Thursday, July 21, 2011

Akrobat Anda Di Sirkus Bernama Facebook

Oleh : Bambang Haryanto
Esai Epistoholica No. 115/Juli 2011
Email : epistopress (at) gmail.com
Home : Epistoholik Indonesia



Rapat kampung. Internet mungkin dapat diibaratkan sebagai arena pasar malam maha akbar. Semua orang, beragam bangsa, jenis kelamin sampai beragam usia, tumplek bleg menjadi satu dalam kemeriahan dunia maya yang mendunia.

Di pasar malam itu tersaji beragam stan. Situs Facebook kalau boleh saya umpamakan, merupakan stan sirkus. Arenanya tertutup dan pemilik akun adalah penjaga pintu masuknya. Seseorang yang diakui sebagai teman, dirinya ibarat memperoleh tiket untuk memasuki arena sirkus bersangkutan.

Siapa yang bermain di dalam tenda atau stan sirkus tersebut ? Di sana memang tidak ada gajah, macan, simpanse, juga tak ada badut-badut atau tukang sulap yang beraksi di dalamnya. Yang beraksi sebagai mereka adalah kita-kita semua ini. Karena dengan tampil di Facebook, idealnya kita selalu berikhtiar mampu menjamu atau menghibur teman-teman dunia maya kita dalam akun kita tersebut.

Ada tamsil lain bahwa Facebook sebagai media sosial senantiasa mensyaratkan agar kita berperangai seperti mengikuti rapat kampung. Kita keluar dari rumah dan dalam rapat kampung tersebut kita menfokuskan diri agar diri kita mampu memberikan kontribusi bagi warga lainnya.

Tetapi di Facebook, mudah dijumpai betapa tidak sedikit dari kita yang tidak mau keluar dari rumah. Dan juga tidak mau berhenti sejenak dari godaan nafsu untuk hanya menceritakan diri-diri kita sendiri. Ini agak ironi. Kita menggunakan media sosial tetapi perangai kita bukan sebagai makhluk sosial.

Anda masuk kasta mana ? Selain ditamsilkan sebagai pasar malam, dalam dunia Internet ternyata juga ada pembagian kasta yang menggelitik. Silakan ketik di mesin pencari Google “ebook linimas(s)a,” dan silakan baca ebook terbitan ICT Watch/Internet Sehat.

Kalau Anda sama sekali belum pernah (kebanyakan kita memang begitu) membaca-baca panduan sebagai bekal tampil Anda di ranah media-media sosial secara benar dan maksimal, maka sajian 16 tulisan menarik di dalamnya mengenai lanskap kontemporer pemanfaatan media sosial di Indonesia, wajib hukumnya untuk Anda baca.

Sementara untuk Anda yang ingin agak lebih canggih, di mana Internet merupakan media untuk mengekspresikan nama Anda sebagai merek diri Anda (“Mulai hari ini Anda adalah sebuah merek. Anda sama hebatnya dengan merek-merek seperti Nike, Coke atau Body Shop.”), simaklah ajaran Tom Peters dalam artikelnya berbahasa Inggris berjudul “The Brand Called You,” di majalah Fast Company, edisi Agutus/September 1997.

Artikel tersebut dalam bahasa Indonesia, “Merek Yang Bernama Anda” bersama 31 judul tulisan pilihan lainnya, telah tersaji dalam buku Fast Company’s Greatest Hits : Sepuluh Tahun Gagasan Paling Inovatif Dalam Dunia Bisnis (2008).

Pada pelbagai tinjauan di toko buku online, buku hebat setebal 411 halaman ini dijual antara 52 sampai 78 ribu. Anda dapat membeli dari saya Rp. 38.000,00. Ditambah ongkos kirim.

Untuk kepentingan obrolan kita kali ini, dari ebook linimas(s)a tadi, silakan buka artikel yang ditulis Nukman Luthfie dengan judul “Bermakna di lautan media sosial.” (Halaman 66). Merujuk hasil kajian dari Forester Research, ia telah memaparkan beragam golongan dalam tangga teknografi sosial.

Urutan dalam tangga tersebut, yang dimulai dari atas, tersaji golongan : Pekarya (creators). Perumpi atau Pengrumpi (conversationalists ), Pengritik (critics), Pengumpul (collectors ), Penggabung (joiners), Pengunjung (spectators ) dan Tidak Aktif (inactive ).

Ciri utama pekarya adalah : memiliki blog atau situs web pribadi yang rajin diperbarui serta membuat dan mengunggah audio atau video karyanya ke situs web (bisa YouTube misalnya). Khusus untuk Indonesia, mengingat beratnya mengunggah video dan audio, ciri ini bisa disederhanakan menjadi : memiliki blog dan rajin memperbaruinya.

Blogger memang tepat digolongkan sebagai pekarya. Mereka berkarya membuat tulisan, apapun kategorinya, ekonomi, bisnis, musik, hiburan, cerita. Apa pun juga bentuknya, bisa dalam bentuk teks, gambar, audio maupun video.

Pada anak tangga kedua hadir golongan pengrumpi. Mereka adalah para pengguna Facebook dan Twitter yang rajin menulis status. Mereka tidak memiliki blog, tapi rajin menulis, meski hanya 140 karakter di Twitter atau 420 karakter di Facebook, atau di media sosial lain seperti Linked-In atau bahkan Friendsters.

Meski bukan pekarya, mereka cukup banal dan cerewet. Apapun mereka tulis di status, mulai dari barang yang mereka konsumsi, diri sendiri, hingga urusan kantor, tak luput dari update di media sosial.

Menariknya, tulisan sebanyak 140 karakter (di Twitter), jika ditulis rutin, membawa pengaruh cukup besar. Sebuah tulisan di blog, dengan seribu karakter lebih, memang memiliki pengaruh besar terhadap pembacanya. Namun 140 karakter di Twitter dan Facebook juga punya pengaruh, jika diulang-ulang atau disebarkan oleh pengguna lainnya sehingga membentu viral.

Di bawah kedua tangga di atas, masih ada anak tangga lain, yang disebut sebagai pengritik. Mereka tak punya blog, tidak meng-update status di Twitter/Facebook, namun gemar mengomentari blog/tulisan orang lain.

Disusul di bawahnya, pengumpul (menggunakan RSS, memanfaatkan tag), penggabung (sekadar bergabung ke jejaring sosial), pengunjung (membaca-baca informasi di berbagai jejaring sosial tapi tak punya akun), dan Tidak Aktif (mereka yang tidak melakukan aktivitas apa pun).

Namun, menurut Nukman Luthfie, hanya dua segmen teratas, yakni pekarya dan pengrumpi, yang berperan besar dalam mempengaruhi publik/konsumen pada umumnya mengambil keputusan.

Oleh karena itu, nasehatnya, jika ingin membangun citra diri dan ingin hadir bermakna di media sosial, syarat utamanya adalah Anda harus berada di tangga teratas. Yakni memiliki blog atau situs web sendiri, yang rajin diperbarui isinya.

Lanjutnya : gunakan Facebook dan Twitter sebagai media untuk penyebarannya. Sekaligus untuk menjalin komunikasi cepat. Tepatnya, jadilah pekarya sekaligus pengrumpi !

Obrolan tingkat satu. Dalam Facebook sebenarnya juga terbuka lahan bagi kita untuk menjadi pekarya. Dengan menulis di catatan. Tetapi barangkali karena aura Facebook lebih condong sebagai arenanya kaum pengrumpi, kiranya itu yang membuat lalu lintas komentar untuk catatan sering tidak sesemarak ketika mengomentari status.

Yang pasti, walau semarak atau pun tidak semarak, namun isi-isi status dan komentar dalam Facebook kiranya dapat kita pilah-pilah. Menurut Lyman Steil, yang dikutip dalam bukunya Jeffrey P.Davidson, Blow Your Own Horn : How To Market Yourself and Your Career (1987), terdapat empat tingkat komunikasi.

Tingkat pertama, omongan basa-basi, percakapan informal. Tanda “jempol” dalam Facebook menyimbolkan hal ini pula. Kedua, curhat, mengeluarkan uneg-uneg. Ketiga, bertukar informasi. Dan yang keempat adalah persuasi.

Dalam Facebook, kiranya yang paling menonjol adalah komunikasi tingkat pertama dan kedua. Karena untuk tampil di saluran ini memang tidak dibutuhkan kerja keras, misalnya dituntut untuk belajar serius atau harus membaca-baca buku tertentu. Kemudahan ini membuat semua orang bisa terjun ke dalamnya dan boleh sebebasnya bermain akrobat di bawah tenda sirkus yang bernama Facebook.

Kini silakan Anda memilih.

Apakah Anda memang ingin dikenal oleh komunitas maya Anda, misalnya sebagai monyet julig, badut atau tukang sulap ? Kalau memang merek pribadi Anda yang seperti itu yang benar-benar Anda inginkan untuk bisa dikenal, dikenang dan rela Anda wariskan kepada peradaban dunia, maka kiranya sebagian besar dari Anda kini sudah melakukannya. Secara sempurna.


Wonogiri, 21/7/2011

No comments:

Post a Comment