Friday, September 26, 2008

Warnet Wonogiri, Jurnalisme Warga dan Piramida Maslow

Oleh : Bambang Haryanto
Esai Epistoholica No. 62/September 2008
Email : humorliner (at) yahoo.com
Home : Epistoholik Indonesia


Hukum Metcalfe. Warung-warung telepon berguguran di Wonogiri. Satu per satu mereka menutup usahanya. Ada dua warnet yang kepemilikannya terkait dengan saudara saya ikut gulung tikar pula. Jaman memang telah berubah. Kepemilikan telepon seluler yang terus meluas di masyarakat membuat wartel-wartel itu menjadi tidak relevan. Hari-hari hidupnya tinggal menjadi sejarah.

Info lain : kepemilikan telepon seluler itu juga mengancam keuntungan jasa angkutan umum. Para supir bis jurusan Wonogiri-Solo, ketika saya tanyakan di Terminal Bis Tirtonandi, mengeluh terkait makin merosotnya pendapatan mereka. Kata para supir dan kondektur, kepemilikan HP membuat konsumen mudah membuat janji satu sama lain ketika mereka hendak bepergian. Lalu mereka pun pergi bersama, menaiki sepeda motor. Paduan HP dan sepeda motor akhirnya menggerogoti pemasukan para pebisnis angkutan umum dewasa ini.

Informasi baru, yang bagi saya terasa mengejutkan, adalah kabar mengenai akan tutupnya sebuah warung Internet di Wonogiri. Setelah Lebaran, warnet SoloNet ini, akan cabut dari Wonogiri. Padahal warnet ini favorit saya. karena berada dalam satu arah rute rutin saya ke Perpustakaan Umum Wonogiri. Diri saya juga memiliki kenalan dengan beberapa pendiri SoloNet di Solo itu. Bahkan sejak sekitar delapan tahun yang lalu. Warnet ini termasuk pionir jasa akses Internet di Solo, di mana bidang usaha perusahaan induknya kini semakin beragam dan berkembang.

Kok SoloNet memutuskan untuk menutup usaha warnetnya di Wonogiri ? Ini dampak dari persaingan usaha. Memang, akhir-akhir ini ketika Speedy/Telkom gencar melakukan ekspansi di Wonogiri maka muncul warnet-warnet baru. Dari kacamata saya sebagai seorang blogger, perkembangan tersebut saya anggap sangat positif bagi Wonogiri.

Saya mudah ingat isi Hukum Metcalfe, bahwa semakin banyak node dalam sesuatu jaringan maka akan semakin bernilailah jaringan bersangkutan. Satu orang memiliki pesawat telepon, maka pesawat itu tidak ada manfaatnya. Ketika dua orang memilikinya, telepon itu baru bisa berguna. Semakin banyak orang memiliki telepon, membuat semakin banyak orang bisa saling berhubungan, sehingga semakin bernilai jaringan yang terbentuk olehnya.

Nalar saya, semakin banyak warnet akan mendorong meningkatnya pula para penggunanya. Kemudian dengan semakin banyaknya warga Wonogiri yang melek Internet dan semakin intensif mereka memanfaatkan Internet, hal itu merupakan langkah maju untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Kota Gaplek ini.

Walau kadang agak jengkel ketika mengakses di Warnet SoloNet di tengah berisiknya pengguna seumuran SMP yang memutar lagu-lagu dari Linkin’ Park, saya harus iri terhadap mereka. Ah, kalau saja waktu bisa diputar balik sehingga ketika saya duduk di bangku SMP, tahun 1967-1969, saya sudah bisa mengenal Internet saat itu !

Nalar atau harapan saya itu mungkin saat ini perlu dikoreksi. Warnet SoloNet tutup karena persaingan, akibat peningkatan massa pengguna Internet di Wonogiri memang tidak secepat untuk mampu mengimbangi berdirinya warnat-warnet baru di Wonogiri.

Roti konsumen warnet itu masih tipis di Wonogiri. Ketika mereka memilih warnet baru yang mungkin lebih dekat dengan rumahnya, maka ada penurunan konsumen di warnet tempat sebelumnya mengakses. Kalau dugaan ini benar, barangkali ada sesuatu yang salah dalam pengelolaan warnet-warnet itu di Wonogiri ?


Jurnalisme warga. Untuk sementara ini, mari kita loncat ke topik lain. Tetapi masih ada kaitannya dengan soal akses informasi. Ketika mengumumkan perubahan ukuran korannya, harian Solopos membuka rubrik baru. Iklan yang mereka geber untuk rubrik itu sejak Agustus 2008 memakai label citizen journalism. Jurnalisme warga.

“Dari publik untuk publik” dan “Di ruang publik Andalah wartawannya,” begitulah isi iklannya yang terpajang di bagian kiri atas halaman pertama. Kolom itu akhirnya terpajang di sana, namanya Ruang Publik. Di ruang ini pembaca dapat mengirimkan foto dan berita kejadian di sekitar pembaca melalui SMS/MMS, email atau datang sendiri ke kantor redaksi.

Beberapa bulan lalu, pimpinan teras koran ini pernah bersikukuh bahwa Solopos selama ini telah melaksanakan misi yang mengemban asas-asas jurnalisme warga. Bahkan ia sebut sebagai yang terbaik. Yaitu kolom “Kriing Solopos,” di mana pembaca dapat mengirimkan pelbagai opini, informasi, permintaan bantuan sampai berita kehilangan melalui jasa layanan singkat (SMS). Kaplingnya lumayan leluasa, bahkan menggusur kapling yang semula dialokasikan untuk kolom surat pembaca.

Isi kolom Ruang Publik itu akhirnya hampir sulit dibedakan dengan isi dalam kolom surat pembaca dan kolom SMS itu. Tetapi antara kolom ini, kolom surat pembaca dan kolom yang menampung info pembaca melalui SMS, ada kesamaan : seringkali data nomor telepon seluler pengirim tidak dicantumkan penuh.

Dalam pandangan saya, kebijakan seperti ini membawa dampak terkendalanya diskusi, dialog dan percakapan antarwarga dan antarpembaca itu sendiri. Kolom yang memiliki nama baru dan letak baru itu, tetapi sebenarnya tidak memberi makna baru walau punya label jurnalisme warga sekali pun.


Piramida Maslow. Latar belakang krisis yang melanda warnet-warnet di Wonogiri itu, hemat saya, memiliki kesamaan dengan eksekusi kolom Ruang Publik di koran Solopos ini. Karena keduanya baru memberikan layanan paling dasar dari piramida kebutuhan manusia yang dikembangkan oleh psikolog Abraham Maslow.

Piramida Maslow telah merinci kebutuhan manusia dari yang mendasar, yaitu kebutuhan yang bersifat fisiologis, disusul kebutuhan akan rasa aman dan diperlakukan setara dalam masyarakat, kemudian kebutuhan untuk dicintai-mencintai dan diterima sebagai warga, kebutuhan untuk dihargai, hingga kebutuhan yang paling puncak, yaitu aktualisasi diri.

Piramida Maslow dari dunia nyata itu lalu diejawantahkan oleh Amy Jo Kim untuk diterapkan dalam komunitas di dunia maya. Merujuk isi bukunya yang berjudul Community Building on the Web (2000), maka dapat disebut bahwa warnet-warnet di Wonogiri itu, juga warnet pada umumnya di Indonesia selama ini, kebanyakan hanya baru menyediakan akses Internet semata kepada konsumennya.

Dalam pandangan Amy Jo Kim, layanan semacam ini baru merupakan pencukupan bagi kebutuhan paling mendasar dari manusia a la Maslow tadi. Yaitu pemenuhan kebutuhan yang bersifat fisiologis, yaitu makan-minum, kebutuhan paling primitif dari manusia agar dirinya mampu bertahan hidup.

Warnet-warnet itu, sepanjang pengamatan saya, tidak memperdulikan siapa yang datang. Tidak ada keinginan untuk mengenali satu per satu diri konsumen mereka. Memang ada yang mencoba melakukan pendaftaran anggota, tetapi banyak yang tidak efektif. Selain hanya untuk menetapkan diskon tertentu bagi anggota tersebut, tetapi pengelola warnet kehilangan visi dan kreativitas untuk mengolah data diri anggota-anggota itu agar menjadi embrio sebuah komunitas.

Cita-cita ini mungkin muluk. Karena sebagian pemilik sampai operator warnet itu kebanyakan orang-orang techie, orang-orang piranti keras yang lebih suka mengurusi kabel dan router, maka kiranya tak mudah diharapkan mereka juga mampu luwes untuk mengelola konsumen yang manusia. Semua itu, akhirnya memang kembali ke visi semula : ketika warnet hadir hanya untuk mencari uang lewat jasa akses tentu akan membuat hal-hal di luar itu dianggap tidak penting bagi mereka.

Konsumen yang tidak dirangkul untuk memiliki keterikatan emosional dengan warnet tertentu akan mudah lari bila menemukan layanan warnet lain yang lebih murah atau lebih cepat aksesnya. Warnet SoloNet, yang induk perusahaannya, menurut saya, sebenarnya diawaki oleh orang-orang pintar, akhirnya harus angkat kaki dari Wonogiri.


Dunia jungkir balik. Koran Solopos mungkin dapat belajar dari nasib warnet SoloNet di Wonogiri ini. Paling tidak untuk masa depan pengelolaan kolom baru yang ia sebut sebagai perwujudan mashab jurnalisme warga itu. Pemenuhan kebutuhan pembaca yang dasar saja, dengan menyediakan kolom untuk warga menulis unek-uneknya, tetapi sekaligus mengisolasikan mereka masing-masing, bukan pilihan yang bijaksana.

Tetapi, usul-usil saya, hubungkanlah mereka satu sama lain. Fasilitasi mereka untuk bisa saling bicara satu sama lain – termasuk untuk ngerumpi, membicarakan koran Solopos Anda pula. Jaman telah berubah. Jurnalisme tradisional kini balik jungkir. "We are the traditional journalism model turned upside down," kata Mary Lou Fulton, penerbit Northwest Voice di Bakersfield, California, AS, seperti dikutip Mark Glazer dalam situs Online Journalism Review (17/11/2004).

“Alih-alih kita menjadi penjaga pintu gerbang dan mendoktrin pembaca mengenai apa-apa yang penting bagi mereka, kita justru membuka gerbang dan mempersilakan mereka masuk. Kami menjadi koran komunitas yang lebih baik ketika ribuan pembaca tampil sebagai mata dan telinga untuk koran kami, ketimbang ketika semuanya harus disaring melalui kacamata segelinitir orang, para wartawan dan redaktur kami,” tegas Mary Lou Fulton.

Tentu saja pengejawantahan jurnalisme warga dengan hanya memanfaatkan media atom, koran atau kertas semata, tidak pula maksimal hasilnya. Induk perusahaan yang menaungi koran Solopos mungkin harus meniru “revolusi” di BBC, ketika semua media yang ada, radio, televisi dan Internet, harus terintegrasi. Richard Sambrook, boss BBC, adalah pula pengajur fanatik mashab jurnalisme warga. “ Sambrook feels that inviting readers to contribute content through various platforms has definitely made the BBC a better organization,” simpul John Burke dalam EditorWeblog.org (31/5/2007).

Jadi koran Solopos, Radio Solopos FM dan situs web mereka, juga sebaiknya terintegrasi. Sehingga bukan lagi sebagai kapal-kapal yang saling terpencar di mana masing-masing dikuasai oleh bos-bos yang berbeda-beda.

Dengan orientasi baru demi mewujudkan jurnalisme warga secara paripurna, akan membawa para jurnalis melayani publik dengan cara yang tak terbayangkan sebelumnya. Caranya, seperti tutup Mark Glazer, dengan membantu jurnalis “ become less a community gatekeeper on high in an ivory tower and more of a community enabler and virtual talk show host, with time enough for everyone's voice to be heard.

Dramawan Amerika Serikat, Arthur Miller, pernah bilang bahwa surat kabar yang baik, menurut pendapatnya, merupakan bangsa yang berbicara kepada dirinya sendiri. Jurnalisme warga, dengan ditopang media-media baru, jelas membuka untuk itu pula. Agar sesama warga bisa saling berbicara, juga sebagai sebuah bangsa.



Wonogiri, 27/9-22/10/2008

5 comments:

  1. Saya sangat menunggu selesainya artikel ini. Cuma sedikit masukan, istilah Citizen Journalism awalnya bermula di dunia Internet dan blog dimana penulis dan pembaca dapat berinteraksi secara langsung seperti yang kita lakukan saat ini. Masalah yang terjadi dengan adanya Citizen Journalism, adalah kurangnya pengetahuan warga akan dunia media dan dunia jurnalistik, oleh karena fakta-fakta yang ada di blog juga mulai di pertanyakan. Dan intensi penulisan blog juga tidak dapat dilihat secara jelas.

    Internet memang memberi warga medium baru untuk berinteraksi, dan mungkin dengan peningkatan edukasi di Indonesia, Citizen Journalism dapat menjadi alternatif dalam mencari kebeneran dimana semua adalah jurnalis dan semua ada pembaca.

    ReplyDelete
  2. pak bambang, keep on write aja boss.. :D

    slm knl

    ReplyDelete
  3. niy dia penulis sesungguhnya.......terima kasih pak Bam's atas banyak ilmu yg diberikan dalam hitungan detik2 berharga kemaren sabtu.....semoga bermanfaat dan dapat melanjutkan cita2 para seniman dan penulis seperti bapak...amin

    ReplyDelete
  4. Thanks, “kuli tinta.” Saya tentu setuju mengenai peningkatan edukasi bagi masyarakat agar dapat memanfaatkan fenomena jurnalisme warga bermedia digital untuk kemaslahatan bersama. Karena, meminjam kata Jay Rosen, kaum jurnalis amatir di masa depan akan menjadi bagian penting dari jurnalisme itu sendiri.

    Karena itu, kalangan jurnalis pun juga harus mau belajar. Untuk mau menjalani reedukasi, agar mampu keluar dari cangkang pemikiran kuno mereka. Ikhtiar belajar bersama itu kini dipelopori oleh Prof. Jay Rosen dari New York University dan PressThink blogger ketika meluncurkan proyek ambisius guna membangun jurnalisme bentuk baru yang seirama dengan kemajuan dunia digital.

    Pendekatan yang ia sebut sebagai meniru istilah turnamen golf yang memadukan kaum pro dan kaum amatir dengan label sebagai “pro-am” (istilah lainnya : open source journalism, smart-mob journalism, a middle path and journalism without the media), merupakan pengejawantahan mantra Dan Gillmor, jurnalis sohor dari koran San Jose Mercury News. Ia dikenal karena membelot ke dunia jurnalisme warga. Ia bilang, dan mantranya ini pernah saya kutip di posting saya di blog ini pula, nomor 43/Maret 2007, yang berbunyi : "My readers know more than I do."

    ReplyDelete
  5. Saya anak WNA (WoNogiri Asli) yg lagi seneng2nya ngurusin blog, silakan berkunjung di blog saya di http://henzpiratez.blogspot.com atau email di henz_burtho@yahoo.co.id untuk bimbingan dri anda, terima kasih

    ReplyDelete