Saturday, October 28, 2006

Wimar Witoelar’s World, Citizen Journalism dan Epistoholik Indonesia

Oleh : Bambang Haryanto
Esai Epistoholica No. 39/November 2006
Email : humorliner@yahoo.com
Home : Epistoholik Indonesia



Terorisme memiliki akar kuat di Indonesia. Rejim Soeharto merupakan ujud terorisme negara selama 32 tahun. Tanpa pers bebas seperti dewasa ini dan komitmen dunia untuk berinvestasi di Indonesia yang dibangun Soeharto saat itu, membuat panggung-panggung aksi terorisme negara yang terjadi di Aceh, Lampung dan Tanjung Priuk, tidak bergaung keras di panggung publik internasional.

Kasus Timor Timur meledak hanya karena keterlibatan Australia. Lalu kini, tragedi bom yang meledak di Bali mampu menggaung gemanya ke seluruh dunia karena bertepatan dengan kampanye Amerika Serikat memerangi Al-Qaeda pasca-tragedi 11 September 2001.

Demikian paparan awal Wimar Witoelar di surat kabar Inggris The Guardian (16/10/2002) saat membahas aksi teroris yang kejam, 12 Oktober 2002 di Legian Bali. Secara keseluruhan, artikelnya tersebut mampu memberikan pengayaan perspektif bagi kita tentang latar belakang beragam teater teror yang seolah tiada pernah berhenti dipanggungkan di negeri ini, walau negeri kita ini telah mengalami pergantian presiden beberapa kali.

Anda mengenal Wimar Witoelar ?

Saya hanya mengenalnya melalui media massa. Artikelnya di atas boleh jadi merupakan persinggungan saya untuk yang kesekian kali dengan Wimar Witoelar. Tentu saja persinggungan pasif antara diri saya sebagai seorang konsumen media dengan seorang kolumnis yang banyak tampil di media massa. Bagi saya, tulisan-tulisan Wimar senantiasa menyuarakan hati nurani, walau tidak setiap orang mampu mendengarkan dan memahaminya.

Sebelumnya, persinggungan pasif serupa sudah terjadi, akhir tahun 2001, di toko buku QB, Jl. Sunda, Jakarta Pusat. Saat itu saya sempat menimang-nimang bukunya yang berjudul No Regret. Buku tersebut berisi sepak terjang Wimar Witoelar ketika menjadi juru bicara Presiden Abdurrachman Wahid. Saat itu saya memutuskan untuk belum membelinya.

Persinggungan antara kami secara lebih konkrit, aktif, baru terjadi di tahun 2006. Terima kasih untuk Internet. Yang pasti, saya tidak tahu dari mana asal usikan itu, tetapi ada dorongan di dalam hati saya untuk mengunjungi situsnya, Perspektif Online.

Salah satu artikel yang segera menyabot perhatian saya adalah yang berjudul Wimar dan Budi Putra bicara soal Demam Nge-Blog di MetroTV (Perspektif Online, 22 September 2006). Awal artikel ringkasan acara E-Lifestyle di televisi MetroTV tersebut menceritakan tayangan penampilan pelbagai blog, antara lain milik Juwono Sudarsono, Wimar Witoelar, Ketua MPR Hidayat Nur Wahid, Norodom Sihanouk, CEO Sun Microsystem dan blog-blog lainnya.

Berkembangnya blog secara pesat menjadi media komunikasi yang interaktif karena didukung oleh mudahnya akses para pengguna kepada fasilitas penyedia blog (seperti blogger, blogspirit, multiply dll), mudahnya pengelolaan blog, bahkan oleh orang awam sekalipun. Adanya fasilitas kolom komentar pada setiap artikel memungkinkan penulis blog berinteraksi langsung dengan pembaca setia blognya.

Budi Putra, Content Manager Tempo Interaktif menambahkan, bedanya pemakaian istilah blog dengan website. Website lebih condong pada sebuah dokumentasi pustaka, sedangkan blog lebih menjurus pada forum, percakapan. Blog merupakan kemajuan versi baru dari web, karenanya sering disebut dengan istilah Web 2.0.

Anda kenal Budi Putra ? Ah, nama ini melemparkan diri saya untuk mengenang salah satu peristiwa yang terjadi di salah satu malam Ramadhan, 17 Desember 1999, di Gedung Indosat, Jakarta Pusat.

Saya yang tinggal di Wonogiri saat itu ditelepon pegawai humas Indosat agar berangkat ke Jakarta. Karena, katanya, karya tulis saya berhasil masuk final dalam Lomba Karya Tulis Teknologi Telekomunikasi dan Informasi (LKT3I) III/1999 itu. Saat itu saya memasukkan artikel saya yang sebelumnya pernah dimuat di harian Solopos (25/9/1999), berjudul “Bila Demam Bisnis Internet Makan Korban.”

Artikel itu akhirnya memenangkan Juara Harapan I Kategori Kelompok Umum dalam lomba karya tulis yang juga didukung oleh Harian Kompas, Republika, Gatra dan LIPI. Sedang Budi Putra yang saat itu sebagai wartawan Mimbar Minang (Medan), telah memenangkan juara pertama untuk ketiga kalinya untuk kelompok wartawan.

Image hosted by Photobucket.com

Piagam Mabuk Bisnis Dotcom. Dirjen Postel Sasmito Dirdjo sedang menyerahkan trofi kepada saya. Artikel saya yang jadi finalis LKT3I III/1999 ini membedah fenomena mabuk bisnis dotcom yang menggila saat itu, yang asal tubruk untuk mendigitalkan segala macam hal, sembari tidak mengacuhkan perbedaan antara model berbisnis di alam nyata, brick and mortar, dengan model bisnis di alam maya. Bisnis digital para pemabuk itu akhirnya bertumbangan dan Internet sempat mendapatkan reputasi buruk. Kini kehadiran blog, yang tidak banyak membuat orang dibakar eforia, justru menjadikan Internet benar-benar sebagai ancaman konkrit bagi bisnis mainstream media, sekaligus membukakan wacana demokratisasi media yang berada di tangan warga.


Selamat Datang : Jurnalisme Warga ! Penampilan Wimar Witoelar yang membahas fenomena blog kemudian menggelinding ke topik jurnalisme warga, citizen journalism, ketika ia tampil dalam acara televisi lainnya. Dalam artikel berjudul Tiap orang bisa menerbitkan berita, tiap orang bisa menanggapi (Perspektif Online, 09 October 2006), dilaporkan hasil perbincangan dalam acara “Kilas Opini” di stasiun televisi MNC-News, yang dapat diakses melalui jasa Indovision. Pada acara tersebut Danang Sanggabuwana mewawancari Wimar Witoelar.

Inti obrolan yang menarik itu memaparkan citizen journalism sebagai istilah yang menggambarkan betapa kegiatan pemberitaan kini beralih ke tangan orang biasa. Dunia pemberitaan baru memungkinkan pertukaran pandangan yang lebih spontan dan lebih luas dari media konvensional. Tiap orang kini bisa menjadi penerbit, tiap orang menjadi pembaca yang tidak hanya menerima, tapi ikut interaktif.

Dalam citizen journalism, masyarakat menjadi obyek sekaligus subyek berita melalui blog yang diterbitkan langsung. Dapat dikatakan bahwa citizen journalism ini lahir dari peradaban dan perkembangan teknologi. Sekarang, berita konvensional (cetak maupun radio-televisi) sudah mulai didampingi oleh Internet, bahkan sekarang tiap orang bisa menjadi penulis. Hal ini bukan merupakan bentuk persaingan media, tapi justru merupakan perluasan media. Bukan hanya pemodal besar yang bisa berkomunikasi dengan publik, tapi siapa saja yang mau ke warnet.

Ketika Danang bertanya apakah berita yang dimuat di blog ini lebih jujur, Wimar menjawab, belum tentu masing-masing blog itu jujur. Akan tetapi karena jumlah blog sangat banyak sekali, maka kita bisa memilih sendiri mana blog yang bisa dipercaya.

Beda dengan koran atau stasiun TV yang terbatas jumlahnya. Tidak perlu kuatir dengan berita-berita di blog, karena ada pilihan dan yang tidak jujur dengan sendirinya akan kalah saing. Ini adalah demokratisasi produksi berita. Dan setiap orang dapat membaca blog pilihan pada saat yang dia inginkan, namanya juga demokratisasi konsumsi berita. Bagaimanapun juga, dengan adanya demokrasi, orang akan menjadi lebih jujur, walaupun memerlukan waktu untuk proses pendewasaan.


Blog Dapat Jubir Baru ! Sebagaimana lajimnya blog, artikel di atas langsung membuat saya ikut gatal untuk berkomentar. Dalam komentar No. 6 (10 Oktober 2006) telah saya tuliskan :

Maju terus Bang Wimar. Tetapi blog Anda ini kurang satu hal yang SANGAT esensial, antar para penulis komentar ini tidak bisa langsung berinteraksi satu sama lain, karena masing-masing blog atau emailnya Anda sembunyikan. Come on, bangunkan raksasa itu, koneksikan saja kami, hingga kami bisa saling mengobrol, termasuk "mengkritik" Anda. Inilah manfaat terdahsyat dari citizen journalism yang hakiki. Ada komentar ? Salam dari Wonogiri.

Saya memperoleh jawaban, tetapi bukan dari Wimar Witoelar. Melainkan dari webmasternya :

Pak Bambang,
Yang anda minta itu kami sudah punya sejak 8 tahun yang lalu, namanya mailing list. Silakan gabung di www.perspektif.net/milis. Sedangkan untuk mencapai citizen journalism yang mutlak, silakan bikin blog sendiri dan nyatakan segala uneg-uneg anda tanpa cemas bahwa akan dibatasi oleh orang lain.

(Gerundelanku : kalau saja di situs Perspektif Online-nya Wimar Witoelar ini para pengisi komentar selain disediakan kolom untuk mengisi data emailnya, tetapi juga disediakan kolom lainnya untuk mencantumkan URL blognya, sehingga link-nya hidup, maka jawaban webmaster “silakan bikin blog sendiri” di atas mungkin tidak perlu. Karena saat menulis komentar saya sebenarnya sudah memiliki blog sejak akhir tahun 2003, dan kini mengelola lebih dari setengah lusin blog).

Pada tanggal 14 Oktober 2006, saya menuliskan komentar lagi.

Yth. Bang Wimar,

Salam sejahtera. Saya senang beberapa hari lalu bisa mampir pertama kali ke situs Anda ini, kiranya pada momen yang tepat. Yaitu ketika Anda banyak mengobrolkan tentang blog. Tahun lalu, ketika para blogger Jawa Timur mengadakan gathering di Pandaan, saya usulkan agar pas hari mereka memulai acara tersebut, 4 September 2005, dicanangkan sebagai Hari Blogger Nasional/Indonesia.

Kebetulan, pada tanggal yang sama, setiap tahun di Amerika Serikat rutin dilaksanakan jambore untuk warga komunitas teknologi informasi di AS. Namanya Burning Man Festival. Rekan-rekan blogger di Jatim itu membalas email saya, mereka mengaku bukan sebagai representasi para blogger secara nasional, hingga tak berani memproklamasikan inovasi penetapan tanggal itu.

Sudahlah, itu sudah jadi sejarah. Kini, dengan penampilan Bang Wimar beberapa kali di televisi, saya senang, karena komunitas blogger Indonesia, menurut saya, telah menemukan juru bicara yang pas. Sebab selama ini obrolan tentang blog rasanya masih berbau sebagai urusan kaum ABG, atau urusan para techie/nerds yang menurut saya masih kurang terampil mengaitkan relevansi dunia blog dengan lanskap komunikasi yang lebih luas.

Kini, berkat Anda, maka perbincangan tentang blog telah mengalir sampai ke muara citizen journalism segala. Ini masalah serius, karena terkait dengan penegakan dan wacana demokrasi dalam bermedia. Baiklah, saya tunggu tulisan Bang Wimar untuk topik-topik tersebut di masa datang.

Sebagai sekadar apresiasi atas artikel-artikel Bang Wimar, saya telah menulis di blog saya, Esai Epistoholica tulisan berjudul “Buku Habibie, Blog, Jurnalisme Warga dan Epistoholik Indonesia.” (sebelum artikel ini – BH).

Dalam salah satu alinea yang merujuk niatan Prabowo Subianto yang ingin menulis buku tandingan bagi bukunya Habibie, memunculkan gagasan di benak saya : mengapa kita harus mau menunggu buku dia sedemikian lama ?

Mengapa ia tidak meluncurkan blog pribadinya saja ? Sehingga kemudian para pelaku sejarah yang lainnya dapat segera menimbrung dengan cerita dan komentar masing-masing, bukan ? Melalui blog-blog mereka. Bahkan kita sebagai rakyat, bukankah boleh pula ikut serta bicara ? Apakah sejarah itu semata hanya milik orang besar, tokoh politik atau tokoh-tokoh militer belaka ?

Apalagi Malcolm Reynolds telah bilang, half of writing history is hiding the truth. Setengah dari penulisan sejarah menyembunyikan kebenaran. Maka, kita sebagai rakyat biasa kini, berpotensi mampu ikut menguak separo kebenaran sisanya dengan ikut bebas bicara. Tentu saja, melalui karya surat-surat pembaca kita yang diperkeras suaranya melalui blog-blog kita pula ! Apakah saya kini sedang bermimpi ?

Sukses untuk Bang WW dan kru Perspektif.Net.

Salam dari Wonogiri.

Bambang Haryanto


PS : Plagiarisme, menurut saya, justru mudah dilacak di media maya ini. Maka semua skripsi di PT sebaiknya ditayangkan di Internet, jadi polisiyang mengawasinya semakin banyak, apalagi di LN kan sudah ada pula software untuk mengukur kadar plagiarisme sesuatu karya tulis. Artikel saya di blog Komedikus Erektus pernah dicuplik seseorang penulis dari Yogya dan dimuat di Kompas (Humaniora Teroka). Esoknya, ya saya tulis saja kisah pencuplikan itu di blog KE saya. Beberapa hari kemudian si pencuplik kirim email, ia minta maaf. Hell, yeah !

Sebelumnya, komentar saya di atas juga saya emailkan kepada Wimar Witoelar. Subjek email : Terima Kasih, Blog Kini Telah Menemukan Juru Bicara Yang Andal ! Saya ingin sedikit men-tes apakah mindset Wimar Witoelar masih seperti halnya para pelaku bisnis mainstream media, yang kebanyakan justru merasa alergi, terganggu dan cuek ketika menerima kontak, apalagi kritik, dari pembacanya.

Dugaan saya keliru. Wimar Witoelar kemudian segera membalas dengan email pula :

wow, ini namanya energi positif. I remain humbled whenever a community welcomes me..... terima kasih banyak!
iya yah, repot amat prabowo bikin buku segala, nulis blog sekarang lima menit lagi habibie bisa baca, dan nanti ada yang print untuk wiranto hehe....kecuali mr prabowo seneng melakukan book signing road show, hell yeah!! (seperti WW akhir-akhir ini untuk memasarkan biografinya – BH).

wah kalau mas bambang bisa kirim sebagai comment di perspektif online, asyik sekali.


Alhamdullilah, komentar saya di atas juga memperoleh balasan langsung di medan blogosphere oleh Wimar Witoelar, seperti berikut ini :

Terima kasih Mas Bambang Haryanto, untuk penerimaan Anda yang hangat. Sangat senang menemukan pemikiran yang sama mengenai keterbukaan komunikasi. Mari kita teruskan pekerjaan menyenangkan berbagi entusiasme terhadap ekspresi melalui Web 2.0.


Blog Mengancam Masa Depan MSM ? Perbincangan mengenai blog dan jurnalisme warga kemudian memang mudah menjadi obrolan yang bersegi banyak. Salah satu penulis komentar dalam artikel itu adalah “Ary h” yang dalam lacakan berikutnya sepertinya bekerja sebagai wartawan surat kabar The Jakarta Post, telah mengungkapkan rasa kuatirnya. Ia pun menulis, antara lain :

kalo semua orang bisa jadi wartawan, aku kerja apa dong ? hehe...menarik memang bicara soal citizen journalism dan bahayanya bagi kami pekerja jurnalisme.

tapi, ini ilustrasi saja, aku punya teman wartawan detik.com yang setiap hari menggerutu karena harus mencari berita ke sana ke mari. aku ingat dia bilang: "tiap hari gue keliling jakarta bawa motor. kalo diitung-itung, gue udah keliling dunia kali!". yah, bukannya defensif atau apa, menurutku, jadi wartawan itu susah. oya, aku berkerja sebagai wartawan, in case bung wimar lupa.

Ia, “Ary h” menulis komentar berikutnya, antara lain :

"Selama ini, produk-produk jurnalistik lebih merupakan suara industri dan pemodal besar dengan segala kepentingan dan intrik-intrik di dalamnya."

iya betul, setuju mas, tetapi apakah blog-blog itu benar-benar bebas dari jejaring kapital besar? apa jadinya blog tanpa google? apakah blog itu bisa bebas dari kepentingan pemodal? saat ini mungkin iya, tetapi bagaimana dengan nanti?

kita memang harus siap dengan segala kemungkinan yang akan terjadi nanti, yang mungkin akan sangat unthinkable. tetapi, ada baiknya kita mengembangkan sikap "dystopia" (kebalikan dari "utopia") terhadap perkembangan kemajuan teknologi informasi. cyberteror dan imam samudra adalah sebuah ilustrasi bahwa manisnya kebebasan di dunia maya bisa melahirkan kegetiran yang luar biasa di dunia nyata.

iya, bung wimar, aku jadi khawatir dengan optimisme kita terhadap teknologi. saya lihat banyak komentator di sini yang sudah menyuarakan kekhawatiran itu. ayo bung wimar, mas budi putera dari tempo, bagaimana?


Komentar yang menggelitik dari pekerja media itu menggodaku untuk menuliskan komentar lagi :

Bung Ary H (Komentar No.12) bertanya, “kalo semua orang bisa jadi wartawan, aku kerja apa dong? “ dan ia lalu minta pendapatnya kepada Bung Wimar dan Budi Putera (wartawan Tempo yang juga superblogger) seputar fenomena CJ (citizen journalism) ini.

Sebagai orang yang bisa sedikit menulis, tetapi gagal bercita-cita jadi wartawan, saya ingin ikut nimbrung. Saya berempati dengan Bung Ary H. Tetapi, maaf, kalau boleh memberikan usulan, bila Anda wartawan bermediakan atom (bahasa Nicholas Negroponte untuk kertas), seyogyanya Anda harus takut secara sangat berat sekali terhadap fenomena blog dan CJ ini. Rupert Murdoch (Kompas, 6/10/2006 : 39) telah bicara lantang bahwa tahun 2006 ini adalah awal matinya bisnis media cetak sejak 603 tahun lalu !

Tahun 2004 yang lalu, ketika saya mengikuti Mandom Resolution Award 2004 dengan menjual gagasan blog sebagai wadah interaksi komunitas para pecandu penulisan surat pembaca di Indonesia (kaum epistoholik, begitu istilah dari majalah TIME, 6/4/1992), saya bertanya kepada salah satu jurinya. Ia wartawan senior koran nasional, tulisan-tulisannya selalu bagus, juga pernah menerima award prestisius.

Yang saya tanyakan, apakah ia tidak tertarik mengelola blog ? Ia menjawab, dirinya buta sama sekali tentang blog. Tetapi ia jelas tidak sendirian.

Hal itu membuat saya merasa sungguh heran (adik saya juga wartawan tabloid olahraga nasional), mengapa tidak banyak wartawan yang tertarik untuk mengenal blog, lalu memanfaatkannya, baik sebagai tuntutan profesi atau menyalurkan hobby, fun, seperti yang dikerjakan secara serius tetapi menyenangkan seperti Bang Wimar Witoelar ini ?


Memang tidak banyak orang seperti Dan Gillmor (silakan cari di Google) yang berani keluar dari pekerjaannya yang mapan di MSM (mainstream media), yaitu kolumnis IT di San Jose Mercuri News (kalau tak salah), lalu “hanya” terjun untuk mengelola situs blog guna mempromosikan grassroot media, participatory media, ya citizen journalism itu pula.

Love will find a way. Untuk Bung Ary H dan rekan-rekan wartawan lainnya, saya yakin, Anda akan mampu menemukan jalan terbaik untuk masa depan Anda terkait dengan fenomena blog dan CJ di masa depan. Kalau boleh usul, tirulah model “politik bunglon” yang mampu berakrobat secara cerdas dan mengagumkan dalam menyesuaikan diri dari Bang Wimar ini.

Lihatlah, ia bisa hidup dengan banyak canda dan bahagia di habitat media apa pun ! (hell, yeah !). Ia bisa bebas bicara tentang apa pun Bacalah situs ini, dan cermatilah, betapa ia sangat lincah berdansa, bahkan secara sekaligus, di pelbagai domain media. Bukan main !
Tentang rekan Bung Ary H. yang wartawan, yang keliling dunia dengan motornya (mirip kisah Jules Verne) setiap hari, itulah, menurut saya, konsekuensi dari pendekatan top down sesuatu media (konvensional-BH).

Para pengelola MSM itu sudah terkondisikan dari sononya selalu merasa paling tahu, paling pinter, sehingga mereka pantas merasa berhak sebagai penentu, gatekeeper, bagi para konsumen media mereka. Padahal MSM itu, seperti Anda cuplik sendiri, "Selama ini, produk-produk jurnalistik lebih merupakan suara industri dan pemodal besar dengan segala kepentingan dan intrik-intrik di dalamnya."

Itulah kekurangan kronis dari media berbasis atom bin kertas. Jurnalisme pohon mati. Kolomnya terbatas, maka dipilihlah berita-berita yang mampu ‘menjual.” (Ingat rumus sakti triangle bisnis media). Ongkos cetaknya pun mahal. Distribusi mahal. Tidak pula interaktif.

Beda dengan media berbasis digital yang bangunannya terdiri dari sinyal-sinyal elektronik, tak berwujud, berupa bits, di mana setiap detiknya konon mampu mengelilingi dunia 11 kali. Bahan bakunya melimpah ruah, hanya pasir (quartz), yang diolah para jenius Intel sampai AMD berwujud sebagai chips, di mana pada produk hilirnya memunculkan media-media Internet yang gratis, sejak dari jaman email Yahoo, Hotmail, Google, (Blogspot, Blogdrive dll. – BH), Wikipedia, You Tube, sampai the next big things yang hanya bisa dibatasi oleh imajinasi.

Dalam lanskap media berbasis digital, kini yang kuat bersuara (walau di Indonesia mungkin belum diperhatikan !) adalah arus bawah. Sumbernya ya kita-kita ini, orang biasa, dengan blog-blog itu pula.

Hemat saya, seyogyanya para wartawan memarkir sepeda motornya, lalu menghidupkan Internet, rajin melakukan blogwalking atau mengikuti milis tertentu yang menjadi bidang spesialisasi tulisannya. Dari sana, ia dapat mendengar degup persoalan masyarakat, lalu mengangkatnya di media, kemudian dijadikan perbincangan lanjutan di media-media blog selanjutnya. “Market are conversations,” begitu kredo David Weinberger, Doc Searls, dan kawan-kawan.

Di tengah lanskap media yang chaos dan menggetarkan, sekaligus menggairahkan dewasa ini, nasib awak MSM ibarat orang yang selama ini duduk-duduk nyaman di atas karpet. Tetapi kemudian sebuah sisi karpet itu kini tiba-tiba terkait dengan pesawat jet yang sudah take-off. Mereka yang duduk-duduk itu ada yang terbawa oleh jet, ada yang bertumbangan di tanah, ada pula yang mengapung, tergantung di awang-awang.

Silakan Bung Ary H dkk. menentukan nasib Anda sendiri.

Yang saya tahu, Bang Wimar (mungkin gara-gara ketularan kewaskitaan seorang Gus Dur :-)) nampaknya sudah memutuskan meloncat dan pergi dulu dari karpet, comfort zone itu.
Saya kini juga mencoba mengikuti jejaknya. Saya yang tinggal di Wonogiri, yeah, ibarat katak kecil di kolam kecil. Tetapi Bang Wimar adalah : katak besar, keriting pula, di kolam besar. Kolamnya itu juga dekat dengan salon rambut....

Salam dari Wonogiri.


Dunia Tidak Diciptakan Untuk Anda. Dialog dan kontak yang terjadi secara interaktif, yang merupakan ruh eksistensi sebuah media blog, sepertinya menemukan panggung yang ideal dalam blog milik Wimar Witoelar ini. Saya kembali merasa terhormat ketika ia sudi menuliskan tanggapan lanjutannya :

Bung Ary H (Komentar No.12) bertanya, “kalo semua orang bisa jadi wartawan, aku kerja apa dong? “ dan Bambang Haryanto sudah menjawab untuk kebutuhan Bung Ary pribadi. Saya tidak memberikan nasehat pribadi, karena munculnya citizen journalism bukan kehendak saya, saya hanya melaporkannya.

Dunia tidak diciptakan untuk Anda, dan tidak juga untuk saya. Pengetik skripsi dekat kampus bisa mengeluh bahwa pekerjaannya hilang sejak mahasiswa mengetik sendiri di komputer, tapi kehidupan jalan terus.

Wartawan formal harus menyadari, apa sebetulnya keahlian dia. Kalau dia ahli menulis, tidak jadi soal, dia menulis di koran atau di blog. Selama tulisannya bagus, orang akan baca. Ahli masak yang restorannya gulung tikar, bisa menjual masakannya dengan cara lain.
Mungkin pada pengelola media non-blog terletak tanggungjawab untuk membantu staf memperluas kemampuannya keluar batas-batas yang dibuatnya sendiri. Tapi tanggungjawab tidak bisa dianggap sebagai kewajiban.

Terima kasih, Bang Wimar.

Masihkah ada hal yang mungkin masih mengganjal, juga pada diri seorang “Ary h” yang seorang pekerja media massa konvensional ? Terutama terkait pernyataan Wimar Witoelar bahwa “Wartawan formal harus menyadari, apa sebetulnya keahlian dia. Kalau dia ahli menulis, tidak jadi soal, dia menulis di koran atau di blog. Selama tulisannya bagus, orang akan baca.”

Ya – blog Anda, blog kita, semoga nanti akan ada pembacanya. Tetapi itu semua, ada hal yang berbeda dibanding ketika kita bekerja atau menulis di media konvensional : menulis di blog sama sekali tidak memperoleh bayaran uang.

Jangan berkecil hati dulu. Karena uniknya, jerih payah kita sebagai blogger tersebut berpeluang dibayar para pembaca dengan mata uang lain yang nilainya jauh lebih mahal di era digital dewasa ini, yaitu atensi. ”The hard currency of cyberspace is attention,” tegas Thomas Mandel dan Gerard Van der Leun dalam bukunya Rules of the Net : On-Line Operating Instructions for Human Being (1996).

Tetapi seberapa mahalkah nilai atensi ? Kajian tentang attention economy, ekonomi atensi, merupakan topik cukup menarik. Semoga lain kali bisa dibahas di blog ini. Atau mungkinkah justru sudah ada blog di Indonesia yang telah membahasnya ?

Dalam lanskap media berbasis atom atau media cetak, bayaran atensi yang sama sebenarnya justru lebih dahulu dinikmati oleh kaum epistoholik, yaitu para pencandu penulisan surat-surat pembaca. Mereka telah menulis dengan balutan dedikasi tinggi dan cinta, praktis tanpa imbalan uang, tentu saja termasuk pula mereka yang selama ini bergabung untuk mempromosikan visi dan misi komunitas Epistoholik Indonesia.

Kiprah penulisan surat-surat pembaca sebagai pengejawantahan budaya berdemokrasi, yang juga terkait dengan wacana jurnalisme warga, kini memperoleh momentum menarik. Saat artikel ini ditulis saya telah dikontak oleh Kantor Berita Radio 68H Jakarta yang meminta wawancara, juga untuk beberapa warga EI di Jakarta sampai Jombang. Hasil wawancara tersebut akan menjadi program siaran mereka, yang konon direncanakan meluas dan mendalam, mengenai eksistensi dan kiprah warga komunitas penulis surat-surat pembaca di Indonesia.

Jadi : apakah para pelaku jurnalisme warga yang bersenjatakan media blog itu perlu belajar dari laku asketis kaum epistoholik tersebut ? Sedang kaum epistoholik yang boleh disebut rata-rata masih gaptek, bukankah bisa belajar dari kaum blogger untuk penguasaan media berbasis digital dan bercakupan global itu ?

Idealnya memang demikian. Kedua kubu dapat mereguk sisi-sisi terbaik masing-masing dan memaksimalkannya untuk kemaslahatan bersama. Saling belajar. Memanglah, agar kita mampu bertahan di dunia yang begitu cepat berubah dewasa ini, setiap orang dituntut harus belajar dan terus saja belajar. Tanpa henti. Sepanjang hayat.

Persinggungan saya dengan Wimar Witoelar, sang bunglon media yang inspiratif itu, melalui media blog secara langsung dan interaktif kali ini, telah memberi garis bawah mengenai pentingnya gairah untuk terus saling belajar tersebut. Dengan semakin meluasnya kecerdasan anak bangsa maka semakin banyak pula warga mampu berperanserta dalam pengambilan keputusan politik, meminimalisir peran pemerintah yang tidak perlu, termasuk mengubur ancaman terorisme negara, juga terorisme negara dalam negara, yang masih menghantui kehidupan berdemokrasi di negara kita selama ini.

Apa pendapat Anda ?


Wonogiri, 23-28 Oktober 2006



ee

1 comment:

  1. Wah saya baru tahu istilah epistoholic...dimana saya bisa jadi pernah termasuk didalamnya.

    Jadi sebenarnya Indonesia ini tidak ketinggalan-ketinggalan amat di dunia citizen journalism, hanya promosi dan kepercayaan diri yang kurang.

    Akhirnya tahun 2007 ada juga hari blogger nasional, tapi sungguh resmi tidaknya sebagai hari nasional perlu diverifikasi (seperti ditulis oleh seorang kontributor di Kompas biasanya perlu adanya surat resmi dari Presiden)...

    Boleh saya link blog bapak ke blog saya?

    ReplyDelete