Oleh : Bambang Haryanto
Esai Epistoholica No. 35/Maret 2006
Email : epsia@plasa.com
Home : Epistoholik Indonesia
Where observation is concerned,
chance favours only the prepared mind.
Louis Pasteur (1822–1895)
Ahli kimia dan bakteriologi Perancis
Il treno arriva all'orario. Benito “Il Duce” Mussolini (1883–1945), diktator dan penguasa fasis Italia selama 21 tahun, dikenal mendunia berkat jasa besarnya dalam mendongkrak citra kereta api Italia. Ucapannya yang terkenal kepada seorang kepala stasiun saat itu adalah, “Kita harus berangkat tepat waktu...Dari sekarang semuanya harus berfungsi sempurna.”
Dunia mencatatnya. Konon dikisahkan bahwa manfaat utama perintah Mussolini ini akan terasakan apabila seseorang menaiki kereta api dan kemudian setelah masuk perbatasan Italia akan ia dengar ucapan :
Il treno arriva all'orario.
Kereta akan tiba tepat pada waktunya.
Kisah terkenal mengenai kereta api Italia yang tepat waktu itu sampai pernah memicu perdebatan di Inggris. Ceritanya, saat itu film-film Italia yang banyak menonjolkan adegan seks harus mengalami sensor ketat di Inggris. Dalam suatu sidang badan sensor film Inggris pernah terjadi perdebatan mengenai sebuah adegan film yang memancing silang pendapat.
Adegan film itu menunjukkan rentetan gambar seorang artis seksi Italia sedang mencopoti pakaiannya satu per satu di pinggiran sungai yang berair jernih. Ketika artis itu hendak melepas pakaian terakhir yang melekat di tubuhnya, tiba-tiba di layar nampak melintas sebuah kereta api yang menutupi adegan syurnya tadi.
Salah seorang anggota badan sensor segera berdiri dan bertanya kepada pimpinannya. “Sir Wilfred, mengapa kita perlu berdebat mengenai adegan film yang satu ini. Apa istimewanya ?”
Sir Wilfred menjawab : “Memang tidak ada istimewanya. Yang aku tahu, kereta api ekspres Italia itu pasti akan terlambat tiba di stasiun tujuannya !”
Kuda Pacu Anda Menuju Sukses. Kisah tentang Mussolini di atas saya temui dalam bukunya pakar pemasaran kelas dunia Al Ries dan Jack Trout, yang berjudul Horse Sense : The Key to Success Is Finding a Horse to Ride (1991). Sedang lelucon kereta api Italia itu saya petik dari himpunan lelucon pelbagai bangsa dari buku saya, Bom Tawa Dari Afrika Sampai Rusia (1987).
Sebelumnya, ketika saya meriset peristiwa-peristiwa dunia yang terjadi pada tanggal 28 April untuk mengisi situs blog mengenang hari ulang tahunnya Widhiana Laneza yang jatuh pada tanggal yang sama, ada kebetulan yang menarik. Tanggal tersebut pada tahun 1945 merupakan saat Benito Amilcare Andrea Mussolini dan gundiknya, Clara Petacci (lahir 1912), dieksekusi oleh anggota kaum perlawanan Italia.
Ries dan Trout membahas fenomena Mussolini dan kredo kereta apinya tadi sebagai contoh mengenai pentingnya publisitas untuk mendongkrak sukses karier seseorang. Duet pakar pemasaran itu menyatakan bahwa visibility itu lebih berguna dibanding ability. Ketertampakan itu lebih penting daripada kemampuan. Rumus ini pula, kita tahu, yang kini mendasari maraknya acara-acara infotainment di televisi-televisi kita.
Menurut Ries dan Trout, peluang sukses dengan menunggangi kuda publisitas adalah satu banding sepuluh. Angka ini lebih tinggi dibanding kuda geografi (1 banding 15), hobi (1 banding 20) dan kuda kreativitas (1 banding 25). Daya ampuh kreativitas sampai publisitas itu kita sebut saja sebagai kuda kelas menengah.
Kuda publisitas juga jauh lebih ampuh untuk dipacu guna meraih sukses dibanding kuda yang tergabung dalam kelas rendah. Yaitu kuda kerja keras (1 banding 100), IQ (1 banding 75), pendidikan (1 banding 60), atau pun kuda tunggang yang bernama perusahaan (1 banding 50).
Kuda pacu yang lebih mampu membawa kita meraih sukses, sebut saja kuda kelas atas, menurut Ries dan Trout meliputi kuda produk (1 banding 5), ide (1 banding 4), orang lain (1 banding 3), mitra (2 banding 5), pasangan hidup (1 banding 2), dan keluarga (2 banding 3).
Apabila Anda kini baru lulus kuliah dan sedang berburu pekerjaan, atau merasa karier Anda mentok dan memutuskan untuk pindah kerja atau pindah karier, bacalah dulu halaman dedikasi buku ini. Di sana telah mereka sertakan pesan wanti-wanti untuk Anda : “Didedikasikan untuk pemasaran yang paling penting, sekaligus pemasaran yang paling sulit....pemasaran diri Anda sendiri.”
Hari Kritis Bill Gates. Buku yang menarik ini ketika membahas salah satu kuda pacu kelas atas, yaitu produk, memunculkan kisah menarik tentang orang terkaya di dunia saat ini, Bill Gates dari Microsoft Corporation yang tersohor itu.
Pada bulan Januari 1975, Anda ada di mana ? Terkisah, Paul Allen dan Bill Gates adalah sesama teman saat SMA di Seattle. Keduanya merantau di Massachusetts. Allen bekerja di Honeywell dan Bill Gates baru kuliah di semester awal Universitas Harvard.
Saat melintasi Harvard Square suatu hari, Allen terpana melihat sampul majalah Popular Electronics edisi Januari 1975. Di sana tertulis : “PROJECT BREAKTHROUGH ! World’s First Minicomputer Kit to Rival Commercial Models...ALTAIR 8800.”
Sejarah masa depan komputer dan kejayaan mereka berdua mulai berdetak. Allen segera memberitahu Gates bahwa kejutan besar telah meledak. Mereka berdua yang sejak muda suka ngoprek peranti elektronika, tahu benar tentang seluk-beluk menulis peranti lunak komputer. Mereka berdua kemudian memutuskan untuk merancang program peranti lunak dasar untuk Altair 8800, komputer pribadi pertama di dunia.
Enam minggu kemudian Paul Allen terbang ke Albuquerque, tempat MITS, Inc., pabrik pembuat Altair 8800 berada. Demonya berhasil dan itulah produk perdana dari perusahaan mereka berdua, Microsoft. Saat itu Allen berusia 20 tahun. Bill Gates, 19 tahun, yang mengambil keputusan berani untuk hidupnya : memutuskan DO dari universitas bergengsi itu pula.
Paul Allen yang mengundurkan diri dari Microsoft tahun 1983 untuk berjuang (dan sukses) menyembuhkan penyakit Hodgkin-nya, masih memiliki saham 1 milyar dollar AS di Microsoft. Bill Gates sebesar 2 milyar dollar AS.
Ries dan Trout menyimpulkan, timing in life is extremely important. Jitu tepat waktu dalam kehidupan adalah saat-saat kritis, saat yang sangat-sangat penting. Bagaimana nasib Microsoft hari ini apabila Gates dan Allen tidak memergoki majalah Popular Electronics itu ? Bila mereka tidak mengontak Ed Roberts, pemilik MITS ? Bila Allen tidak terbang ke kota Albuquerque ? Tahun 1975 itu Anda ada di mana ?
Momen kritis yang kemudian menghasilkan produk yang mampu mengubah sejarah, juga pernah tercatat oleh Noah Samara, pebisnis dari Ethiopia. Gagasan brilyannya dipicu oleh berita di koran Washington Post yang mengisahkan kesulitan menyebarkan informasi mengenai bahaya AIDS untuk penduduk pedesaan di Afrika. Berita itu kelak kemudian hari melahirkan gagasan Noah Samara untuk meluncurkan siaran radio digital yang dipancarkan melalui satelit. Kini kita mengenal perusahaan global yang mengelolanya : WorldSpace Corporation.
Kisah Noah Samara itu diceritakan oleh John Howkins dalam bukunya The Creative Economy : How People Make Money From Ideas (2001). Kalau saya tidak memiliki impian dan berani untuk dikonteskan, hingga memenangkannya dalam The Power of Dreams Contest 2002 yang diadakan pabrikan mobil Honda di Indonesia, PT Honda Prospect Motors, saya pasti tidak memiliki buku yang inspiratif ini.
Kisah dari John Howkins yang juga menarik adalah tentang novelis Vikram Seth, pengarang buku A Suitable Boy dalam menemukan ide novel berikutnya. Saat ia dan temannya melintasi taman Hyde Park, mereka melihat seseorang lelaki sedang berkontemplasi di pinggir danau. Seth ingin tahu apa pekerjaan dia, dan oleh temannya yang musisi dijawab bahwa lelaki itu juga seorang musisi. Singkat cerita, dari pemandangan di taman itu lahirlah novel Seth Vikram berikutnya, An Equal Music judulnya.
John Howkins, pakar kreativitas dalam bisnis yang pernah bekerja untuk 30 negara, juga perusahaan seperti Time Warner, IBM, Sky TV, dalam membedah kisah Noah Samara dan Seth Vikram itu menyebutkan bahwa embrio gagasan bisa berupa hal-hal yang sepele dan biasa-biasa saja. Membaca koran atau berjalan melintasi taman, terdapat jutaan orang lainnya melakukan hal yang sama.
Yang membuatnya berbeda, dan ini teramat penting menurutnya, bahwa Noah Samara dan Seth Vikram telah memanfaatkan kejadian yang kebetulan mereka alami itu sebagai papan loncat guna lahirnya ide baru dan produk baru. Peristiwa atau insiden yang kebetulan itu tidak lagi penting. Berita atau artikel di koran, cukup. Berjalan melintasi taman, juga cukup.
Yang terpenting adalah apa yang kemudian kita kerjakan tentang momen bersangkutan. Kunci rahasia untuk berhasil, seperti diungkap oleh Louis Pasteur, bahwa peluang yang muncul setiap saat dan di mana saja itu hanya akan mampu ditangkap oleh mereka-mereka yang siap. Termasuk oleh Anda, apabila Anda juga selalu siap mengantisipasinya. Moment of truth dari Epistoholik Indonesia saya nantikan di bawah sadar saya selama 19 tahun. Baru menjadi kenyataan lebih dari 30 tahun kemudian !
Tanggal 6 April 1992, Anda Ada Dimana ? Majalah TIME edisi tanggal 6 April 1992 itu telah memuat kisah mengenai Anthony Parakal. Pensiunan klerk perusahaan kereta api India di Mumbai ini, saat itu berusia 60 tahun, dikisahkan sudah menekuni penulisan surat-surat pembaca sejak tahun 1954.
Oleh majalah bergengsi Amerika Serikat itu, Parakal yang tiap hari pasti ada 3 surat pembacanya dimuat di koran-koran India yang berbahasa Inggris, dijuluki sebagai seorang epistoholik. Orang yang kecanduan menulis surat-surat pembaca.
Membuka-buka kembali buku harian, tahun itu saya masih tinggal di Jakarta. Tanggal 6 April 1992 adalah hari Lebaran Kedua. Esoknya, Kompas (7/4) memuat berita meninggalnya Bapak Fiksi Ilmiah, Isaac Asimov (72). “Aku tergoda menulis tentang dirinya”, tulis saya di buku harian. Malamnya nonton “Memories of Midnight”-nya Sidney Sheldon yang dibintangi Omar Sharif dan Jane Seymour.
Tanggal 8 April 1992, saya main ke Perpustakaan American Cultural Center (ACC). Di Wisma Metropolitan II, Jl. Jenderal Sudirman. Meriset tentang Isaac Asimov. “Masih kurang, I, Robot itu ya ?” Mampir Kantorpos Rawamangun. Ambil wesel : Rp. 37.500,00. Esoknya (9/4), main ke Perpustakaan LIA : masih meriset Isaac Asimov. Malamnya nonton “In The Heat of The Night” dan “The Way We Were”-nya Robert Redford dan Barbara Streisand.
Hari Jumat, 10 April 1992, usai Jumatan, aku main lagi ke ACC. Aku menemukan artikel majalah TIME tentang Anthony Parakal itu. Saya yang sudah menulis surat pembaca sejak tahun 1973 di Solo, ketika membaca artikel itu gagasan yang muncul saat itu adalah : saya tidak berniat meniru produktivitasnya dalam mengamuk, menulis surat-surat pembaca. Melainkan hadirnya gagasan lain, yaitu niat untuk membentuk komunitas para penulis surat pembaca, dengan nama Epistoholik Indonesia.
Pangeran Kecil dan Menimang Cucu. Hari ini, empat belas tahun kemudian, saya bisa bersyukur bahwa komunitas Epistoholik Indonesia (EI) sudah bisa hadir dan berdenyut. Karena komunitas ini saya gagas untuk memberi, untuk beriur gagasan yang terbaik dari warganya untuk masyarakat luas melalui kolom-kolom surat pembaca, saya pribadi banyak mengalami kejadian yang menarik, menggembirakan, bahkan mengharukan.
Pagi-pagi (16/2), saya mendapat telepon dari Ibu Suwarno (Semarang). Beliau mantan guru, berusia 68 tahun, tetapi mendengar nada suaranya yang jauh lebih muda itu menandakan beliau seseorang yang bersemangat untuk terus belajar. Beliau yang sudah keroyo-royo kontak ke harian Kompas Jawa Tengah mencari informasi, telah menanyakan seluk-beluk komunitas Epistoholik Indonesia (EI). Bahkan beliau meminta warga EI yang tinggal di seputar Semarang untuk sudi menularkan semangat menulis surat-surat pembaca kepada kelompok Ibu Suwarno tadi.
Baru-baru ini pula saya kedatangan surat dari Bapak Soenoto Pringgohardjo (69), asal Solo. Beliau adalah penulis surat pembaca yang aktif dengan isi gagasan senantiasa cemerlang untuk koran Solopos. Beliau sudah pula mengenal epistoholik seperti Bapak Moegono dan Bapak Soeroyo. Surat beliau menyatakan ingin bergabung dalam komunitas Epistoholik Indonesia.
Bulan Februari lalu, saya menerima email dan SMS dari Danny Herwindo (Surabaya). Gara-gara warga EI yang aktif dan agresif (menulis surat-surat pembaca dengan isu aktual. Isinya cerdas dan berpandangan ke depan ) asal Bojonegoro, Hariyanto Imadha, mempromosikan EI di harian Surya (6/2/2006), Danny ingin bergabung dalam EI.
Sementara itu, harian Suara Merdeka (20/3/2006) memuat surat pembaca berjudul “Mencoba Menulis.” Pengirimnya Anisatul Aliyah dari Pesilba Maslakul Huda Pati, yang isinya berikut di bawah ini :
”Setelah membaca tulisan seorang epistoholik di rubrik ini, perasaanku tersentuh dan terharu. Ada semangat berkobar dalam diriku untuk mencoba, mencoba dan mencoba. Keterbatasan ada di sekelilingku seperti rental yang jauh, peraturan di ponpes saya sebagai santri, kantor pos yang jauh serta takut ditolak.
Perlahan akhirnya kukritisi satu demi satu dan akhirnya dengan bantuan teman (Aini Firdausi Mubarok), kuberanikan mewujudkan obsesiku untuk bisa menulis. Banyak hal yang melatarbelakangi keinginanku, salah satunya agar mengalami, menulis, mengirim serta membaca kembali tulisanku di media cetak sekaliber Suara Merdeka.
Aku ingin menjadi Epistoholik yang benar-benar merdeka, membahasakan unek-unek dan yang pasti bisa bermanfaat bagi orang banyak. Surat ini sebagai batu loncatan bagiku selangkah lebih maju menuangkan hasrat hati dalam torehkan kata.
Dari hati yang terdalam aku berharap setelah ini aku akan makin deras berusaha menulis, menulis dan terus menulis. Terutama memupuk cita-citaku menjadi seorang epistoholik sejati seperti para senior yang sudah mumpuni di bidangnya.”
Saya telah mengirim surat untuk Anisatul Aliyah itu. Sebagai lelaki berumur 53 tahun dan tidak menikah, suka hipokondriak dan kesepian, saya menulis surat yang berisi dorongan untuk cita-citanya. Jelas di sana sarat bernyanyi nada-nada keharuan, rasa syukur dan kebahagiaan.
Mungkin ibarat seorang kakek yang sedang bersemangat dan penuh cinta, mendongengkan kisah “Pangeran Kecil” karya Antoine de Saint-Exuperry untuk seorang cucu yang membahagiakannya.
Wonogiri, 28-30/3/2006
ee
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment