang menuju kematian, dan kehumasan justru sedang menuju kejayaan. Ini merupakan buku ketiga karya Al Ries yang saya miliki.

Sebelumnya ia telah menulis buku pemasaran klasik bersama Jack Trout, Positioning : The Battle For Your Mind (1986). Buku ini bisa saya beli, 8 Juni 1987, berkat bisnis kaos. Saat itu sebagai pengelola Ideas T-Shirt Club (ITSC), saya punya anggota bernama Cresenthya Hartati yang pelajar SMA Tarakanita 2 Jakarta. Ia pula yang merekomendasikan pada gurunya agar mengontak saya untuk pembuatan kaos bagi sekolahnya yang akan mengadakan tur ke Bali.

Buku Ries dan Trout kedua yang saya miliki adalah Horse Sense : The Key to Success Is Finding a Horse to Ride (1991). Buku panduan untuk meraih sukses dalam karier dengan pendekatan ilmu pemasaran. Buku yang bagus. Buku itu saya beli 11 Juni 1991, di Toko Buku Gramedia Matraman, Jakarta Timur.


Di sampul belakang buku ketiga ini, The Fall of Advertising & The Rise of PR, mereka berdua memberikan gambaran yang menarik tentang perbedaan antara periklanan dengan PR (public relations) atau kehumasan dalam beraksi, dengan meminjam cerita dari dongeng Aesop.

Dalam dongeng Aesop tersebut terkisah angin dan matahari sedang bertengkar memperebutkan siapa yang lebih kuat di antara mereka. Saat melihat seorang pengembara yang sedang berjalan, mereka memutuskan untuk menyelesaikan pertengkaran itu dengan jalan mencoba mengusahakan agar si pengembara membuka mantelnya.

Angin menyerang lebih dulu. Ia serta merta meniup dengan kencang. Tetapi semakin kencang angin berhembus, semakin kencang si pengembara tersebut menyelimuti tubuhnya dengan mantelnya. Kemudian giliran matahari untuk beraksi. Matahari keluar dan mulai bersinar. Si pengembara mulai merasakan hawa hangat dan ia pun membuka mantelnya.

Matahari menang.

Al Ries dan Laura Ries mentamsilkan angin sebagai periklanan yang sifatnya memaksakan diri dalam memasuki benak prospek. Periklanan identik sebagai pengganggu yang tidak dikehendaki dan oleh karena itu perlu dilawan. Semakin gigih Anda beriklan, semakin gigih pula prospek melawan pesan-pesan periklanan Anda. Semakin keras periklanan berusaha memaksakan diri merasuki benak prospek, semakin kecil kemungkinan mereka berhasil mencapai tujuannya.

Tohokan paling keras terhadap periklanan, papar lanjut ahli pemasaran yang ayah dan anak itu, muncul dari hasil jajak pendapat Gallup yang dikutip mereka. Biro riset terkenal itu telah melakukan jajak pendapat mengenai kejujuran dan etika terhadap 32 profesi yang beragam.

Profesi perawat memperoleh peringkat tertinggi (79 %), sementara tiga terbawah adalah penjual asuransi (11 %), praktisi periklanan (10) dan penjual mobil (9 %). Kalau profesi periklanan begitu tidak terpercaya dalam hal kejujuran dan etika, mengapa Anda harus pula mempercayai iklan-iklan mereka ?

Silakan Anda menjawabnya.
Atau justru tidak usah menjawabnya.

Dengan cerita ini saya hanya ingin mengaitkan hasil riset Gallup tersebut, terutama yang menyangkut kredibilitas agen asuransi dengan lelucon yang pernah diluncurkan oleh Woody Allen. Seputar kematian.

Woody Allen bilang : "There are worse things in life than death. Have you ever spent an evening with an insurance salesman?" . Ternyata kehidupan itu lebih buruk dibanding kematian. Pengin tahu ? Pernahkah Anda suatu malam terlibat perbincangan dengan seorang penjaja polis asuransi ?

Lelucon Allen yang menggigit. Sebab memang begitulah cara berbisnis para agen asuransi. Bukankah mereka selalu menekankan betapa sanak keluarga yang ditinggalkan akan memperoleh berkah ketika si pemegang polis bersangkutan, Anda, meninggal dunia ? Semoga lelucon ini tidak terbaca oleh adik perempuan saya, sebagai single parent yang kini mencari nafkah sebagai penjaja polis asuransi.

Woody Allen juga punya lelucon lainnya. Masih tetap seputar kematian. "It's not that I'm afraid to die, I just don't want to be there when it happens" . Bukan berarti saya takut mati, hanya saja saya tidak ingin berada di sana ketika kematian itu tiba.


HARI ULANG TAHUN, HARI WINGIT. Saya suka lelucon cerdasnya Woody Allen. Leluconnya tentang seks juga kelas satu lucunya. Tetapi pelbagai lelucon tentang kematian darinya itu tiba-tiba melintas di benak ketika saya justru teringat kepada perkataan teman kuliah saya di UI, Sri Mulungsih.

Sri Mulungsih kini adalah kepala perpustakaan majalah berita mingguan Tempo di Jakarta. Putri seorang jenderal yang pernah mencalonkan diri sebagai Ketua Umum PSSI dan sekaligus Rektor Universitas Krisnadwipayana Jakarta ini, sebelumnya berkuliah di Jurusan Sastra Belanda Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Saya pernah mendapat cerita dari Sri Mulungsih mengenai eksotika daerah “lampu merah” Amsterdam (atau Rotterdam ?) yang terkenal itu.

Tetapi saat ini bukan dongengan hot mengenai daerah lampu merah itu yang saya ingat. Melainkan perkataannya yang berbau wingit bahwa di saat mendekati peringatan hari ulang tahun, ia bilang, berhati-hatilah. Karena pada hari itu pula, katanya, seseorang juga mendekati hari kematiannya.

Saya tidak tahu dari mana ia memperoleh “rumus” seperti itu. Tetapi ketika saat-saat mendekati hari ulang tahun, ucapan dia itu setiap kali mudah mengusik di benak ini. Termasuk ketika saya tepat berumur 52 tahun pada tanggal 24/8/2005, yang bertepatan dengan hari ulang tahun TVRI, RCTI dan SCTV.

Apalagi, hal ajaib bin ajaib telah saya pergoki ketika tanggal 21/8/2005 yang lalu. Saat itu saya iseng-iseng memasukkan nama saya pada fasilitas search engine, mesin penelusur Yahoo. Ketika melihat daftar anotasi (catatan ringkas) yang muncul, saya harus menerima kenyataan akan sebuah kejutan, sekaligus kebenaran dan juga kebetulan, betapa seseorang yang bernama Bambang Haryanto tercatat telah meninggal dunia !

Mesin penelusur Yahoo itu tentunya tidak berbohong. Tidak pula mencari-cari sensasi. Tidak pula bermaksud menghumori dengan dark jokes atau sick jokes terhadap diri saya.

Bagi saya, fasilitas mesin penelusur Yahoo atau Google suka saya ibaratkan sebagai “kantor dinas kependudukan” yang mencatat eksistensi kita di dunia maya. Boleh sajalah bila diumpamakan pula sebagai malaikat, yang mencatat kebaikan atau pun keburukan diri-diri kita di dunia maya. Dan kini, malaikat itu telah menunjukkan salah satu bukti hasil catatannya !

Nama “Bambang Haryanto” saat itu tercatat di Yahoo sebanyak 19.400 kali. Untuk pencarian yang paling relevan telah terwakili dalam 10 halaman yang memuat anotasi pelbagai dokumen di Internet yang mencantumkan nama saya tersebut.

Pada anotasi pertama, pada halaman pertama, segera hadir kejutan besar tersebut. Silakan klik di sini , Anda akan segera dibawa untuk menemukan halaman di Internet yang berlatar belakang warna hitam. Bertajuk In Memoriam Bambang Haryanto. Isinya berupa album foto yang mengabadikan momen-momen saat Bambang Haryanto dimakamkan.

Lebih dari 40-an foto menunjukkan urutan upacara pemakaman. Mulai saat keranda yang berisi jenasah Bambang Haryanto keluar dari rumah duka, dibawa iringan mobil, saat upacara pemakaman, dan saat makam ditimbuni pelbagai karangan bunga. Dalam karangan bunga itu tersemat nama perusahaan yang ikut berdukacita, yaitu PT IndoInternet Jakarta, Salatiga, Bandung dan Tasikmalaya. Bambang Haryanto rupanya karyawan dari PT IndoInternet.

Siapa dia yang sebenarnya ? Saya telah menulis di buku tamu situs Ikatan Alumni Indonet yang memuat album foto tersebut, memohon bantuan untuk mengetahui biodata Bambang Haryanto bersangkutan. Data tertulis tentang dirinya di situs bersangkutan benar-benar tidak ada sama sekali. Hanya tertulis ucapan, “Selamat Jalan Bambang Haryanto, semoga tenang disisi-Nya, Amin”. Belum ada tanggapan hingga saat ini.

Yang pasti, saya dibuat semakin terperanjat ketika menyimaki nomor mobil yang mengantar perjalanan keranda. Salah satu mobil bernomor polisi Jakarta. Sedang mobil satunya bernomor mobil Wonogiri. Bahkan di kacanya tertulis nama Wuryantoro. Apalagi dalam salah satu foto (No.41) telah pula diabadikan marmer bertuliskan “Yayasan Girimaloyo Wuryantoro” yang terdapat di salah satu tembok dalam kompleks pemakaman tersebut.

Anda sebagai orang yang mungkin berdomisili jauh dan tidak tahu-menahu tentang Wonogiri atau Wuryantoro, ijinkan saya memberi tahu. Wuryantoro itu berada di Kabupaten Wonogiri. Dari rumah saya, di Wonogiri, berjarak sekitar 20-an kilometer ke arah selatan.

Kebetulan yang juga mengejutkan lagi, ayah saya almarhum Kastanto Hendrowiharso, juga dilahirkan di Wuryantoro. Ketika kemudian mencermati ciri-ciri area makam Wuryantoro seperti terekam dalam album foto tersebut, semoga saya tidak keliru, kiranya makam tempat Bambang Haryanto bersemayam itu adalah pula tempat kakek saya, Kasan Luwar dan pakde saya, Juhar, juga dimakamkan !


INTERNET DAN KEMATIAN. Makna apa yang bisa disimpulkan dari pelbagai kebetulan dan keajaiban yang saya pergoki di Internet hari-hari ini ? Saya hanya mampu meraba-raba dan mengira-ira.

Hanya saja realitas unik ini telah memicu saya untuk mengingat secuplik isi bukunya Thomas Mandel dan Gerard Van der Leun, Rules of the Net : Online Operating Instructions for Human Beings (1996). Mengenai Internet sebagai sarana pemasaran.

Buku ini saya beli di Times Bookshop, Indonesia Plaza, Thamrin, Jakarta, 20 Februari 1997. Hasil dari honor artikel saya berjudul “Ambisi Microsoft di Tahun 1997” yang termuat di Media Indonesia, 23 Januari 1997.

Buku ini bersampul hitam. Saya tidak tahu apa alasannya, ternyata pelbagai penerbit yang berbeda ketika menerbitkan buku yang membahas dunia digital, termasuk buku maha terkenalnya Nicholas Negroponte, Being Digital (1995), sampul bukunya berwarna hitam. Bukunya Ray Hammond, Digital Business : Surviving and Thriving in an On-Line World (1996), kembali sampulnya didominasi warna hitam.

Coba tengok lagi buku-buku terbitan Harvard Business School Press berikut ini. Buku karya Mary J. Cronin (ed.), The Internet Strategy Handbook : Lessons from the New Frontier of Business (1996). Buku “berat” ini merupakan oleh-oleh adik saya, Broto Happy W., ketika ia meliput Olimpiade Atlanta 1996. Kemudian cek sampul bukunya John Hagel III dan Arthur G. Armstrong, Net Gain : Expanding Markets Through Virtual Communities (1997). Kedua sampul kedua buku tersebut juga didominasi oleh warna hitam !

Apakah memang Internet itu pas dicitrakan dengan warna hitam ? Dan bukankah warna hitam sering pula diidentikkan sebagai warna kematian ?

”Corporate Web sites work best as flagpoles or cemeteries”, demikian tulis Thomas Mandel dan Gerard Van der Leun yang saya ingat itu. Situs web perusahaan menurutnya paling cocok digunakan sebagai penanda atau sebagai kuburan.

Menurut keduanya, banyak CEO dan CFO yang terjebak dalam mitos bahwa situs web merupakan “pasar dan sumber pemasukan yang tidak terbatas”. Senyatanya, situs web ideal bila digunakan untuk mengenalkan produk-produk dan jasa-jasa baru atau justru untuk memajang proyek dan produk yang nasibnya menjelang kematian.

Terlebih lagi, bagi saya pribadi, selain berisi isu Internet dan kematian (produk dan jasa), buku satu ini kebetulan juga diwarnai dengan sentuhan personal yang mengetuk nurani. Memicu keharuan. Karena salah satu penulisnya, Thomas Mandel, meninggal dunia sebelum buku ini diterbitkan.

Anda tahu Thomas Mandel ?

Ia adalah futuris profesional dan konsultan manajemen pada Stanford Research Institute International. Di majalah TIME (Mei/1995) yang berisi laporan khusus membahas fenomena Internet, ia menulis artikel menarik. Judulnya “Confessions of a Cyberholic”, yang merupakan pengakuan dirinya sebagai seseorang yang kecanduan berat komputer dan Internet. Aku pikir, ini merupakan tulisan Mandel yang terakhir.

Gara-gara merasa bosan hanya bisa menonton televisi saat proses penyembuhan operasi di punggungnya, Mandel meminjam komputer dan modem dari kantornya, lalu lewat jaringan telepon dirinya terhubung dengan BBS (Bulletin Board Services) lokal. BBS adalah cikal bakal Internet. Itu terjadi di tahun 1985. Kecanduannya terhadap komunikasi on-line, dan kemudian pada Internet mulai bersemi. Lalu meledak-ledak. Thomas Mandel tercatat sebagai salah satu tokoh yang mewarnai perkembangan dunia Internet di Amerika Serikat, dan tentu saja, dunia.

Gerard Van der Leun menulis, bahwa <"mandel"> (dalam buku aslinya ditulis tanpa tanda kutip, untuk menyimbolkan seseorang yang telah almarhum ; sebab bila ditulis tanpa tanda kutip maka di Internet nama tersebut akan hilang!) tidak menghasilkan peranti lunak, peranti keras atau koneksi Internet, juga tidak menyediakan fasilitas tunjuk dan klik yang mempermudah penjelajahan mengarungi samudera data di dunia maya.

Apa yang diberikan Thomas Mandel kepada Internet adalah seluruh jiwanya.

Menurut Van der Leun lagi, Thomas Mandel sangat faham, sementara banyak perusahaan dan individu gagal mengerti, bahwa koneksi on-line di Internet itu bukanlah wahana untuk menjual sesuatu atau menggerojoki informasi kepada khalayak yang kelaparan informasi.

Melainkan, menurut Mandel, Internet merupakan sarana bagi semua orang bisa terhubung dengan orang-orang lainnya, secara apa adanya dan jujur, genuine, tanpa filter sebagaimana berlaku pada media-media lama (media berbasis atom = media cetak), untuk mengukuhkan, betapa pun remehnya, kehadiran komunitas insan-insan sejiwa yang kini secara kebetulan terpisahkan oleh batas-batas geografi, untuk menciptakan lingkungan di mana kandungan atau isi karakter seseorang yang pertama dan yang terutama adalah yang tercermin pada apa-apa yang dilihat oleh mereka.

Penyerahan diri secara total terhadap Internet membuat Mandel terperosok pada apa yang ia sebut sendiri sebagai terkena cyberaddiction dan bahkan menyebut dirinya sebagai abuser. Gejala kronisnya : ia gambarkan dirinya selalu terobsesi untuk memiliki komputer dengan segala periferalnya yang serba mutakhir dan canggih.

Sampai-sampai Mandel mengaku, “mengunjungi supermarket komputer lokal lebih sering dibanding mengunjungi toko-toko buku di kotanya”. Sokur, kemudian ia mengaku bisa mengerem kecanduannya itu.

“Mengunjungi dan seringkali memposting tulisan di milis Internet mengenai peralatan olah raga sama sekali tidak sama dengan berolah raga itu sendiri. Bermain Tetris (di komputer) bukan sejalan dengan resep atau nasehat dokter saya dalam rangka penyembuhan penyakit carpal-tunnel syndrome yang saya derita. Mendiskusikan pernak-pernik pakaian dalam wanita dalam forum chatting bukan pula pengganti yang sepadan dengan suasana ber-date di hari Jumat malam yang sebenarnya”, aku Mandel.

Benarkah Mandel berhasil mengerem kecanduannya sebagai seorang cyberholic ? Babak akhir artikelnya mampu mengundang senyum. Ia ternyata memang tidak mampu mengendalikan kecanduannya tersebut !

Thomas Mandel meninggal dunia, 5 April 1995.
Dalam usia 49 tahun.

Gerard Van der Leun menulis : “Mandel meninggal dengan tenang. Ia didampingi kekasih yang mencintainya, diiringi nomor Ode to Joy dari Simfoni Nomor 9 Beethoven. Saat itu saya berfikir, inilah momen menjemput kematian yang terindah.”


SEX DENGAN DINOSAURUS. Topik kematian yang terkait dengan Internet, juga pernah menjadi bahan guyonan. Tetapi bukan lelucon model hantu-hantuan atau pemunculan pocongan yang berselera rendah, yang marak di televisi-televisi kita saat ini.

Simaklah salah satu episode sitkom terkenal, “Friends”, yang berjudul “The One With The Memorial Services”. Nikmati kemudian sajian yang lucu sekaligus mengandung pesan luhur tentang makna persahabatan yang menyentuh kalbu.

Cerita berawal ketika Ross Geller pamer kepada sahabatnya, Chandler dan Joey, bahwa rekan-rekan sesama alumni universitasnya telah meluncurkan situs web. Ia saat itu sedang menulis biodata untuk diposting ke situs bersangkutan. “Ross, apa saja yang hendak kau tulis ?”, tanya Chandler pengin tahu.

“Doktor Paleontologi, memiliki dua anak”, tulisnya dengan nampak berbangga diri. Sejurus ia berhenti menulis karena dipotong obrolan lain oleh Chandler. Ketika Ross pergi ke kamar, Chandler yang usil berat itu segera meneruskan penulisan biodata Ross tersebut. Apa yang Chandler tulis ?

“Saya juga mengkloning dinosaurus di laboratorium saya. Ia kini menjadi pacar saya. Saya tidak hirau terhadap segala pandangan masyarakat mengenai hal ini, karena bercintaan dengannya merupakan pengalaman seks yang terhebat yang pernah saya alami”.

Joey yang menekan tombol “send”.
Perang cyber pun dimulai !

Ross dan Chandler kemudian terlibat dalam perseteruan sengit bersenjatakan komputer dan Internet. Ross pun membalas, dengan memposting biodata Chandler yang mengaku sebagai seorang gay. Serangan berikutnya dari Chandler menuju klimaks, dengan mewartakan bahwa Ross telah meninggal dunia. Penyebab kematiannya adalah tertabrak balon udara. Sementara Ross membalas, kali ini dengan memposting foto diri Chandler yang dia olah dengan Photoshop, sebagai seorang gay yang lagi beradegan main cinta dengan seorang polisi.

Ringkas cerita, kedua sahabat itu akhirnya bisa berdamai. Tetapi Ross mengeluh, karena berita tentang kematiannya ternyata tidak memperoleh tanggapan di Internet. Sementara foto porno Chandler justru heboh, kebanjiran sampai 60 tanggapan. Chandler bilang : “Komunitas gay memang lebih vokal dibandingkan komunitas orang yang meninggal”

Ross makin penasaran dan nekad. Ia kali ini memposting berita bahwa Chandler akan mengadakan upacara peringatan, memorial services, bagi dirinya sendiri. Lagi-lagi, Ross harus merasakan tiadanya sambutan, baik dari rekan-rekan kuliahnya dulu dan kolega lainnya.

“Apakah diriku ini memang tidak memiliki dampak bagi orang lain ?”, tanyanya dengan nada rada sedih.

Chandler pun tergerak untuk menghibur Ross. Ia mengingatkan bahwa ia dan dirinya sudah berkawan sejak 15 tahun lalu, dan kini masih saja menjadi sahabat karib. Bukankah hal itu nyata-nyata merupakan dampak besar dari kehadiranmu ?

Ending yang mengharukan.


REFLEKSI TENTANG MATI. Album foto yang merekam upacara penguburan seseorang bernama Bambang Haryanto, kisah Thomas Mandel, dan juga pertanyaan yang menggugat eksistensi diri dari seorang Ross Geller tadi, segera mudah mengingatkan saya betapa ada hikmah besar bagi seseorang untuk tidak melupakan kematian. Terlebih lagi, aku rasa momen yang menyertai dan mengusik itu terasa pas, yaitu ketika memperingati hari kelahiran.

Seorang Ezra Pound (1885–1972), penyair Amerika, mengguratkan suara hatinya mengenai kematian :

O woe, woe,
People are born and die,
We also shall be dead pretty soon
Therefore let us act as if we were dead already.

Ya, ingatlah selalu akan datangnya kematian.

Karena kematian pun harus menjadi pertimbangan besar bagi seseorang sebelum melakukan berburu pekerjaan. Kalau Anda pernah berkuliah di Amerika Serikat, saya hampir yakin bila sebagian besar dari Anda mengenal buku “suci” panduan berburu pekerjaan satu ini. Buku yang terbit tahunan ini adalah karya monumental Richard Nelson Bolles, What Color Is Your Parachute ? : A Practical Manual for Job-Hunters & Career-Changers.

Salah satu bagian isinya yang menarik adalah petunjuk agar pencari kerja selalu menyemaikan mimpi-mimpinya mengenai masa depannya. Dengan impian itu, menurut hasil riset, justru semakin meningkatkan peluang bagi dirinya mampu meraih cita-cita pribadinya dalam mengarungi kehidupan ini.

Sungguh kebetulan, di dekat komputer saya kini berdiri dua buah trofi. Dua-duanya terkait dengan kehebatan impian. Yang satu, ada tulisan kanji Jepang yang ada terjemahannya, “dreams”. Ada tanda tangan pendiri imperium perusahaan mobil Jepang, Soichiro Honda. Tulisan lainnya berbunyi, Honda The Power of Dreams : Winner of The Power of Dreams Contest 2002. Trofi lainnya berupa miniatur tiga tangga, berwarna biru toska. Bertuliskan : Mandom Resolution Award 2004 : Jangkau Impian Setinggi Bintang. PT Mandom Indonesia Tbk.

Bangsa ini juga penting untuk memiliki impian. Harian Kompas (29/8/2005) memuat tulisan berjudul, “Kami, Rakyat” karya Sukardi Rinakit. Ia menyimpulkan bahwa Republik Indonesia yang kini sedang limbung, membutuhkan pemimpin yang mampu menciptakan mimpi bagi rakyatnya. Menurutnya, dengan mimpi, kebanggaan sebagai bangsa dapat dibangun dan kesejahteraan rakyat dapat dikejar. Tanpa sebuah mimpi, resultan kebijakan yang diambil pemerintah akan lemah karena rakyat tidak bergairah. Malaysia membangun mimpinya melalui “Truly Asia” dan Singapura melalui “Kiasu”. Lalu apa mimpi kita ?

Di Amerika Serikat, setiap anak sudah tertanam dalam dadanya suatu kredo “American Dreams”. Impian Amerika. Bangsa Jepang, seperti tersirat dalam trofi dari dua lomba yang pernah saya menangkan, juga menekankan pentingnya impian. Demikian pula bangsa Malaysia dan Singapura. Pada kita, seingat saya, sejak duduk di bangku SD sampai perguruan tinggi, belum pernah guru-guru saya mengajarkan mengenai pentingnya impian.

Kembali ke bukunya Richard Nelson Bolles. Dalam proses berburu pekerjaan, begitu nasehatnya lebih lanjut, semua impian itu harus dituliskan. Secara terinci.

Dengan ilustrasi kartun yang menggambarkan seseorang sedang dijemput malaikat pencabut nyawa yang berjubah hitam dan memegang arit bergagang panjang, pencari kerja sebelum terjun berburu pekerjaan telah ia intruksikan untuk menulis esai berjudul, “Sebelum saya meninggal dunia, cita-cita sejati saya adalah....”. Atau menulis artikel serupa, “Di hari terakhir hidup saya, apa saja yang telah saya kerjakan dalam hidup ini sehingga memberikan kepuasan bagi diri saya ?”.

Sebagai penggemar kelompok Carpenters, di mana penyanyi ceweknya Karen Carpenter telah meninggal dunia pada tahun 1983 pada usia 33 tahun, saya suka mengenang salah satu lagu terindahnya yang liriknya kiranya menjawab pertanyaan di atas :

When there's no getting over that rainbow
When my smallest of dreams won't come true
I can take all the madness the world has to give
But I won't last a day without you


MENULIS NASKAH HIDUP KITA SENDIRI. Stephen R. Covey dalam bukunya The 7 Habits of Highly Effective People (1989) yang terkenal, lebih memberikan kedalaman lagi ketika mengajak kita untuk memahami ajaran luhur di sebalik peristiwa kematian. Kini peristiwa kematian dikaitkan dengan perencanaan hal-hal yang paling penting untuk mengisi hidup kita.

Dalam paparan mengenai ajaran habit yang kedua, begin with the end in mind, merujuk pada tujuan akhir, Covey telah menganjurkan pembaca untuk semata-mata berkonsentrasi terhadap isi paparannya yang menceritakan suasana upacara pemakaman seseorang.

Dalam pandangan mata nurani Anda, begitu tutur Covey, lihatlah bahwa diri Anda kini sedang menghadiri upacara pemakaman seseorang yang Anda sayangi. Bayangkan diri Anda sedang menuju gedung tempat upacara penguburan.

Ketika Anda berjalan memasuki gedung, Anda melihat jajaran karangan bunga dan alunan bunyi musik organ yang lembut. Anda akan pula melihat wajah-wajah teman dan para kerabat, familinya. Anda merasakan duka di wajah mereka, juga merasakan kegembiraan melihat empati mereka yang terpancar dari hati mereka yang mengikuti upacara ini.

Ketika menengok ke dalam keranda, tiba-tiba Anda melihat diri Anda berada di dalamnya. Ya - ini memang hari penguburan diri Anda sendiri. Semua orang itu hadir untuk memberikan penghormatan, untuk mengekspresikan perasaan cinta dan penghargaan bagi kehidupan Anda.

Ketika Anda membaca susunan acara, terbaca ada empat fihak yang akan tampil memberikan sambutan. Pemberi sambutan pertama, berasal dari keluarga Anda. Yang kedua, salah satu teman Anda. Pemberi sambutan ketiga dari kantor atau kalangan profesi Anda. Dan yang keempat, mereka yang mewakili komunitas atau sesuatu organisasi di mana Anda berkiprah selama ini.

Kini pikirkan secara mendalam : apa kira-kira yang akan mereka katakan tentang diri Anda dan hidup Anda selama ini ? Karakter macam apa yang Anda ingin mereka lihat dalam diri Anda ? Kontribusi sampai apa prestasi Anda yang ingin mereka ingat ? Lihat cermat orang-orang di sekeliling tersebut. Apa perbedaan yang telah Anda sumbangkan untuk kebaikan dalam kehidupan mereka ? Catatlah secara jernih semua kesan-kesan yang muncul.

Merujuk pada tujuan akhir, begin with the end in mind, berarti memulai dengan pengertian yang jelas tentang tujuan Anda. Hal ini berarti mengetahui kemana Anda akan pergi sehingga Anda sebaiknya mengerti di mana Anda berada sekarang dan dengan begitu Anda tahu bahwa langkah-langkah yang Anda ambil selalu berada pada arah yang benar.

Orang sering mendapatkan diri mereka mencapai kemenangan yang hampa, keberhasilan yang diperoleh dengan mengorbankan hal-hal yang tiba-tiba mereka sadari jauh lebih berharga bagi mereka.

Betapa berbedanya kehidupan kita jika kita benar-benar mengetahui apa yang penting secara mendalam bagi kita, dan dengan gambaran tersebut di benak, kita mengelola diri kita sendiri untuk menjadi dan untuk mengerjakan apa yang benar-benar paling penting.

Jika tangga yang kita panjat tidak bersandar pada dinding yang benar, setiap langkah yang kita ambil hanya membawa kita ke tempat yang salah dengan lebih cepat. Kita mungkin saja sangat sibuk, kita mungkin saja sangat efisien, tetapi kita juga akan benar-benar efektif hanya jika kita memulai dengan begin with the end in mind, merujuk pada tujuan akhir kita.

Lanjut Covey, jika Anda memikirkan dengan cermat apa yang Anda ingin agar dikatakan tentang diri Anda pada pemakaman Anda, definisi Anda tentang keberhasilan akan tampak jelas.

Ini mungkin sangat berbeda dengan definisi yang Anda kira Anda miliki dalam pikiran Anda. Barangkali kemashuran, prestasi, uang, atau beberapa hal lain yang kita perjuangkan bahkan bukan merupakan bagian dari dinding, tempat bersandarnya tangga yang Anda panjat, yang benar.

Tanpa merujuk pada tujuan akhir, kita akan mudah terbujuk oleh orang lain atau dipengaruhi oleh kekuasaan di luar kita dalam membentuk sebagian besar hidup kita berdasarkan standar mereka. Kita hanya secara reaktif menjalani naskah yang diserahkan kepada kita oleh keluarga, rekan sekerja, agenda orang lain, tekanan keadaan – naskah dari tahun-tahun awal kita, dari pelatihan kita, dari pengkondisian kita.

Naskah-naskah mereka itu sudah saatnya harus kita tinjau ulang secara kritis. Dengan kesadaran merujuk pada tujuan akhir, tiba kini saatnya harta karun kita yang berupa kesadaran diri, imajinasi dan suara hati, diberdayakan sehingga memungkinkan kita mampu bertanggung jawab untuk menulis naskah hidup kita sendiri !

Christopher Morley (1890–1957), penulis Amerika, telah bersabda : There is only one success – to be able to spend your life in your own way.


JEFF PAIMIN DAN SALJU DI PARIS. Mesin penelusur Yahoo selain mendaftar peristiwa kematian Bambang Haryanto, kejutan yang ditampilkan olehnya belum berhenti. Bagi saya, hal-hal berikut ini juga merupakan keajaiban.

Misalnya, sungguh mengagetkan ketika saya tahu kemudian bahwa artikel saya Esai Epistoholica No. 20/Mei 2005 yang berjudul Revolusi Blog dan Epistoholik Indonesia telah terpajang di pelbagai blog lain yang tidak pernah saya duga-duga.

Misalnya dalam blog Merah Senjakala, yang diposting pada tanggal 9 Mei 2005. Bagi saya ini mengherankan, karena tanggal posting saya di blog ini tercatat pada tanggal 7 Mei 2005. Hanya selang dua hari, artikel saya ini sudah bermigrasi ke blog lain.

Kemudian artikel yang sama juga menjadi bahasan secara berantai dalam arsip email Idban Secandri yang berasal dari Palembang tetapi kini tinggal di Yogya.

Bahkan kemudian mencuat diskusi ketika “Andriansah J” ingin tahu arti kata epistoholik. Pertanyaan ini dijawab oleh “Azza”, seseorang yang saya tahu pasti bukan warga komunitas Epistoholik Indonesia. Silakan klik di sini untuk mengetahui lebih detil betapa seorang “Azza” secara sukarela sudi menjadi petugas humas komunitas Epistoholik Indonesia.

Terlebih lagi “Azza” pun bermurah hati memberikan komentar yang menggugah dan penuh dorongan positif mengenai kiprah kaum epistoholik, yang ia sebut sebagai “suatu profesi yang patut dihargai menurut saya, karena ini merupakan bentuk layanan masyarakat, public service, yang dilakukan tanpa mengharapkan uang, penghargaan, bahkan KEPOPULERAN !

Lebih seru lagi ketika seorang “Yulian Firdaus H.” ikut menimbrung guna menjawab pertanyaan “Andriansah J.” tadi. Yulian yang nampak terpelajar itu bahkan menguraikan dugaannya bahwa kata epistoholik itu berasal dari kata epistolic atau epistolary. Sumber penjelasannya antara lain diambil dari kamus Webster yang terkenal itu.

Hasil penelusuran mesin pencari Yahoo tersebut bahkan bisa surut sampai tahun 2004. Sebuah situs blog bernama Salju Di Paris : Catatan Iseng-Iseng bahkan menulis cerita yang baru bagi saya.

Antara lain berbunyi : "Bambang, di Indonesia mungkin jadi yang pertama penganjur kampanye epistoholic. Tapi, ikhtiar ini sudah jauh-jauh hari dikampanyekan para epistoholic di dunia. Selain Parakal, di India ada Leo Robello yang bahkan telah menerbitkan sebuah buku yang mengupas kegilaan orang menulis surat pembaca.

Dalam 328 halaman bukunya, Robello menulis betapa pentingnya para penggila itu bagi koran dan majalah. Sebelumnya ia telah mendirikan Asosiasi Penulis Surat Pembaca Seluruh India pada tahun baru 1980. Parakal ditunjuk sebagai presiden-pendirinya".

Tulisan ini juga menyibak adanya realitas hitam, tingkah selingkuh, dusta atau pun kecurangan di sebalik penulisan surat-surat pembaca. Ia pun wanti-wanti berpesan : “Mudah-mudahan Bambang Haryanto tidak dengan tujuan itu berencana membentuk club penulis surat pembaca”.

Siapa penulis di sebalik situs blog Salju Di Paris ini ?

Ijinkanlah saya menduga-duga. Pertama, walau sangat tipis benarnya, adalah Jeff Francois Coctaz. Jeff yang sarjana antropologi itu kini bekerja sebagai staf lokal di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Paris.

Kalau Anda ketemu dia, sapalah dengan sebutan “Paimin” dan ajaklah mengobrol dengan bahasa Jawa. Sokur-sokur bisa Anda ajak mengobrol mengenai wayang. Lalu tanyakanlah kota Wonogiri !

Jeff Coctaz di tahun 1970-an pernah tinggal lama di rumah saya, di Wonogiri. Ia semula “ditemukan” oleh adik saya di Solo, lalu diboyong ke Wonogiri. Di Wonogiri ia berguru kepada banyak dalang. Ketika bulan Agustus 2003 lalu ia menyambangi kembali rumah saya. Suasana rumah jadi ramai karena hampir semua warga kampung saya datang menyalaminya.

Orangnya ramah, suka humor, luwes diajak glenyengan alias bertingkah rada-rada slebor tetapi tetap sopan, hingga mendapat julukan akrab sebagai londo edan, yang membuat Jeff mudah diterima oleh pelbagai kalangan. Walau tidak teratur, antara saya dan dia terus tergalang kontak melalui e-mail. Tetapi, apakah dia oknum di sebalik situs blog Salju Di Paris ?

Dugaan kedua, blog Salju Di Paris itu dikelola oleh Rosita Sihombing. Ia pernah menjadi wartawan, lulusan S-2 dari Universitas Lampung dan kini bersuamikan orang Perancis. Rosita mendukung gagasanku dalam membentuk komunitas para penulis surat pembaca. Di awal tahun 2004 antara kami pernah berlangsung kontak email.

Gara-gara obrolan sobat saya Lasma Siregar yang berdomisili di Melbourne tentang pelukis Perancis Paul Gauguin, saya pernah mendapat cerita menarik dari Rosita. Tentu saja tentang kisah advonturir asmara dari pelukis sohor Perancis yang kelahiran 7 Juni 1848 tersebut.

Obrolan itu berkisar mengenai salah satu lukisan Paul Gauguin yang menghebohkan. Lukisan itu menampilkan sosok seorang gadis Jawa, bernama Anna. Gadis eksotis berkulit coklat ini, berusia 13 tahun, sedang duduk di atas kursi. Berpose frontal, telanjang. Anna ditemani seekor monyet yang duduk di dekat telapak kakinya yang bersilang.

Rosita pun menulis, “gadis ini adalah salah satu dari sekian perempuan Gauguin setelah ia cerai dengan istrinya Mette Gad. Sebagian besar perempuan-perempuan Gauguin usianya belasan tahun”. Gauguin yang mencandu daun-daun muda.

Itulah keajaiban Internet. Antara Melbourne, Wonogiri dan Paris, di mana antara kami bertiga sama sekali belum pernah saling kenal atau pun bertemu muka, dapat terlibat dalam pembicaraan yang penuh makna. Keajaiban Internet itu masih berlangung hingga kini. Termasuk menemukan seseorang yang bernama sama denganku, yang upacara pemakamannya ditampilkan di Internet.

Apakah hal yang sama juga akan terjadi pada kematianku kelak ? Aku tidak tahu. Yang pasti, sebelum kematian itu benar-benar datang, saya kini telah berusaha memberikan sesuatu, sebutir dua butir kecambah gagasan, berupa cerita-cerita, untuk saya bagikan kepada jagat maya dan penghuni-penghuninya yang mempesona ini. Dengan menuliskannya di blog, blog dan blog semata.

Menulis di blog, bagiku, andil berjasa memicu kehadiran perspektif dan orientasi baru dalam menulis naskah hidupku sendiri. Kini.

Oscar Wilde (1854–1900), dramawan dan penyair Inggris-Irlandia, pernah menulis, Anybody can make history. Only a great man can write it. Semua orang bisa menorehkan sejarah. Hanya orang-orang besar saja yang mampu menuliskannya.

Anda sebagai blogger, jelas termasuk sebagai orang besar yang juga ia maksudkan, bukan ?



Wonogiri, 24-31 Agustus 2005

4 comments:

  1. Guyonan kematian? Sangat tidak lucu. Aku tidak pernah setuju.

    Tujuannya apa? Mencari popularitas? Atau April Mob? Tapi caranya tidak elegant banget..

    Kematian akan sangat menggugah simpati orang.., tetapi saat tahu bahwa kematian hanya dijadikan guyonan.., rasa simpati itu akan berubah menjadi benci..

    ReplyDelete
  2. 'Zum Geburtstag viel Glueck.. Wunschen von ganzen herzen'

    Salut akan wawasannya yang luas.. Baca blog ini serasa baca novel, he..he..

    Biar gampang bacanya, aku link saja ya pakde..

    ReplyDelete
  3. Terima kasih, Tina. Kebetulan saja ada beberapa sumber yang tersedia di dekatku, lalu dipas-pasin, hingga bisa memunculkan dongeng seperti ini. Lain kali kalau aku diajarin bahasa Jerman oleh Tina, pasti aku juga pengin mendongengkannya.
    Semoga banjir di Ulm sudah bener-bener surut.

    Salam dari Wonogiri.

    BH

    ReplyDelete
  4. Mas bambang.h,,suka baca isi postingnya.." bener kata mbak tina kayak baca novel...hehehe
    matur nuwon buat sharing nya

    ReplyDelete