Oleh : Bambang Haryanto
Esai Epistoholica No.18/Maret 2005
Home : Epistoholik Indonesia
HADIAH UNTUK RIA. Buku karya Leonard Louis Levinson, Webster’s Unafraid Dictionary (1967) itu saya hadiahkan kepada Riaty Raffiudin ketika ia berulang tahun. Saat itu ia belajar di Jurusan Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia. Aku mengenalnya sejak ia duduk di kelas 1 SMA Regina Pacis, Palmerah Utara dan diriku saat itu belajar di Universitas Indonesia. Ketika aku keluar dari UI dan ia justru baru menjadi mahasiswa baru di UI.
Ia tinggal di Jakarta Barat, saya di Jakarta Timur. Kita temu, telepon, tetapi yang paling berkesan adalah saling menulis surat yang panjang-panjang. Kita sama-sama kaum epistoholik yang fanatik ! The good old days itu terjadi pada tahun 1986.
Pernah ia aku jemput di kampus, masih di Rawamangun, lalu kita keluyuran ke Pasar Seni Ancol. Keliling Pasar seni dan ngobrol. Materi obrolan kita saat itu justru bukan tentang seni, tetapi mengenai artikelnya William Liddle seputar “warna-warni” militer di bawah rejim Suharto saat itu. Kalau boleh waktu diputar ulang, seharusnya aku engga menyiksa dia dengan obrolan “macho” dan “tak sensitif terhadap wanita” seperti ini.
Juga nonton pameran buku yang masih berlangsung di seputar Monas. Tetapi karena selera kita beda maka saling jalan sendiri-sendiri. Setelah ketemu lagi, lihatlah, ia saat itu habis belanja buku-buku Islam. Aku saat itu sedang mabuk buku-buku komputer.
Celetukku, “kita berdua mewakili profil psyche manusia masa depan seperti digambarkan oleh John Naisbitt dalam buku ngetopnya saat itu, Megatrends : high tech, high touch” .Ia seperti menikmati kebebasan keluyuran semacam itu. Maklum, ortunya sangat protektif, hingga keluyuran macam begini kalau ketahuan pasti dilarang keras.
Dalam kali lain kita date untuk merasakan pertama kali makan pizza. Menunya : rada diusir-usir oleh penjaga restonya. Maklum, kita bayarnya pakai voucher hadiah dan bukan uang tunai. Atau tertawa bareng sampai mengeluarkan air mata (saya terbatuk-batuk, karena saat itu aku belum berhenti merokok) di teras rumahnya yang pagarnya berupa hutan bambu ketika berbagi cerita lelucon tentang seks.
Bukunya Levinson itu adalah kamus ugal-ugalan. Untuk mengundang tawa secara cerdas. Sekadar contoh, ada kutipan dari H.L. Mencken (1880–1956), seorang wartawan dan kritikus sastra Amerika tentang apa definisi perzinahan : demokrasi yang diaplikasikan dalam cinta (hal. 5).
Lalu pepatah Rusia yang memberikan definisi tentang uang : sesuatu yang mampu memberi seseorang sepasang sayap yang dapat mengantarnya terbang kemana saja kecuali ke surga (hal.162).
Karena suka, saya dengan senang hati membeli kamus itu dua biji. Satu untuk Ria, dan satu untuk diri saya sendiri.
Salah satu lema (entri) kamus itu mencuat kembali di benak ini, hari ini (22/3/2005) ketika berselang lima tahun aku bisa kembali mengunjungi Gedung Museum Rekor Indonesia (MURI) di Jalan Perintis Kemerdekaan 275 Srondol Semarang 50132 (Telp. 024-7475 172. Fax. 024-7475 173. E-mail : rubino@indosat.net.id). Lema (entri) kamusnya Levinson yang saya maksud tersebut tertera di halaman 15 :
ATHEIST. A man who can create his own holidays.. Ateis : seseorang yang mampu menciptakan hari liburnya sendiri.
Kalau Anda ngeh bahwa selama ini hari libur kita selalu dikaitkan dengan hari tertentu dalam keagamaan, definisi di atas pasti mengundang tawa. Lalu apa kaitannya dengan saya ? Saya bukan seorang ateis. Saya seorang muslim. Tetapi saya sejak tahun 2000 memang telah menciptakan hari, dan mencita-citakannya kelak agar hari tersebut bisa menjadi hari libur nasional.
Untuk membuktikannya, silakan saja Anda datang ke Gedung MURI. Begitu menaiki tangga terakhir untuk sampai di lantai kedua, belok kiri dua-tiga langkah, Anda akan menemui papan pajang yang pertama. Foto saya sejak tahun 2000 telah terpajang di sana. Data yang menyertai foto tersebut berbunyi : Bambang Hariyanto (seharusnya Haryanto), Pencetus Hari Suporter Nasional 12 Juli.
Kini, bayangkanlah, apa kira-kira yang Anda rasakan ketika melihat foto diri Anda terpajang dalam sebuah gedung yang bernama museum ? Bagi saya, segera muncul perasaan yang aneh. Seperti melihat seseorang yang telah almarhum, tetapi seseorang itu ternyata diri kita sendiri.
Betapa tidak. Foto diri saya itu telah terpajang sejak tahun 2000. Sudah lima tahun ! Tetapi seingat saya, sejak itu, saya belum pernah mendengar seseorang memperbincangkannya atau bercerita tentang foto dan prestasi saya tersebut kepada diri saya. Tak ada surat, tak ada email, apalagi SMS yang sampai ke diri saya.
Bukankah ini tanda bahwa diri saya telah "tiada" ? Di museum prestasi saya memang terpajang, tetapi sekaligus di sana pula terjadi pembunuhan atas eksistensi diri saya ?
Siapa bisa menjawab. Komunikasi ”sambung rasa” yang tak terjadi ini mungkin bisa dimaklumi karena tiadanya hal-hal teknis. Misalnya, data diri yang menyertai pemajangan foto itu memang tidak mencantumkan alamat kontak. Nama kota asal juga tidak ada.
Fihak museum memang belum inovatif, misalnya dengan menyediakan komputer sehingga para pengunjung dapat mengisi buku tamu online, lalu menuliskan kesannya. Sokur-sokur kalau bisa ditampilkan secara rinci, diurut menurut abjad nama-nama tokoh penghuni museum yang ingin mereka kontak secara individu, atau sekadar menuliskan salam, lalu pesan dan kesan tersebut ditampilkan dalam situs web yang mendunia.
Tahun 1996 saya telah menikmati layanan buku tamu maya yang mendunia dan istimewa itu. Yaitu ketika menuliskan email berisi dukungan kepada atlet-atlet kita (dan juga titip salam untuk adik saya yang lagi meliput) di Olimpiade Atlanta.
BEBEK MATA AJAIB. Apa pun yang terjadi dan apa pun kata orang, diriku merasa rada “beruntung” dalam pemajangan di Museum Rekor Indonesia itu. Di dekatku ada foto gadis kecil manis berprestasi besar : Sri Izzati Setyo S., 8 tahun, penulis novel termuda.
Ada foto berisi serombongan wanita-wanita muda jelita, bergaya metropolis, mewakili Radio Metro Female, Jakarta. Mereka tercatat di MURI sebagai radio wanita yang dikelola oleh 100 % wanita. Apakah satpamnya wanita ? Teknisi komputernya juga wanita ?
Juga ada Ayu Okvitawanli. Anak ini kecil-kecil sudah pandai menakut-nakuti orang. Atau membuat teka-teki bagi banyak orang. Ia berusia 11 tahun dan tercatat di museum ini sebagai wanita penulis novel/cerita misteri termuda. Agak ke kanan, aku temu (lagi) sama Pradipta Bagaskara. Aku pernah ngobrol sama anak satu ini, masih berseragam sekolah SMP Negeri I Solo.
“Dipta, gitaris rock favoritmu siapa ? Ritchie Blackmore ?”, tanyaku.
Ia yang saya temui saat ada syuting untuk MetroTV yang memprofilkan dirinya, di markas Republik Aeng-Aeng Solo, menjawab : “Ya, oom. Juga Joe Satriani, Yngwei, termasuk Jimmy Page dari Led Zeppelin”. Dipta yang anak pelukis itu, dalam foto nampak disertai Setiawan Jodi. Ia tercatat sebagai gitaris rock termuda.
Diriku dalam museum ini ternyata juga tidak hanya dikepung oleh para insan-insan berprestasi. Tetapi juga satwa berprestasi. Persis di kiriku ada foto Drs. Gatot Purnomo S dan ibu. Ia sedang memegang seekor bebek, walau bukan bebek sembarang bebek. Bebek itu bisa masuk MURI karena bila satu matanya disenter maka cahaya tersebut akan tembus ke mata satunya. Ringkasnya : inilah bebek transparansi !
REKAN-REKAN BARU LAGI. Memasuki Gedung MURI seperti kembali memasuki rumah sendiri. Lima tahun lalu penyambutannya juga sama dengan hari ini. Suara klenengan, sajian musik gamelan Jawa, menyapa para tamu, para pencipta rekor dan keluarganya. Saat itu juga nimbrung kedatangan rombongan pelajar SMA dari Lampung.
Tokoh-tokoh sentral MURI juga belum berubah. Pak Ocke Rubino yang lebih banyak di belakang layar, Pak Paulus Pangka yang saban minggu dapat dipastikan tampil dalam liputan televisi untuk memberikan Piagam MURI, juga mBak Wida. Kalau beruntung, bisa ketemu sama penggagasnya, Jaya Suprana.
Dengan Pak Jaya dan Pak Ocke, kita sudah saling mengenal sejak 1983. Pak Jaya sebagai tokoh kartunis pernah mensponsori adik saya Basnendar, saat itu 11 tahun, untuk berpameran kartun bersama kelompok Brigade Kelompok Kecil asuhan Mayor Haristanto, di Semarang (1992) dan Balai Budaya Jakarta (1983).
Ada yang tetap, ada yang berubah. Yang berubah, tentu saja, setiap pengusulan rekor baru pasti akan kita temui wajah-wajah baru. Rekan-rekan baru. Begitulah, ketika berada di tengah Gedung MURI tersebut ritual awal percakapan antarkenalan baru tersebut menjadi khas. Sering tidak menanyakan dulu nama atau pekerjaan. Tetapi : Apa rekor Anda ?.
Ya, apa rekor Anda ? Senyum antarkita lalu mengembang, pertukaran info atau kartu nama pun segera terjadi. Kita merasa senasib. Bersama-sama meraih pengakuan dan prestasi melalui jalur keunikan masing-masing. Jangan kaget pula bila pertanyaan sakral warga Murian tadi, “Apa rekor Anda ?”, tidaklah melulu khas ditujukan bagi orang dewasa. Siapa tahu, di sebelah Anda ada anak kecil yang berhak memperoleh Piagam MURI dan statusnya pun sejajar dengan Anda pula.
Sekadar kilas balik, di tahun 2000 saya memperoleh MURI barengan dengan anak balita. Namanya Gigih Muhammad Pribadi. Prestasinya sebagai balita pandai membaca huruf Arab dan angka Arab sampai dengan ratusan trilyun (15 digit). Juga bersamaan dengan penghargaan MURI untuk Athira Salsabila Azry, yang unik. Lahirnya 9-9-1999 Jam 09.09 !
Kali ini, antara lain, saya berbarengan dengan gadis imut, M. Audrey Loekito, asal Surabaya. Umurnya baru 16 tahun tetapi sudah menyelesaikan S-1 di Amerika Serikat. Saya sempat berbincang sama ayahnya, Pak Budi Loekito. Saya mendengarkan betapa bangga dia atas prestasi putrinya itu. Sesekali saya hanya menyela, bahwa Audrey yang pintar itu beruntung karena mendapatkan gen hebat dari orang tuanya.
Saya juga usulkan, setiba di Surabaya agar sudi berkunjung ke kantor redaksi beberapa media massa setempat, untuk mewartakan prestasi MURI putrinya itu. Agar kelebihan dan prestasi itu menyebar. Sebagai tauladan. Pemecut prestasi. Aku sendiri, penginnya sih segera kirim email ke beberapa kenalan redaktur majalah remaja di Jakarta. Tapi apa daya, data mereka ikut raib dengan hilangnya PDA-ku, pertengahan Januari lalu di Singapura.
Sebelum berpisah, Audrey pun dengan suka hati membubuhkan tanda tangan dalam banner Piagam MURI 2000 yang saya bawa. Begitulah, saya memang punya kebiasaan mengumpulkan tanda tangan seperti ini. Sebuah gestur tanda apresiasi, untuk eksistensi dan prestasi mereka yang saat itu saya temui di perhelatan MURI kali ini.
Termasuk yang membubuhkan tanda tangan kenangan adalah Hendi Sumantono, yang tinggal di Cimahi. Dengan instrumen mulut, ia mampu menirukan suara saksofon, oboe dan juga trombon. Sepotong lagu Hello, Dolly-nya Louis “Satchmo” Armstrong sempat ia lantunkan.
“Aku berlatihnya selama 2 tahun, mas”, ceritanya padaku. Prof. Sarlito dari Fakultas Psikologi UI, yang sering tampil memainkan saksofon, kalau temu Hendi ini entah, aku tak bisa membayangkan, apa reaksinya. Mau terus belajar memainkan instrumen saksofon atau justru tanpa saksofon, Professor ?
Pemilik rekor unik lainnya Ir. Teguh Joko Dwiyono, asal Jakarta. Ia memelopori senilukis dengan bahan kulit telur. Kulit-kulit telur yang ia amati sesudah istrinya memasak nasi goreng, dengan ditempelkan di botol, keramik atau gerabah, kini telah diekspor ke Eropa dan Amerika. Ia pun kini memiliki 150 anak didik pula.
Ketika bertukar kartu nama, saya terperanjat : ia beralamatkan di Rawamangun. Obrol punya obrol, ternyata jalan di depan rumahnya merupakan jalan yang saya lewati tiap hari ketika masih menuntut ilmu di kampus UI Rawamangun saat itu.
Tokoh lainnya, Ibu G. Dewi Tarot, asal Surabaya. Ia seorang peramal, cantik, dan kolektor kartu Tarot dari pelbagai penjuru dunia. Yang tak kalah heboh justru suaminya : melanjutkan obrolan kita bulan Januari yang lalu, sekali lagi, ia berjanji padaku akan menghimpun kaum epistoholik Jawa Timur, lalu akan bergabung dalam komunitas Epistoholik Indonesia !
Adik saya, Mayor Haristanto, memperoleh MURI-nya yang ketiga. Kali ini ia mengklaim sebagai tim sukses artis SMS terbanyak, 5 artis. Meliputi Tia AFI 2 (Indosiar), Armed KDI (TPI), Joseph BAR (Bintang Akting RCTI), Indri Penghuni Terakhir 1 (antv) dan Sita calon Penghuni Terakhir 2 (antv).
MONEY MAGNETISM ?. Sepanjang perjalanan bis Solo-Semarang, diselingi kirim SMS ke Bambang Kartono Kurniawan (rekan sesama finalis Mandom Resoluton Award 2004, Jepara), Suprayitno (warga Epistoholik Indonesia, Semarang) dan Purnomo Iman Santoso (warga Epistoholik Indonesia, Semarang, tetapi lagi di Kebumen), saya menghabiskan kembali isi buku The Little Pot of Gold : 100 Keys to Success and Wealth-nya Peter Spann (2003). Buku ini hadiah sobat saya Lasma Siregar yang berdomisili di Melbourne, Australia. Di halaman 30 Spann menulis :
Tahukah Anda bahwa uang itu selalu menempel ibarat magnet kepada seseorang yang tertentu ? Orang-orang tersebut mengetahui Tiga Rahasia Magnetisme Uang.
Rahasia Pertama Magnetisme Uang : Keunikan. Temukan bakat, keterampilan atau produk yang benar-benar unik, sesuatu yang dibutuhkan orang, di mana mereka bersedia membayar dan hanya Anda satu-satunya yang mampu menyediakannya, dan itulah tiket Anda menuju kaya raya (hal. 31).
Sebagai pendiri komunitas Epistoholik Indonesia, dan saya yakin memiliki keunikan tinggi, serta baru saja dikukuhkan dengan pemberian Piagam MURI ini, itukah jalanku pula untuk menuju kaya raya ?
Ketika turun dari bis Semarang-Solo, di Terminal Tirtonadi, Solo, aku harus meliwati pos penarikan retribusi untuk bisa menuju terminal tempat mangkal bis jurusan Wonogiri yang akan saya tumpangi berikutnya. Setiap mereka yang melewati pos ini akan ditarik uang 200 rupiah.
Piagam MURI-ku yang aku tenteng rupanya menarik perhatian para petugas pos retribusi ini. Mereka, ada 4 petugas mengenakan seragam abu-abu-biru, nampak tertarik untuk membaca-baca isi piagam tersebut.
Secara iseng aku bertanya : “Pemegang MURI, apakah juga ditarik retribusi ?”. Uang logam 500-an yang saya angsurkan tidak mereka ambil. Dengan menggerakkan jempol, ia justru menyilakan aku untuk lewat secara pro deo. Tanpa pungutan.
Itukah imbalan finansial yang pantas untuk keunikan sebagai pendiri komunitas Epistoholik Indonesia yang baru saja dikukuhklan dengan penghargaan Piagam MURI ini ? Agar gratisan, setiap kali kalau lewat pos ini harus membawa Piagam MURI ya ?
Tetapi ada petugas lain yang sepertinya memiliki agenda tertentu. Saat itu pula ia sepertinya bersemangat mengajakku untuk ngobrol. Aku ia giring untuk memasuki warung makan sebelah pos, dan ia memberi aba-aba kepada penjaga warung untuk menyediakan minuman teh hangat. Apa yang sedang terjadi pada diriku saat ini ?
Petugas itu belum aku kenal. Ketika aku sebutkan diriku sebagai penulis surat pembaca, ia langsung menyebut nama seorang tokoh notaris Solo. Ya, lewat surat dan telepon, aku memang mengenal sang notaris itu. Topik obrolan lalu cepat berpindah.
Sepertinya petugas itu meminta bantuanku agar masyarakat Solo dibangunkan kewaspadaannya untuk tidak tergiur iming-iming mencari uang di jalur cepat, get-rich-quick schemes, sebagai investor. Solo saat ini memang sedang diguncang berita dibongkarnya kasus investasi budi daya tanaman ginseng, yang menawarkan dividen tinggi, tetapi akhirnya permainan money game ini bangkrut pula. Direkturnya kini sudah dibekuk polisi.
Obrolan pun pindah lagi. Ia menyebutkan nama seseorang calon walikota Solo yang pelaksanaan Pilkada-nya dilangsungkan bulan Juni 2005 nanti. Serta merta ia memintaku untuk menjadi anggota tim sukses tokoh bersangkutan. Aku berkelit, “aku orang Wonogiri, masa ikut campur urusan warga kota Solo ?”. Untuk menyudahi pembicaraan ini, aku lalu meminta nomor HP-nya.
Aku lalu minta pamit. Ia memintaku lagi untuk minum teh yang sudah tersedia. Di kepala ini lalu muncul bunyi alarm, teringat isi spanduk yang sering terpasang di terminal ini selama musim mudik Lebaran : “Awas Pembiusan. Jangan Menerima Minuman atau Makanan Apa Pun Dari Orang Yang Belum Anda Kenal”
INSPIRASI ANDREA BOCELLI. Harga sebuah keunikan diri sebagai kaum epistoholik, yang juga baru saja dikukuhkan dengan menerima Piagam MURI, kalau dalam bentuk uang hari ini, ya sebesar Rp. 200 itu tadi. Maaf, ini hanya guyonan.
Sebenarnya tahun lalu, gagasan saya mendirikan dan membesarkan komunitas penulis surat pembaca itu telah memperoleh penghargaan Mandom Resolution Award 2004 dari PT Mandom Indonesia Tbk. Hari-hari ini pun bentuk penghargaan yang intangible, tan kasat mata, rasanya saya boleh menyebutnya sebagai orang yang kaya raya. Betapa tidak ?
Hari Minggu sore (20/3/2005), profil saya sebagai seorang epistoholik telah muncul di program “Bussett”-nya rumah produksi (PH) Shandika Widya Sinema yang ditayangkan di stasiun televisi swasta TV7. Sayang, aku sendiri justru tidak bisa menontonnya. Fihak PH satu ini kurang peka, tidak proaktif untuk memberitahukan tayangannya kepada pengisi tayangannya. Sudahlah. Aku cukup bahagia menerima respons yang mengalir kemudian.
Misalnya dari kawan sesama alumni Mandom Resolution Award 2004, pematung dan fotografer seni Nurhayati (Jakarta), adikku Broto Happy W (Bogor, tahunya ia mendapat pertanyaan dari bosnya di Tabloid BOLA, Ignatius Sunito, yang tanya : “Masmu muncul di TV7, nonton ngga ?”), Joko Suprayoga (warga Epistoholik Indonesia, Kendal) dan juga Eric Levi Siranda, pelajar SMA Malang, warga Epistoholik Indonesia. Eric ini mengaku bangga, lalu memberitahukan kepada gurunya Kukuh Widyatmoko, yang juga warga Epistoholik Indonesia. Kukuh kemudian mengirimkan emailnya kepada saya.
Terima kasih. Saya merasa punya hutang untuk segera membalas email dan SMS mereka. Terutama untuk kembali bertegur sapa dengan kenalan-kenalan baru, seangkatanku, penerima MURI hari ini.
Di atas bis Solo-Wonogiri, ada tanda SMS masuk. “Hehehehe, slamat ya. Udah dapet MURI, lalu masuk tivi lagi...rasanya hidup penuh prestasi“, komentar Nurhayati (Jakarta), sesama finalis Mandom Resolution Award 2004. Ia bermurah hati, mendobeli ucapan yang sebelumnya terkirim dalam email.
Sobat lain, Dion Desembriarto, warga Epistoholik Indonesia yang berdomisili di Yogya, mendorongku untuk meraih MURI yang berikutnya. Isi kepala ini pun kemudian terasa bergaung nada-nada musik yang indah. Aku membayangkan suara emasnya Andrea Bocelli.
Kalau Anda pernah menikmati albumnya Tuscan Skies atau Cieli Di Toscana, pada intro sebelum nomor “Melodramma” (Homecoming), akan terdengar kata-kata Andrea yang menyatakan bahwa semakin jauh ia bepergian, mengelilingi dunia, semakin dia mempertanyakan siapa sebenarnya jati dirinya dan akan menjadi apa di masa depannya.
“Semakin jauh aku pergi, semakin mengerti kemana aku harus kembali,. Somehow, life seem simpler and more beautiful under Tuscan skies”, tutur Andrea Bocelli.
Andrea Bocelli selalu ingin pulang ke Tuscany, kawasan barat tengah Italia. Diriku ? Ya harus ke Wonogiri untuk kembali. Secara canda, kota ini dalam bahasa prokem, lingo, komunitas penulis surat pembaca Indonesia memiliki julukan sebagai epistocenter sekaligus epistopolis. Karena di kota kecil ini pula embrio Epistoholik Indonesia disemai, dibesarkan, dijadikan sebagai pusat gempa sekaligus kiblat para penulis surat pembaca.
Pakar komunikasi David McNally dan Karl D. Speak dalam bukunya BE Your Own BRAND (2004) menulis, merek Anda mulai menjadi kuat ketika Anda memutuskan apa yang Anda percayai dan Anda kemudian bertekad untuk bertindak dengan dasar kepercayaan tersebut. Pada saat itulah, Anda mulai memisahkan diri dari kebanyakan orang.
Itulah, kurang dan lebihnya, yang terjadi dalam menyemai komunitas ini. Magnit itu pun menyebar. Kru-kru televisi, sekadar contoh, dulu dari Jakarta dan yang terakhir dari Yogya, sudi berdatangan untuk meliput keunikan yang aku punyai, sebagai penanda eksistensi diri ini di tengah dunia ini.
Tak ayal, sebagian teman menyebutku nampak bahagia dalam liputan televisi yang terakhir ini. Afterglow, demikian kira-kira penjelasan untuk fenomena ini. Momentum indah ini akan Anda rasakan pula, mungkin suatu saat, ketika keunikan Anda sampai keeksentrikan Anda mendapatkan sambutan yang sepadan dari dunia.
Sambutan semacam teramat memabukkan. Tetapi yang pasti, di Wonogiri ini, mabuk-mabukan itu tidak bisa berumur lama. Godaan-godaan melakukan intellectual exercises lainnya telah menunggu. Mimpi-mimpi baru harus dirajut lagi. Dan siapa tahu, hasil akhirnya akan ke MURI juga aku kan kembali. Pertanyaan “Apa rekor Anda ?”, bagiku, adalah bius yang selalu menggoda.
Bagaimana dengan Anda ?
Wonogiri, 22-23 Maret 2005
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Setelah baca dengan tekun, aku baru ngeh apa arti Komunitas Epistoholik itu.. he..he..
ReplyDeleteMenarik juga idenya. Rajin amat pakde nih cari2 ide buat masuk MURI.
Sayang ya saat ini system computerisasi di MURI belum memungkinkan pengunjung dapat ber'interactive' dengan para penerima anugrah rekor MURI.. Kalau sudah terintegrasi, kan nama pakde bisa lebih berkibar.. (fuit fuiw..)
Mungkin aku melamar saja ya ke MURI buat menciptakan system itu? Kira2 Oom Jaya Suprana mau engga ya menerimaku? Kek..kek..kek.. Just kiddinx...
Enak juga ya panggil pakde.. (Kalau ga setuju aku panggil pakde, kirim email keberatan aja yo..)