Saturday, March 31, 2007

Digital Rebel Cari Duit Lewat Blog dan Stagnasinya Kolom-Kolom Surat Pembaca

Oleh : Bambang Haryanto
Esai Epistoholica No. 43/Maret 2007
Email : humorliner@yahoo.com
Home : Epistoholik Indonesia



Anda Pilih Jantung atau Gigi ? Seorang ayah bertanya kepada anaknya, "besok besar, ingin jadi apa ?" Jawab si anak, "pengin jadi dokter spesialis jantung." Si ayah itu manggut-manggut, lalu meneruskan obrolannya : "Kalau boleh aku memberi nasehat, lebih baik jadilah seorang dokter gigi. Karena jantung hanya satu buah, sementara tiap orang memiliki gigi 32 buah."

Singkat cerita, anak itu mengikuti saran ayahnya.

Itu hanya lelucon dari pemilik blog Komedikus Erektus ! asal Wonogiri, yang berpendapat bahwa si anak tersebut mungkin kini kita kenal sebagai seorang Budi Putra. :-). Anda sudah mengenalnya ?

Saya perkenalkan, Budi Putra adalah wartawan media cetak, yaitu majalah Tempo, yang secara heroik telah memutuskan pensiun dari pekerjaannya yang mapan tersebut guna beralih menjadi blogger secara purna waktu. Untuk aksi pembelotannya itu ia pun telah memperoleh tepuk tangan meriah dari komunitas blogger Indonesia. Saya juga ikut serta.

Dalam pandangan saya, tamsil cerita tentang ayah dan anak di atas saya rasa cocok untuk menggambarkan dirinya saat ini. Karena, bagi saya, Budi Putra ibarat semata meninggalkan pekerjaannya yang semula hanya mengurusi satu organ, kemudian berganti profesi yang membuka peluang bagi dirinya untuk mengurusi organ lain yang jauh lebih banya jumlahnya. Maaf, lupakan dulu fungsi penting masing-masing organ itu. Juga lupakan tuntutan kualifikasi keterampilan masing-masing dokter spesialis organ bersangkutan. Karena lelucon ini hanya ingin membandingkan jumlah. Lebih detilnya, silakan Anda baca pengakuan Budi Putra berjudul Me, Myself and Blogging di situs CNET Asia.

Berikut ini bukan lagi cerita lelucon. Karena, terus terang, ketika membaca-baca isi pengakuannya, saya agak lebih menyukai isi penuturan Budi Putra seputar visinya tentang blog saat ia tampil bersama Wimar Witoelar di MetroTV. Maaf, saya tidak menontonnya langsung di tv karena saya tak punya tv. Tetapi membaca transkripnya di blog Perspektif Online ("bagi saya masih web 1,1 dan belum web 2.0, karena pengisi komentar tak ditampilkan URL blog masing-masing") milik kolumnis dan mantan juru bicara presiden Gus Dur yang berambut kribo itu.

Walau pun isu yang dimunculkan host acara MetroTV saat itu lebih mencerminkan dirinya tak tahu apa-apa tentang blog, di tingkat 101 pun, minimal dalam obrolan Budi Putra dan Wimar Witoelar saya melihat kanvas besar betapa media-media jurnalisme pohon mati itu kini sedang menghitung hari. Baik sebagai bisnis mau pun sebagai salah satu pilar berdemokrasi. Dan kemudian tampillah blog sebagai media masa depan.

Blogger Early Adopter. Isu besar itu, yang merangsang tersebut, hanya sedikit muncul dalam pengakuan Budi di situs CNET Asia tersebut. Mungkin saya yang terlalu banyak mengharap, karena pengakuannya semata nampak lebih bersemangat bercerita mengenai model bisnis yang ia kukuhi sebagai blogger purna waktu. Kita mendapatkan informasi bahwa Budi Putra di masa depan ingin mengonsentrasikan bisnis blognya dari sektor : (a) sebagai penulis bayaran untuk blog (blog) selain miliknya sendiri, dan (b) perolehan iklan dari blog-blognya sendiri.

Untuk sektor pertama, dengan tamsil jantung vs gigi di atas, Budi Putra yang ketika bekerja di media cetak hanya terpatok menulis untuk satu media, sekarang sebagai blogger purna waktu Budi Putra berpeluang menulis pada banyak media blog, bukan ?

Sedang untuk sektor kedua, ia jelaskan bahwa terdapat cara yang mudah dan sederhana untuk meraup uang di jagat maya. Dengan memanfaatkan program seperti Google Adsense, AdBrite, sampai TextLinksAds yang dipajang dalam blog masing-masing, trik semacam sudah berpotensi mengalirkan uang yang lumayan. Tentu saja, apabila komunitas yang ia miliki cukup untuk menunjangnya.

Fenomena terakhir tadi oleh kolumnis Josh Quittner, yang mengutip Dave Wiener, disebutkan bahwa model bisnis yang dikerjakan oleh Budi Putra dan blogger lainnya itu tiada lain hanya bernasib sebagai penadah sisa-sisa uang recehan dari Google : mereka dan kita sebagai penjaja iklan-iklannya Google. Sehingga Anda dan kita semua, secara teoritis, tidak terlalu sulit untuk mengikuti jejak Budi Putra. Walau untuk mereka yang minatnya bukan di bidang TI, mungkin dituntut agak bersabar.

Kita tahu, dunia diri Budi Putra lengket terkait dunia TI yang dinamis. Bila menurut ahli pemasaran Lembah Silikon, Geoffrey A. Moore yang terkenal dengan bukunya Crossing The Chasm : Marketing and Selling Technology Products to Mainstream Customers (1999), Budi Putra pantas digolongkan sebagai early adopters, pengguna awal. Mereka adalah sekelompok kecil orang-orang nerds, penggila teknologi baru, yang gatal atau gelisah berat bila tidak memiliki produk-produk teknologi gres yang masih "kebul-kebul" keluar dari pabriknya.

Kelompok konsumen TI sekaliber ini berada di depan kelompok early majority, mayoritas awal, juga jauh di depan late majority, mayoritas belakangan, yaitu kelompok konsumen teknologi yang gemuk, potensial, dan terdiri dari kebanyakan orang-orang yang biasa saja. Di ujung ekstrim terdapat kelompok yang paling buncit dan terlambat dalam memanfaatkan teknologi, disebut sebagai kelompok laggards, terbelakang.

Jujur saja, saya termasuk kelompok yang terakhir ini. Buta HTML. Apalagi CSS. Juga tidak tahu apa itu Adsense. Kalau tidak ada “huru hara” terkait pembelotan Budi Putra, saya tak bakal terbuka untuk tahu tentang hal satu ini. Baru saja saya bersemangat untuk sok-sokan mempelajari seluk-beluk binatang digital baru yang dijuluki sebagai milestone in the history of the internet oleh Tim O'Reilly. Orang ini konon yang menemukan istilah Web 2.0. Binatang baru itu baru diluncurkan awal Februari 2007, yaitu Yahoo Pipes. Ketika saya sampai di situsnya, saya justru tidak tahu bagaimana mengolah “bubur informasi” di pancinya Yahoo Pipes itu. Saya tidak tahu harus mengerjakan apa.

Pernah pula saya membeli buku Bikin Situs Komunitas : Cepat dan Gampang Dengan PHP-Nuke (Komputeraktif, 2004). Baru langkah awal, sudah mengalami hambatan. Untunglah, di CD-nya terdapat informasi alamat email yang menurut penerbitnya siap untuk menerima pengaduan problem. Buntungnya, sejak saya kirim keluhan itu pada tanggal 16 Maret 2007, sampai kini tidak ada tanggapan sama sekali.

Kembali ke Budi Putra. Dari lanskap tesisnya Moore di atas, mungkin Budi Putra, harapan saya, sudi tampil mirip sebagaimana sosok Robert Scoble yang terkenal sebagai blogger sekaligus software evangelist untuk Microsoft. Seperti pernah dikutip oleh Fortune (24/1/2005), Robert Scoble menceritakan pekerjaannnya : “Bila saya hanya bilang gunakan produk-produk Microsoft, bla, bla, bla, maka saya kehilangan seluruh peluang untuk melakukan percakapan (dengan konsumen).”

Kiranya Budi Putra cocok dalam peran untuk mempercakapkan dunia TI seperti itu. Terlebih lagi karena dunia TI dan juga blog di Indonesia masih berada dalam tahapan awal, sehingga sebagaimana lazimnya fenomena self-referential, maka blognya yang membahas dunia TI yang paling berpotensi untuk naik daun. Dua tahun lalu ketika Priyadi Iman Nurcahyo membuat peringkat Top 100 Blog Indonesia, kita lihat yang mendominasi tidak lain adalah blog-blog yang berkutat seputar topik-topik TI pula.

Di komunitas garda depan TI itulah Budi Putra menjadi bintang. Ia memiliki komunitas yang berpeluang ia garap menjadi lahan bisnis blognya. Sepuluh tahun lalu untuk hadiah ulang tahun saya ke 44, 24 Agustus 1997, saya di Jakarta membeli bukunya John Hagel III dan Arthur G. Armstrong (foto) ini. Hasil dari honor menulis artikel “Ancaman dan Peluang Masa Depan Internet” (Media Indonesia,7 dan 14 Agustus 1997).

Dari judulnya, buku terbitan Harvard Business School Press (1997) ini jelas memfokuskan pentingnya komunitas maya sebagai medan laga peperangan pemasaran. Bersumber isi buku ini pula saya mengeritik para pemabuk bisnis dotcom era 90-an, dan sebagai artikel koran kemudian saya ikutkan dalam Lomba Karya Tulis Teknologi Telekomunikasi dan Informasi / LKT3I III-1999 yang diselenggarakan oleh PT Indosat. Saya meraih prestasi sebagai juara harapan I untuk kelompok umum. Prestasi tidak jelek untuk wong dari pinggiran, Wonogiri. Saat itu Budi Putra untuk ketiga kalinya tampil sebagai juara pertama bagi kelompok wartawan.

Merujuk isi buku tersebut, untuk di dunia yang sudah maju TI-nya, kini kancah "mencari uang" sebagai blogger yang antara lain dengan fondasi membangun komunitas telah memunculkan pula penulis model Andrew Sullivan yang bersubjek politik sampai Christine Halvorson yang membahas seluk-beluk manfaat yogurt. Karena senyatanya di masa depan memang tidak hanya dunia TI saja yang memerlukan blogger.

Selain tentu saja, sosok seorang blog warrior seperti Dan Gillmor. Ia memilih keluar dari koran San Jose Mercury News untuk menjadi blogger dengan mendirikan perusahaan media jenis baru, Grassroot Media, guna memperjuangkan mazhab jurnalisme warga. Untuk kiprahnya yang inovatif tersebut ia telah memperoleh dana dari para donatur dan investor.


Budi, Buzz vs Bubble. Aksi Dan Gillmor yang melakukan pembelotan, digital rebellion, seperti yang kini dilakukan seorang Budi Putra, relatif lebih mudah menjadi buzz, bahan pembicaraan. Karena di jaman kini sudah ada blog, sehingga pembelotannya menjadi cerita gethok tular yang mudah menyebar. Bandingkan misalnya dengan nasib pahit puluhan wartawan media cetak yang di era 90-an ikut-ikutan tergiur mabuk bisnis dotcom, tetapi kemudian ambruk, dan kita tidak tahu dimana mereka kini berada, juga tidak tahu pula kesan atau pun penderitaan mereka.

Dalam kasus Budi Putra, blog memang menunjukkan kesaktiannya sebagai sarana menyebarkan berita. Apakah kelak web 2.0 menjadi bubble juga ? Surat kabar Wall Street Journal (27/12/2006) pernah mendiskusikan kemungkinan hal itu. Sebelum hal itu terjadi, saya berharap :-) di Indonesia justru segera ramai bermunculan venture capitalists atau angels yang bermurah hati, bersedia mendanai ide-ide bisnis blognya Budi Putra dan para pionir blogger Indonesia lainnya.

Menurut saya, sungguh terlalu kerdil dan terlalu paria apabila pembelotan Budi Putra yang gegap gempita itu (atau hanya “badai dalam gelas” di komunitas blogger yang esoterik semata ?) hanya mampu menjerumuskan dirinya untuk terjebak dalam kubangan bisnis Web 2.0 dengan model bisnis yang oleh Jennie S.Bev disebut sebagai bisnisnya “pasukan semut” yang matanya hijau dengan dollar recehan, yang berupa affiliate fees maupun pay-per-click fees semata. Hemat saya, semoga pembelotan Budi Putra kali ini bukanlah yang pertama dan sekaligus terakhir sebagai buzz yang punya makna, baik bagi masa depan blogosfer, lanskap media dan kehidupan demokrasi di Indonesia.

Siapa tahu, daripada uang-uang itu ngendon di BNP Paribas atau masuk kantong para pejabat yang korup, bukan ? :-). Siapa tahu pula ramalan David Weiner tidak terbukti bahwa saham Google akan mengalami crash, entah kapan, sebagai ritus 4 tahun sekali dalam dunia bisnis teknologi informasi.


Stigma Media Ecek-Ecek. Keteguhan Budi Putra menjatuhkan pilihan, bagi saya, minimal memberi bobot dalam menguak pemahaman masyarakat mengenai apa sebenarnya binatang blog dalam konstelasi dunia media atau pun dalam dunia bisnis masa depan. Untuk topik satu ini saya telah menulis beberapa kali di blog ini, sebelum tulisan ini.

Ini penting, karena blog di Indonesia sepertinya masih dianggap sebagai media "ecek-ecek" di mata kalangan industri media yang terkena myopia. Atau bahkan justru oleh kalangan para blogger sendiri.

Sekadar ilustrasi : dari rangkaian puluhan komentar di blog The Gadget-nya Budi Putra, kecuali mungkin dari Jennie S. Bev (“Congrats, Budi, so proud of you. There are bloggers that have been earning six-figure USD income annually, writing or owning one or multiple blogs, like Darren Rowse, Arrington, or even Heather Armstrong. I’m sure you will join their rank (or, perhaps you already have). Congratulations again for the great leap forward.”), tidak banyak komentar para blogger yang menggigit dan inspiratif, hasil dari banyak membaca, berpikir dan mengobservasi.

Tidak aneh bila Budi pun mengeluh bahwa "sedemikian jauh hanya ada sedikit blogger profesional di negeri ini, itu pun saya tidak tahu tepatnya siapa mereka karena mereka tidak mempublikasikan diri mereka atau pun aktivitas mereka." Keluhan itu dapat sebagai introspeksi, sehingga di masa depan pantas kiranya kita tunggu semakin banyaknya blogger-blogger profesional di negeri kita ini, terutama profesional dalam menyajikan isi blog-blog mereka.


Modal Utama : Passion. Terakhir, saya paling suka ketika membaca bahwa modal utama Budi Putra untuk menerjuni dunia barunya adalah : passion. Ia tidak sesekali menyebut uang sebagai tujuannya. Saya gembira, karena ada semacam sikap paralel, karena sebagai seorang epistoholik sejak tahun 1973 dan blogger sejak 2003, semua aktivitas saya itu juga memang dipicu oleh passion pula.

Walau kini sebagai seorang epistoholik, sudah lebih dari sebulan saya tidak lagi menulis surat-surat pembaca. Saya merasakan betapa kolom surat-surat pembaca tersebut mengalami kebuntuan. Mandeg. Protes pembaca di koran-koran seringkali hanya ditanggapi fihak yang diprotes dengan jawaban-jawaban yang sumir. Tidak mencerahkan. Dan fihak koran pun hanya mendiamkannya.

Sementara bagi koran bersangkutan, juga nampak tidak ada ide-ide dan wawasan baru dalam mengeksploitasi gairah dan dedikasi para penulis surat pembaca khusus,yang setia mengisi kolom yang sebenarnya banyak menarik pembaca tersebut. Koran-koran itu justru memasang barrier, misalnya tidak memajang alamat email apalagi URL blog/situs pribadi. Interaksi menjadi sulit terjadi antara para penulis surat pembaca.

Sehingga misalnya sesama pembaca yang merasa menjadi korban salah urus dalam bertransaksi dengan asuransi, bank, layanan penerbangan dan layanan publik lainnya, tidak mudah untuk saling mengenal dan berkongregasi guna melakukan aksi bersama. Bila pun dimungkinkan, harus melalui sarana surat, snail mail yang lamban dan relatif mahal. Pengelola kolom tersebut juga nampak tidak punya “nafsu” untuk berdialog dengan para pengisi kolom bersangkutan.

Kemudian, ini alasan yang subjektif, saya merasa tidak banyak penulis surat pembaca yang bersedia terus-menerus men-charge baterai otaknya. Akibatnya, terlalu banyak tulisan surat-surat pembaca yang sekadar mengkloning isu-isu atau pun ide-ide yang sudah kedaluarsa.

Saya rada bingung : gairah atau passion saya ketika meluncurkan kembali gagasan mengenai komunitas Epistoholik Indonesia (EI) di tahun 2003, yang semata gara-gara dipicu kehadiran blog, sekaligus mencita-citakan semua penulis surat pembaca sebagai blogger, apakah merupakan gagasan yang terlalu jauh ke depan ? Sudah sekitar 4 tahun saya mempromosikan ide tersebut, tetapi hanya sedikit sekali warga EI yang tertarik untuk menjadi seorang blogpistoholik, gabungan blogger dan epistoholik.

Semua itu terjadi antara lain akibat kesalahan saya yang tidak mampu meyakinkan komunitas EI bahwa menulis surat pembaca di media cetak dapat dijadikan sebagai papan loncat untuk mengumpulkan fans, mengejawantahkan prinsip-prinsip ekonomi atensi (“dalam pemerintahan SBY dikenal sebagai politik tebar pesona”), berdialog lebih dekat dengan mereka, untuk membuka interaksi hingga munculnya gagasan-gagasan bisnis baru, ketika mereka menjadi pengelola “koran surat pembaca digital” milik mereka sendiri.

Minimal mampu merasakan sensasi unik, yang mungkin dianggap sepele seperti yang saya alami. Pertama, sebagai blogger ibarat Anda sebagai seorang dukun. Anda berpeluang akan dikenal “kesaktian” Anda di mana-mana, seluruh dunia ini, walau mungkin Anda justru tidak dikenal sebagai blogger oleh orang yang tinggal yang secara fisik berdekatan dengan Anda.

Contoh : di negara Mesir yang warganya, terutama kelompok oposisinya, dilarang melakukan demo di jalanan, menurut BBC (31/3/2007), mereka telah memindahkan arena demonya ke medan digital. Yang mutakhir, mereka menayangkan bukti-bukti video mengenai proses referendum yang telah dicurangi, sehingga demo mereka pun menjadi tersiar ke seluruh dunia !

Kedua, sebagai blogger kadang ibarat memiliki kucing di daerah kompleks perumahan yang individualistis. Anda tidak tahu dan juga tidak kenal dengan tetangga kiri atau kanan, tetapi kucing betina satu-satunya milik Anda itu terus saja hamil dan beranak-pinak. Blog saya ini ya ibarat kucing tersebut ! :-)

Sekadar info : blog saya ini saya luncurkan sejak 24 Juli 2004. Karena gaptek, baru pada tanggal 21 Januari 2007 (bersama blog Komedikus Erektus !), bisa saya pasangi log atau counter yang menghitung jumlah pengunjung di blog ini.

Pada hari yang ke 29 (19/2/2007) tercatat angka 1021. Bagi saya, ini sungguh mengejutkan. Karena tidak menyangka setiap hari ada 35 pengunjung unik telah sudi menengok blog ini. Secara guyon, mereka-mereka itu, para lurker tersebut, telah sukses “menghamili” kucing (baca blog) saya, walau saya tidak mengetahui jati diri mereka. Saya juga tidak yakin sebagian besar Anda itu adalah warga komunitas EI pula.

Terima kasih, untuk Anda semua.

Respons Anda para peselancar di media berdomain digital ini, yang tersaji secara numerikal itu, telah memberi saya perasaan unik tertentu yang berbeda dibanding ketika menulis surat pembaca atau pun artikel di media-media cetak, lame stream media, sejak tahun 1970-an. Ketika artikel saya dimuat, misalnya yang berjudul “Komedi dan Komedian : Kejujuran Mengolok Diri Sendiri” di Kompas (27/1/2007), saya tahu artikel itu telah dibaca oleh ribuan orang. Puluhan ribu atau ratusan ribu ?

Tetapi karena tidak ada reaksi pembaca yang menyertainya dibanding ketika menulis di blog, maka serasa ada sesuatu yang hilang. Meminjam kredo David Weinberger dkk. bahwa “marketing are conversation,” maka percakapan atau dialog itu relatif sulit terjadi bila Anda menulis di media cetak.

Merujuk hal tersebut, walau pun demikian, sebenarnya saya tetap bingung juga. Karena Anda, para pengunjung blog saya ini, kok ya masih saja kronis pelitnya dalam berbagi wawasan, terutama bila dituntut agar Anda sudi bermurah hati menuliskan komentar. :-D.

Baiklah, respons numerikal Anda tersebut ibarat cipratan bensin, sehingga ketika api, mood menulis, diri saya lagi mengecil, sokurlah mampu membuat niat menulis saya bisa menggelora kembali.

Terkait pentingnya respons peselancar blog, saya akan merujuk mantra Budi Putra yang mengibaratkan tulisan di blog-blognya sebagai undangan kepada pembacanya. Bunyinya sebagai salam, sekaligus ajakan : talk with me. Saya tidak sengaja pernah mencobanya.

Di akhir tahun 2006, ketika majalah TIME memilih pembacanya yang telah berstatus sebagai blogger sampai pengguna YouTube sebagai Person of The Year, saya pernah menulis komentar di blog Jurnalisme-nya Budi Putra dan juga kirim email ke Wimar Witoelar. Isinya usul-usil agar laporan utama TIME yang monumental mengenai fenomena the digital democracy tersebut menjadi bahan tulisan untuk blog-blognya.

Wimar Witoelar bermurah hati membalas email saya, berisi janji ia akan mencoba menuliskannya. Tetapi nampaknya hanya janji belaka. Sementara itu saya pun tidak tahu apa balasan Budi Putra atas gagasan usil saya tersebut. Mungkin ajakan talk with me belum berlaku untuk saat itu. Atau memang tidak berlaku untuk diri saya :-).

Episto ergo sum. Saya menulis surat pembaca karena saya ada. Itulah mantra komunitas saya sebagai kaum epistoholik. Tetapi karena sudah sebulan saya tidak “mampu” menulis surat pembaca, maka sebagai blogger kiranya saya harus punya mantra yang lain.

Tujuannya, siapa tahu, dapat membangunkan para lurker alias para “penghamil kucing” saya tadi agar mau menampakkan diri, bersilaturahmi, dengan bermurah hati memberikan komentar-komentar di blog-blog saya yang ada ini. Sehingga saya memiliki api atau energi tambahan untuk lebih giat menulis dan menulis lagi :-).

Untuk maksud itu saya akan mengutip mantra milik Dan Gillmor sebagai seorang blogger. Sebagai seorang laggard di dunia TI, saya sungguh menyukai mantranya yang berbunyi :

"My readers know more than I do."

Kapan Anda, para pembaca blog ini, menunjukkan kelebihan Anda yang hebat tersebut kepada saya ? Terima kasih sebelumnya, dan saya tunggu.



Wonogiri, 31 Maret 2007


ee

1 comment:

  1. Bambang, saya kebetulan search nama saya eh ketemu blogmu. Bagus2 idenya. Kamu coba deh nulis soal yang kamu sarankan itu. Aku dukung pokoknya.

    ~ Jennie S. Bev
    http://www.jennieforindonesia.com
    (Aku lagi bagi2 e-book gratis. Check it out. More power to you and yours.)

    ReplyDelete