Tuesday, October 23, 2007

Welcome to the jungle, JogloSemar !

Oleh : Bambang Haryanto
Esai Epistoholica No. 50/Oktober 2007
Email : humorliner@yahoo.com
Home : Epistoholik Indonesia





Dear Mas Ari Kristyono
Redaktur Eksekutif Harian JogloSemar di Solo


Hal : Ngobrol-ngobrol tentang koran di tengah lanskap media-media baru


Salam sejahtera,

Kemarin itu, saya baru tahu kalau di Solo akan muncul koran baru : JogloSemar. Koran Anda. Salut dan selamat. Welcome to the jungle ! Info itu saya peroleh siang itu dari Mayor. Saya agak surprise juga, Solo yang dulu terkenal sebagai kuburan koran kini justru jadi medan persaingan koran-koran.

Sekadar info, 11 September 2007 yang lalu, di Restoran Diamond Solo, saya juga ikut brainstorming dengan jajaran pimpinan Suara Merdeka. Tujuannya, mereka ingin masukan dari pembacanya dan relasinya di Solo bagaimana Suara Merdeka mampu berjaya lagi, seperti sebelum ada Solopos dan kompetitor lainnya.

Selepas acara itu, saya merasa gatal. Lalu sebagai seorang epistoholik yang gatal, ya menulis surat pembaca. Di Kompas Jawa Tengah. Judulnya, Perang Media (Judul aslinya : Perang Koran di Solo). Dimuat, Sabtu, 22 September 2007. Di bawah ini teks yang asli, belum diedit oleh Kompas Jawa Tengah :


“Saya diajak Mayor Haristanto, Presiden Republik Aeng-Aeng, untuk mengikuti acara sumbang saran (brainstorming) yang bertopik pengembangan penetrasi sebuah harian di Jawa Tengah. Koran itu pernah berjaya di Solo dan kini bertekad hendak merebut kuenya terdahulu yang belakangan tergerus oleh kehadiran pesaing baru mereka. Sebagai seorang epistoholik saya protes karena kolom surat pembaca yang dulu di halaman 6 kini “dionclang” ke halaman 22. Padahal menurut saya, dalam wacana jurnalisme warga (citizen journalism), kolom itu idealnya harus berada di halaman pertama ! (“Ya betul, Mas Ari, seperti Bernas. Bernas ini satu-satunya koran yang pernah mengangkat kiprah kaum epistoholik di tajuk rencana. Saya dapat info itu dari teman di Yogya, tetapi saya belum pernah menemui korannya…” –BH).

Hal menarik lain, sebagian besar peserta acara itu generasi di atas 40-an. Pembaca koran kelompok jadul, jaman dulu. Sehingga tak ayal, sebagian besar saran mereka berputar-putar seputar perbaikan isi (content) dan tak menyinggung-nyinggung konteks (context). Saran itu membuat saya terpana. Karena di tengah perkembangan teknologi komunikasi dan informasi yang cepat dan berubah-ubah, koran kini bukan lagi sebagai matahari sebagai pusat edar bumi kita ini.

Koran kini hanya sebagai salah satu planet, di mana matahari sebagai pusat edar gerakan benda-benda angkasa itu adalah para konsumen informasi. Koran kini harus bersaing mati-matian melawan empat layar media lainnya, sejak layar bioskop, televisi, komputer (internet) dan yang terbaru layar telepon genggam. Layanan berita seketika yang dapat diakses melalui telepon genggam seperti yang baru-baru ini diluncurkan Kompas, Langlang, adalah pertarungan konteks.

Dengan mengusung blue ocean strategy, Langlang berpotensi membuat koran-koran yang baru bisa menyalurkan informasinya ke pembaca pada keesokan hari terancam menjadi tidak relevan. Termasuk bagi Kompasnya sendiri, karena penerapan teknologi baru selalu tersimpan potensi terjadinya kanibalisasi.

Persaingan koran di Solo, juga di bagian mana pun di dunia, kini tak bakal bisa dimenangkan hanya dengan mengutak-utik isi belaka. Gary Hammel dalam bukunya Leading the Revolution (Harvard Business School Press, 2000) menandaskan, perang bisnis masa depan berada di medan konteks dan bukan pada isi. Bukan pada produk, tetapi pada model bisnis.

Bagi saya, sungguh menarik mengikuti apa yang akan terjadi dalam perang koran di Solo pada masa-masa mendatang ini. Sebagai penulis surat pembaca yang juga jadul, saya akan mendukung media yang mampu menampung kiprah dan aspirasi mazhab jurnalisme warga (citizen journalism) yang kini meruyak guna menuju demokratisasi media di dunia !”

Bambang Haryanto
Jl. Kajen Timur 72 Wonogiri 57612
Warga Epistoholik Indonesia


Yth Mas Ari,

Sebagai seorang epistoholik, usul saya di SP di atas semoga juga bisa relevan dengan sajian JogloSemar di masa mendatang. Pamrih saya, sediakan kolom seperti, minimal, Suara Merdeka. Dari pandangan kami, selama ini juga ada koran yang tidak “berkawan” dengan kami. Bahkan akibatnya kini, ada orang dalam koran itu bilang, kadang yang menulis SP adalah para wartawannya sendiri. Bayangkan, koran adalah media masyarakat untuk beradu dan berbagi gagasan. Tetapi kemudian kalau justru ia disingkiri oleh pembaca kritisnya, apa yang akan terjadi ?

Kemudian hubungan penulis surat pembaca dan media cetak di masa depan, saya memimpikan bahwa penulis surat pembaca harus siap-siap memotong tali pusarnya yang selama ini tersambung ke media cetak. Seperti bayi, pemutusan tali pusar adalah fase menuju kebebasan dan kedewasaan. Hubungan ini saya bahas di blog saya, Esai Epistoholica (http://esaiei.blogspot.com/), pada Esai Epistoholica No. 44/April 2007 (Wimar’s World, Jay Rosen dan Wawancara Harian Republika)

Mengenai stagnasinya media cetak mengelola kolom surat pembacanya, silakan cek pada blog yang sama, pada artikel Esai Epistoholica No. 43/Maret 2007 (Digital Rebel Cari Duit Lewat Blog dan Stagnasinya Kolom-Kolom Surat Pembaca).

Juga mungkin bagi Mas Ari dkk. dapat sekadar bercermin di tengah-tengah lanskap media yang berubah, silakan simak keputusan seorang wartawan media cetak terkenal yang sengaja membelot, berspekulasi dengan beralih menjadi blogger professional. Ia bilang, masa depan koran tinggal menghitung hari. Lalu saya inget majalah Business Week, Juli 2007, pernah menulis : Which American Paper Will Be The First To Kill Its Print Edition?

Mas Ari, apa benar bahwa masa depan koran begitu suram ? Orang terkaya kedua di dunia, Warren Buffet, pemilik Berkshire Hathaway, baru saja (5/3/2007) berkata, “Simply put, if cable and satellite broadcasting, as well as the Internet, had come along first, newspapers as we know them probably would never have existed.”

Fenomena ancaman menyusutnya relevansi surat kabar, antara lain saya pergoki dari harian USA Today (5/5/1992). Ditulis oleh James Cox, diawali mengupas apa yang disebut sebagai segitiga media. Di puncak segitiga itu adalah surat kabar. Kemudian pada dua sudut yang berada di dasar segitiga mewakili pembaca (kanan) dan pemasang iklan (kiri). Surat kabar memberikan berita, hiburan dan informasi bermanfaat lainnya untuk menarik pembaca. Hal tersebut kemudian menarik para pemasang iklan untuk memajang pesan komersialnya di koran-koran, yang pesannya mereka tujukan kepada pembaca surat kabar yang sekaligus calon konsumen mereka.

Konfigurasi dari media triangle itu sekarang ini adalah, dalam hubungan surat kabar – pembaga terjadi fragmentasi. Memunculkan ceruk-ceruk (niches) pembaca yang memerlukan informasi khusus yang mendalam, selama ini hanya tampil dangkal dibahas oleh surat kabar yang umum. Mungkin JogloSemar akan bermain di segmen niches yang belum tergarap oleh koran lainnya. Lalu dalam hubungan surat kabar-pemasang iklan, terjadi targetisasi pasar, yaitu membidik ceruk-ceruk tadi.

Yang ada di lampu merah, alias bahaya, adalah hubungan antara pemasang iklan dan pembaca. Hubungan yang ada di dasar media triangle tadi. Selama ini hubungan itu dijembatani oleh koran, bukan ?

Berkat hadirnya teknologi baru, hubungan itu kini terancam serius menjadi kolaps, luluh, semaput. Seperti tutur Warren Buffet di atas, masa depan koran pun seolah berada di tiang gantungan. Sekadar info, silakan simak cerita mengenai situs rahasia yang dewasa ini “justru sangat ditakuti oleh surat-surat kabar di Amerika Serikat.” Silakan simak ceritanya di Esai Epistoholica No.42/Maret 2007 (Hari Sumpek Seorang Epistoholik dan Situs AS Yang Menjarah Kue Iklan Koran-Koran Indonesia).

Seperti saya singgung kemarin adanya PHK besar-besaran di BBC, demi mengintegrasikan isi program radio, televisi dan Internet mereka yang semula terpisah-pisah, model bisnis yang baku memang ibarat The Holy Grail yang terus dicari. Kan Anda tahu, hanya akhir-akhir ini Solopos menonjolkan situsnya di Internet. Bannernya dipajang di kiri atas, halaman 1.

Lalu Suara Merdeka sekarang lagi me-reorganisasikan Suara Merdeka CyberNews-nya. Kalau Anda sudi mampir ke blog saya lainnya, Komedikus Erektus ! (http://komedian.blogspot.com/), di sisi kanan (sidebar) ada kolom pemberian komentar. Di situ ada tiga urutan komentar dari “aulia.” Ia blogger dan pemred Suara Merdeka Cyber News. Saya belum tahu mengapa ia akan meminta bantuan saya, seperti ia tulis di situ.

Mas Ari, demikianlah dongeng saya tentang lanskap koran di tengah media-media baru, sejauh yang saya ketahui. Hal yang saya ketahui itu pula yang baru saja saya kirimkan surat pembaca langsung ke Suara Merdeka. Sekadar memberi tahu posisi mereka, versi saya, saat mutakhir dewasa ini. Sebagian isinya sama dengan yang saya kirim ke Kompas Jawa Tengah, tetapi yang ini ada tambahan mengenai “strategi laut merah” yang kiranya masih banyak dikukuhi pengelola media massa saat ini. Barangkali juga termasuk Anda, di JogloSemar ini pula ? Silakan simak :


Suara Merdeka di Laut Merah


“Saya diajak Mayor Haristanto, Presiden Republik Aeng-Aeng, mengikuti acara sumbang saran (brainstorming) bertopik pengembangan penetrasi harian Suara Merdeka ini di Solo. Kita tahu, Suara Merdeka pernah berjaya di Solo dan kini bertekad hendak merebut kuenya terdahulu yang belakangan tergerus oleh pesaing baru mereka. Sebagai seorang epistoholik, dalam acara itu saya protes karena kolom surat pembaca yang dulu di halaman 6 kini “dionclang” ke halaman 22. Padahal menurut saya, dalam wacana jurnalisme warga (citizen journalism), kolom itu idealnya harus berada di halaman pertama !

Hal menarik lain, sebagian besar peserta acara itu generasi di atas 40-an. Pembaca koran kelompok jadul, jaman dulu. Sehingga tak ayal, sebagian besar saran mereka berputar-putar seputar perbaikan isi (content) dan tidak menyinggung-nyinggung konteks (context). Saran mereka itu membuat saya terpana dan mengingatkan saya akan tesis tentang red ocean strategy (strategi laut merah) vs bkue ocean strategy (strategi laut biru) dari W. Chan Kim dan Renée Mauborgne (Harvard Business School Press, 2005). Menurut saya, para pengusul itu ibaratnya menceburkan Suara Merdeka ke tengah laut merah, lautan di mana pasar sudah mendekati jenuh, terjadi kompetisi ketat, karena banyak sekali penerbitan yang serupa memperebutkan pasar yang sama pula.

Apalagi di tengah perkembangan teknologi komunikasi dan informasi yang cepat dan berubah-ubah, koran kini ibaratnya bukan lagi sebagai matahari sebagai pusat edar bumi kita ini. Koran kini hanya sebagai salah satu planet di mana matahari sebagai pusat edar gerakan benda-benda angkasa adalah para konsumen informasi. Koran kini harus bersaing mati-matian melawan empat layar media lainnya, sejak layar bioskop, televisi, komputer (internet) dan yang terbaru layar telepon genggam.

Fenomena mutakhir, hadirnya layanan berita seketika melalui telepon genggam seperti yang baru-baru ini diluncurkan oleh kelompok Kompas, Langlang, adalah pertarungan konteks. Dengan mengusung blue ocean strategy (strategi laut biru)-nya Kim dan Mauborgne di atas, karena belum ada preseden sebelumnya, Langlang tersebut berpotensi membuat koran-koran yang baru bisa menyalurkan informasinya ke pembaca pada keesokan hari terancam menjadi tidak relevan. Termasuk bagi Kompasnya sendiri, karena penerapan teknologi baru selalu tersimpan potensi dahsyat terjadinya kanibalisasi.

Persaingan koran di Solo, juga di bagian mana pun di dunia, kini tak bakal bisa dimenangkan hanya dengan mengutak-utik isi belaka. Gary Hammel dalam bukunya Leading the Revolution (Harvard Business School Press, 2000) menandaskan, perang bisnis masa depan berada di medan konteks dan bukan pada isi. Bukan pada produk, tetapi pada model bisnis.

Bagi saya, sungguh menarik mengikuti apa yang akan terjadi dalam perang koran di Solo dan di Indonesia pada masa-masa mendatang ini. Sebagai penulis surat pembaca, saya akan mendukung media yang mampu menampung kiprah dan aspirasi mazhab jurnalisme warga yang embrio aksinya telah lama dipraktekkan jauh-jauh hari oleh kaum epistoholik selama ini, yang mencita-citakan demokratisasi media sehingga bermanfaat maksimal bagi semua.”


Mas Ari, sekian dulu obrolan saya ini. Semoga bermanfaat. Senang sekali apabila Anda dkk. sudi memberikan tanggapan. Saya kan juga pengin belajar dari Anda. OK ?

Salam episto ergo sum, saya menulis surat pembaca karena saya ada.
Sukses selalu.


Salam saya,


Bambang Haryanto

PS : Nanti akan saya woro-worokan adanya kapling baru menulis surat pembaca di JogloSemar pada warga EI di Solo dan sekitarnya. Saya juga akan berusaha menjadi penulis surat pembaca yang PERTAMA di edisi pertama JogloSemar. Semoga Anda mau bermurah hati untuk membocori saya….kapan ancang-ancang terbitnya. Matur nuwun.


Wonogiri, 23 Oktober 2007


ee

1 comment:

  1. Uiiih, ramai sekali ya jadinya. Saya simak tulisan Anda dan saya meng-amini saja dulu sambil "tunggu dan lihat".
    Untuk komentar secara terbuka tentang kira-kira bagaimana peta persaingan koran di Jateng (SM, SOLOPOS, dan JogloSemar), terus terang saya masih perkewuh (wagu ya Mas?).
    Bukan apa-apa, hanya para pengelola kuncinya, secara pribadi adalah kawan-kawan sendiri. Maklum saya pernah makan "sepiring bersama" dengan kebanyakan dari mereka (6 tahun di SM dan 9 tahun di SOLOPOS).
    Titip doa saya saja untuk kesuksesan mereka semua.
    Dan teruslah menulis Mas.
    Salam.
    Duto Sri Cahyono

    ReplyDelete