Thursday, August 06, 2009

Rendra, Solo 1977 dan Surat Pembaca

Oleh : Bambang Haryanto
Esai Epistoholica No. 78/Agustus 2009
Email : humorliner (at) yahoo.com
Home : Epistoholik Indonesia


Mencoreng Rendra. Pasar Pon, perempatan paling ramai di Solo, menjadi saksi bisu. Tahun 1977. Wajah Rendra dalam bilbor yang dipajang untuk memromosikan pagelaran musik dan puisi di kota Solo itu tercoreng huruf “X”besar dengan cat putih. Saya yang melakukannya.

Sebagai aktivis kesenian di Sanggar Mandungan Solo saat itu, tentu saja, saya bukan fihak yang anti Rendra. Tetapi seorang wartawan dan aktivis kesenian asal Bali, seangkatan dengan Ikranegara tetapi berkiprah di Solo, Mansur Natsir, penyelenggara acara musik dan puisi itu, mengajak saya untuk mencoreng foto Rendra. Bahkan ia yang memegangi tangga saat saya di malam hari memanjat bilbor itu.

Kami sengaja melakukan penyilangan itu sebagai proklamasi protes. Karena fihak berwajib saat itu, ketika cengkeraman rezim Orde Baru yang otoriter terhadap suara-suara kritis makin mengeras, memang melarang Rendra untuk tampil berpuisi di kotanya. Pagelaran itu tetap berlangsung tanpa Rendra. Diisi Musik Kampungan-nya Bram Mahahekum dari Bengkel Teater dan lawakan Kuartet-S dari Malang.

Foto wajah Rendra yang tercoreng itu kemudian termuat di majalah Semangat (Yogyakarta). Bahkan dalam artikel yang saya tulis berjudul “Humor Amerika, Rusia, Cina, Indonesia” di majalah Semangat (No. 10, Juni 1978 : 18-20), pelarangan Rendra itu saya bingkai dalam konteks betapa lelucon merupakan senjata perjuangan kaum oposan yang tertindas di pelbagai belahan negara yang otoriter pemerintahannya.


Dalam keabadian. Kini Rendra tidak lagi berada di antara kita. Radio BBC Siaran Indonesia pagi ini (7/8/2009) mewartakan bahwa penyair Si Burung Merak itu telah kembali ke angin, kembali ke keabadian di sisi Tuhan. Di bawah ini terdapat surat-surat pembaca saya dan link artikel dalam blog dan web yang mengutip pendapat Rendra.

Selamat jalan, Mas Rendra.


Old Politician Never Die !
Surat pembaca dikirimkan ke Kompas Jawa Tengah, 12 April 2009

Pengalaman adalah guru maha kejam. Ia memberikan kita tes atau ujian terlebih dahulu, dan kemudian baru memberikan pelajaran. Kata bijak ini kiranya pantas dicerna oleh para caleg kita, utamanya mereka yang gagal dalam Pileg 2009 yang lalu.

Karena yang gagal jauh lebih banyak dibanding yang berhasil, seyogyanya kita lebih banyak memberi mereka empati. Agar mampu menerima kegagalan ini, bisa segera kembali ke kehidupan normal, dan terus berkarya bagi pribadi serta negara ini.

Mungkin ide berikut masih sulit diterapkan bagi masyarakat kita, karena kegagalan sering dianggap sebagai aib, yang harus disapu ke bawah karpet. Disembunyikan. Padahal Thomas Alva Edison, kita tahu, harus gagal ratusan kali sebelum menemukan bolam listrik.

Maksud saya : maukah para caleg yang gagal itu menuangkan uneg-uneg sampai analisis kegagalannya dalam bentuk tulisan, lalu dihimpun, kemudian dipublikasikan ? Baik dalam bentuk buku, atau pun blog, yaitu media digital yang murah, mudah dan mendunia itu ?

Mengakui kegagalan bagi seorang politikus tidak akan merendahkan dirinya. Justru menunjukkan kedewasaan, kematangan, kebijakan dan bahkan kekuatannya sebagai pribadi. Dengan kerelaan berbagi hal itu, ia akan tercatat dengan tinta emas karena berjasa memberikan fondasi yang lebih baik bagi krida politikus generasi-generasi yang akan datang.

Dengan demikian, polititikus tua tidaklah mati. Ia hanya surut dari gelanggang, meminjam istilah Rendra, mereka bersarang di atas angin dan tetap menebarkan kearifan serta kebijakan bagi sesama. Semoga.

Bambang Haryanto
Warga/Pendiri Epistoholik Indonesia


Wayang, Membunuh Demokrasi ?
Dimuat di kolom Surat Pembaca – Harian Kompas Jawa Tengah, Kamis, 27 Maret 2008


Dalang sebagai seniman, bila menurut Rendra, seharusnya berumah di angin. Ia seorang resi yang tidak lagi berorientasi ke hal-hal duniawi, senantiasa menyuarakan kebenaran dan hati nurani rakyat. Wahana untuk itu terbuka ketika berlangsungnya adegan goro-goro yang menampilkan para punakawan, Semar dan anak-anaknya. Semar yang konon setengah manusia dan setengah dewa itu merupakan personifikasi “suara rakyat adalah suara Tuhan” pula.

Tetapi di jaman industri dewasa ini banyak resi alias dalang wayang yang juga ingin kaya raya. Maka pesan-pesan dalam pertunjukan wayangnya pun tidak luput dari filosofi “maju tak gentar, membela yang bayar.” Saya pernah mendengarkan adegan Limbukan yang seluruh isi adegannya memuji-muji kebijakan pimpinan perusahaan besar yang menyewa dalang bersangkutan. Padahal perusahaan itu memproduksi barang-barang yang bila dikonsumsi berpotensi mengancam kesehatan.

Kini pun marak fenomena aneh lainnya, ketika resi di depan kelir atau layar itu ternyata pejabat pemerintahan. Atau tokoh politik. Jadi mudah dibayangkan, wayang terkooptasi menjadi abdi atau pelayan agenda para pejabat bersangkutan. Barangkali bisa disebut sebagai wayang top-down. Wayang yang dibajak pengusaha dan pejabat.

Merujuk fakta itu kita mudah ingat analisis klasik ahli politik George McTurnan Kahin yang berujar bahwa salah satu penghalang demokrasi di Indonesia adalah kultur politik masyarakat yang senantiasa menyandarkan segala sesuatu kepada arahan dari atas.

Jadi pertunjukan wayang yang diperkirakan semakin marak menjelang dan selama kampanye Pilgub Jawa Tengah 2008 nanti, ujung-ujungnya justru menyerimpung dan bahkan membunuh kehidupan demokrasi di Indonesia ?

Bambang Haryanto
Warga Epistoholik Indonesia


Eagles Flies Alone
Dimuat di kolom Surat Pembaca Kompas Jawa Tengah, Rabu, 23 Agustus 2006


Anthony Parakal, empu penulis surat pembaca legendaris dari Mumbai India, berencana menerbitkan buku. Isinya berupa himpunan sekitar 5.000 surat-surat pembacanya. Rencana judul bukunya, So Far So Bad. Ketika ada sponsor yang bersedia menerbitkannya, tetapi ada beberapa surat pembaca yang harus disensor, Parakal mentah-mentah menolaknya.

Dedikasi dan keteguhan hati Anthony Parakal untuk setia pada nurani merupakan ilham dan keteladanan bagi kaum epistoholik di Indonesia. Sikap itu mengingatkan kita filosofi eagles flies alone, burung garuda terbang sendirian, yang selalu menghiasi baris terakhir artikel pakar ilmu politik dari Universitas Gajah Mada, almarhum Riswandha Imawan. Dengan slogan bermakna dalam itu ia memposisikan dirinya sebagai insan bebas, yang berpikir bebas, tanpa direcoki oleh interes selain isi hati nuraninya sendiri.

Merujuk pertimbangan untuk menjaga hati nurani dalam berpendapat, komunitas Epistoholik Indonesia memilih berbentuk sebagai organisasi jaringan dimana hubungan antarwarga EI bersifat egaliter, tidak ada hirarki, walau tetap diikat oleh kode etik tidak tertulis sebagai insan dewasa yang bertanggung jawab dalam memberikan opini/pendapat untuk kemaslahatan masyarakat.

Memang ada suara-suara yang menginginkan EI hadir sebagai organisasi formal. Segi negatif dan positifnya terbuka untuk diperdebatkan. Mungkin kemudian harus ada kantor, ketua, bagan hirarki, pembagian wewenang dan mungkin juga pembagian kekuasaan atau pun rejeki.

Akibatnya, penulis surat pembaca yang idealnya bertempat tinggal “di angin” (pinjam istilah Rendra), dengan memiliki organisasi formal, diri mereka ibarat turun ke bumi. Termasuk kemungkinan mereka-mereka yang terlibat urusan rutin organisasi bersangkutan justru terancam menjadi tumpul, sehingga tidak mampu menghasilkan surat-surat pembaca yang menggigit lagi.

Burung garuda tidak mampu terbang lagi. Dirinya malih menjadi sekumpulan bebek yang mencari aman dalam kebersamaan, mencari konformitas, bersuara seragam, walau mungkin tidak lagi sesuai dengan suara hati nurani.

Bambang Haryanto
Warga Epistoholik Indonesia


Link :

Solocon Valley. Artikel di Harian Kompas Jawa Tengah, 5 Agustus 2006. Menyebut Rendra sebagai salah satu inovator yang dilahirkan di kota Solo.

General Elections 2009’s Guffaw. Posting di blog Komedikus Erektus, Juni 2009. Satir tentang sepak terjang calon presiden dan calon wakil presiden berkampanye dalam Pilpres 2009, termasuk kemunculan Rendra dalam kancah tersebut.

Pilpres 2009, Tirai Akhir Karier Politik Mega ! Posting di blog Komedikus Erektus, Juli 2009. Satir tentang nasib karir politik Megawati Sukarnoputri setelah Pilpres 2009, walau pun dalam kampanyenya mendapat dukungan dari Rendra.

Sumber foto : http://taufanhidayat.files.wordpress.com/2008/04/rendra.jpg

Wonogiri, 7/8/2009

ee

No comments:

Post a Comment