Oleh : Bambang Haryanto
Esai Epistoholica No. 31/Desember 2005
Email : epsia@plasa.com
Home : Epistoholik Indonesia
Wir haben, wo wir lieben, ja nur dies :
einander lassen; denn dass wir uns halten,
das fällt uns leicht und ist nicht erst zu lernen.
(Rainer Maria Rilke, 1875–1926
Penyair Jerman)
The MySpace Generation. “Mereka hidup secara online. Mereka berbelanja secara online. Mereka bermain secara online. Kekuatan mereka semakin menguat.” Itulah judul laporan utama majalah bisnis terkemuka, Business Week (12/12/2005).
Anak-anak muda kini hidupnya semakin terintegrasi dengan sarana-sarana teknologi informasi dan layanan yang tersedia. Mereka juga semakin tergantung pada apa yang disebut sebagai jaringan sosial online, termasuk bersaranakan blog, untuk menancapkan identitas sosial mereka.
Situs blog seperti MySpace sampai Xanga.com, adalah tempat nongkrong online yang semakin populer. Dalam lingkar pergaulan seperti itu, virtual community center, pusat komunitas maya, mereka dapat curhat, menemukan tempat untuk mengadu saat patah hati, mendapat teman untuk membantu menyelesaikan pekerjaan rumah dari sekolah, dan alamat serta acara pesta Sabtu malam.
Walau pun jaringan semacam ini perkembangannya masih dalam tahap awal, tetapi kalangan ahli memperkirakan bahwa kini telah tercipta suatu bentuk kebiasaan sosial yang baru, yang mengaburkan perbedaan antara interaksi secara online dengan interaksi di dunia nyata.
Artikel itu sungguh mengusik saya.
“Apakah diriku juga sudah terjerumus ke kubangan kebiasaan sosial baru di atas ?”
Seperti juga Anda, saya menulis blog untuk kesenangan. Senang pula bisa mengetahui isi kepala blogger lain, seperti Andrew Sullivan, Caterina Fake, Dan Gillmor, Dave Wiener, Glenn Reynolds, Jeff Jarvis, Jeff Rosen (ini professor sekaligus blogger), Joe Trippi, Mickey Kaus, Nick Denton, Peter Rojas, Robert Scoble sampai si rambut jabrik Xeni Jardin.
Bisa puas lagi bebas mengeluarkan uneg-uneg sampai gagasan dengan gaya personal. Semau kita. Tak ada lagi batasan tirani kolom atau diktator media. Aktivitas yang mengasyikkan, terlebih seperti diungkap oleh Bapak Pencipta Snoopy, Charles Schulz, karena pahalanya justru otomatis ternikmati ketika kita lagi mengerjakannya.
The reward is in the doing.
Bila tulisan mendapatkan komentar dari blogger lain, itu adalah bonus. Termasuk bisa berkenalan dengan teman-teman baru, tempat meminta nasehat dan bimbingan. Konsultan blog saya yang baik hatinya, Tina, tinggal di Ulm, Jerman. Atau sekadar saling bertukar cerita-cerita jenaka.
Bahkan saya punya sahabat online, Lasma Siregar, mengaku sebagai TKI di Melbourne, Australia, yang luar biasa. Dia sudah lebih dari setengah lusin kali membanjiri saya dengan hadiah : buku-buku hebat, decoder (buku unik, bukan alat TV), artikel, kaos, sampai majalah-majalah Playboy edisi era Jurrasic.
Mungkin karena saya sudah berumur 53 tahun, oleh Lasma Siregar sengaja dipilihkan edisi majalahnya Hugh Heffner itu yang khusus memuat artis-artis yang kini pasti sudah jadi nenek-nenek.
Anda tahu artis Indonesia, Ratna Assan, puteri Devi Dja dari kelompok hiburan Dardanella, yang satu jaman dengan Tan Tjeng Bok ? Ratna Assan pernah tampil polos saat ikut membintangi film Papillon bersama Steve McQueen. Di majalah Playboy edisi era brontosaurus :-)) itu Ratna Assan berpose dengan penuh pesona.
Well, dengan menulis di blog, kejutan demi kejutan juga mewarnai hidup saya. Disapa oleh seseorang yang tidak dikenal, ternyata mengaku sama-sama sebagai warga WNA. WoNogiri Asli. Atau oleh sesama mahasiswa seangkatan, tapi beda jurusan, yang dulu justru tidak saling kenal.
Blog bagiku kini juga tiba-tiba ibarat mesin waktu. Hal-hal yang selama ini nampak maya, berjarak, seperti main-main dan tidak serius, ternyata ketika menjadi realitas mampu hadir menggetarkan. Karena blog pula, masa lalu tiba-tiba di ujung Desember 2005 ini merenggutku untuk kembali. Dengan bahasa panggil yang sangat berbeda.
Oleh dia. Oleh sebuah nama.
Widhiana Laneza.
Widhiana Laneza
Satu Tahun Lalu : 2004. Kamis, 28 Oktober. Wonogiri, Jawa Tengah. (Mengenang) Wanita-Wanita Terindah : Jacquline Bisset. Isabelle Adjani. Sherry Bilsig, pramugari dalam Die Hard 2 : Die Harder. Arie Kusmiran. Miduk. Kenil. Cresenthya Hartati. Widhiana Laneza. Dwi Retno “Tutut” Setiarti. Erika "Michiko" Diana Rizanti. (Posting di blog Buka Buka Beha/28 Oktober 2004).
Lima Bulan Lalu : 2005. Senin, 11 Juli. Wonogiri, Jawa Tengah. (Mengenang Masa Kuliah : 1980-an) ”WTS-WTS” Yang Memesona. Di komplek kampus Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Rawamangun, terdapat taman yang dipayungi rimbun pepohonan yang diisi beberapa kupel dan bangku taman. Di sana-sini mangkal pedagang makanan.
Komplek ini tiap hari kuliah selalu ditaburi sosok-sosok yang mampu melahirkan inspirasi, bukan saja cantik dan jelita, tetapi juga memesona. Mereka itulah yang lajim disebut sebagai para “WTS” : Wanita Taman Sastra.
Misalnya, dari Arkeologi ada Widhiana Laneza. Bercelana jin biru, baju jin biru pula, rambut panjangnya digerai. Mirip penyanyi rock. Kacamatanya frame besar seperti yang dipakai komedian Drew Carrey. Sekilas mirip sosok tokoh feminis terkenal, Gloria Steinem. Bagiku, ini pemandangan yang memesona.
Ada pula Deasy Indriati, yang mungil dan gemintang. Dari Ilmu Perpustakaan : Saraswati, Sri Mulungsih, Arlima Mulyono (adik dari pelawak Warkop, almarhum Nanu Mulyono), Poppy sampai Evy yang mengejar-ejar cinta saya.
Dari Sastra Cina, misalnya penyanyi Christine Panjaitan. Teman kentalnya, Prianti Gagarin Singgih, yang seperti cewek bule Amerika. Sosok menawan dari Sastra Inggris antara lain, Siti Rabyah Parvati. Ayahnya dari Padang, ibunya, Ibu Poppy, priyayi dari Solo.
Rumah eyangnya di Solo kini menjadi lokasi berdirinya Balai Sudjatmoko. Intelektual raksasa dan Rektor Universitas PBB di Tokyo tersebut tidak lain adalah oomnya Siti Rabyah Parvati, yang akrab dipanggil Upik ini. Ayah Upik adalah Perdana Menteri Sutan Syahrir. (Posting di blog Esai Epistoholica No. 24/Juli 2005/11 juli 2005).
Tujuh Bulan Lalu : 2005. Selasa, 14 Juni. Wonogiri, Jawa Tengah. (Mengenang Masa Kuliah : 1980-an). Rayuan Bu Dosen Perancis. Cita rasa saya terhadap wanita yang ada “bau-bau” Perancisnya, tetapi bukan wanita impian yang hanya bergerak-gerak di layar-layar bioskop, saya temui pada diri seorang Anez.
Mahasiswi Sastra Perancis.
Juga arkeologi.
“Namamu pakai huruf z, terasa eksotis”, pujiku. Ia menerangkan bahwa namanya diilhami dari kosa kata bahasa Spanyol.
Nama Spanyol, cinta Perancis. Saking kentalnya Anez dengan Perancis, anjingnya yang kecil dan lucu, juga punya nama dalam bahasa Perancis : Grigri. Artinya, jimat. Saat itu dengan bantuan teman, saya membuat kop surat dengan komputer. Tertulis “Grigri Petshop” lengkap dengan alamat rumahnya, yang disambut Anez dengan tertawa-tawa.
Sayang, bahasa Perancisku tidaklah canggih. Aku pernah ikut dalam mata kuliah Bahasa Sumber di FSUI, kini Fakultas Ilmu Budaya UI. Di sini setiap mahasiswa, baik Arkeologi, Ilmu Perpustakaan (jurusanku) dan Filsafat (jurusannya Dian Sastro kini), Sastra Arab, Sastra Belanda, Sastra Cina, Sastra Indonesia, Sastra Inggris, Sastra Jawa, Sastra Jepang, Sastra Jerman, Sastra Perancis, Sastra Rusia dan Sejarah, wajib mengikuti mata kuliah tersebut. Para mahasiswa boleh memilih : bahasa Belanda, Italia atau Perancis.
Aku memilih Perancis. Tetapi karena metode belajarku tidak efektif, selain tuntutan untuk berfokus pada mata kuliah di jurusanku sendiri, membuat mata kuliah Bahasa Perancis ini menjadi kurang membahagiakanku. Apalagi, mungkin ini bisa disebut sebagai ge-er berat, ibu dosen Perancisku yang masih muda dan charmant itu, aku rasa, terlalu berlimpah memberikan perhatian rada khusus pada diriku. Memuat rayuan terselubung. Godaan yang menggairahkan. Mendebarkan dan menggelisahkan.
Teman sekelasku dari jurusan yang berbeda, yaitu cewek-cewek yang radar atau naluri kewanitaannya peka, sering mencandaiku akan hal spesial satu ini. Termasuk pula Upik, anak Sastra Inggris dan putri mantan Perdana Menteri RI Sutan Syahrir, yang sering aku repoti ketika aku sulit mengerjakan PR atau saat tes-tes dadakan Bahasa Perancis.
Semua gunjingan itu membuatku jadi jengah. Aku seperti Benjamin Braddock yang naif di depan Mrs. Robinson yang berpengalaman. Akhirnya, aku melakukan desersi. Hanya ikut kuliah bahasa Perancis itu satu semester. Au Revoir ! Lalu pindah ke mata kuliah Bahasa Belanda.
Kembali ke Anez. Aku belum berani membelai Grigri, anjing kesayangannya itu. Aku merasa kurang yakin bahwa diriku memiliki keramahan alami untuk seekor anjing. Pernah saya bertemu seekor anjing, di mana mulutku tidak berkata apa-apa kepadanya. Hanya sorot mataku ingin berkata : “Hei, kamu anjing jelek”. Kami pun berpapasan dengan damai. Tetapi, sekejap kemudian, saya rasakan sebuah gigitan mencengkeram tumit saya. Anjing itu rupanya memahami bahasa nonverbal saya.
Untung rabies tidak mendera saya.
Grigri dan Anez, sungguh ajaib, menjadi pemicu terbitnya buku kumpulan lelucon satwa, yang saya tulis, Ledakan Tawa Dari Dunia Satwa (Andi, 1987). Begitulah modal rayuan saya. Perasaan jatuh cinta yang mendalam telah berujung dengan terbitnya sebuah buku.
Kutipan sebagian isinya :
“Apakah Grigri seekor anjing penjaga yang baik, Anis ?” “Yah, lumayan. Kalau mendengar gemerisik di malam hari, aku harus membangunkan dia dan barulah ia menyalak.”
Aku telah menghabiskan waktu 5 bulan untuk melatih anjingku agar menjadi anjing penjaga yang baik dan berani. Istriku juga mengajarinya membawakan keranjang belanjaan dan surat kabar. Suatu hari rumahku didatangi pencuri, dan apa yang terjadi ? Anjing sialan itu memegangi obor dan menerangi pencuri dalam beraksi.
Sebuah perusahaan industri makanan anjing berhasil mengeruk keuntungan yang melimpah lewat produknya yang terbaru. Konon makanan itu cita rasanya persis sama dengan kaki pegawai pengantar pos !
Proses (penulisan buku) yang terjadi memang menggairahkan, mungkin tercampur dengan mabuk, terpagut ekstasi, sekaligus tidak memikirkan apa hasil akhir yang terjadi. Kalau Anda percaya, itulah fenomena menakjubkan yang disebut sebagai flow, mengalir, temuan psikolog Mihaly Csikszentmihalyi dari Universitas Chicago.
Flow adalah kondisi bahagia dan terkonsentrasi yang seakan-akan tidak dibatasi waktu, yang Anda raih ketika pekerjaan tidak terlalu sulit tetapi juga tidak terlalu sederhana, namun cukup menarik untuk memikat seluruh perhatian Anda. Flow sering bersamaku ketika menulis surat-surat rayuan yang panjang atau bergulat merampungkan tulisan-tulisan yang membahagiakan.
Mengilas balik di antara momen-momen interaksi yang istimewa dan terjadi dengan Anez, adalah ketika saya ikut makan malam dengan ayah dan ibunya. Beliau adalah seorang duta besar di pelbagai negara francophone, negara-negara yang kuat dipengaruhi budaya Perancis, di benua Afrika. Terakhir menjadi duta besar di Kamboja.
Ketika malam itu obrolan bergulir tentang makanan, saya menyinggung kegemaran orang Perancis yang keranjingan makan escargot. Bekicot. Saya memberanikan diri nyeletuk, “Orang Perancis suka makan bekicot, membuat mereka jadi lamban ketika ditagih bayar hutang”.
Pak dutabesar meledak dalam tawa. Tetapi putrinya saat itu tidak antusias untuk ikut tertawa. Sinyal lampu merah tentang masa depan pdkt, pendekatan saya telah menyala. (Cuplikan dari posting di blog Esai Epistoholica No. 21/Juni 2005/Selasa, 14 Juni 2005).
Sembilan Belas Tahun Lalu : 1986. Sabtu, 20 September. Rawamangun, Jakarta Timur. Bangun jam 09.00, nerusin halaman 4 surat untuk Ria, tapi ogah memposinnya segera. Jam 12.00 keluar, innerku bilang, “kalau kamu pas goreh begini, tidak sarapan, pucat begini, kisruh begini...jangan-jangan ntar malah kepergok Anez.” Aku ke kantor pos : dapat 5 wesel dan 1 surat untuk ITSC (Ideas T-Shirt Club) dari tetangganya Ria, sama-sama Tawakal ; memposin surat ke Ria.
Aktivitas baru, nongkrong di shelter : jam 12.15. Innerku benar, di seberang sana, jalan sendirian, di mulut gang bertemu teman-temannya, ada cewek berjean dan baju merah kecoklatan :
Itulah Anez, Widhiana Laneza, cewek Arkeologi 82 yang sejak 1981 telah memenjarakanku dalam impian, “aku itu pengin mencintai dia, tapi jalan pengecutku selama ini, udah 5-6 kontak via surat, tak ada hasilnya”.
Saat itu, kerna perfeksionisku, aku memutuskan untuk off, ke fotokopi. “Hati gundah. Oalah, betapa kerdilnya aku ini” (Buku Harian).
Sembilan Belas Tahun Lalu : 1986. Selasa, 30 September. Rawamangun, Jakarta Timur. Bangun jam 08.00, ke JIP (kampus FSUI). Ke BAP : aku ambil ijazah SIP-ku, hari ini, dan sudah jadi. Ijazahku itu (baru dua tahun kuambil setelah kelulusanku) tak berdampak apa-apa padaku, “kenapa ya ?”. Keluar dari kampus FSUI... Jam 11.30. aku sudah di shelter, nongkrong. Ada bis 38, kukira 39, dan intuisiku berkedip-kedip, “Anez mana ?”
Dari pintu depan tak ada, ketika panning ke pintu belakang, “Ya Tuhan, itu Anez !”, gadis yang selama 4-5 tahun ini hanya hidup di angan-anganku. Hari ini ia berjean lusuh, t-shirt beige (coklat kemerah-merahan) dengan lengan dipotong, rambut tergerai nampak kusut, ia nampak kurus, berjalan tak acuh.
Seluruh badanku terasa beku : aku mau apa saat itu ? Mulutku tak bisa memanggilnya, aku cuman berjalan untuk memandanginya. Anez terus saja melangkah. Tanpa hirau. (Buku Harian).
Sembilan Belas Tahun Lalu : 1986. Selasa, 4 November. Rawamangun, Jakarta Timur. Hari ini, beberapa menit yang lalu, aku memberanikan diri untuk ketemu dan ngobrol a la kadarnya dengan Anez, Widhiana Laneza, di shelter Sunan Giri (15.30 WIB). Sebelumnya aku emang nunggu di shelter Rawamangun, eh dia malah lewat bersama temennya, acuh tak acuh di depanku, ke timur. “Apa yang harus aku lakukan ?”
Aku lalu membuntuti. Ia berhenti di shelter Sunan Giri : bercelana panjang warna khaki, baju garis-garis kecil warna coklat merah, menenteng tas kulit, saat itu temennya baru naik. Aku lalu berdiri di kirinya. Aku sapa :
“Anez ya ?”
Ia menengok. Aku mengajak salaman. Ia mau dan ramah. Aku bilang : “Aku yang pernah kirim surat kepada Anez” Dia tanya : “Sekarang kerja dimana ?’ Aku jawab, “bukan dimana, tetapi apa. Aku menulis”
Aku bilang, “aku malu, aku kan sulit ngomong, maka aku tulis surat”. Dia bilang, “iseng saja”. Kusahut : “tapi aku serius lho...”. Sambil ngomong itu aku memukul lembut pundaknya. Ia tak ada kesan benci atau menolak atas perlakuanku ini.
Oh ya aku tadi bilang : “Anez sekarang dimana sih ?” Ia nyebut alamat yang aku sudah tahu. “Saya pengin ngobrol atau main. Boleh engga sih ?”
Ia bilang : “boleh” (Buku Harian).
Sembilan Belas Tahun Lalu : 1986. Rabu, 12 November. Rawamangun, Jakarta Timur. Terima kasih, Tuhan, aku telah ketemu lagi sama Anez, di rumahnya. Sepanjang senja dan malam tadi.
Kamar tamu yang sederhana interiornya. Di tembok kiriku ada foto besar, pengangkatan babenya Anez, Taufik Rachman Soedarbo, sebagai duta besar di Senegal (?), 11 Juni 1982. Berfoto bersama Bapak/Ibu Presiden RI. Anez dalam foto itu berkain, nampak langsing, tinggi, di dekat babenya.
Lalu Anez keluar, dikerubuti anjing-anjingnya. Yang hitam bernama Grigri (jimat dalam bahasa Perancis) dan anjing merah bernama Pancho atau Cakil. Anjing putih yang di luar, galak (yang menyalakku kemarin Sabtu) dia sebut Minggo. Anez saat itu berdress : celana jean biru, baju biru, di kaki ada gelang emas, tangan bergelang, pakai jam tangan seperti di foto opspek.
Anez nampak antusias cerita tentang anjing. Aku berusaha menimpali dengan tanya, “anjingnya Liz Taylor yang bisa dikantongi itu jenis apa ?” sampai cerita humor seputar anjing yang bikin redaksi (koran) kalang kabut. Anez juga cerita tentang kakaknya yang kuliah di Paris, Sekolah Teknik Tinggi dan satunya lagi di komputer. Anez pengin ambil kursus komputer.
Malam itu, hmmm, aku ikut makan malam bersama ayah dan ibunya Anez. “Ini orang Jawa asli”, kata Anez mengenalkanku. Pak Taufik tanya, “Dari mana ? Jawa Timur ?” Aku bilang, Jawa Tengah. Wonogiri. Solo ke selatan. Beliau tidak tahu. “Engga pernah dapat pelajaran ilmu bumi”, kilah beliau.
Bapak dan Ibu Taufik makannya pakai tangan. Muluk. Ketika saya nanya mengenai makanan khas Afrika, cerita Pak Taufik banyak sekali dan aku asyik mendengarkannya. (Buku Harian).
Sembilan Belas Tahun Lalu : 1986. Kamis, 13 November. Rawamangun, Jakarta Timur. Jam 19.30 : aku sampai ke rumah Ria. Ngobrol tentang buku humor dokter, juga tentang surat kabar kampus Warta UI (Ria jadi anggota redaksinya). “Kayak baca Suara Karya”, celetukku. Ria bilang, “Makasih Mas Hari”. Sambil ngakak.
Ria bilang (dirinya) udah damai sama papanya. Udah (pula) kursus Perancis. Akhirnya aku buka kartu ke Ria : “aku kini lagi berburu cewek.” Aku suka sama dia engga (ada bumbu) romantisnya, engga ada sexual drive, tapi datar-datar saja. Rasional. Cewek itu anonim bagi Ria. (Kusebut juga) suka Perancis dan aku sebut ia (sebagai) Garuda : terbang sendiri dan mandiri. (Buku Harian).
Sembilan Belas Tahun Lalu : 1986. Sabtu, 15 November. Rawamangun, Jakarta Timur. Jam 11.30 berangkat pula jadinya, dan, di shelter Rawamangun terus tergambar Anez di sana. Sampai di JIP-FSUI, temu Ibu Soma (Ketua Jurusan). Hasil revisi skrip (yang aku tulis untuk televisi) diterima.
Engga banyak obrolan. Beliau cuman nawarin ; “mbok kamu belajar komputer, biar komputer ini engga underuse”. Aku jawab ya (dengan hati senang). Pulang. Mampir PO Box : dapat 2 surat ke ITSC, 1 tagihan dari Yani, dan Infokilat PDIN, (isinya antara lain daftar isi ) majalah Discover (September) yang ada artikel arkeologi : “moga-moga Anez bulan ini juga telah menerimanya”. (Buku Harian).
Sembilan Belas Tahun Lalu : 1986. Sabtu, 29 November. Rawamangun, Jakarta Timur. Baru saja aku nelpon Anez. “Ada apa ?’, tanya Anez. Aku agak nervous nanya bab seminar Arkeologi Publik, 2-3 Desember 1986. “Sebagai pendengar boleh kok”, katanya.
“Oh ya, kabarnya Grigri ?”, tanyaku. “Baik-baik aja. Sekarang baru mau makan”, jawab Anez. “(Anjing) yang kecil, siapa sih ?”. Anez jawab, “Bobi. Dan makasih untuk fotokopinya. Sudah diterima” Aku : “Yeah, mudah-mudahan ada gunanya” (Anez mengiakan : “ada gunanya, kok”).
“Udahan ya, Anez”
Jawab dia : “Kalau mau nelpon, nelpon aja”
“Yuk. Dadag” (Buku Harian).
Sembilan Belas Tahun Lalu : 1986. Selasa, 2 Desember. Rawamangun, Jakarta Timur. Jam 9 sudah tiba di (gedung pertemuan di komplek UI Rawamangun) Sarwahita. Upacara seminar dibuka, aku masuk. Suasana orang-orang Arkeologi FSUI adalah, “yeah, suasana jurusan yang kering, tidak favorit, underdog, tersingkir”, gitu kesanku. Seperti juga jurusanku.
Aku ikut mendengarkan makalah pertama, “Museum dan Arkeologi”, oleh Bambang Soemadio dan penanggap Aristides Katopo. Isunya : bagaimana meningkatkan kesadaran publik tentang museum dan arkeologi.
Jam 12, aku cabut, dipelototi banyak mata. Nampaknya Anez tidak ada di antara mereka. Di pintu temu Paulina, Arkeologi 1986, (sebelumnya aku kenal sebagai) anak Himpunan Astronomi Amatir Jakarta/HAAJ. Ngobrol sebentar. Lalu aku off ke (perpustakaan) PPIA.
Melihat cewek berkaki putih, innerku bilang : “Itu Upik kah ?”. Tapi aku membantah sendiri. Tapi ya, ia bener-bener Upik. Kita (lalu) terlibat ngobrol. Ia belum lulus (Sastra Inggris UI). Daftar artikelku dulu (untuknya) mubazir. Ya udahlah.
Aku berkomentar mengenai surat pembaca (yang ia tulis) di majalah Tempo. “Wah, kayak Cory Aquino”. Ia nampak senang, dengan sikap mau memukul. Komentarku lanjut : “mau jadi golput ya ?”
Upik Syahrir pergi ke rak, aku scanning majalah Scientific American. Nampak ia mau cabut, aku pura-pura tak tahu. Eh, Upik menghampiri kursiku dan bilang, “duluan, ya”.
Perpustakaan PPIA tak lagi menarik. Aku pulang, sambil menyapa “mBak PPIA” (yang kukira udah pindah). Ia bilang, “lama tidak ke sini ya ?” Aku jawab : “sore hari”. Pulang, jam 13.30. Scanning shelter UI (Rawamangun) : tak ada Anez. (Buku Harian).
Sembilan Belas Tahun Lalu : 1986. Senin, 8 Desember. Rawamangun, Jakarta Timur. Hari ketemu banyak orang : Museum Satria Mandala, aku ikut acara Pengarahan Kursus Perpustakaan Mabes ABRI 86/87. Aku tiba on time, temu banyak ABRI : letnan kolonel. Aku duduk di barisan (dosen-dosen) UI.
Ke PDII, temu mbak Jati dan Suwarto. “Untung deh gue”. Riset majalah Romantika Arkeologia (FSUI) : temu berita bagus : Anez baca makalah tentang perkotaan kuno pra-Islam di acara diskusi. “Hebat juga anak satu ini ; dan aku tidak salah pilih ya ? Ia ilmuwan, aku juga, he..he”
Ini mengkhayal bab Anez : “kurasa dia itu juga cinta ilmu seperti juga aku ; dari luar sederhana tapi isi kepalanya cukup kompleks; dan pendekatanku selama ini kira-kira cocok engga ? Ya, embuhlah.....”
Dari PDII, aku tur ke Redaksi Pelita : ambil honor artikelku (“Terorisme Media”), 4 Nov 1986, “dapat Rp. 30.950,00”. Okay. Mampir American Cultural Center (Wisma Metropolitan 2), melamar jadi anggota. Ketemu bu Is Prayoga (kepala perpustakaannya dan dosenku) : “Buset, kerjaku freelance dikaitkan sama status singleku. Dia bilang aku harus cepat-cepat kawin”. Wah, aku menjawab : “Nasehat ibu saya dengarkan”. He-he, status freelance-ku kok tidak bercitra positif ya ?
Haus fotokopi artikel, eh, ketemu bab “melatih anjing”, aku ingat Anez : 24 halaman. Aku sangsi, jadi atau engga ? Akhirnya, demi cinta, harga segitu kupandang murah atau tak seberapa. Okay, aku fotokopi aja (artikel) “Four Ways To Walk a Dog” dari majalah Atlantic Monthly (April 1986) itu. (Buku Harian).
Sembilan Belas Tahun Lalu : 1986. Sabtu, 20 Desember. Rawamangun, Jakarta Timur. Bangun pagi, tak ada orientasi. Seharian merampungkan desain (t-shirt) ITSC : Reagan – selesai. Pagi : menyalin dan menyalin surat cinta untuk Anez, “tapi gundah lagi, ditunda lagi”. OK.
Mandi sore untuk meredakan gundah dan bara di kepala dan dadaku sehubungan dengan cintaku pada Anez dan kesepian-kesepianku. Belum reda. Malam : box, blong, dan rasa sepi itu makin merujit-rujit. Ya Tuhan, begini hidupku. Escape : makan soto, kenyang, agak adem hati ini. (Buku Harian).
Sembilan Belas Tahun Lalu :1986. Senin, 29 Desember. Rawamangun, Jakarta Timur. Hari bersejarah dalam karirku sebagai penulis. Aku menyerahkan naskah kepada penerbit : naskah sebuah buku, buku kumpulan humor satwa, dengan motivasi : mempersembahkan karya itu bagi orang yang ingin aku cintai, Widhiana Laneza ! Anez, sebutannya. (Buku Harian).
Petikan isinya lagi :
”Mengapa engkau menangis, Ani ?”
“Aku sedang sedih karena anjingku mati pagi ini”
“Lho ? Mertuaku juga baru saja mati, tetapi aku tidak bersedih seperti kamu saat ini.”
“Iya, habis kamu tidak membesarkan mertuamu sejak kecil”
”Aku telah menemukan cara terbaru untuk mengusir pinjal dari tubuh anjingku.”
“Bagaimana caranya ?”
”Gampang ! Anjingku kuajak naik pesawat terbang, lalu pilotnya kusuruh untuk berakrobat di udara. Pinjal-pinjal itu menjadi ngeri dan mereka pun berhamburan pergi.”
Seekor ayam babon tua memanggil sekelompok ayam babon muda. “Maukah kalian mendengar nasehatku ?”, tanya si Tua.
“Nasehat apa ?”
“Sehari sebutir telur menjauhkan lehermu dari pisau dapur”
Sembilan Belas Tahun Lalu :1986.Rabu, 31 Desember. Rawamangun, Jakarta Timur. Aku nelpon Anez. Ia bilang, fotokopi tentang anjing itu telah ia terima. Juga cerita tentang jadwal ujiannya, awal Januari 1987, dan bahkan ia cerita pengin kerja freelance. “Kerja apa ?”, tanyaku. “Engga tahu. Bapak yang mencarikannya”
“Pada diri Anez apa yang bisa dijual ?”, tanyaku. Bercanda secara otomatis muncul. Terdengar dia tertawa besar. Segar. “Maksudku, skillnya”, jelasku. “Bahasa”, kata Anez.
Anez nanya ; “Apa acara Tahun Baru ?”. “Evaluasi tahun 1986,” kataku, dan “rencana tahun 1987”, Anez menambahkan. Aku bilang : “biasanya semangat tinggi ada di bulan Januari, sesudah itu biasa-biasa lagi” (Buku Harian).
Delapan Belas Tahun Lalu : 1987. Jumat, 9 Januari. Rawamangun, Jakarta Timur. Aku nelpon Anez. Ia cerita anjingnya yang hilang. Si Cakil atau Pancho. Dicuri orang ? Ia cerita tentang pagar rumahnya yang bolong. “Anez nangis engga ?”, godaku. “Engga. Mudah-mudahan dicuri oleh pemiliknya”, kata Anez. “Lalu anjing baru, jenisnya apa ?”, tanyaku. Dan jawabnya : “Biasa. Anjing kampung”
“Jadi semua (anjingmu) serba kampungan ya ?”
Anez tertawa. Aku lalu nanya bab anjing Labrador, Alsatian, dan melucu tentang anjing Dachshund yang bisa dikomersilkan : untuk membersihkan cerobong asap. Anez bilang : “jangan kejam-kejam dong.” Aku me-recall humor tentang cewek yang disukai anjing bukan karena cantiknya, tetapi “she has a good bone structure. Anyway, all the dogs loves her”.
Anez inisiatif buka obrolan lain. Kali ini tentang rencana pertunjukan maestro ballet di Jakarta. “Rudolph Nureyev, kan ?”, sergahku.
Cocok.
“Tapi karcisnya mahal”. Anez menjawab : “Ya. Karcisnya mahal”. Aku usulkan : “lebih baik nonton videonya, lebih murah. Oh ya, Anez, aku sering terkicuh antara Nureyev dengan....”, dan Anez gantian cepat menjawab : “Mikhail Baryshnikov”
Cocok. Nyambung.
Aku nelpon kali ini tanganku yang pegang handle gemetaran. Lapar ? Masih soal Baryshnikov aku berkata : “kan dia kini lagi main film”. Anez kembali cepat menimpali : “White Night”.
Cocok dan nyambung lagi.
“Anez suka film semacam Return To Eden ?” Ia bilang : dulu suka, tapi sesudah melingkar-lingkar, ia bilang tidak mengikuti. “Itulah opera sabun”, kataku, dan kusambung cerita tentang penulis opera sabun versus istri tukang ledeng.
(Konon, ada penulis opera sabun yang pipa ledeng di rumahnya rusak. Ia nelpon tukang ledeng, tetapi yang menerima istrinya. Istri itu surprise setelah tahu yang menelpon itu penulis opera sabun favorit yang sering ia tonton di televisi. Ia lalu tergoda pengin tahu bagaimana kelanjutan kisah si tokoh utama. Katanya, “ kalau saya dibocorin lanjutan kisah si tokoh, saya akan meminta suami saya untuk membantu Anda. Kalau tidak dibocorin, saya akan tutup telepon ini” Si penulis opera sabun itu menyerah.)
Anez terdengar tertawa.
Aku bersiap menutup pembicaraan. Ketika koin keempat jatuh, menit ke 9 -12 mulai, aku bilang : “Tahu engga, bahwa Anez itu menarik ?” Anez tertawa. Surprise. Dapat tembakan rayuan. Tapi dia hendak mengelak : “Engga kok. Tapi engga tahu deh anggapan orang lain”
Saat itu aku hendak nerangin soal Johari Window, tapi tak jadi. Aku bilang lagi : “Bener kok, Anez itu menarik”. Ia tertawa lagi dan dengan cerdas ia berkelit. “Anyway, thank you”, katanya dengan tutur yang luwes. Sambil tertawa gembira. Aku juga.
“Yuk, dadag”, tutup Anez. (Buku Harian).
FAST FORWARD : Hari ini : 2005. Kamis, 22 Desember 2005. Wonogiri, Jawa Tengah. Saya menulis email balasan berikut ini :
Dear Mas Anto,
Terima kasih untuk email Anda, Mas Anto. Salam kenal. Saya mengingat, kalau tak salah ingat, Anez pernah cerita tentang kakaknya yang kuliah di Paris. Di elektro ? Apakah itu Mas Anto ?
Anez bercerita sepintas hal itu di rumah, sambil direcoki oleh Grigri (kata Anez, artinya "jimat" dalam bahasa Perancis) dan si Cakil, keduanya adalah anjing kesayangannya. Gara-gara anjingnya Anez itu sampai saya tergerak menyusun buku kumpulan humor satwa.
Suatu saat di telepon Anez cerita bahwa si Cakil itu pergi. Saya tanya ke Anez, apa jenis anjingnya itu ? Anez bilang, anjing kampung. Lalu saya tanya : semua anjingmu itu kampungan ya ? Anez hanya tertawa kecil.
Pernah juga saya katakan di telepon : "Anez itu menarik" Kalau saya ketemu sekarang, masih akan saya katakan : "Anez itu menarik" Saya yakin kini Tuhan Yang Maha Penyayang juga akan mengatakan bahwa Widhiana Laneza itu menarik, sehingga ia dipanggil lebih cepat untuk menghadapNya.
Saya ikut merasa kehilangan, Mas Anto.
Semoga Mas Anto, suaminya Anez, Ibu dan Bapak Taufik ("saya senang ketika diberi cerita beliau tentang makanan khas Senegal") dan keluarga besar di sini diberi ketabahan dan kekuatan iman.
"Selamat jalan Anez, semoga kau di surga sana mendapat tugas arkeologi yang lebih menantang"
Wassalam.
Hormat saya,
Bambang Haryanto
FAST FORWARD : Hari ini : 2005. Kamis, 22 Desember 2005. Wonogiri, Jawa Tengah. Sebelumnya saya mendapat email tak terduga-duga berikut ini :
Mas Bambang,
Ketika saya ketik nama adik saya, Widhiana Laneza, google.com memberikan situs blog anda "Buka Buka Beha", dan saya melihat nama adik saya termasuk dalam list “wanita-wanita terindah” Anda.
Saya hanya ingin memberi tahu bahwa adik saya telah berpulang ke pangkuan Allah SWT pada hari Selasa, tanggal 20 Desember 2005, 3 hari setelah pernikahannya.
Salam,
Anto,
kakaknya Anez.
Apa Daya Saya Hanya Manusia. Penyair Jerman Rainer Maria Rilke telah bilang, dalam cinta satu-satunya hal yang harus dipraktekkan adalah : berilah kebebasan bagi orang-orang yang Anda cintai. Kalau ingin membelenggunya, itu perkara mudah, kita tidak usah belajar tentangnya.
Kebebasan Anez, kebebasanku dan kebebasan kami, akhirnya membuat jatuh cintaku kepada Anez kandas. Aku bisa mengerti. Karen Carpenter, penyanyi favoritku yang mati muda di usia 33 tahun dalam “When I Fall In Love” seolah mengabadikan kepedihan itu :
In a restless world like this,
love is ended before it’s begun.
Hal ini pun, Anez, juga bisa aku mengerti.
Tetapi memperoleh kabar bahwa Widhiana Laneza telah dijemput kebebasan puncaknya sebagai manusia untuk kembali keharibaan Tuhan di bulan Desember ini, betapa momen menggetarkan dan penuh misteri dariNya tersebut masih terasa sulit untuk bisa aku mengerti.
Apa daya, saya hanya manusia.
Wonogiri, 22-23 Desember 2005
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment