Oleh : Bambang Haryanto
Esai Epistoholica No. 57/April 2008
Email : humorliner (at) yahoo.com
Home : Epistoholik Indonesia
Kekuasaan, memabukkan. Ada pepatah menarik yang muncul pada akhir abad kedua puluh. Tentang palu dan paku. When all you have is a hammer, everything looks like a nail. Apabila semua yang Anda miliki hanya sebuah palu, maka segala hal akan selalu terlihat sebagai paku.
Pepatah itu mengingatkan saya akan sebuah film, saya lupa judulnya. Peran utamanya seorang nenek, entah dimainkan oleh Jessica Tandy atau Shirley McLaine. Semua itu bintang jadul. Ceritanya, si nenek itu mendapat kado istimewa dari anaknya : seorang sopir pribadi sekaligus pengawal. Konon, si pengawal itu mantan pembunuh bayaran.
Suatu saat, ia dapat menyelamatkan si nenek itu dari ancaman tindakan kriminal. Sang nenek yang kini merasa memiliki kekuatan dan kekuasaan, tidak ia sadari, telah memunculkan niat-niatnya yang diluar batas kewajaran. Misalnya tersinggung sedikit dalam antrean ia segera memerintahkan si pengawal untuk “membereskan” oknum yang membuatnya tersinggung itu.
Makin lama perintahnya termasuk merambah ke bunuh ini dan bunuh itu, yang semakin tidak terkendali. Sehingga terjadilah ironi : sang mantan pembunuh bayaran tersebut justru terjerumus mengulangi perbuatannya di masa lampau yang sebenarnya sangat ingin ia hindari.
Kekuasaan memang memabukkan. Ketika yang Anda miliki hanya palu, maka semua persoalan akan mendapat formula penyelesaian yang sama : pukul sana, pukul sini, pukul ini dan pukul itu. Habis perkara. Dahulu, pemerintah Orde Baru memiliki palu yang yang ampuh : lembaga Kopkamtib. Sementara akhir-akhir ini lembaga yang memiliki tabiat hampir sama adalah Depkominfo, yang diujung tombaki menterinya : Prof. Dr. Ir. Muhammad Noeh, DEA.
Kita jadi saksi, ketika heboh masalah sensor atau blokir situs porno terkait UU ITE belum mereda, Menkominfo sudah mengayunkan palu untuk kedua kalinya, ketika memberikan ancaman kepada situs video sharing YouTube yang menayangkan film pendek Fitna, karya sinema berkualitas rendahan dari politisi sayap kanan Belanda, Geert Wilders.
Noeh serasa mendapat ekstasi baru ketika memerintahkan anggota APJII, “agar bersama dengan segenap daya dan upaya untuk melakukan pemblokiran pada situs mau pun blog yang melakukan posting film Fitna tersebut.”
Harian Kompas (7/4/2008 : 33) telah memajang surat Menkominfo itu. Ada kop suratnya. Ada tanda tangan. Saya merasa sedikit lucu memergoki realitas betapa media digital diatur-atur dengan pendekatan media berbasis atom atau kertas. Kalau nabi media dari MIT, Nicholas Negroponte (“sudah berapa kali hal ini saya kutip ?”) bilang bahwa Internet adalah gempa bumi berkekuatan 10,5 Skala Richter yang mengguncang sendi-sendi sosial and ekonomi umat manusia, jangan-jangan menteri kita yang satu ini tidak ngeh sehingga sama sekali tidak merasakan adanya gempa bumi sekelas kiamat itu.
Ada bukti penunjangnya. Di harian yang sama terdapat artikel tulisan tokoh pers Leo Batubara, berjudul “UU ITE Ancam Kebebasan Pers” (hal.6), terdapat isi yang mengeluhkan betapa sepertinya Menkominfo tidak memahami kecenderungan global, yaitu terintegrasinya media cetak dengan media online di Internet.
Déjà vu ! Kita seperti kembali ke era Orde Baru, era pemerintahan represif Soeharto, tetapi sekaligus tidak merasakannya. Memang seperti ditulis Robert M. Pirsig, bahwa persoalan sering tidak nampak apabila persoalan itu terlalu kecil atau justru karena terlalu besar. Internet nampaknya memang terlalu besar sehingga Menkominfo kita justru tidak mengetahuinya !
Perubahan, menakutkan. Internet adalah perubahan paradigma. Tetapi tidak mudah bagi sebagian orang untuk memahami atau menerima perubahan yang mendasar itu. Terlebih lagi karena perubahan senantiasa mengakibatkan dislokasi, konflik, kekaburan dan ketidakpastian. Seperti ungkap Don Tapscott dalam The Digital Economy : Promise and Peril in the Age of Networked Intelligence (1996) yang menyatakan bahwa setiap perubahan seringkali ditanggapi secara dingin, diperolok atau bahkan dimusuhi.
Fihak-fihak yang memiliki vested interest akan selalu berusaha memerangi perubahan bersangkutan. Perubahan memang memerlukan cara pandang yang berbeda terhadap segala hal, dimana para pengambil keputusan yang berada di garda kemampanan seringkali merupakan fihak terakhir yang mampu memahaminya, atau bahkan tidak sama sekali.
Fenomena ini hanya menghadirkan krisis kepemimpinan di pelbagai lembaga, juga lembaga bisnis, dan bahkan di dunia yang maju sekali pun. Pelbagai lembaga bisnis pun ambruk karena mengukuhi pemikiran ekonomi lama. Para eksekutif tersebut senyatanya telah gagal melihat manfaat dan peluang dari hadirnya teknologi dan pemikiran-pemikiran baru !
Ketika Menkominfo kita memblok situs YouTube terkait film pendek Fitna, di MetroTV tersaji perbincangan dengan Onno W. Purbo dan Raymond Makarim dari Depkominfo. Onno saat itu sempat menyentil perilaku menteri kita yang kecanduan trigger happy dengan getol main larang sana-sini dan main blok sana-sini di Internet itu ibarat perilaku “seperti Tuhan” dan ia mengkuatirkannya akan juga “seperti Firaun” nantinya.
Sindrom Perang Bintang. Anda tahu bukan bagaimana Firaun memerintah ? Kekuasaan, sekali lagi, mudah memabukkan. Seorang pendidik dari Universitas Harvard, Howard Gardner, boleh jadi akan menilai perilaku pejabat kita tersebut sebagai mengidap kecanduan apa yang ia sebut sebagai sindroma Perang Bintang. Star’s Wars Syndrome. Nama ini diambil dari judul filmya George Lucas dan mengilhami keputusan Presiden Reagan di tahun 1983 untuk menggelar senjata penangkal rudal di angkasa ketika masa perang dingin dengan Uni Sovyet masih membara.
Gardner menyebutkan bahwa skenario Perang Bintang ini sangat mencengkeram pola pikir bangsa Amerika. Dikatakan dalam skenario itu bahwa sangatlah baik untuk menjadi besar, Anda harus menjadi besar, dan kalau Anda tidak mampu maka Anda harus bergabung dengan mereka yang besar itu. Apabila Anda menyerupai mereka yang besar itu, baguslah. Sedang mereka yang berbeda akan nampak jeleklah mereka itu.
Sindroma inilah yang membuat AS menyerang Lybia di tahun 1986. Lalu menggulingkan Manuel “Muka Nanas” Noriega di tahun 1988. Menyerang Irak di tahun 1990 dan menggulingkan Saddam Hussein 2003. Lalu juga Afghanistan. Keyakinan kuat pemimpin AS yang mabuk dibelit sindroma Perang Bintang itu, yaitu George W. Bush, bahwa dengan menyingkirkan mereka-mereka yang berbeda itu (ia sebut sebagai poros setan, an axis of evils) merupakan solusi jenial, ternyata merupakan kekeliruan fatal bagi bangsa AS sampai saat ini.
Di era Orde Baru, sindroma Perang Bintang itu diwujudkan dengan memberi label kepada mereka yang berbeda itu dengan pelbagai nama. Tentu saja yang paling laris adalah faham komunis, bahaya laten komunis, PKI Malam, ekstrim kiri, ekstrim kanan, sampai organisasi tanpa bentuk. Di era reformasi di bawah kepemimpinan SBY saat ini, siapa-siapa saja yang dianggap berbeda dan harus dimusuhi itu ? Bacalah koran dan Anda akan mudah menjawabnya.
Sumber kekeliruan fatal tersebut, ungkap Howard Gardner, karena apa yang ia sebut sebagai akibat dari otak kita yang tidak pernah bersekolah. Menurutnya, di luar bidang keahlian kita, kita semua itu cenderung selalu berpikir sebagaimana saat kita berusia sebelum masuk sekolah. Simaklah tesisnya yang radikal ini dalam bukunya The Unschooled Mind: How Children Think and How Schools Should Teach (1991).
Hampir tiga tahun lalu saya pernah menulis surat pembaca terkait tesis Gardner itu dalam praksis dunia pendidikan kita saat ini.
Otak Tak Pernah Sekolah
Dimuat di Kompas Jawa Tengah,
Selasa, 29 November 2005
Guru Besar Psikologi dari Universitas Indonesia Sarlito Wirawan Sarwono menegaskan bahwa proses pendidikan yang ideal adalah melalui tahapan berbuat dulu (psiko-motorik), timbul pemahaman (kognitif) dan lalu timbul sikap (afektif). Saat duduk di TK-SD anak-anak diajari mengucapkan terima kasih, sudah mencium tangan ayah dan ibu, sampai sudah memberi makan hewan kesayangan atau belum.
Praktek budi pekerti tersebut, seperti menyayangi binatang, menghargai orang lain dan berempati, disebutnya akan menghindarkan anak dari sikap arogansi dan maunya menang sendiri. Pribadinya akan tumbuh sebagai manusia yang tidak akan menghujat atau membunuh orang lain sambil kerongkongannya meneriakkan nama Tuhan. (Kompas, 8/10/2005 ).
Pendapat Sarlito itu mengkritisi metode pendidikan, terutama pendikan keagamaan, yang terlalu menekankan sejak dini agar anak-anak seusia TK-SD melulu menghafal ayat-ayat suci sampai doa-doa. Bahkan ketika ujian pun juga seperti itu. Kritik senada pernah pula dilontarkan oleh psikolog Universitas Harvard, Howard Gardner, dengan tesisnya mengenai unschooled mind, otak yang tidak bersekolah.
Menurutnya, selama ini anak didik di bangku pendidikan hanya dicekoki hal-hal yang bersifat kognitif. Mereka belajar dengan sasaran agar bisa naik kelas, lulus, atau lolos diterima di bangku pendidikan lanjutannya.
Akibat fatalnya, tutur Gardner. Ketika keluar dari bangku pendidikan semua yang mereka pelajari itu nyaris tak berbekas sama sekali. Tidak ada lagi yang nyantol di otak mereka !
Perilaku mereka kemudian tak ubahnya seperti mereka yang tidak pernah memperoleh pendidikan sama sekali. Perayaan kelulusan dengan mencoreng-moreng baju dan badan, pawai sepeda motor secara liar sampai tawuran antar sekolah atau antar mahasiswa, adalah bukti tesisnya Gardner tersebut.
Dengan otak yang tidak pernah bersekolah itu mereka rawan digerojoki dogma-dogma. Termasuk dogma bahwa melakukan bom bunuh diri merupakan cara paling luhur untuk mendapat pengakuan sebagai manusia terhormat di mata Tuhan.
Bambang Haryanto
Warga Epistoholik Indonesia
Lihatlah sekarang pada perilaku diri kita sendiri. Juga pada sekeliling. Juga termasuk mengkritisi pelbagai kebijakan yang diambil oleh pemimpin kita. Jangan-jangan negara kita yang terus terpuruk waktu demi waktu itu, karena kita selama ini hanya menjadi pelaku atau justru sebagai korban dari kinerja mereka yang secara formal memiliki berderet-deret gelar akademis, tetapi sebenarnya memiliki otak yang tidak pernah bersekolah ?
Wonogiri, 29/4-21/5/2008
ee
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment