Monday, January 04, 2010

Gus Dur, Surat-Surat Pembaca Saya 1990-2007

Oleh : Bambang Haryanto
Esai Epistoholica No. 90/Januari 2010
Email : epistopress (at) gmail.com
Home : Epistoholik Indonesia


Gus Dur dan Komedi
Dikirimkan ke kolom Surat Pembaca – Harian Suara Merdeka
Senin, 12 November 2007

Salah satu buku kumpulan lelucon yang saya miliki, saya beli pada tanggal istimewa : 25 Oktober 1986. Di toko buku Gramedia Blok M, Jakarta Selatan. Buku itu karya Mildred Meiers dan Jack Knapp, berjudul 5600 Jokes For All Occasions (1980).

Istimewa karena saat itu saya ketemu Gus Dur dan saya memberanikan diri untuk memperlihatkan buku yang baru saya beli kepadanya. Melihat kesamaan sebagai penikmat humor, setelah saling bertukar koleksi lelucon, Gus Dur mengeluarkan pernyataan yang saat itu berupa misteri.

“Hanya kita-kita saja yang masih waras,” cetusnya.

Belasan tahun kemudian teka-teki Gus Dur itu baru bisa saya mengerti. Hal itu terjadi di akhir 2001 ketika saya membaca-baca bukunya Judy Carter, The Comedy Bible (2001). Asumsi dan bahkan paradigma saya tentang komedi yang sudah saya anggap benar selama ini, bahkan karatan, berurat dan berakar, harus diruntuhkan.

Pemahaman bahwa menjadi komedian itu sekadar tampil di panggung menceritakan lelucon tentang orang lain atau karya orang lain, ternyata menurut Judy Carter hal itu merupakan kekeliruan yang sangat fundamental. Karena menurutnya, setiap komedian wajib dituntut orisinalitasnya.

Di panggung dirinya harus berani dan jujur dalam membeberkan otobiografi mereka masing-masing. Tambah Judy Carter, kalau sebagian besar orang cenderung menyembunyikan cacat dan cela dirinya, para jenakawan justru mempertontonkannya semua itu kepada dunia.

Seorang Gus Dur, seperti diungkap Moh. Mahfud M.D. dalam artikelnya “Politik Humor Gus Dur” (JawaPos,15/3/2006), memiliki kepiawaian tinggi dalam menghumori dirinya sendiri. Keikhlasan Gus Dur mengolok kekurangan diri sendiri, self-deprecating, merupakan ujud kewarasan dirinya sebagai pribadi.

Dari pribadi beliau seperti itu, kita bisa bercermin sekarang : berapa banyak pemimpin dan pejabat negeri ini yang masih waras, berani jujur mengakui dan berani menertawai kekurangan diri mereka sendiri ?

Bambang Haryanto (EI/081329306300)
Wonogiri 57612


Humornya Pendosa
Dikirimkan ke kolom Surat Pembaca Harian Suara Merdeka,
Kamis, 26 Januari 2006


Anne Bancroft (73), artis Hollywood yang terkenal memainkan Mrs. Robinson dalam film The Graduate (1967), meninggal dunia 7/6/2005 yang lalu. Sebagai penghormatan, lampu-lampu di Broadway diredupkan. Ia meninggal karena sakit kanker rahim.

Ia dinominasikan meraih Oscar lima kali dan sekali memenangkannya ketika bermain sebagai guru tokoh tuna netra terkenal, Helen Keller ketika masih muda, dalam film The Miracle Worker (1963). Istri komedian Mel Brooks ini terkenal memiliki selera humor tinggi dan menganggap tertawa merupakan harta penting yang berharga.

Tanggal 21/6/2005, Kardinal Jaime Sin dari Filipina, juga meninggal dunia dalam usia 76 tahun. Ia tokoh sentral yang ikut menumbangkan diktator Marcos (1986) dan pula Presiden Josep Estrada yang korup (2001). Beliau punya selera humor yang tinggi pula.

Konon, kepada para tamu yang mengunjungi kediamannya akan disambut dengan ucapannya yang khas, yaitu : Selamat Datang di House of Sin. Lelucon yang cerdas. Karena rumah beliau dalam konteks lelucon dapat diartikan sebagai rumahnya pendosa.

Mungkin karena kejelian wartawan, tetapi sungguh mengharukan, banyak catatan yang ditorehkan untuk mengenang beberapa tokoh besar yang wafat adalah justru mengenai selera humor mereka. Hal ini menyiratkan betapa penting selera humor. Gus Dur pernah bilang, mereka yang memiliki selera humor adalah mereka yang masih waras. Artinya, masih mampu menertawakan kekurangan dirinya tanpa merasa terluka atau terhina.

Masalahnya, kalau kini Indonesia lagi boom tokoh-tokoh yang diindikasikan melakukan korupsi atau melanggar HAM, tetapi sementara mereka terus bersibuk mungkir demi mempertahankan diri, sebenarnya berapa banyak pribadi yang masih waras di republik kita dewasa ini ?

Bambang Haryanto
Wonogiri 57612


Komedian Islam Vs Ustadz Gaul
Diemailkan ke majalah Gatra, Kamis, 27 Oktober 2005


Fenomena ustadz gaul seperti dilaporkan GATRA (29/10/2005) sungguh menarik. Mereka melakukan syiar agama Islam bermediakan kesenian, seperti nyanyian dan humor, mengingatkan kiprah Wali Songo, terutama Sunan Kalijaga, yang melakukan syiar Islam bermediakan wayang. Pendekatan budaya ini terbukti ampuh ketimbang pendekatan kekerasan atau penaklukan.

Di Amerika Serikat, syiar Islam kontemporer lebih radikal lagi. Bermediakan humor. Syiar Islam ini secara intensif dilakukan pasca serangan teroris 11 September 2001 yang menimbulkan ketegangan hebat antara Islam vs Barat, seperti disebut oleh Samuel Huntington sebagai benturan peradaban.

Oleh kalangan komedian muslim Amerika seperti Azhar Usman, Preacher Moss, Azeem, Ahmed Ahmed, Maysoon Zayid sampai Tissa Hami, benturan peradaban itu diwujudkan dalam perang bermediakan lawakan. Tidak untuk saling mengejek, melainkan untuk menumbuhkan saling pemahaman.

Tahun 2004, Azhar Usman, Preacher Moss dan Azeem menggagas tur pentas komedi keliling Amerika bertajuk Allah Made Me Funny Tour untuk mempromosikan Islam sebagai agama cinta damai dan anti tindak kekerasan.

“Gagasan tur ini adalah menyediakan bagi kalangan muslim dan non-muslim wahana gaul dalam zona aman, relevan, inklusif, di mana humor dimanfaatkan untuk menjembatani jurang bias, sikap tidak toleran dan penyakit sosial lainnya”, kata Preacher Moss, penggagasnya.

Orang tidak suka dikhotbahi, kata Moss, sehingga lelucon dia anggap lebih efektif dalam memberikan edukasi bagi kalangan muslim atau pun non-muslim. Berbeda dibanding khotbah, lelucon mampu mengajak penonton berpikir, beperanserta dan melangsungkan dialog dengan para penampil.

Di front lain ada pula aksi komedian Ahmed Ahmed, muslim Amerika kelahiran Mesir bersama Bob Alper, komedian dan juga seorang rabbi Yahudi, melakukan tur komedi berdua. Dengan tema “Satu Arab, Satu Yahudi, Satu Panggung” mereka menggotong misi untuk meredakan ketegangan dan prasangka hubungan antarbangsa melalui humor. Pentasnya di Denver dipenuhi penonton, baik dari kalangan Islam, Kristen dan juga Yahudi.

Bagaimana di Indonesia ? Kita kenal humoris muslim yang ulung seperti Gus Dur, Mustofa Bisri sampai Emha Ainun Nadjib. Sebagai pengelola situs blog berisi kajian seputar masalah komedi, saya ingin bertanya : setelah ustadz gaul, kapankah komunitas muslim kita mampu menghadirkan komedian muslim sekaliber Azhar Usman yang leluconnya cerdas, toleran, tidak ada pornonya sama sekali dan sekaligus tajam, di Indonesia ?


Bambang Haryanto
Komedikus Erektus ! (http://komedian.blogspot.com)
Wonogiri 57612


Tak Ada Dusta Di Antara Kita
Dimuat di kolom Redaksi Yth – Harian Kompas Jawa Tengah
Kamis, 20 Januari 2005.


Di tengah hiruk-pikuk pemilihan umum 2004 yang baru lalu, banyak para pelaku politik menjajakan diri dengan beramai-ramai menerbitkan biografi. Boleh dikatakan, semua biografi itu ditulis oleh orang lain. Rendahnya budaya menulis di kalangan elit kita membuat kita sulit menemui terbitan otobiografi yang ditulis oleh pelakunya sendiri.

Pelbagai biografi para tokoh politik tersebut, diakui atau tidak diakui, diterbitkan sebagai sarana mempromosikan diri guna memenangi Pemilu. Motif itulah yang membuat isinya, tentu saja, lebih indah daripada warna aslinya. Kecenderungan demikian sampai mendorong seorang Humphrey Carpenter memberikan definisi sinis bahwa buku biografi merupakan wahana terhormat untuk berdusta.

Kini Pemilu telah usai. Alangkah baiknya, bila tokoh-tokoh yang tersingkir, kalah dalam Pemilu, justru tergerak untuk menuliskan pengalaman hidupnya secara lebih genuine, apa adanya, kini. Terlebih karena mereka relatif tidak lagi digandoli motif-motif untuk berpromosi.

Silakan mencontoh Wimar Witular, pembantu dekat Presiden Gus Dur, yang menuliskan catatan pergulatannya justru setelah presiden cerdas dan jenaka itu tersungkur dari istana. No Regret, seru Wimar Witoelar.

Amien Rais, Hamzah Haz, Megawati, Siswono Yudhohusodo, Wiranto dan lainnya, silakan Anda kini menulis tanpa embel-embel pretensi untuk berpromosi. Indonesia tidak hanya butuh contoh dari tokoh-tokoh yang berhasil, tetapi juga contoh dari mereka yang telah berjuang walau pun pada ujungnya tidak meraih keberhasilan.

Sebab seperti kata filsuf Cina, Konfusius, orang besar bukanlah orang yang tidak pernah jatuh, melainkan mereka yang setiap kali terjatuh segera bangun untuk tegak kembali.

Bambang Haryanto
Warga Epistoholik Indonesia
Wonogiri 57612


Gran Final Indonesian Idol 2004 !
Dikirimkan ke kolom Mimbar Demokrasi, Harian Kompas,
Sabtu, 4 September 2004


Selamat datang di gran final Indonesian Idol 2004 !

Kontestan pertama, Megawati, akan membawakan lagu favorit yang entah kenapa lagu indah ini justru ogah ia nyanyikan selama pemilu. Yaitu, My Way (Frank Sinatra) :

“And now, the end is near,
and so I face the final curtain....”.

Berikutnya, SBY dengan Pelangi di Matamu (Jamrud) :

“Tiga puluh dua tahun,
rakyat tanpa bicara,
kini mereka pun resah menunggu lama
janji dariku...”

Sebagai penyanyi latar, kita tampilkan Indonesian Idle 2004 (yes, idle dan bukan idol). Mereka adalah Wiranto, Salahuddin Wahid, Amien Rais, Siswono Yudhohusodo, Hamzah Haz dan Agum Gumelar, akan koor menyanyikan Ticket to Ride (The Beatles/Carpenters) :

“The girl (boy) that driving me mad
Is going away/She’s (he’s) got a ticket to ride
She’s (he’s) got a ticket to ride.”

Sebagai bintang tamu Akbar Tanjung akan tetap membawakan lagu I Will Survive (Gloria Gaynor) dan Gus Dur (64) yang walau punya lagu favorit Me and Bobby McGee (Janis Joplin),kali ini dengan irama slow khasnya membawakan hit The Beatles :
“Will you still need me,
will you still feed me,
when I’m sixty four ?”
(When I’m Sixty Four).

Rakyat Indonesia pun semoga akan koor mengiringi dengan lagu indahnya Carpenters, We’ve Only Just Begun :

“We’ve only just begun to live
White lace and promises
A kiss for luck and we’re on our way
So many roads to choose
We start out walking and learn to run.”


(Bambang Haryanto, Wonogiri 57612)


Keindahan Sepak Bola
Dimuat di kolom Redaksi Harian Harian Kompas,
Sabtu, 30 Juni 1990

Kejuaraan sepak bola Piala Eropa 1988 telah dua tahun berlalu, tetapi ia belum terlupakan. Ia bukan Gullit. Bukan pula Koeman atau Marco van Basten, walau pun sama-sama memamerkan keindahan sepak bola.

Gullit menggelar kegarangan dalam menanduk bola. Koeman meragakan konsentrasi energi dengan tendangan geledeknya. Tetapi ia dengan ujung pena yang dituntun kecintaan terhadap sepak bola, riset literatur yang luas, wawasan yang dalam, ketajaman pikir dan keindahan optimal ekspresi dalam bahasa.

Kini dalam Piala Dunia Italia 1990, ia kembali. Anak bajang kembali menggiring bola, serangkaian laporan dan analisis yang indah dan dalam, kembali disajikan oleh wartawan “khusus” Kompas, Sindhunata. Pasti saya hanya salah satu di antara banyak sekali pembaca yang menyukai tulisannya yang memeragakan keindahan sepak bola.

Tetapi saat ini saya masih punya harapan tersembunyi. Sebab selama ini media massa kita nampak lupa menampilkan komentar atau ulasan sepak bola dari seorang pengamat sepak bola yang tidak kalah tajam wawasan atau pun inteligensianya.

Beliau yang saya maksud adalah K.H. Abdurrachman Wahid. Bagaimana, kiai ?


Bambang Haryanto
Job-Hunting Consultant
Dept. KS-VI
PO Box 55/Jatra
Jakarta 13220 B


Wonogiri, 5 Januari 2010

ee

No comments:

Post a Comment