Wednesday, May 05, 2010

Hardiknas, Guru dan Murid Tidur Di Abad Informasi

Oleh : Bambang Haryanto
Esai Epistoholica No. 95/Mei 2010
Email : epistopress (at) gmail.com
Home : Epistoholik Indonesia



Learning is suffering.
Belajar adalah penderitaan.

Ucapan ganjil, tetapi benar itu, saya pergoki di tahun 1984. Tergurat pada satu sisi batang pensil yang dihadiahkan oleh mBak Ining, dosen saya di JIP-FSUI yang baru saja pulang dari Wales, Inggris.

Pensil itu kini sudah tidak ada lagi. Tetapi segurat kenangan tentangnya berparade di benak ketika memergoki rombongan anak-anak SMTA melakukan konvoi sepeda motor dalam merayakan kelulusan mereka.

Lalu saat mem-browsing koran-koran di Perpustakaan Umum Wonogiri, tersaji fenomena serupa dari kota lain. Para lulusan itu merayakan keberhasilan mereka dengan melakukan ritus mencorat-coret baju dan tubuh mereka dengan cat semprot, lalu berkonvoi, mengelilingi kota.

Berita lain yang muncul di surat kabar itu berupa kisah tragis. Terkait kelulusan siswa di kota saya, Wonogiri, diwartakan seorang siswi telah berusaha bunuh diri karena tidak lulus. Ia menenggak cairan pewangi. Untunglah, nyawanya bisa diselamatkan.

Berita lainnya, entah manis atau tragis, tentang seorang siswi jurusan bahasa di SMA Negeri 2 Wonogiri memiliki nilai 10 untuk ujian Bahasa Jerman. Namanya, Niken Setyani, berasal dari dusun Klumpit, Sonorejo, Kecamatan Wonogiri Kota.

Kisahnya muncul di Suara Merdeka (27/4/2010) dan Solopos (27/4/2010). Menurut koran yang terakhir, Niken harus menunda keinginannya untuk berkuliah di Jurusan Bahasa FKIP UNS Sebelas Maret, karena ketiadaan biaya. Beberapa hari kemudian, di koran yang sama, ada seorang warga Wonogiri yang memperoleh akses berita itu melalui Internet, dan kini sedang bekerja di Korea Selatan, terketuk hatinya.

Ia berkata akan mencoba menyisihkan gajinya, untuk ikut berusaha membiayai Niken yang cemerlang itu agar mampu berkuliah di perguruan tinggi. Adakah kisah ini juga mampu mengetuk warga Wonogiri lainnya, yang lebih mampu ?

Kembali ke ritus corat-coret. Peristiwa yang terjadi menjelang Hari Pendidikan Nasional 2 Mei itu kiranya pantas menjadi renungan tersendiri. Hampir enam tahun lalu saya telah menulis surat pembaca di harian Kompas Jawa Tengah (Sabtu, 27 November 2004). Dengan beberapa perubahan redaksional kecil, tetapi isinya tidak berubah, seperti tersaji di bawah ini :


Guru dan Murid Masih Ketiduran

Pendidikan, kata Einstein, adalah apa yang tersisa ketika seluruh pelajaran yang telah kita terima sudah terlupakan semuanya. Menyimaki fenomena setiap pengumuman kelulusan di mana para pelajar kita merayakannya dengan aksi vandal, melakukan coreng-moreng di baju seragam mereka, lalu kirab sepeda motor keliling kota, mungkinkah itu cermin terbaik bagi wajah dan hasil pendidikan kita ?

corat-coret lulusan sma,sekolah,penjara,tidak kreatif

Saya tidak tahu apa yang selama ini terjadi dan apa yang mereka rasakan selama tiga tahun di bangku sekolah. Tetapi perayaan kelulusan dengan modus semacam jelas menunjukkan ada yang salah dalam pendidikan kita.

Mungkin pendidikan bagi mereka justru ibarat kerangkeng, semua guru hanyalah sipir penjara yang dibayar oleh orang tua mereka, di mana semua ekspresi jati diri dan mungkin potensi mereka justru terkekang, sehingga saat kelulusan mereka rasakan sebagai momen puncak untuk membalas dendam ? Untuk merayakan kebebasan ?

Di tengah carut-marut negeri ini dan ketika pendidikan lanjutan semakin mahal, bahkan setelah lulus pun bayangan hanya menjadi pengangguran sangat mengancam, perayaan kebebasan itu mungkin hanya satu-satunya momen berharga untuk mereka miliki sepanjang hayat.

Sesudahnya, mereka merasa akan hanya terpuruk dalam kekalahan demi kekalahan di tengah kehidupan nyata. Lembaga pendidikan, bila demikian, mungkin telah gagal memberikan bekal terbaik bagi anak didiknya, yaitu impian, harapan dan visi tentang masa depan, pasca semua pelajaran itu telah terlupakan.

Robert T. Kiyosaki, penulis buku laris Rich Dad Poor Dad (1997), menjelaskan bahwa pendidikan yang punya slogan “Pergilah ke sekolah untuk bekal memperoleh pekerjaan, “ adalah produk Abad Industri. Padahal kita kini telah berada di Abad Informasi, di mana bekal terpenting untuk berhasil dalam kehidupan adalah ide-ide dan informasi.

Mari kita bercermin.

Kalau jutaan kepala produk pendidikan kita selama bertahun-tahun merayakan kelulusan hanya bisa mengulang-ulang (!) ide murahan, miskin kreativitas dan inovasi, juga tidak bermutu, tidak bermanfaat bagi masyarakat, cenderung merusak, tak ada tantangannya bagi krida otak, nihil nilainya untuk dikenang dan semua lulusan justru berbahagia bermental ikut-ikutan model berbarisnya bebek-bebek, itukah pula cermin sekolah dan guru-guru mereka yang masih tidur pulas (dan puas) dengan mental Abad Industri ?

Para pelajar, para anak muda, dan guru-guru mereka, ayo bangun.
Jaman telah berganti !



Wonogiri, 30/4-6/5/2010

ee

No comments:

Post a Comment