Tuesday, December 28, 2010

Kaum Epistoholik, Apa Resolusi Anda Di Tahun 2011 ?

Oleh : Bambang Haryanto
Email : epistopress (at) gmail.com


Pergantian tahun telah menjelang.
Charles Lamb. Oprah Winfrey. Edith Lovejoy Pierce.
Mereka mempunyai ucapan menarik tentangnya.

Pengarang Inggris, Charles Lamb (1775–1834), mengatakan : “Tahun baru merupakan tanggal kelahiran bagi setiap orang.” Sementara ratu acara pamer cakap, Oprah Winfrey, berpesan : “Selamat datang untuk tahun yang baru dan peluang terbuka lagi bagi kita semua untuk menjadi (lebih) baik.”

Edith Lovejoy Pierce memiliki ungkapan prnuh taburan sikap optimistis. “Kita akan membuka buku. Halaman-halamannya kosong. Kita akan mengguratkan kata-kata itu di dalamnya. Buku itu disebut sebagai Peluang dan bab pertamanya adalah Tahun Baru.”

Sementara itu ada tokoh anonim ikut pula menyambut tahun baru dengan ucapan menarik. “Banyak orang mengharap kedatangan tahun yang baru agar mereka bisa memulai lagi kebiasaan lamanya selama ini.”

Anda sebagai kaum epistoholik, silakan memilih atau tidak memilih dari ucapan tadi, sebagai bekal Anda untuk menyambut tahun baru 2011 yang segera tiba itu. Tetapi yang segera melintas di benak saya tentang ritus pergantian tahun adalah tentang tiga hal :

Kalkulasi.
Kalkulasi.
Dan kalkulasi.

Membuat neraca. Mendata prestasi. Merinci kekurangan. Lalu disusul janji, tekad atau resolusi, tentang cita-cita atau keinginan yang ingin kita kerjakan di tahun mendatang. Sungguh kebetulan, ketika diwawancarai Fetty Permatasari dari harian Solopos, pertanyaan terkait topik kalkulasi itulah yang juga nampak mengemuka dan muncul.

Sebenarnya bukan kali ini saja. Setiap kali wartawan, sudah ada sekitar 8 kali profil komunitas Epistoholik Indonesia kita tampil di media massa, pertanyaan seputar itung-itungan nampak seperti menjadi obsesi mereka.

Formulanya berupa bidikan pertanyaan, di antaranya : “menulis surat pembaca sudah sejak tahun kapan, sampai saat ini sudah berapa ratus atau ribu surat pembaca yang sudah ditulis,” sampai “dalam sehari mampu menulis berapa surat pembaca.”

Pertanyaan yang kedua itu, sulit untuk bisa saya jawab. Akibat belitan kegeblegan, ketidakacuhan sampai kemiskinan, saya belum pernah mendata angka-angka untuk menjawab pertanyaan seperti itu. Karena sebagai penulis surat pembaca sejak tahun 1973 atau 1975 (“gebleg yang parah, bukan ?”), saya tidak tahu semua surat pembaca saya yang pernah dimuat.

Kalau pun tahu, juga tidak semuanya telah saya catat, atau saya beli korannya (“faktor kemiskinan :-), bukan ?”), atau pula saya simpan fotokopinya.


[Diteruskan tahun depan...]

No comments:

Post a Comment