Thursday, July 21, 2011

Harapan Laron-Laron S-1 Itu Terbunuh Satu Demi Satu

Oleh : Bambang Haryanto
Esai Epistoholica No. 114/Juli 2011
Email : epistopress (at) gmail.com
Home : Epistoholik Indonesia


Dijamin membeludak.

Ribuan para pencari kerja dipastikan senantiasa membanjiri Pameran Bursa Kerja atau Job Career, di mana pun diadakan. Termasuk yang berlangsung di Solo (20-21/7/2011).


Realitas tersebut merupakan cerminan hal buruk tentang kepedulian lembaga pendidikan kita terhadap para lulusannya.

Lembaga pendidikan itu hanya kemaruk merekrut calon mahasiswa, lalu berusaha cepat meluluskannya. Setelah diwisuda, hanya nasib saja yang menuntun mereka.

Membeludaknya pencari kerja yang menerjuni bursa-bursa kerja itu tidak lebih merupakan arena perjudian nasib semata. Sekaligus menunjukkan rendahnya penguasaan metode ilmiah yang mereka reguk di bangku pendidikan untuk diaplikasikan di dunia nyata.

Sebab strategi berburu pekerjaan seharusnya dilakukan secara sistematis. Persis seperti ketika mereka menulis skripsi. Diawali penentuan topik skripsi bersangkutan. Dalam langkah berburu pekerjaan langkah awal itu adalah melakukan self-assessment, menilai secara kritis dirinya sendiri, guna menentukan sasaran yang sesuai bakat, minat, temperamen dirinya.

Juga meriset kualifikasi pekerjaan sampai detil informasi pelbagai perusahaan sasaran, pengumpulan data wawancara dengan karyawan yang pekerjaan atau karirnya ingin diterjuni, menggalang jejaring atau networking, sampai ujian skripsi (tes wawancara kerja).

Metode sistematis yang lebih agresif dan efektif ini tidak berbau untung-untungan. Sarana teknologi komunikasi dan informasi kini melimpah tersedia, sehingga perburuan pekerjaan tidak semata terpaku pada satu metode berbau perjudian, selain terjun dalam bursa kerja, adalah membalas iklan-iklan lowongan.

Rata-rata pencari kerja tidak tahu bahwa sebenarnya lowongan yang muncul dalam iklan senyatanya hanya 15 persen dari seluruh lowongan yang tersedia. Sisanya yang 85 persen tersembunyi, dan hanya pencari kerja yang smart saja yang mampu mengeksploitasinya.

Belum lagi statistik menunjukkan, yang juga telah saya tulis di kolom surat pembaca harian Suara Merdeka (28/8/2003) betapa dengan mengandalkan surat lamaran semata maka pekerjaan tersebut baru akan diperoleh bagi mereka yang telah mengirimkan 1.470 pucuk surat lamaran.

Mari kita belajar matematika. Apabila dirinya setiap hari mengirimkan sepucuk surat lamaran, maka waktu yang dibutuhkan 4 tahun lebih. Kemudian bila satu pucuk surat lamaran itu menghabiskan biaya Rp 10 ribu maka dibutuhkan dana sebesar Rp 14,7 juta.

Berburu pekerjaan bermetode ilmiah seperti dianjurkan oleh para pakar seperti Richard Nelson Bolles, John Crystal, Tom Jackson, Daniel Porot, Caroline Hyatt, Marilyn Moats Kennedy, John Truitt, Jason Robertson sampai Paul Hellman, membekali tiap diri pencari kerja dengan pengetahuan yang rasional, keyakinan baja, dan jauh dari taktik perjudian semata.

Oleh mereka, setiap diri pencari kerja senantiasa diyakinkan bahwa mereka adalah sebagai pemecah persoalan, problem solver, bagi perusahaan yang diincar. Sayang sekali, mayoritas pencari kerja kita lebih suka mendudukkan diri hanya sebagai fihak pencipta persoalan, problem maker, sebagai pengemis pekerjaan.

Mereka tidak mampu mengenali diri mereka sendiri, tidak mengenali kelebihan atau pun kekurangannya, juga tidak tahu menahu tentang tuntutan pekerjaan atau bisnis inti perusahaan sasaran. Meminjam ajaran strategi perangnya Sun Tzu, mereka yang tahu dirinya sendiri dan tahu lawannya, akan senantiasa meraih kemenangan ; mereka tahu dirinya atau lawannya kadang menang dan kadang kalah ; sedang mereka yang tidak tahu tentang dirinya sendiri atau pun lawannya akan ditakdirkan selalu mengalami kekalahan.

Pribadi-pribadi pencari kerja dengan metode usang dan tradisional, adalah mereka yang akan selalu mengalami kekalahan. Yaitu sebagian besar dari mereka yang mengundang iba karena rela terjun dalam hiruk pikuk berburu kerja di tengah bursa tenaga kerja yang heboh itu.

Mereka ibarat laron-laron yang riuh mengerubungi bola lampu yang benderang, tetapi semata mempraktekkan akal-akalan jalan pintas yang sangat sarat aroma perjudian nasib semata. Setiap perjudian senantiasa menimbulkan lebih banyak korban kekalahan.

Mereka yang kalah itu akan lebih banyak diam, dan bunga harapan yang disemai sejak mereka usai wisuda itu akan hanya terkulai satu demi satu.



Wonogiri, 19/7/2011

No comments:

Post a Comment