Oleh : Bambang Haryanto
Esai Epistoholica No. 33/Januari 2006
Email : epsia@plasa.com
Home : Epistoholik Indonesia
Dear Sobat Warga Epistoholik Indonesia Yang Berbahagia,
SALAM EPISTO ERGO SUM. Arti bakunya : saya menulis surat pembaca (!) karena saya ada. Kalau ucapan jimat tersebut diartikan lain, misalnya “saya menulis karena saya ada”, maka sebaiknya yang bersangkutan, usul saya, harus mau kerja keras, memeras otak dan daya kreativitasnya dengan menciptakan slogan sendiri.
Birthday blues. Anda pernah mengalami birthday blues (BB) ? Istilah ini saya dapati ketika nonton film seri favorit, Ally McBeals. Kreatornya, dulu pernah bikin NYPD Blue, yaitu David E. Kelley. Pendek cerita, birthday blues adalah perasan sedih, melancholy, sentimentil, yang menyertai saat seseorang sedang berulang tahun.
Tahun lalu, saat HUT TVRI, RCTI dan SCTV (24 Agustus), saya mengalami BB itu. Gara-gara seorang teman di Jakarta, sama-sama suporter sepakbola, selain kirim email mengucapkan selamat HUT juga meninggalkan bom ucapan lain.
Katanya : jangan lupa untuk kawin.
Ucapan serius itu saya jawab dengan serius pula. Begini : saya itu punya cita-cita jadi pelawak. Nah, pelawak yang hebat itu harus rela menertawai kekurangan diri sendiri. Maka, kelak kalau bener-bener jadi pelawak, maka status tidak kawin itu akan saya jadikan modal untuk menertawai diri sendiri. Habis-habisan.
Misalnya : calon istri saya nanti harus mau ikut kursus unik, yaitu kursus fake orgasm. Orgasme pura-pura. Demi membahagiakan sang suaminya yang sudah balita. Bagian atas lima puluh tahun !
Ah, itu lelucon dari majalah Playboy. Edisi Indonesianya saja belum terbit, sudah ribut-ribut duluan. Saya berkat kebaikan hati bung Lasma Siregar, menonton artis Indonesia yang sudah masuk sirkuit Hollywood melakukan aksi bugil indah di Playboy sudah tidak memberikan rasa heran lagi.
BIRTHDAY BLUES DATANG LAGI MENJELANG 27 JANUARI 2006 INI. Di antara surat pembaca warga EI yang temanya “Menulis Untuk Semua”, yang sumbangan idenya dipelopori Joko Suprayoga untuk berkampanye tentang manfaat menulis dan eksistensi EI, Mas FX Triyas HP (Solo) sudah menuliskannya di Solopos. Isi utamanya mengenai tanggal bersejarah 27 Januari itu dan visi-misi di sebaliknya. Tulisan yang inspiratif. Makasih, Mas Tryas.
Birthday blues tersebut muncul dalam diri saya karena embrio gagasan keinginan untuk mengadakan pertemuan antarwarga EI, sepertinya sulit terlaksana dalam waktu dekat ini. Itu kesalahan saya, karena memang saya tidak terampil, baik keterampilan dan finansial untuk menopang dan mengadakan acara semacam ini. Maaf ya, sobat-sobat. Harap maklum.
Mas Purnomo bilang, EI kita memang masih dalam tahap rintisan, perjuangan. Nanti kalau eksis, ceritanya akan lain. Menurut saya sih, EI itu sudah eksis, bahkan gilang-gemilang.
Warganya sangat dedikatif, mengamuknya sudah luar biasa. Sekadar contoh : ada surat pembaca di Kompas Jawa Tengah yang ditulis oleh seseorang kurang kerjaan (seperti kita-kita ini juga kan ?), mengusulkan agar koran itu mengadakan Surat Pembaca Award (SPA).
Lihatlah, siapa-siapa saja yang ia usulkan ? Ternyata 7 dari 8 nominator yang ia usulkan, versi dia, merupakan warga EI di Jawa Tengah. Bagi saya, sambil masih dibayangi rasa kuatir bila si pengusul itu adalah warga EI yang usil nabok nyilih tangan, memukul dengan meminjam tangan (dan fotokopi KTP) orang lain, apresiasi itu cukup membanggakan.
Sori, saya itu memang rada parno, paranoid, apabila mendapatkan pujian. Apalagi karena saya menjadi nominator nomor satu di situ. Entahlah, hanya Tuhan Yang Maha Tahu.
Isu seputar Surat Pembaca Award (SPA) itu lalu saya SMS-kan ke Joko Suprayoga (Kendal), E. Musyadad (Jombang), dan E. Kukuh W (Malang). Isinya : sebaiknya SPA, bila ada, diberikan bukan kepada saya dkk yang generasi tua ini, melainkan kepada generasi Andrei Febrian (klas 1 SMAN 1 Semarang) dan kawan-kawannya.
Langkah mereka masih panjang, dan kita-kita yang tua ini alangkah idealnya bila sudi berdiri di belakang mereka guna memberikan dorongan.
Walau tidak janjian, sokurlah, Mas Tryas HP dan saya bisa tampil berbarengan, sama-sama menulis surat pembaca di Kompas Jawa Tengah untuk memberikan dorongan kepada Andrei Febrian. Semoga bisa sumarambah, meluber kepada anak muda segenerasinya, untuk menulis surat pembaca. Satu sekolah satu orang, mungkin itu sudah berkah yang luar biasa.
Mungkin bagi Mas Tryas, juga Mas E. Kukuh Widyatmoko, mendorong murid-muridnya untuk berprestasi sudah menjadi naluri alamiah seorang pendidik. Saya bangga bisa kecipratan naluri dan niatan yang sama, yang kebetulan momentumnya berbarengan dengan terbitnya buku The 8 Habit : From Effectiveness to Greatness (2005), karya begawan Stephen R. Covey, edisi Bahasa Indonesianya.
Semoga Anda masih ingat, harian Kompas (29/11/2005) menyambut peluncuran buku itu dengan menulis : Kebiasaan ke 8 adalah “menemukan suara panggilan jiwa kita dan mengilhami orang lain untuk menemukan suara kemerdekaan mereka”.
Indah banget. Mulia banget. Luhur banget.
Di sini pribadi agung itu dituntut memiliki empat peran : jadi panutan, perintis jalan, penyelaras dan pemberdaya atau membantu orang lain mencapai potensi dirinya.
Mudah-mudahan, di masa depan ini, kita semua warga EI dapat melaksanakan ajaran Eyang Covey yang hebat itu. Carilah anak muda, dan doronglah mereka untuk berprestasi, sesuai jalur impian yang mereka semaikan sendiri.
IMPIAN BESAR UNTUK MENGAPRESIASI PRESTASI ANDREI FEBRIAN juga dimunculkan oleh Joko Suprayoga. Ia usul untuk mengadakan EI Awards. Katanya, mau dibuatkan trofi model Oscar. Cita-cita besar. Cita-cita tinggi. I love it.
Cita-cita lain : setiap warga EI memperoleh piagam. Lalu ada penghargaan untuk para Epistolaureate (bandingkan dengan : Nobel Laureate), yaitu para pini sepuh, perintis tradisi penulisan surat-surat pembaca, baik yang masih sugeng, hidup, mau pun yang sudah almarhum.
Lalu mencetuskan tema gebrakan EI di tahun 2006, Epistoholik Indonesia : 1st Anniversary, 2nd Revolution. Ulang Tahun Epistoholik Indonesia yang Pertama, Menggulirkan Revolusi Kedua.
Kalau revolusi pertama memelesetkan cogito ergo sum-nya ucapan Rene Descartes yang berarti “saya berpikir maka saya ada” menjadi episto ergo sum, “saya menulis surat pembaca maka saya ada”, maka dalam revolusi kedua memakai rumus Einstein yang menjadi formula dasar penciptaan bom atom : E=mc2
Sekadar kilas balik : Revolusi pertama eksistensi Epistoholik Indonesia terjadi pada tanggal 27 Januari 2005. Di tengah acara presentasi pengajuan klaim saya sebagai pencetus komunitas Epistoholik Indonesia dalam acara Hari Ulang Tahun MURI Ke-15, di Hotel Grasia Semarang, saya mendeklarasikan komunitas Epistoholik Indonesia. Sekaligus mencanangkan tanggal tersebut sebagai Hari Epistoholik Nasional.
DEKLARASI EPISTOHOLIK INDONESIA. Momen presentasi Bambang Haryanto sebagai pencetus komunitas Epistoholik Indonesia untuk tercatat dalam Museum Rekor Indonesia (MURI), Semarang, 27 Januari 2005. Nampak dalam gambar (ki-ka) Suprayitno (Warga EI dari Semarang), Joko Suprayoga (Kendal), Paulus Pangka (Manajer MURI), Ismunandar SC (Salatiga), Bambang Haryanto, dan Jaya Suprana, pendiri MURI. (Foto : Ayu Permata Pekerti/Republik Aeng-Aeng, Solo).
Rincian rumus Einstein, E =mc2 versi komunitas Epistoholik Indonesia adalah :
E = Epistoholik Indonesia atau empowerment, pemberdayaan masyarakat sipil dalam kehidupan berdemokrasi
m = media
c = courage, keberanian
c =commitment, komitmen
Warga Epistoholik Indonesia dalam meningkatkan peran sertanya sebagai warga yang aktif mendukung tumbuh suburnya kehidupan berdemokrasi, dituntut memiliki keberanian dan komitmen tinggi dalam menyuarakan hati nurani.
Untuk menyuarakan hati nurani tersebut tentu warga Epistoholik Indonesia membutuhkan pengeras suara, yaitu media. Media yang selama ini kita akrabi adalah media berbasis atom, alias media cetak, surat-surat kabar dan majalah. Ibarat sebagai sosok bayi, sejak lahir tali pusar warga Epistoholik Indonesia memang tersambung hanya ke media cetak.
Tetapi kini berkat revolusi digital, tibalah saatnya untuk kita tidak selalu tergantung kepada media cetak belaka. Pemutusan tali pusar tersebut menandakan suatu langkah menuju kedewasaan, kebebasan dan kemerdekaan.
Tentu saja, tidak semuanya kemudian terjadi atau berlangsung secara drastis. Pemuatan surat-surat pembaca di media cetak, tetaplah perlu dan penting. Tetapi dengan mengelola situs blog, warga EI dibukakan medan amat luas untuk berekspresi. Secara teoritis, situs blog adalah media yang berjangkauan global.
Penulisan surat-surat pembaca, atau bahkan artikel di media-media cetak, kemudian dapat didaulat sebagai appetizer, makanan perangsang atau etalase depan, untuk mengundang pembaca surat-surat pembaca kita agar tergiur dan sudi mengunjungi media berbasis digital kita.
Bahkan diajak melakukan interaksi, suatu keadaan yang jelas sempit peluangnya bisa berlangsung leluasa di media cetak yang jelas bukan “milik” kita.
Mengingat pentingnya media berbasis digital di masa depan, revolusi kedua yang kemudian digulirkan oleh EI saat ini tidak lain adalah penegasan kembali pentingnya surat elektronik (email) dan situs blog sebagai senjata baru warga Epistoholik Indonesia. Idenya, di acara pertemuan itu akan dilakukan demo membuat dan mengelola blog.
Mengapa blog saya anggap penting ?
Kalau Anda sempat membaca surat pembaca saya di GATRA (14/1/2006 : hal. 8), di lahan baru penulisan surat pembaca saya itu telah saya tabuh genderang “perang” melawan mereka yang meremehkan kedahsyatan blog. Isi lengkapnya :
Teater Parodi Blogger
Mahasiswa Universitas Harvard punya majalah Lampoon untuk meledek politisi AS yang tidak becus. Sasaran tembak yang utama, apalagi, kalau bukan Presiden.
Laporan mengenai ulah blogger Herman Saksono (GATRA, 24/12/2005) yang dengan cerdas memanipulasi foto tokoh-tokoh terkenal dalam foto mirip anak penguasa Orba dan artis selingkuhannya, mengundang senyum. Konteks yang ia hadirkan, menggelitik.
Tetapi berbeda dengan reaksi para pembaca Lampoon, sebagian yang merasa dekat dengan lingkar kekuasaan dari objek manipulasi foto dalam blog itu banyak yang merasa tersinggung.
Biasa, yang mudah dan cepat marah itu justru para kopralnya. Bukan jendralnya. Akibatnya, pentas teater ikutan seputar tayangan blognya Herman tersebut menjadi semakin dobel-dobel lucunya.
Bagi saya, yang sangat dan paling lucu adalah saat seseorang yang konon dikenal sebagai pakar IT, mempermasalahkan situs-situs blog lain yang sukarela memasang hyperlink untuk blognya Herman. Menurut saya, ia sama sekali buta terhadap karakter media bebas berbasis digital ini.
Adalah B.L. Ochman, ahli strategi humas dan pemasaran bersenjatakan blog, memberi kiat jitu : link like crazy. “Aspek penting perbedaan antara memposting tulisan di blog dengan jurnalisme pohon mati (media kertas), para blogger itu wajib gila-gilaan membuat link untuk tulisannya”, tuturnya.
Blog adalah senjata ampuh Partai Demokrat Amerika pada Pemilu Presiden 2004. Pentolannya, Joe Trippi. Tetapi kalau Partai Demokrat di sini “memelihara” ahli TI yang buta blog, anti blog dan tidak mendapat simpati dari komunitas blogger, apa advantage dari kehadiran si pakar TI itu ?
Apalagi meremehkan isi kepala Herman Saksono, Priyadi, Enda Nasution, dan ribuan blogger lainnya adalah ibarat melawan takdir jaman. Silakan teliti isi majalah Business Week (awal Mei dan 12 Desember 2005) atau Fortune (Januari 2005)
GEMPA BUMI 10,5 SKALA RICHTER. Mabuk saya terhadap blog memang ada bumbu “dendam pribadi”. Dulu di tahun 1994, badan saya panas dingin membaca laporan utama majalah TIME edisi 25 Juli 1994. Judul pada sampulnya : “The Strange New World of the Internet : Battles on The Frontiers of Cyberspace”
Saya baca di Perpustakaan American Cultural Center, Jakarta. Isinya habis-habisan membahas Internet. Inilah dunia impian saya, karena isu komunikasi secara online itu merasuk ke kepala berkat bahasan dalam kuliah-kuliah saya di Jurusan Ilmu Perpustakaan, Fakultas Sastra Universitas Indonesia, tahun 1980.
Majalah yang sama bahkan kemudian menerbitkan edisi khusus, “Special Issue : Welcome To Cyberspace” (Mei 1995). Majalah Newsweek pada edisi akhir tahun 1995 dan awal tahun 1996, juga menerbitkan laporan utama mengangkat Tahun 1995 sebagai “The Year of The Internet”.
Bulan September 1995, Internet sudah ikut Pameran di Indocomtech 1995, di stand IndoNet. Gila, pikir saya, perubahan dahsyat ini ternyata lebih cepat tiba di Indonesia dari yang saya bayangkan.
Nicholas Negroponte, nabi media dari Media Lab MIT beberapa waktu kemudian bilang : Internet adalah gempa bumi berskala 10,5 skala Richter. Halo, halo, silakan baca pernyataan ini sekali lagi : Internet adalah gempa bumi berskala 10,5 skala Richter yang mengguncang sendi-sendi ekonomi dan sosial dari peradaban manusia.
Tetapi saya terus saja heran plus bingung apabila banyak warga EI tidak merasakan gempa sangaatttt duahsyat itu. Helllooo, benarkah begitu ?
Inti dari dendam saya : karena saat itu Internet masih tidak ramah, tidak user friendly, mempelajari HTML pun amat sulit (sampai saat ini pula), membuat saya merasa tidak bisa ikut bicara banyak dalam revolusi Internet di Indonesia saat itu.
Pernah setahunan jadi kolumnis isu-isu Internet di koran Media Indonesia, lalu datang krismon, sepertinya semua tersapu oleh tsunami. Saya merasa hanya jadi figuran dalam revolusi Internet di Indonesia, sekaligus figuran yang harus rela sial, karena terkena sensor.
Walau pernah sih, ikut menang dalam Lomba Karya Tulis Teknologi Telekomunikasi dan Informasi (LKT3I) yang diadakan oleh PT Indosat, Kompas, Republika, GATRA dan LIPI, 1999. Isi esai saya berupa kecaman pedas terhadap sikap mental mabuk berburu emas, model gold rush di kalangan pebisnis dotcom Indonesia yang asal mendigitalkan segala sesuatu, lalu mimpi melakukan IPO, tetapi sebenarnya mereka buta terhadap model bisnis yang mencocoki budaya media baru tersebut. Bisnis mereka pun, tidak lama kemudian, lalu rontok secara berjamaah pula.
TIDAK EKSIS DI DUNIA. Revolusi Internet yang kedua, hemat saya, lebih dahsyat tetapi datangnya lebih senyap, yaitu kehadiran blog. Pengelolaan blog yang tidak membutuhkan pengetahuan terhadap skrip-skrip HTML yang rumit, membuat kini orang-orang biasa seperti kita tinggal menggali isi kepala untuk mampu berekspresi di depan dunia.
John Ellis dalam artikelnya berjudul “All the News That's Fit to Blog” di majalah Fast Company (No.57/April 2002) menyalakan lampu merah untuk pengelola media-media tradisional.
“Organisasi besar media mengembuskan nafas lega ketika era dotcom mania runtuh. Ini berarti tembok penghalang bagi fihak lain untuk memasuki pasar mereka telah ditegakkan kembali dan terutama posisi monopoli mereka merasa aman kembali.
Tetapi kini para blogger hadir di depan pintu gerbang mereka, melahap proposisi nilai tambah media. Ini bukan ancaman sepele, sebab technologi blog, peer-to-peer technology tersebut merupakan fondasi dari apa yang dalam istilah kemiliteran disebut “kekuatan yang berganda-ganda.” Kekuatan yang dahsyat.
World Summit on Information Society 2 (WSIS 2), di Tunisia (16-19/11/2005) menyatakan, “apabila Anda tidak mampu berekspresi, maka Anda dianggap tidak eksis di dunia ini”. Sebagai blogger, ucapan itu saya ubah : “apabila Anda tidak mengelola situs blog, maka Anda dianggap pula tidak eksis di dunia ini!”
Rhenald Kasali pun bilang, revolusi teknologi informasi membuat jarak mati dan tempat tidak penting lagi. Hal revolusioner terjadi pada diri saya, juga blogger lainnya, di mana berkat blog membuat Wonogiri yang kota saya kini bisa nyaman bertetangga dengan Washington, Wichita atau Wyoming. Juga Walikukun. “Kita kini adalah dunia”, kata Michael Jackson dan kawan-kawan. We are the world.
Bagi saya, dendam lama itu (tidak melukai seseorang, semoga) kini mendapatkan saluran hebat. Blog dan penulisan surat-surat pembaca, walau saya menghargai pendapat warga EI lainnya mengenai niatan masing-masing dalam penulisan surat-surat pembaca, bagi saya kini adalah sebuah perang suci. Holy war. Call of duty. Panggilan hidup.
Radio BBC pertengahan 2005 pernah membuat seri laporan bertopik “Siapa Yang Menggerakkan Dunia Anda ?“ Ada pengambil sarang burung di tebing curam Karangbolong bilang yang “menggerakkan dunia”-nya adalah Nyi Roro Kidul. Ada abdi dalem Kraton Yogya bilang, “pengabdian kepada keraton”.
Ada petani sayuran di New Mexico bilang, para kapitalis dunia yang menggerakan dunianya. Ada bintang sepakbola Barcelona dan Brasil, Ronaldinho, yang bilang bahwa yang menggerakkan dirinya adalah keteladanan Pele dan Zico.
Di sekitar kita, di dunia ini, sadar atau tidak sadar, banyak tangan-tangan kekuasaan yang terselubung sedang menggerakkan dunia kita, dunia Anda. Tentu saja, ujung-ujungnya cenderung untuk keuntungan mereka sendiri.
Silakan berefleksi : siapa sebenarnya yang sekarang menggerakkan dunia Anda ? Bom-bom di Palu atau Poso, siapa tangan besar yang menggerakkan semua itu ? Mengapa kita kecanduan nonton infotainment, siapa pula yang menggerakkan semua itu ? Apakah itu semua untuk keuntungan hidup Anda ? Tentu saja tidak.
Bagi saya, dengan menulis baik di media pohon modar (kertas) atau media digital, karena saya ingin independen (sebisa mungkin) untuk ikut mampu menggerakkan dunia saya sendiri, dengan cita-cita, aspirasi, kelebihan dan keterbatasan diri sendiri ini pula.
Dengan blog kini saya memiliki pengeras suara, yang secara teoritis, mampu meliput dunia. “Blog ini bagus sekali”, tulis Puan Ainon Mohd. dari Malaysia untuk salah satu blog saya. Boleh saya sedikit besar kepala ya ? Surat pembaca, dan juga blog, senyatanya adalah “medan perang” untuk menggerakkan dunia saya tersebut.
Oleh karena itu media-media yang secara minimal saya tidak bisa ikut mewarnai isinya, saya hindari. Berita-berita televisi, tak pernah saya tonton. Saya pun juga bukan reader untuk surat-surat kabar, tetapi scanner saja.
PENYEBARAN VIRUS GAGASAN. Sebagai warga Epistoholik Indonesia, selama ini Anda semua secara alamiah telah memiliki, mempraktekkan dan memperjuangkan nilai-nilai luhur yang patut kita perjuangkan.
Misalnya, seperti kata Mas Purnomo IS, “EI adalah partai oposisi sepanjang masa”. Bagus. Saya setuju.
Tetapi, hemat saya, bila semua curhat, aspirasi, teriakan, deklarasi atau pun proklamasi keluarga besar EI itu disuarakan hanya melalui media pohon modar belaka, ia terancam tidak bisa hidup lama.
Dampaknya minimal. Mungkin half-lifenya, rentang usia hidupnya, hanya sehari Catatan : Kompas Jawa Tengah juga belum ada edisi Internetnya. Tulisan-tulisan kita nasibnya terancam persis seperti skripsi, hanya penulisnya saja yang masih mengingatnya, padahal si penulis bersangkutan sudah meninggal dunia.
Apalagi berbeda dengan budaya information storage and retrieval yang sudah canggih di Barat, di mana semua hasil olah pikir manusia itu didokumentasikan (saya berkuliah dalam kiprah ini) secara sistematis dan rapi, hal serupa masih compang-camping di Indonesia. Info-info itu akhirnya sulit untuk dilacak kembali pula. Mudah menguap begitu saja.
Tetapi bila info-info itu juga tersimpan dalam blog, media digital yang berskala global, semua isi kepala Anda, khasanah informasi atau inspirasi Anda itu berpeluang bisa menyebar bagaikan virus. Dengan beberapa kata kunci dan rumus Boolean logic, mudah pula untuk diakses, ditemukan kembali.
Saya sering heran, ada email datang cerita, mereka menemukan blog-blog saya setelah mengetikkan kata “marketing” dalam situs penelusur Google. Padahal saya tak pernah menyebut-nyebut nama Phillip Kotler, Warren Keegan atau Hermawan Kartajaya. Ahli marketing yang saya kagumi adalah Seth Godin, Al Ries, Jack Trout atau Jay Conrad Levinson.
Secara teoritis, isi-isi blog juga mudah mengundang banyak orang untuk mendiskusikannya. Tak perlu beli perangko. Untuk mengetahui perbedaan karakter secara revolusioner antara media kertas vs media berbasis sinyal-sinyal elektronik atau digital ini, serta perubahan dahsyat yang diakibatkannya, silakan baca buku Being Digital-nya Nicholas Negroponte. Buku ini merubah persepsi saya atas dunia, termasuk yang menginspirasi hingga saya teriak-teriak dalam surat ini pula.
Sekali lagi, surat pembaca dan blog adalah medan perang pribadi saya. Well, mudah-mudahan Anda bisa merasakan “deru perang” itu dalam setiap surat pembaca atau pun dalam blog-blog saya. Betulkah Anda rasakan “deru” itu ?
Tanpa kecintaan terhadap penulisan surat-surat pembaca sejak tahun 1973 dan tanpa pemahaman terhadap manfaat blog, maka ide komunitas Epistoholik Indonesia yang saya gulirkan awal 2004 itu hanya berupa impian belaka.
Kiranya, adalah deru semangat “jihad” yang terbakar setelah ketemu sosok Anthony Parakal di TIME (6 April 1992), yang mampu membuat ide EI itu, juga berkat kerja keras tanpa pamrih Anda semua, masih survive hingga ini.
Apa pendapat orang lain ?
“Ide komunitas Epistoholik Indonesia adalah ide terbaik yang masuk MURI tahun (2005) ini”, kata Jaya Suprana, 27 Januari 2005 yang lalu. Gagasan mengenai komunitas Epistoholik Indonesia yang tak ubahnya merupakan krida manajemen ilmu pengetahuan dengan memanfaatkan blog, dan telah memenangkan Mandom Resolution Award 2004, adalah pula pengakuan tersendiri yang prestisius pula.
Jadi dan jadi, : masa saya dibiarkan berjuang untuk EI di medan digital secara sendirian saja seperti selama ini ?
KOBOI-KOBOI EI. Kembali ke masalah pertemuan EI. Muncul usulan : untuk merealisasikan pertemuan warga EI itu adalah dengan urunan. Usul yang masuk akal.
Tetapi dalam kalkulasi kira-kira yang mau ikut urunan, berdasarkan intensitas hubungan kontak sesama warga EI selama ini, di mana saya menyebut mereka (dalam SMS saya ke Mas Purnomo IS/Semarang) sebagai “koboi-koboi EI”, sepertinya tidak ada sepuluh orang.
Padahal, untuk bikin acara yang layak untuk bisa masuk koran dan diliput televisi, baru bisa jalan kalau didukung urunan 30 orang. Bagi sobat-sobat lain yang tidak pernah kontak, lalu tiba-tiba ditodong untuk urunan, apa ini bukan sebuah perampokan ?
Castles in the air. Ini judul lagu penyanyi favorit saya, Don McLean. Istana di awang-awang. Khayalan. Ide pertemuan warga EI, dalam waktu dekat ini, apabila dikaitkan dengan tanggal 27 Januari 2006 sebagai Hari Epistoholik Nasional, rupanya masih di awang-awang. Itu pendapat saya. Tentu, Anda pun silakan bila ada dan punya pendapat lain.
Ohya, untuk hal iuran pendapat ini, saya masih heran dan rada sedih, apabila semua gerak EI harus menunggu dari saya. Visi saya sih, EI itu ibarat peranti lunak yang terbuka, open-source, model Linux. Kalau Anda seide dengan visi-misi EI, silakan jalan dengan kreasi unik Anda sendiri.
Ada catatan : menjadi penulis surat pembaca itu juga tidak sepi dari godaan. Cerita adik saya, ia di Jakarta mengajak putrinya untuk makan di McDonald. Kebetulan, ia mendapat tempat duduk yang cat kursinya masih basah. Acara makan jadi kacau, lalu ia menuliskan keluhannya di Harian Kompas.
Beberapa hari kemudian, ia di rumahnya, didatangi manajer McDonald bersangkutan. Tentu saja sang manajer meminta maaf, lalu juga memberikan hadiah macem-macem, produk merchandise rumah makan cepat saji sohor itu.
Kisah itu lalu jadi guyon antara kami. Besok, kalau mau makan ke McDonald sebaiknya dari rumah bawa cat sendiri. Lalu mencat kursi, mendudukinya, dan esoknya nulis surat pembaca agar memperoleh hadiah dan hadiah lagi.
Mungkin itu cerita lucu. Tetapi jelas menjadi tidak lucu, bilamana di antara kita yang hobi menulis surat-surat pembaca menggunakan momen seperti itu, misalnya mengetahui kelemahan sesuatu produk, lalu menuliskan dalam bentuk surat permbaca demi mengharapkan imbalan atau hadiah ?
Bagaimana kalau surat pembaca, juga “nama besar” EI, diselewengkan atau digunakan untuk memeras dengan modus operandi seperti itu ? Apa pendapat Anda ? Apa pula solusinya ?
Ada kasus lain dan berupa kutipan dari situs blog Salju Di Paris : Catatan Iseng-Iseng. Ditulis setahun lalu. Kalau tak salah, pengelola blog ini adalah Rosita Sihombing, lulusan S-2 Universitas Lampung, kini tinggal bersama suaminya yang orang Perancis, di Paris. Antara saya dengan dia beberapa kali pernah bertukar gagasan via email.
Monday, January 05, 2004
EPISTOHOLIC
Bambang Haryanto menulis sebuah surat pembaca di Majalah Tempo edisi terbaru dan menamakan dirinya sebagai seorang epistoholic. Istilah ini dipopulerkan oleh majalah Time, pada 1992, untuk menyebut Antony Parakal sebagai seorang yang keranjingan menulis surat pembaca di media massa.
Menurut Time, saat menurunkan profil Parakal (kini 72), selama kurun 41 tahun sejak 1953, laki-laki asal India itu telah menulis 4.400 surat pembaca di pelbagai media. Itu berarti setiap tiga hari ia menulis sebuah surat pembaca.....................
Ini sebuah fenomena memang. Tapi, seorang mantan pemimpin sebuah majalah di Jakarta berkisah surat pembaca di media-media Indonesia kerap kali tidak jujur. Dari pengalamannya mengelola media ia kerap menerima surat dari seseorang yang tak jelas identitasnya.
Penulis surat itu memakai beragam nama untuk mengomentari suatu berita. Kelakuan seperti, katanya, lazim dilakukan tentara dalam operasi sandi yudha untuk mempengaruhi opini masyarakat. Katanya, saat ini beberapa orang calon presiden memakai cara-cara seperti itu. Huh!
Tapi, para pengelola media juga kerap berlaku curang. Ia mengaku mengenal orang yang kerap bertugas sebagai "tim surat pembaca" untuk menulis surat pembaca di medianya sendiri dengan berbekal segepok KTP palsu dan alamat fiktif. Itu baru satu modus. Masih ada beberapa modus lainnya yang tujuannya tak lain menggiring opini masyarakat dari suatu kasus.
Mudah-mudahan Bambang Haryanto tidak dengan tujuan itu berencana membentuk club penulis surat pembaca. Jika ada yang berminat, katanya, silahkan kirim surat untuk memperoleh informasi awalnya ke alamat e-mailnya di epsia@plasa.com.
MENEGUHKAN NIAT. Mudah-mudahan harapan mBak Rosita itu masih terpenuhi sampai detik ini. Ide saya mendirikan EI sejak 1992, dan jadi realitas tahun 2003, memang tidak ada niatan untuk hal-hal negatif di atas. Saya percaya, warga EI juga memiliki niatan luhur yang sama.
Tetapi tidak ada salahnya, kita bercermin, bahwa di jalan kita juga ada tebaran onak, duri, juga ranjau-ranjau. Kata Bang Napi di RCTI : waspadalah, waspadalah.
Untuk sekadar menyegarkan atau meng-update visi-misi dan juga impian besar EI, kalau ada waktu, silakan Anda membaca di blog Epistoholik Indonesia. Tentu saja, silakan memberikan masukan dan tanggapan.
Kebetulan di sana ada fotonya Joko Suprayoga, Suprayitno, Ismunandar SC (tanggal 19/1/2006 tiba-tiba beliau yang sama-sama se-angkatan alumnus FSUI, tapi dulu tak ketemu di kampus Rawamangun, mampir ke Wonogiri) saat Deklarasi Epistoholik Indonesia, 27 Januari 2005, bersamaan dengan hari ulang tahun MURI Ke-16 di Semarang. Sekaligus mencanangkan tanggal 27 Januari sebagai Hari Epistoholik Nasional.
Sekadar contoh aktual kiprah kreatif warga EI yang terbaru : saya merasa ikut tersanjung ketika disebut-sebut oleh warga EI di Batang, M. Fahrudin Hidayat (Suara Merdeka, 16/1/2006) yang kebanjiran kontak para epistoholik yang kebanyakan malah bukan warga EI, untuk saling melakukan interaksi dan silaturahmi antarmereka. Niat dan aktivitas yang mulia.
Siapa menyusul ? Sayang, Mas Hidayat yang pak guru asal Bantul ini masih agak keras kepala. Ia belum mau memilki account email, sehingga kita sulit melibatkan dirinya dalam obrolan melalui media/sarana komunikasi berbasis digital.
Demikianlah. Kalau Anda ingin menggiatkan EI di kota Anda, Anda berniat menjadi orang agung a la tesisnya Covey tadi, mengapa tidak ? OK ya, Anda sebagai “pengembang Linux“ dengan peranti lunak EI sebagai sumber aslinya, terbuka sejauh dibatasi oleh imajinasi Anda.
TERAKHIR, bagi saya, semoga juga bagi Anda, mohon agar tanggal 27 Januari 2006 nanti, walau secara fisik belum bisa saling ketemuan, bisa kita daulat secara bersama dalam hati masing-masing sebagai momentum untuk menyegarkan diri sebagai warga komunitas Epistoholik Indonesia.
Jalan menggairahkan di depan kita masih menantang untuk ditapaki dengan bakti. Gagasan-gagasan cemerlang kita masih banyak, menanti untuk dilahirkan, untuk dikomunikasikan.
Para pembaca, yang ribuan itu, percayalah, masih selalu menanti ledakan bom-bom kreasi kita yang inspiratif. Mereka merindukan buah-buah pena kita semua. Bahkan, saya yakin, merindukannya setiap hari.
Terima kasih untuk interaksi yang hebat selama ini dari Anda semua. Saya sungguh berbahagia, dan bangga, menjadi bagian dari kiprah Anda semua di bawah langit indah kita semua : Epistoholik Indonesia.
Ayo, terus mengamuk dengan surat-surat pembaca.
Salam Episto ergo sum.
Saya menulis surat pembaca karena saya ada.
Salam saya dari Wonogiri,
Bambang Haryanto
Wonogiri, 20/1 – 26/1/2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment