Friday, June 25, 2010

Sepak Bola Dalam Surat Pembaca 2006-2010

Oleh : Bambang Haryanto
Esai Epistoholica No. 97/Juni 2010
Email : epistopress@gmail.com
Home : Epistoholik Indonesia


"Splendid Entrepreneur"
Dikirimkan ke Harian Kompas Jawa Tengah, 25/6/2010


Sebagian wilayah Wonogiri, termasuk kotanya, tergolong sebagai area blank spot. Alias area yang tidak terjangkau siaran televisi. Utamanya karena topografinya yang terkepung gunung. Kondisi kronis semacam ini nampaknya tidak pernah menjadi perhatian serius pemerintah kabupaten setempat, boleh jadi karena warga sudah menemukan solusinya sendiri. Yaitu dengan menggunakan jasa operator televisi kabel.

Operator semacam ini ini oleh bos media raksasa Rupert Murdoch ia sebut sebagai splendid entrepreneur. Seperti diceritakan di majalah Business Week (edisi "The Technology Paradox," 6/3/1995) saat siaran televisi satelitnya Star TV dicuri oleh penduduk di India dan dijual kembali melalui jaringan kabel, Murdoch justru membiarkan hal itu.

Para pencuri siarannya tersebut justru ia sebut sebagai wiraswastawan yang cerdas, splendid entrepreneur. Karena dengan semakin meluasnya jangkauan siaran bagi Star TV membuka peluang Murdoch untuk menaikkan biaya pemasangan iklan di stasiunnya tersebut.

Kiat cerdas Murdoch itu di dalam negeri ini justru disingkiri oleh stasiun televisi RCTI, GlobalTV dan Trans7, yang masing-masing memiliki hak eksklusif menyiarkan Piala Dunia Sepakbola 2010 dan Turnamen Bulutangkis Indonesia Terbuka 2010. Karena untuk acara sepakbola dan bulutangkis pada pelbagai stasiun itu telah dilakukan pengacakan, yang membuat kami di daerah blank spot ini tidak bisa menonton acara olahraga penting tersebut.

Bisakah pelbagai stasiun televisi tersebut segera membangun stasiun penguat di sekitar Wonogiri sehingga membuka akses warga kota kami untuk bisa nonton siaran olahraga kelas dunia yang mereka pancarkan ?

Bambang Haryanto
Warga Epistoholik Indonesia

Artikel terkait : Ora Nonton Piala Dunia, Ora Pateken !.

Sepak Bola Kita
Dimuat di Harian Suara Merdeka, Sabtu, 29 Desember 2007 : L


Novelis, dramawan dan esais Perancis Albert Camus (1913-1960) pernah berujar bahwa sepanjang keyakinannya mengenai moralitas dan tanggung jawab, ia berhutang dari sepakbola. Umpama dirinya sekarang masih hidup dan melihat drama yang terjadi di organisasi sepakbola Indonesia, PSSI, mungkin ia akan mati mendadak.

Kita lihat, ketua umumnya Nurdin Halid harus masuk penjara tersangkut perkara korupsi. Kemudian badan tertinggi sepakbola dunia FIFA memerintahkan dilakukan pemilihan ulang ketua umum. Tetapi kalangan petinggi PSSI itu justru ramai-ramai ingkar demi mempertahankan kursi ketua umumnya itu. Kalau sudah begini, dimana moral dan tanggung jawab dari roh sepakbola itu di mata mereka ?

Dalam kemelut yang menyedihkan dari wajah sepakbola kita, di mana pula suara suporter sepakbola Indonesia ? Di antara ratusan ribu atau bahkan jutaan penggila bola di tanah air itu apa benar-benar tidak ada sosok yang cerdas, punya nurani, punya moral dan juga aksi yang bertanggung jawab untuk ikut menyelamatkan sepak bola Indonesia ?

Jock Stein pernah bilang, sepak bola itu omong kosong apabila tanpa suporter. Maka sepak bola Indonesia juga hanya omong kosong apabila para suporter kita di tengah melambungnya arogansi petinggi PSSI yang melecehkan moral dan tanggung jawab itu, memutuskan sepakat untuk libur sementara waktu dalam menonton semua pertandingan sepakbola Indonesia !


Bambang Haryanto
Wonogiri 57612


Moral Sepak Bola
Dimuat di Harian Kompas Jawa Tengah, Kamis, 8 November 2007 : D.


Novelis, dramawan dan esais Perancis Albert Camus (1913-1960) pernah berujar bahwa sepanjang keyakinannya mengenai moralitas dan tanggung jawab ia merasa berhutang dari sepakbola. Umpama dirinya sekarang masih hidup dan melihat drama yang terjadi di organisasi sepakbola Indonesia, PSSI, mungkin ia akan mati mendadak.

Kita lihat, ketua umumnya Nurdin Halid harus masuk penjara tersangkut perkara korupsi. Kemudian badan tertinggi sepakbola dunia FIFA memerintahkan dilakukan pemilihan ulang ketua umum. Tetapi kalangan petinggi PSSI itu ramai-ramai ingkar demi mempertahankan kursi ketua umumnya itu. Kalau sudah begini, dimana moral dan tanggung jawab dari roh sepakbola itu di mata mereka ?

Dalam kemelut yang menyedihkan dari wajah sepakbola kita, di mana suara suporter sepakbola Indonesia ? Di antara ratusan ribu atau bahkan jutaan penggila bola di tanah air itu apa benar-benar tidak ada sosok yang cerdas, punya nurani, punya moral dan juga aksi yang bertanggung jawab untuk ikut menyelamatkan sepak bola Indonesia ?

Jock Stein pernah bilang, sepak bola itu omong kosong apabila tanpa suporter. Maka sepak bola Indonesia juga hanya omong kosong apabila para suporter kita untuk sementara ini, di tengah melambungnya sikap arogansi petinggi PSSI yang melecehkan moral dan tanggung jawab itu, memutuskan sepakat untuk libur sementara waktu dalam menonton semua pertandingan sepakbola Indonesia !


Bambang Haryanto
Pencetus Hari Suporter Nasional 12 Juli (2000)
Warga Epistoholik Indonesia


PSSI, Organisasi Narkoba
Dikirimkan ke Harian Kompas Jawa Tengah, 16 September 2007


Nurdin Halid, Ketua Umum PSSI dan politisi Golkar yang terlibat perkara korupsi minyak goring, kembali harus masuk bui lagi. Lucunya, banyak petinggi PSSI beranggapan kasus hukum yang melilit Nurdin Halid itu merupakan bagian terpisah dari kedudukannya sebagai ketua umum organisasi pengelola sepakbola di Indonesia. Dengan demikian, dirinya tetap saja sah untuk tetap menduduki jabatan sebagai Ketua Umum PSSI walau yang bersangkutan berada di balik jeruji penjara.

Alasan hukum di atas itu menjadi kontroversial. Walau pun secara hukum mungkin benar, tetapi secara moral bangsa dan negara ini sungguh menjadi tercoreng martabatnya di muka dunia karena PSSI kita dipimpin seorang terpidana yang berada di dalam penjara.

Kita bisa bercermin dari fakta yang sering kita temui, jalan organisasi semacam itu banyak dilakoni oleh organisasi sindikat pengedar narkoba. Bisnis benda haram dan merusak itu tetap bisa berjalan karena dimungkinkan terus dikendalikan para bos yang walau meringkuk di penjara, tetapi tetap saja hidup mewah, serta memiliki akses untuk mengatur para anak buahnya.

Itukah wajah organisasi PSSI kita selama Nurdin Halid masuk penjara ? Kita para pencinta sepakbola, para suporter, apa hanya bisa diam dan pasrah melihat situasi yang begitu menyedihkan terjadi dalam organisasi sepakbola kita ? Mana suaramu dan aksimu, bung ?


Bambang Haryanto
Warga Epistoholik Indonesia


Citra Suporter Sepakbola Kita
Dimuat di Harian Kompas Jawa Tengah, Rabu, 11 Juli 2007

Piala Dunia 2002 Korea-Jepang memunculkan sejarah ketika tim Korea Selatan mampu masuk semifinal. Di luar lapangan pun, kehadiran suporter mereka yang berjulukan Red Devil atau Setan Merah tak kalah dahsyat. Mereka mendukung timnasnya dengan dinamis dan sportif, memerahkan kota Seoul, sekaligus secara ksatria menerima kekalahan ketika Song Chong-gug dkk takluk dari tim Jerman. Sportivitas tinggi itu mereka wujudkan dengan tiadanya kerusuhan.

Para suporter tim Korea Selatan itu, konon 5.000 orang kini juga hadir di Jakarta, guna mendukung timnasnya bertanding dalam Piala Asia 2007. Tetapi dikabarkan mereka memutuskan untuk tidak datang ke Stadion Gelora Bung Karno (18/7) saat timnas mereka berlaga melawan timnas Indonesia. Mereka sengaja "menghindari" bertemu suporter Indonesia. Alasannya, tidak lain, karena mereka telah mendengar reputasi negatif dari suporter sepakbola Indonesia selama ini.

Realitas tersebut merupakan cermin, sekaligus tamparan bagi suporter sepakbola kita. Kalau sudah begini, kemana wajah kita dan citra kita yang begitu suram itu hendak kita sembunyikan ?

Bambang Haryanto
Pemegang Rekor Muri Sebagai Pencetus Hari Suporter Nasional 12 Juli
Warga Epistoholik Indonesia


Nasib Sepakbola Plat Merah
Dimuat di Harian Kompas Jawa Tengah, Kamis, 8 Februari 2007


Tahun depan, mudah-mudahan peraturan yang melarang digunakannya anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk membiayai klub sepakbola benar-benar ditegakkan. [Sudah terlalu lama klub sepakbola menjadi objek bisnis, baik yang bermotifkan uang, pengaruh mau pun kepentingan politik birokrat daerah setempat yang lajimnya tampil sebagai ketua umum. Sementara anak atau pun menantu, menjadi manajernya. Secara faktual, pembinaan semacam terbukti juga tidak memberikan andil apa-apa terhadap prestasi persepakbolaan nasional dalam belasan tahun terakhir.- diedit oleh redaksi].

Selamat tinggal sepakbola plat merah. Pola pencarian beaya model-model birokrat, harus pula diakhiri. Pencarian dana sepakbola selama ini, kalau tidak menyusu kepada APBD, yang tanpa transparansi dan akuntabilitas, pastilah gagasan yang dangkal, dengan konsekuensi pasti membebani rakyat banyak. Gagasan seperti itu muncul di kota Solo yang mewacanakan pungutan bagi semua warga. Pungutan itu akan disatukan saat penarikan rekening listrik dan air.

Kini tiba saatnya sepakbola dikelola secara profesional, sebagai bisnis. Kalau daerah atau pun pengelolanya tidak mampu, sebagai konsekuensi logis dan berdasar seleksi alamiah, maka klub bersangkutan harus dilikuidasi. Tantangan baru ini semoga justru memacu otak-otak brilyan untuk tampil ke depan, menggali solusi-solusi baru dan revolusioner yang tidak membebani rakyat.

Inovasi itu pasti ada, tetapi saat ini sulit terjangkau oleh mereka yang pola pikirnya selalu berpendekatan dari kacamata birokrat.


Bambang Haryanto
Warga Epistoholik Indonesia



Useful Idiot
Dikirimkan ke Harian Kompas Jawa Tengah, 5 Oktober 2006


Sepakbola "plat merah" di Indonesia terus ramai digugat. Tim-tim itu hanya bisa menyusu anggaran pemerintah, hidup-matinya pun berada di tangan dan minat sang birokrat. Tak ayal, silakan mendata berapa banyak pimpinan daerah yang menjadi ketua umumnya, sementara anak atau menantu menjadi manajer tim bersangkutan. KKN yang nyata-nyata di depan mata itu, dengan segenap efek sampingnya, sayangnya justru jauh dari sorotan kritis kalangan suporter sepakbola.

Di Inggris dikenal The National Federation of Football Supporters' Clubs (NFFSC), organisasi independen kelompok suporter yang didirikan 3 September 1927. Filosofi NFFSC bersikukuh bahwa suporter harus mampu membentuk organisasinya sendiri sebagai kelompok sukarela, independen dan demokratis, dengan satu-satunya interes adalah dukungan bagi keberhasilan tim yang mereka dukung dengan sepenuh hati. Independensi ini membuat mereka mampu kritis, dan kalau perlu harus menentang perilaku eksekutif sepakbola yang korup.

Di Indonesia, kelompok suporter suka lucu. Mereka tidak mampu menjadi independen, kadang ikut "menyusu" kepada tim yang didukung. Sekadar contoh, menjelang putaran Babak 8 Besar Liga Indonesia 2006, kelompok suporter di kota-kota Jawa Tengah dimobilisasikan guna membentuk organisasi kekerabatan. Salah satu misinya mendukung tim PSIS (Semarang), yang wakil Jawa Tengah, agar mampu meraih juara. Kemudian dipilihlah ketuanya, Yoyok Sukawi, anak walikota Semarang dan manajer PSIS Semarang.

Bagi saya, dari contoh di atas, suporter sepakbola Indonesia pantas disebut sebagai useful idiot, sosok-sosok naif yang mudah dimanfaatkan, mudah dimanipulasi, sehingga tidak mampu kritis terhadap jalannya pengelolaan tim-tim yang mereka dukung. Terutama menyangkut akuntabilitas penggunaan uang rakyat yang bermilyar-milyar dibandingkan dengan manfaatnya secara nasional. Sampai kapan hal menyedihkan ini berlangsung ? Ayo suporter Indonesia, bangkitkan intelektualitasmu, asah ketajaman daya kritismu !


Bambang Haryanto
Warga Epistoholik Indonesia


Republik Suporter Sepakbola
Dimuat di Harian Kompas Jawa Tengah, Kamis, 21 Desember 2006


"Sepakbola merupakan salah satu aktivitas yang paling mampu mempersatukan umat manusia," demikian pendapat Nelson Mandela. Di tengah mabuk dan demam Piala Dunia 2006 saat ini, tentulah pendapat pejuang kemanusiaan asal Afrika Selatan yang sering berpakaian batik itu tentu tak bisa dipungkiri kebenarannya.

Tetapi di Indonesia, muncul gambar lain. Setiap kali mengamati siaran langsung pertandingan sepakbola lokal melalui televisi, saya mencatat spanduk-spanduk suporter sepakbola yang "memproklamasikan" kelompok mereka dengan sebutan republik. Hitung saja berapa banyak "negara suporter" yang mendukung timnya di divisi utama, divisi satu dan dua, yang ada di negara kesatuan RI ini.

Memproklamasikan kelompok suporternya dengan sebutan semacam itu mungkin bermaksud sebagai lelucon. Tetapi mungkin juga tidak. Apalagi bila dikaitkan dengan militansi buta kelompok-kelompok suporter di Tanah Air selama ini, terutama fenomena tawuran antarmereka, yang selalu merambah fihak-fihak lain di luar stadion pertandingan. Baik sebagai pelaku kerusuhan atau pun sebagai korban. Betapa mengerikan bahwa tawuran antarmereka kini telah diberi label baru, ibaratnya sebagai perang antar negara !

Fenomena maraknya label republik suporter dan potensinya yang semakin memicu sengitnya perang antarmereka, mengingatkan saya akan tesisnya Nicholas Negroponte tentang negara bangsa. Menurutnya, negara bangsa itu ibarat kapur barus, dari benda padat yang segera tergerus habis menjadi uap. Timor Leste yang kecil itu saja kini terbelah menjadi dua.

Lalu, bagaimana Indonesia kita ? Terserah kita. Melalui sepakbola kita bisa meneladani ucapan Nelson Mandela atau melalui sepakbola pula bisa kita tanamkan embrio militansi sampai fanatisme buta sehingga mampu menjurus kepada terpecah-belahnya bangsa ini pula.

Selamat nonton Piala Dunia 2006 dan jangan lupa, untuk memikirkan masa depan bangsa dan negara tercinta ini pula.


Bambang Haryanto
Warga Epistoholik Indonesia


Sepakbola Orang Jawa
Dikirimkan ke Harian Kompas Jawa Tengah, Rabu, 22 Maret 2006

Untuk mengetahui jati diri orang Jawa yang mutakhir, menontonlah sepakbola. Kerusuhan dan amuk massa yang terjadi di Jepara (12/3) antara suporter PSIS Semarang melawan suporter Persijap Jepara, hingga bereskalasi dengan aksi sweeping dan perusakan kendaraan, merupakan potret jelas pribadi orang Jawa masa kini.

Kalau menurut budayawan Darmanto Jatman, amuk massa dan tawuran di gelanggang yang seharusnya beratmosfir tingkah laku dan semangat menjunjung tinggi sportivitas, adalah sikap pengingkaran orang Jawa yang suka damai (Kompas, 23/1/2006 : 12).

Bentrok suporter Semarang vs. Jepara, bukan hanya terjadi kali ini. Maka tak ayal bila fihak manajemen PSIS berniat meminta PSSI agar di musim-musim mendatang kedua tim itu dipisahkan dalam wilayah yang berbeda. Pilihan yang nampak logis, tetapi sebenarnya ibarat hanya menyapu kotoran ke bawah karpet. Persoalan intinya tidak terpecahkan. Belum lagi ancaman tindak amuk orang Jawa di ajang sepakbola juga berpotensi meledak di pelbagai kota di Jawa Tengah lainnya.

Sebagai suporter sepakbola, sekadar contoh, saya bisa membuka arsip perseteruan antarsuporter. Misalnya Semarang vs Solo, Solo vs Yogya, Yogya vs Semarang, Sleman vs Yogya, sampai Solo yang tidak tak begitu akur banget sama Jepara. Belum lagi Bantul, yang seperti Solo kini lagi berjuang di Divisi I yang bisa memanaskan persaingan dengan Sleman atau Yogya bila kelak sama-sama hadir di divisi utama.

Masalah di atas kelak bakal tak bisa diselesaikan dengan hanya memisahkan wilayah kompetisi. Itu solusi yang bersifat menghindar. Bersifat sementara. Mungkin itu pula solusi khas orang Jawa, di mana kita selalu berfilsafat wegah rame, menghindari konflik, pada hal sepakbola adalah konflik. Kita lebih suka memilih solusi semu, menyimpan bara yang pasti kelak akan kembali meledak !


Bambang Haryanto
Warga Epistoholik Indonesia



Suporter Hilang Akal
Dimuat di Harian Kompas Jawa Tengah, Jumat, 10 Maret 2006

Sebagai suporter sepakbola, saya merasakan kehilangan akal sehat sebagai makanan wajib sehari-hari. Sebagai suporter, kita selalu beranggapan bahwa tim yang kita bela selalu benar. Semua keputusan wasit, walau menurut aturan benar tetapi merugikan tim kita, akan selalu pula kita anggap sebagai keputusan yang tidak benar.

Sebagai suporter sepakbola yang lebur dalam keriuhan orang yang seragamnya sama dengan diri kita, memang sangat mudah membakar emosi kita. Dalam kerumunan itu akal sehat dan logika mengalami erosi berat. Gerak-gerik pemain tim lawan atau ulah suporter tim lawan, yang remeh-temeh tetapi bila kita rasakan sebagai tindak penghinaan, mudah menyulut kemarahan.

Kerumunan orang memang punya hukum sendiri. Tewasnya puluhan orang akibat terinjak-injak di stadion Manila ketika hendak ambil karcis gratis mengikuti acara televisi, berkali-kali tragedi lempar jumrah di Mina, peristiwa penjarahan toko ketika Peristiwa Mei 1998, ibu-ibu miskin yang meninggal ketika antrian pembagian beras zakat atau uang kompensasi BBM, sampai sekaratnya polisi Perancis Daniel Nivel yang dikeroyok brandal sepakbola Jerman di Piala Dunia 1998, adalah sekadar contoh.

Mari kita mengambil hikmah. Apa pun latar belakang status pekerjaan Anda, pendidikan Anda, bahkan kesalehan Anda sebagai umat beragama yang ditandai dengan simbol pakaian sampai penutup kepala, semua itu mudah sirna apabila Anda tak mampu mengekang diri kuat-kuat ketika lebur dalam kerumunan.

Saya sebagai suporter sepakbola bolehlah hilang akal sehat saat di stadion saja. Tetapi dalam kehidupan sehari-hari, dengan peran sebagai kaum epistoholik yang getol menulis surat-surat pembaca semacam ini, dalam kesendirian harus berusaha memelihara logika, akal sehat, dan berjuang untuk tidak terpengaruh dogma-dogma. Upaya yang juga tidak mudah.

Bambang Haryanto
Warga Epistoholik Indonesia


Wonogiri, 25 Juni 2010

ee

No comments:

Post a Comment