Wednesday, March 26, 2008

Selamat datang, Internet Taliban di Indonesia ?

Oleh : Bambang Haryanto
Esai Epistoholica No. 56/Maret 2008
Email : humorliner (at) yahoo.com
Home : Epistoholik Indonesia



Seks Jauh Di Pulau. Bangsa Viking di kenal sebagai bangsa pelaut yang tangguh. Juga pembuat kapal yang andal. Konon hal itu terjadi karena saat bangsa Viking tercipta di dunia, Tuhan sengaja menempatkan kaum perempuan dan kaum lelaki untuk berada di pulau yang berbeda. Ah, mungkin itu kah contoh menarik dan humoristis mengenai kekuatan seks ?

Yang pasti, seorang komedian, penulis dan sutradara film yang pemenang Oscar, Woody Allen, menyebut seks sebagai : the most fun I ever had without laughing. Sementara itu William J. Brennan, pejabat hukum terkenal dari Mahkamah Agung Amerika Serikat menyimpulkan, “seks merupakan motor penggerak yang besar dan misterius dalam kehidupan manusia, merupakan subjek yang tidak dapat disangkal lagi senantiasa merenggut minat umat manusia selama berabad-abad.”

Di Abad 21, di Indonesia, adalah seorang Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) kita, Prof. Dr. Ir. Muhammad Noeh, DEA, rupanya juga tertarik sekali terhadap seks. Utamanya seks di Internet. Ketertarikannya itu ia ujudkan, antara lain, dengan memproklamasikan tekadnya untuk memblokir situs-situs porno di Internet. Menurut BBC Siaran Indonesia (25/3/2008), kebijakan ini diambil untuk menghindari dampak negatif dan kejahatan seksual terhadap anak-anak di Indonesia. Dengan kebijakan ini, kata Noeh, kaum muda akan kesulitan mengunduh atau melihat Internet porno. “Kebebasan mencari informasi (di Internet) itu dibatasi oleh kebebasan yang lain, yaitu kebebasan untuk melindungi bangsa ini,” tegasnya.

Reaksi pun muncul.

Kolom form@t dalam tulisan berjudul “Kasihan Bangsa” di harian Kompas (24/3/2008 : 33) menulis : “Era Deppen a la Orde baru mulai muncul dengan niat Menkominfo untuk memblokir akses Internet ke situs-situs yang dianggap negatif. Artinya, Menkominfo sedang menyiapkan diri untuk menjadi polisi, memeriksa dan mengawasi jaringan dan penggunaan Internet, serta memblokir situs-situs negatif.”

Selanjutnya ditulis : “Menkominfo juga tidak merinci secara jelas yang dimaksud dengan situs-situs negatif. Apakah blog atau lalu lintas email melalui mailing-list yang mengkritik perilaku pemerintah juga masuk dalam kategori negatif ?”

Tulisan itu kemudian mengeluhkan apa kementerian itu tidak punya pekerjaan lain, dan menegaskan, “bagi kita ini adalah sebuah kemunduran yang mengaca pada penyensoran a la Orde Baru yang mengharuskan kita semua melakukan self-censoring dan self-filtering. Sepertinya kita sebagai bangsa tidak beranjak dewasa dan memerlukan tangan besi pemerintah a la pemerintahan komunisme untuk mengendalikan rakyat banyak.”


Momok Dunia Maya. Preseden di atas mengingatkan hal yang kurang lebih sama yang pernah terjadi di Amerika Serikat pada tahun 1996. Dengan disponsori Senator (D.) dari Nebraska, Jim Exon, saat itu digulirkan wacana undang-undang Communication Decency Act. Majalah Wired (5/1996) dalam artikel berjudul “Cyber Right Now ! : Internet v. United States Department of Justice, Janet Reno, et, al.” antara lain menulis pembuka :

A specter is haunting cyberspace – the specter of government censorship. All the powers of old Washington have entered into an unholy alliance to gut the First Amendment : the House of Representatives, the Senate, and President Bill Clinton. The weapon they have seized is called the Communication Decency Act, and the long-term implications of this legislation are monumental. At stake is nothing less than survival of free speech in the 21st century.”

Momok telah menghantui dunia maya, yaitu momok penyensoran oleh pemerintah. Semua kekuatan lama di Washington telah membangun persekutuan jahat untuk memusnahkan Amandemen Pertama : Konggres, Senat dan Presiden Bill Clinton. Senjata mereka adalah Undang-Undang Kepantasan Komunikasi di mana implikasi jangka panjang undang-undang ini sangatlah monumental. Pertaruhannya tidak lain adalah keberlangsungan hak kebebasan bicara di abad ke-21.

Para pembela kebebasan sipil di Amerika Serikat segera meradang dan merapatkan barisan untuk menentang undang-undang yang mereka sebut akan menghadirkan “Internet Taliban” itu. Pertanyaan yang mengemuka saat itu antara lain : siapakah yang berkepentingan untuk melindungi anak-anak, para orang tua atau para politikus ?

Warga yang mendukung ditegakkannya kebebasan memperoleh informasi di AS antara lain melakukan aksi kecil penentangan dengan cara unik khas Internet warrior : bila Anda mengetikkan nama “Jim Exon” maka yang muncul dalam pencarian memakai mesin-mesin pencari yang ada adalah deretan situs-situs porno belaka. Bayangkan bila hal serupa terjadi untuk nama Menkominfo kita itu.

Apa mau dikata, kini Indonesia rupanya sedang mengguncang dunia. Setelah Menteri Kesehatan kita secara heroik berani menentang WHO dan AS dalam hal pengelolaan yang tidak adil dan tidak transparan sampel virus flu burung dari Indonesia, apakah kita juga akan mengangkat Menkominfo kita, Prof. Dr. Ir. Muhammad Noeh, DEA (“Saya memakai kata “Noeh” dan bukan “Nuh”, sesuai yang tertulis di situs Presiden SBY”- BH) sebagai hero baru Indonesia karena keberaniannya melawan “dunia” ?

Saya pribadi, sejak dua tahun lalu sudah menyatakan pendapat yang tidak menyetujui upaya melakukan sensor di Internet. Pendapat itu sampai kini juga belum berubah dan telah saya publikasikan dalam bentuk surat pembaca berikut ini :


Sensorlah Diri Sendiri
Dimuat di Harian Kompas Jawa Tengah, Selasa, 18 April 2006


Radio Voice of America (VoA) mengajukan pertanyaan kepada Redaktur Senior Harian Kompas, Dr. Ninok Leksono, hari Kamis 6/4/2006 yang lalu. Materi pertanyaan saat itu terkait berita mengenai pemutusan hubungan kerja (PHK) wartawan secara besar-besaran dari koran berpengaruh Washington Post dan fenomena internet dewasa ini.

Bapak Ninok menjawab, perkembangan media cetak di Indonesia sejak reformasi bergulir cenderung mandek dan media masa depan menurutnya memang tidak lain adalah Internet, walau di Indonesia biaya aksesnya masih mahal.

Internet adalah media bebas, sifatnya egaliter, dan walau di negara tertentu dilakukan sensor, tetapi penetrasinya sulit terbendung. Internet adalah bangsa informasi, bangsa yang domisilinya tidak di dunia tetapi dalam pikiran. Ada fihak tertentu telah memberikan tamsil bahwa yang hadir di Internet itu ibarat isi sebuah kota. Ada cendekiawan, kyai, pastur, orang biasa, perampok, maling, psikopat, sampai penjaja seks komersial. Segala macam jenis orang, sampai mereka yang misinya mengajak orang lain untuk melakukan bunuh diri, menjajakan diri dengan segala pikirannya melalui Internet.

Bagaimana kita sebaiknya menyikapi fenomena tersebut ? Will Rogers (1879–1935), aktor dan humoris Amerika berkata bahwa satu-satunya cara untuk membunuh (pengaruh buruk – BH) film adalah melalui pendidikan. Hal serupa kiranya juga berlaku untuk Internet yang oleh Gerard Van der Leun dan Thomas Mandel dalam bukunya Rules of The Net (1996) berlaku hukum, sensorlah diri Anda sendiri dan bukan dengan menyensor orang lain. Menyensor isi fikiran sama dengan melecehkan atau meniadakan nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri.


Bambang Haryanto
Warga Epistoholik Indonesia
Jl. Kajen Timur 72 Wonogiri 57612


Terkait kebijakan Menkominfo kita yang mutakhir itu, dan tanpa menunggu lama, “dunia” itu pun segera bereaksi terhadapnya. Dalam wawancara melalui telepon di acara Perspektif-nya Wimar Witoelar di antv, seorang dosen ITB dan pakar Internet Indonesia, Budi Rahardjo, menyatakan ketidaksetujuan terhadap kebijaksanaannya itu. Sayang sedikit, menurut saya, pendapat Budi Rahardjo yang tidak menyetujui adanya sensor di Internet itu tidak ia elaborasi dalam situs blognya pribadi.


Begitulah, hampir bersamaan dengan acara televisi tersebut, medan perang di front yang sebenarnya segera berkecamuk. Bahkan di muka hidung Menkominfo itu sendiri. Situs kementeriannya segera diacak-acak para “dedemit maya” dan situs itu bernasib down pada akhirnya !

Itulah potret dunia Internet yang anarkis sebagai pasar bebas informasi dan gagasan yang berskala global. Mungkin saya agak paranoid, tetapi menyimak ucapan Menkominfo dan pemberitaan seputar kebijakannya itu sepertinya dia belum benar-benar mengetahui secara komprehensif mengenai jeroan dan karakter Internet itu sendiri. Bila menurut pepatah dimana bumi dipijak langit dijunjung, maka kebijakan Pak Menkominfo itu nyata-nyata telah melanggar hukum pertama dunia maya : speak freely and never censor.

Mungkin ia seperti ulah para pemabuk bisnis Internet era 90-an, yang bernafsu mendigitalkan apa saja, memajangnya di Internet, lalu bermimpi sukses melakukan IPO guna mengeruk uang panas secara cepat dan berlimpah. Juga nampaknya, semoga saya salah, mungkin Menkominfo kita itu belum menyadari secara mendalam bahwa kebijakannya itu memiliki konsekuensi yang berskala global. Baik bagi dirinya dan juga bangsa Indonesia.

Mungkin ini contoh jelek. Seperti halnya Pak Harto menjelang masa-masa kejatuhannya, ia pernah di demo dan diuber-uber secara kasar oleh aktivis prodemokrasi di Jerman, saya menguatirkan Pak Menkominfo kita di hari-hari mendatang telah masuk dalam daftar sasaran untuk menjadi bulan-bulanan para netizen di luar negeri. Bila itu terjadi, mungkin semua “kekacauan” itu akan bisa berlangsung lama. Kredibilitas dan reputasi Indonesia ikut menjadi taruhannya. Bahkan mungkin “kekacauan” itu semakin hari akan semakin binal, banal, melebar dan semakin brutal. Berskala global !

Situasinya bahkan ibarat api tersiram bensin bila membaca langkah lanjutan Menkominfo yang akan membentuk badan tersendiri yang khusus mengurusi tindak penyensoran situs-situs porno. Bukankah itu langkah kontroversial yang tak ubahnya mengulangi sejarah kelam ketika pemerintahan Orde Baru membentuk organisasi tangan besi, draconian, yang bernama Kopkamtib ? Bukankah langkah Menkominfo kita itu bahkan lebih fundamental, karena kebijakannya itu hendak mengontrol dunia gagasan ?

Belum lagi terbetik kabar bahwa peranti lunak yang akan digunakan untuk memblok situs-situs porno itu ternyata buatan perguruan tinggi yang pernah ia pimpin, yang selain memudahkan tudingan adanya KKN, hal itu juga dikuatirkan akan hanya semakin memperlebar garis depan perang maya yang kini telah terjadi. Mantan rektor ITS itu kemudian nyata-nyata menyeret ITS untuk melawan “dunia” ?

Mungkin kita semua sekarang ibarat sedang membuka Kotak Pandora. Di mana dari dalamnya segera berlompatan keluar semakin banyak problem dan kesulitan yang memilin kita dalam persoalan-persoalan baru yang banyak menyedot energi intelektual bangsa ini. Untuk hal-hal yang kurang perlu.


Kena Bom Nuklir Saja Lolos. Saya pribadi tidak tahu apa latar belakang disiplin ilmu Pak Menteri yang mantan rektor ITS 10 November tersebut. Saya juga agak sangsi berat apakah sekarang ini beliau memiliki blog (bandingkan misalnya dengan Menhankam Juwoio Sudarsono) atau pernah menikmati menjadi penulis, katakanlah sebagai provider informasi di Internet.

Kalau belum atau tidak pernah, mohon maaf, ijinkanlah saya sok tahu, ingin memberikan bocoran info penting kepadanya, dengan mengutip pendapat Doc Searls dan David Weinberger (“kalau Anda ingin tahu siapa mereka, silakan minta bantuan Google”) yang mengatakan bahwa ada tiga ketentuan dasar tingkah laku yang terkait langsung dengan hakekat Internet. Yaitu : tidak ada yang memiliki, semua orang bisa memanfaatkannya, dan siapa pun dapat memperbaikinya.

Bagaimana bila ada fihak, seperti contoh Menkominfo kita, yang ingin menjadi polisi dunia maya ? Thomas Mandel dan Gerard Van der Leun dalam bukunya Rules of the Net : Online Operating Instructions for Human Beings (1996) menjelaskan : “Polisi Internet adalah Polisi Otak. Tidak ada perbedaan antara keduanya. Semua usaha untuk mengendalikan, mengkompromikan atau mengatur Internet akan memperkerdil Internet, baik potensinya sekarang atau pun di masa datang. Cermati secara serius fihak-fihak maniak yang berambisi mengontrol, baik di dalam mau pun di luar Internet, dan berjuanglah melawan mereka untuk setiap aksinya.”

Ketika membincangkan pornografi di Internet, seorang cyberguru untuk perusahaan Fortune 500 di AS, Don Tapscott dalam bukunya The Digital Economy : Promise and Peril in the Age of Networked Intelligence (1996) telah menyimpulkan bahwa upaya untuk menyensor dan memurnikan dunia maya seperti yang diangankan oleh pendukung Communication Decency Act di AS, ia sebut sebagai tidak layak dan tidak diperlukan. Usaha itu hanya akan memperoleh kegagalan. Karena seperti tegas pionir Internet lainnya, John Gilmore, ”The Net interprets censorship as damage and routes around it.”

Penyensoran terhadap Internet akan ditafsirkan sebagai suatu kerusakan dan Internet akan terus berjalan dengan menemukan rutenya yang baru. Itulah kedigdayaan Internet yang dirancang sejak awal untuk menghindari terputusnya komunikasi apabila piranti keras komunikasi bersangkutan rusak akibat dijatuhi bom nuklir sekali pun !

Bahkan terkait soal maraknya bisnis pornografi di Internet, tegas-tegas Ray Hammond dalam bukunya Digital Business : Surviving and Thriving in an On-Line World (1996) mengatakan, “It will be virtually impossible, and commercially undesireable, to stop the massive global trade in pornography now springing up on the Net. It is one of the first industries to make serious money on the Net.”


Porno Itu Abu-Abu. Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Mohammad Noeh menegaskan bahwa rencana pemerintah melakukan pemblokiran situs porno itu, seperti dikutit oleh detikinet, dilandasi akal sehat yang universal. Hal itu dikemukakannya dalam jumpa pers setelah pengesahan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) di Jakarta, Selasa (25/3/2008). Meski menegaskan akan melakukan pemblokiran, Noeh mengakui bahwa definisi porno itu sendiri masih abu-abu. "Makanya yang dilarang dalam UU ITE itu adalah penyebarannya," ujar Noeh.

Maaf, mungkin saja bisa saya salah mengartikan. Tetapi kalau definisi porno itu sendiri ia sebut sebagai masih abu-abu, bagaimana dirinya dan lembaganya mampu membatasi atau menyaring penyebaran sang binatang abu-abu bersangkutan ? Organisasi Reporters Sans Frontières atau Wartawan Tanpa Batas pagi-pagi telah mensinyalkan besarnya ancaman dari tindak penfilteran informasi di Internet.

Mereka menjelaskan, walau pun fokus awal pemanfaatan teknologi penfilteran itu digunakan untuk individu, misalnya membantu orang tua membatasi akses anak-anaknya terhadap isi Internet yang tidak pantas, tetapi teknologi tersebut sekarang ini digunakan secara meluas di tingkat lembaga dan bahkan nasional. Teknologi penfilteran isi itu berlandaskan pada pemblokiran yang berdasarkan daftar, seringkali berupa teknik blokir yang menggunakan paduan kata-kata kunci sehingga bisa secara dinamis mengikuti perkembangan isi Internet.

Daftar domain dan alamat situs (URL) mula-mula diinventarisasikan, digolongkan dalam kategori tertentu, lalu dimuat ke dalam peranti lunak penfilteran sehingga masuk daftar situs-situs yang terkena pemblokiran. Apabila ada peselancar ingin mengakses situs porno A misalnya, maka peranti lunak filter tersebut akan mencek bank data. Bila menemukan situs porno A itu dalam daftarnya, segera dilakukan pemblokiran terhadapnya.

Apabila pemblokiran itu berdasarkan pada kata-kata kunci, maka peranti lunak akan menyelisik satu persatu halaman web yang ada, baik domain, alamat/URL dan/atau isi situs tersebut, dan kemudian secara dinamis memblok akses terhadap situs bersangkutan.


Daftar Rahasia Negara. Sistem filter semacam ini rawan memiliki cacat bawaan : over-blocking dan under-blocking. Sistem ini seringkali memblok akses situs Internet yang salah dalam klasifikasi atau penggolongannya dan seringkali pula justru tidak memblokir semua akses situs Internet yang masuk incaran pemblokirannya.

Tetapi isu yang sebenarnya paling kunci adalah adanya kerahasiaan yang melingkupi pembuatan daftar situs-situs yang akan diblok dengan teknologi penfilteran bersangkutan. Walau pun kadang terdapat daftar yang terbuka untuk publik, open source list, terutama situs-situs pornografi, tetapi daftar penfilteran untuk tujuan komersil atau pun yang berskala nasional bersifat rahasia.

Menurut kajian Wartawan Tanpa Batas, seringkali sesuatu negara dalam membangun daftar teknologi penfilteran komersil itu menambahkan dan memasukkan situs-situs yang memiliki kaitan dengan kepentingan negara bersangkutan. Situs-situs yang paling sering ikut terblokir itu adalah milik partai oposisi atau surat kabar kaum oposisi, organisasi hak-hak asasi manusia, organisasi internasional dan situs-situs yang isinya kritis terhadap pemerintah. Sebagian besar negara itu menfokuskan pada sistus-situs berbahasa lokal dan terdapat peningkatan untuk mengincar situs-situs yang berisi diskusi-diskusi interaktif, seperti blog dan forum-forum, sebagai sasarannya.

Apakah langkah Menkominfo kita itu, diam-diam, juga akhirnya akan tertuju ke sana ? Dibayangi oleh pengakuan Menkominfo sendiri bahwa definisi porno itu sendiri masih abu-abu, maka orang tak salah cenderung kuatir betapa sensor Internet itu akan mudah meruyak kemana-mana, tanpa kendali. Termasuk potensinya yang terselubung untuk mampu “membelah” bangsa ini.

Kita simak, menurut Republika, Menkominfo menjelaskan bahwa untuk tahap awal, peraturan yang dikeluarkan setingkat peraturan menteri (permen). Jika peraturan ini tidak efektif, baru dinaikkan statusnya. ''Jika permen sudah efektif, selesai. Tapi jika belum, kita siapkan naik ke tingkat peraturan pemerintah (PP) atau undang-undang (UU),'' ujarnya. Karena, selain butuh waktu dan dana yang tak sedikit, untuk level UU, menurut M Nuh, sudah ada Rancangan UU Antipornografi.

Jadi, wacana mengenai UU Antipornografi itu akan berpotensi muncul lagi ? Dan akan juga kembali berpotensi “membelah” bangsa ini, seperti ketika menjadi wacana panas yang mengemuka saat itu ?


(Bersambung)

ee

5 comments:

  1. Apa hubungannya denga Taliban bang ?

    Seharusnya kita berbaik sangka. Saya yakin, dgn track record yang ada, Mr. Noeh gak pengin cari muka dgn jadi hero. Rasakan nuraninya, Mr. Noeh berkeinginan untuk sebisa mungkin ikut menjaga mental dan moral genmud dari kebobrokan.
    Apalagi kalo mr. Noeh sendiri terjun sendiri di dunia maya, dan pasti bertempur dengan hacker2, Woouw... bangga rasanya punya Menteri gaul yang cakap di teknologi informasi. Gak cuma omong doang gitu.

    Sekali lagi, mari kita dukung niat mulia untuk memperbaiki moral ini. Masalah hasil, itu urusan nanti.
    Okey ????????

    ReplyDelete
  2. Artikel yang bagus, semua yang ingin saya utarakan sudah dikupas tuntas oleh Anda sendiri di artikel ini!

    Seharusnya Depkominfo sendiri lebih memilih mempekerjakan orang-orang yang benar-benar ahli, bukan orang yang pura-pura ahli.

    Banyak sekali hacker-hacker pintar di negara ini yang saya yakin mempunyai ide-ide yang lebih bagus daripada "memblokir seluruh situs-situs porno yang ada di Indonesia" atau mempekerjakan seseorang pakar yang terkenal dengan profesinya meneliti keaslian foto-foto "bokep" artis-artis Indonesia.

    Saya yakin bangsa Indonesia ini sebenarnya cukup pintar untuk membedakan mana yang baik atau buruk, namun sayangnya saya pikir pemerintah Indonesia lebih memilih untuk membodoh-bodohi bangsanya sendiri, salah satunya dengan cara menciptakan UU ITE yang tidak saja ambiguous tapi juga membuka celah untuk oknum-konum tertentu untuk menyalahgunakan kekuasaan mereka.

    Saya yakin dengan adanya UU ITE ini, makin terbukti betapa bodohnya sebenarnya pemerintah Indonesia.

    ReplyDelete
  3. tulisan yang menarik dan dari sudut pandang yang asyik
    salam kenal sesama orang wonogiri, tapi saya sudah merantau :-D

    ReplyDelete
  4. Maaf judulnya tidak mengena dengan Taliban Bang ... saya kira mungkin taliban itu memblok narkotika (kokain ) merupakan hal yang baik. Sekarang tidak ada taliban malah peredaran narkotika merajalela.

    Munkin sebaiknya di edit judulnya di ganti yang ngena.

    Setiap kebijakan munkin ada pro dan kontra-nya. Kita sebagai warga sebaiknya berbaik sangka saja. Saya kira pemblokan situs porno itu WAJIB karena kita juga khawatir anak anak kita udah sangat jauh bebas, lebih bebas daripada di USA. di USA masyaraknya sudah maju, para orang tua membuat filter sendiri dengan software sendiri karena berada di rumah untuk akses internetnya. Sedang di indonesia hampir tidak ada filter sama sekali...
    Semoga Indonesia menjadi lebih baik

    ReplyDelete
  5. Maaf judulnya tidak mengena dengan Taliban Bang ... saya kira mungkin taliban itu memblok narkotika (kokain ) merupakan hal yang baik. Sekarang tidak ada taliban malah peredaran narkotika merajalela.

    Munkin sebaiknya di edit judulnya di ganti yang ngena.

    Setiap kebijakan munkin ada pro dan kontra-nya. Kita sebagai warga sebaiknya berbaik sangka saja. Saya kira pemblokan situs porno itu WAJIB karena kita juga khawatir anak anak kita udah sangat jauh bebas, lebih bebas daripada di USA. di USA masyaraknya sudah maju, para orang tua membuat filter sendiri dengan software sendiri karena berada di rumah untuk akses internetnya. Sedang di indonesia hampir tidak ada filter sama sekali...
    Semoga Indonesia menjadi lebih baik

    ReplyDelete