Monday, March 09, 2009

Gajah Dibalik Topi dan Miopia Media Kita

Oleh : Bambang Haryanto
Esai Epistoholica No. 68/Maret 2009
Email : humorliner (at) yahoo.com
Home : Epistoholik Indonesia


Bukan urusan saya. Malcolm Gladwell menyebutnya sebagai bystander problem. Masalah kecenderungan sebagai penonton. Dalam bukunya The Tipping Point : How Little Things Can Make a Big Difference (2000), ia menggambarkannya dengan mengambil contoh perilaku 38 saksi yang apatis ketika melihat seorang Kitty mereka biarkan untuk meregang mati.

Gadis peserta kontes kecantikan itu dikejar-kejar pembunuh bayaran dan dianiaya sampai tiga kali di jalanan. Selama lebih dari setengah jam. Tetapi saksi-saksi itu tidak berbuat apa-apa ketika pembunuhan itu terjadi. Bahkan juga berbuat apatis yang sama ketika pembunuhnya itu meninggalkan tempat kejadian dan lalu kembali ke tempat semula untuk menusuk si Kitty yang malang itu berkali lagi.

Kejadian mengerikan yang menimpa Chaterine Genovese tahun 1964 di Queens, New York itu, sering diungkap kalangan sosiolog sebagai sisi gelap kehidupan kota besar yang dingin, tidak pedulian dan rendah responsibilitas sosialnya terhadap warga lainnya. Anonimitas dan keterasingan dalam kehidupan kota besar membuat orang jadi keras dan tidak berperasaan.

Masalah kecenderungan sebagai penonton dikutip Gladwell dari kajian psikolog sosial New York City, Bibb Latane dari Universitas Columbia dan John Darley dari Universitas New York. Temuan keduanya mengejutkan, bahwa kecenderungan orang untuk menolong orang lain ditentukan oleh berapa banyak saksi dalam suatu kejadian.

Kesimpulannya, ketika saksi mata tidak sendirian maka tanggung jawab untuk mengambil tindakan menjadi menyebar. Masing-masing mengandaikan ada seseorang di antara mereka akan menolong atau menelepon. Atau masing-masing mengandaikan bahwa karena tidak ada yang bertindak, berarti peristiwa yang terjadi--suara orang mengerang atau asap mengepul dari bawah pintu—bukan masalah serius.

Untuk kasus Kitty Genovese, kedua psikolog social itu berkesimpulan bukan “tidak ada orang menelpon kendati 38 orang mendengar gadis itu berteriak,” melainkan “tidak ada orang menelepon karena ada 38 orang sama-sama mendengarnya berteriak.” “Ironisnya,” begitu Malcolm Gladwell menggumam, “kalau saja ia diserang di jalanan sepi dan seseorang yang melihatnya tahu tidak ada orang lain menyaksikan atau mendengar kejadian itu, sang gadis mungkin masih hidup.”


Penjaga lampu. Fenomena di atas, kiranya juga saya alami sehari-hari. Tetapi tidak menyangkut tindak kriminalitas. Hanya menyangkut lampu jalanan. Di sebelah barat rumah saya di Kajen, Giripurwo, Wonogiri, terdapat perempatan, dilewati bus jurusan Solo-Wonogiri-Pracimantoro. Di sana terdapat lampu penerangan jalan yang berskakelar. Tiap sore ada yang menghidupkan, tetapi tidak setiap pagi ada yang mematikannya.

Kalau sedang melakukan olahraga jalan kaki pagi, sebelum sampai di rumah, lampu itu saya padamkan. Tetapi tidak jarang, walau hari telah siang, saat saya keluar rumah, lampu itu tetap saja menyala. Di seberang lampu itu ada warung makan, juga tempat berkerumun pelajar, menanti bis lewat. Tetapi kerumunan itu tetap saja tidak nampak hirau dengan lampu jalanan yang terus menyala di saat benderang itu.

Saya bergumam, untung saya bukan sebagai salah satu tokoh dalam kisah klasik The Little Prince, karya Antoine de Saint-Exuperry. Tahun 1980, ketika sebagai kepala kursus dan mentor melukis anak-anak di Gallery Mandungan Solo, saya membeli dua buku ini. Saya berikan kepada murid saya, Anita dan Krisandari Yuningrum, yang murid SD 15 Mangkubumen, Solo, saat itu.

Tokoh yang saya maksud di atas adalah seseorang yang bertugas menyalakan dan mematikan lampu penerangan. Ketika menjelang malam dan saat pagi tiba. Tetapi dirinya tinggal di sebuah planet yang sangat kecil. Berbeda dibanding bumi yang pergantian waktunya ada rentang 24 jam, di planetnya itu matahari terbit dan tenggelam selang waktunya hanya berbeda beberapa menit saja. Bayangkan betapa sibuk sang tokoh kita tersebut setiap saat !

Buku kaya metafora itu, pada contoh lainnya, telah dikutip oleh futuris John Naisbitt dalam bukunya Mind Set!: Reset Your Thinking and See the Future (2006). Ia menceritakan saat bersama cucunya membuka-buka buku karangan pilot Perancis itu.

“Kami baru saja sampai pada halaman pertama di mana si anak berusia enam tahun, yang sangat terpukau pada sebuah buku mengenai hutan, membuat sebuah gambar. Baginya, gambar buatannya sudah jelas : seekor ular menelan seekor gajah,” tulis Naisbitt.

Lanjutnya, tetapi si anak itu terkejut karena para orang dewasa tidak memahami gambarnya. Para orang dewasa itu hanya melihat sebuah gambar topi. Ia harus membuat gambar kedua agar mereka dapat paham. Ketika bertemu dengan Pangeran Kecil, barulah si anak tadi menemukan orang yang melihat gambar buatannya dengan kacamata yang sama : sang Pangeran Kecil melihat gambar itu sebagai seekor gajah di dalam perut seekor ular.

Simpul Naisbitt, “gambar Saint-Exuperry mendiskripsikan betapa pikiran kita bisa begitu membatasi penglihatan kita. Begitu rintangan ini telah disingkirkan, kita akan melihat yang terpampang di depan mata : seekor gajah ditelan seekor ular.”


Gajah MSM. Sebagai kaum epistoholik, penulis surat pembaca dan pengamat media, dapat saya tamsilkan bahwa gajah dalam gambar di atas adalah media massa arus utama. Mainstream media Ularnya adalah Internet, media berbasis digital. Tetapi para pengelola media massa arus utama melihat gambar di atas, walau jelas-jelas tergambar gajah dalam perut ular, tetap saja mereka melihatnya sebagai gambar sebuah topi.


Sekali lagi, begitulah kata John Naisbitt, betapa pikiran mampu membatasi penglihatan kita. Apalagi akhir-akhir ini sering terdengar buzzword yang lagi laris-manis di kalangan media, yaitu kredo untuk berpikir di luar kotak. Tahun lalu seorang penerus dinasti penerbitan media besar di Jawa Tengah mengirimkan email kepada saya mengenai hal itu. Ia memerlukan pandangan dari luar kotak, karena selama ini dirinya hanya menerima masukan-masukan normatif dari anak buahnya.

Dari Jawa Timur baru saja muncul kredo serupa. “Waktunya berpikir di luar kotak,” demikian antara lain tulis Azrul Ananda, anak bos Jawa Pos, dalam dua seri tulisan di korannya sendiri, Jawa Pos, 26-27/2/2009. Ia menuliskan secara bergairah mengenai sejarah keberadaan halaman korannya yang ditujukan untuk khalayak anak muda sejak 9 tahun terakhir. Tulisan seri pertamanya berjudul “Koran Dorong Mading Kalahkan Internet,” dan yang kedua, “Lebih Modern dari Kartu, Lebih Kreatif dari SMS.”

Majalah dinding mampu mengalahkan Internet ? Ia pantas memperoleh Hadiah Pulitzer sekaligus Hadiah Nobel Perdamaian. Sementara itu genderang perubahan yang ditabuh oleh tabloid olahraga BOLA ketika berulang tahun ke-25 baru-baru saja ini, dimaknai dengan melakukan perubahan hanya berupa penggantian logo dan tagline. Slogan yang baru itu adalah “Membawa Anda ke Arena,” yang hanya mengukuhkan paradigma lama bahwa wartawan merupakan mediator dan sekaligus penjaga gawang berita.

Mereka-mereka adalah orang-orang media yang cerdas. Juga berdedikasi. Cinta mati kepada kharisma dan kekuasan kerajaan cetak. Dalam tulisan semacam “iNews dan E-book Selamatkan Koran ?” (Kompas, 25/3/2009) dari redaktur senior koran Kompas, Ninok Leksono, yang banyak mengutip tulisan David Carr dari International Herald Tribune, malah nampak mencoba berkelit bahwa koran dan penerbit koran (tentu saja, ini pantas dibela karena perusahaanlah yang memberinya gaji, prestise dan jati diri) masih bisa dipertahankan. Padahal, jurnalisme pohon mati sudah menjelang mati.


Koran sentris. Orang-orang cerdas itu seringkali tertakdir menjadi sulit untuk menerima realitas. Apalagi menerima perubahan. Selalu mudah saja untuk memunculkan penyangkalan demi penyangkalan. Kaum curmudgeon, demikian istilah dari Jay Rosen untuk mereka. Kaum reaksioner. Mereka tidak mau, misalnya, mengakui bahwa segitiga media yang menopang eksistensi media arus utama itu sudah ambruk.

Segitiga media memiliki unsur koran yang bertengger di puncak segitiga. Sementara pembaca dan iklan berada di dasar segitiga sebagai penopangnya, karena koran mampu menghimpun pembaca agar mereka dapat terpapar oleh pemasangan iklan. Kini, berkat Internet, para pemasang iklan itu dapat langsung menjangkau konsumen. Mereka tidak butuh lagi makelar atau mediator. Koran menjadi tidak relevan.

Barack Obama dalam menjangkau rakyatnya sampai Mark Cuban, entrepreneur dunia TI dan pemilik klub basket Dallas Maverick, sama-sama melakukan potong kompas. Mereka memanfaatkan Internet untuk menfasilitasi dialog dengan rakyat, para fans dan pemegang saham perusahaannya.

Internet memang terlalu besar sehingga justru mudah untuk tidak kelihatan. Ketika ribuan pembaca mereka meluncurkan blog masing-masing, membina percakapan melalui media sosial seperti Facebook, MySpace, Friendster sampai Ning, para kaum reaksioner di koran-koran itu justru tergoda menistakannya. Sikap miopik dan pendekatan yang terlalu koran sentris, memang menjadi penyebab semua reaksi berupa pengingkaran berat itu. Mark Potts dalam tulisannya di Recovering Journalist (14/7/2008) mengingatkan :

“Para editor yang mengukuhi pola pikir bisnis bahwa surat kabar merupakan sumber utama berita dan informasi adalah kaum dinosaurus. Penerbit yang berpendapat bahwa dominasinya sebagai penguasa pemasangan iklan-iklan lokal tidak memperoleh saingan adalah para fosil.

Tetapi banyak dari mereka masih bertahan, yang sialnya mereka bergerak lamban dan bodoh ketika habitat operasi mereka telah berubah cepat dan radikal. Formula tradisional penerbitan surat kabar nyata-nyata gagal selama bertahun-tahun ini, tetapi para pemimpin koran-koran tersebut justru tidak memahaminya. It’s time for them to go.”

Bagi mereka, lembaganya yang berbentuk gajah dan kini sedang berada dalam lumatan organ pencernaan di perut ular, tetap saja gambar yang begitu dramatis tersebut ia anggap sebagai sebuah gambar topi. Mereka sebaiknya memang harus membaca sendiri dongeng indah karya Antoine de Saint-Exuperry ini. Utamanya sesudah pink slip berada di kantong-kantong baju mereka !


Wonogiri, 8/3-6/4/2009


ee

2 comments: