Oleh : Bambang Haryanto
Esai Epistoholica No. 60/Juli 2008
Email : humorliner (at) yahoo.com
Home : Epistoholik Indonesia
Hidup digerogoti parasit. Ulat besar dan putih itu kami sebut sebagai gendon. Saya mengenalnya ketika duduk di bangku sekolah dasar. Bentuknya lemu ginuk-ginuk, dalam istilah bahasa Jawa. Gemuk, bulat, menggemaskan. Ia hidup di pangkal pohon turi. Saya tidak tahu bila ia bermetamorfosa akan menjadi kupu-kupu jenis yang mana. Atau jenis binatang lainnya, saya juga tidak tahu.
Binatang gendon itu sering mengingatkan saya akan media mainstream (MSM) saat ini. Wujudnya yang gemuk, lamban dan kaya gizi itu sering tidak mereka sadari bahwa dirinya rentan terancam menjadi medan bancakan, penjarahan sekaligus pesta pora, oleh para parasit yang menunggangi sarana komunikasi dunia digital.
Lebah atau serangga-serangga digital, katakanlah kita umpamakan begitu, kini nampak beramai-ramai memasukkan sengat berisi telur-telur spesiesnya sendiri ke tubuh gendon bersangkutan. Ketika telur-telur itu menetas, maka makhluk-makhluk baru itu akan menggerogoti tubuh sang gendon untuk menjadi makanan mereka. Sang gendon tersebut, tentu saja, lama kelamaan akan mati akhirnya.
Tamsil tentang gendon ini saya emailkan ke Kukrit Suryo Wicaksono, managing director Suara Merdeka Group. Juga saya “cc”-kan ke Adi Ekopriyono, Assistant Director Suara Merdeka Group. Saya kirimkan tanggal 17 Juni 2008 yang lalu. Petikannya di bawah ini.
Ancaman erosi atensi. Yth. Mas Kukrit Suryo Wicaksono, Managing Director Suara Merdeka Group. Dengan hormat dan salam sejahtera. Semoga SM Group senantiasa sukses, termasuk dengan peluncuran media Lintang dan pengayaan situs web Suara Merdeka.com. Sebagai orang luar dan pembaca Suara Merdeka, saya minta ijin untuk mengajukan usulan kecil : seputar manajemen email para wartawan dan kontributor di Suara Merdeka.
Saya mencatat, dari kolom Celathu Butet-nya seniman Butet Kartaredjasa, halaman Sehat di edisi Minggu (ada 3 dokter), kolom TI Ridwan Sanjaya, lalu kolom pembahasan tentang iklan Mas Adhy Trisnanto, rubrik bimbingan penulisan kreatif, halaman teknologi sampai wacana, sampai beberapa individu wartawan Suara Merdeka sendiri, baik media cetak atau pun digitalnya, ketika menulis (termasuk mencantumkan alamat situs blog pribadinya), masing-masing memiliki alamat email yang berbeda-beda.
Silakan klik Butet Kartaredjasa ini, maka artikel kolomnya di Suara Merdeka itu tidak tersimpan di situs koran yang sama. Melainkan di situs blog pribadi Butet yang berpangkalan di situs berita Detik.com
Pikir saya, mengapa Suara Merdeka tidak menentukan agar mereka memiliki domain yang sama, yaitu (seperti email mas Kukrit) : suaramerdeka.com ? Demikian juga domain untuk blog-blog mereka, sehingga juga mempromosikan entitas Suara Merdeka, bukan ?
Menurut saya, karena media digital itu interaktif, maka penggunaan email yang beragam itu ibarat memecah belah atensi pembaca/pendukung artikel/kolom bersangkutan, sehingga mengancam terjadinya erosi atensi mereka terhadap media yang menjadi wadahnya.
Atensi yang berharga itu (“the hard currency of cyberspace is attention,” kata Gerard Van der Leun dan Thomas Mandel dalam bukunya Rules of The Net) yang sebaiknya harus menjadi milik Suara Merdeka, tetapi saat ini sebagian besarnya justru Anda perbolehkan untuk “dirampok” oleh para kolumnis tersebut. Di media manca negara, wartawan yang mengelola blog diberi alternatif : menghentikan blognya atau dipersilakan keluar !
Padahal, dengan sedikit trik yang kreatif dan inovatif, kolom-kolom menarik itu dapat menjadi awal suatu pasar diskusi yang lebih hidup, dengan pendekatan ala wikipedia dan amazon.com, yaitu user-generated content, sehingga bermanfaat bagi pembaca/peselancar dan juga bagi bisnis Suara Merdeka sendiri di media maya.
Terakhir, usul-usil : mbok Bapak Mas Soesiswo (penjaga kolom Surat Pembaca –BH) itu disertai asisten yang faham menggunakan email. Sebagai seorang epistoholik/penulis surat pembaca (blog saya Esai Epistoholica : http://esaiei.blogspot.com), kalau saya kirim surat pembaca via email engga pernah ada kabarnya. Kalau lewat pak pos alias snail mail, selain jadi lebih mahal, juga lebih lama sampainya dan isinya menjadi tidak aktual lagi. Semoga usul-usil ini ada manfaatnya. Sukses selalu.
Hik dan hotspot. Dari mengobrolkan media Semarang, kita berpindah topik ke media asal Solo. Tanggal 12 Juli kita kenal sebagai Hari Koperasi, bukan ? Lalu Anda mudah ingat akan Bung Hatta ? Bagi diri saya pribadi, tanggal itu punya sejarah lain.
Sebagai Hari Suporter Nasional (HSN). Tahun ini adalah sewindu HSN yang idenya saya cetuskan di tengah acara pertemuan kelompok besar suporter sepakbola Indonesia di kantor Tabloid BOLA, Jakarta. Mereka adalah Aremania (Malang), The Jakmania (Jakarta), Pasoepati (Solo) dan Viking (Bandung).
Memperingati tanggal itu, sambil berefleksi mengenai karut-marut dunia sepakbola Indonesia mutakhir, kami menggelar demo di perempatan Gladag Solo. Pendukungnya adalah Mayor Haristanto, pendiri Pasoepati dan Presiden Republik Aeng Aeng, saya sendiri, Is Haryanto dan Agus dari OI Bento House Solo, dan relawan lainnya.
Malamnya, saya ikut menikmati malam-malam digital di City Walk Solo. Saat itu Republik Aeng Aeng (RAA) yang punya kegiatan. Sebagai pelaksana acara Aksi Cetak Rekor MURI Gaya Solo : Browsing Internet @ City Walk (30 Juli 2008), malam itu RAA dengan mitra kerjanya yaitu Pemkot Solo, Apkomindo Surakarta, Speedy, Solo IT Expo 2008 dan harian Solopos, melakukan uji coba akses Internet tanpa kabel. Acara puncaknya akan terjadi tanggal 30 Juli nanti, sekaligus meluncurkan deklarasi sebagai Solo Cyberholic Day.
Sekitar 30-an netter hadir malam itu. Saya dan keponakan saya, Lintang Rembulan (yang ketua OSIS SMA St. Yosef Solo, pemain biola, tulisannya pernah dimuat di Kompas, dan karya film bersama rekan-rekannya masuk final sebuah kontes film di Jakarta), nongkrong di sekitar kedai hik yang disediakan panitia. Secara bercanda, saya memberi label hik and hotspot sebagai tag kegiatan malam itu.
Inilah potretnya : sambil mengganyang tempe benguk sampai jadah bakar dan menyeruput wedang jahe, saya mencandai Lintang dan Nani Mayor, mamanya. Bahwa walau pun kita saat itu saling berdekatan dan meminum wedang jahe dari kedai hik yang sama, tetapi urusan di depan laptop yang tersambung ke dunia maya tidaklah sama antara kita berdua. Demikian juga dengan para peselancar lainnya yang berhimpun di tempat yang sama.
Sungguh benar kiranya pendapat sejarawan dan pustakawan dari Library of Congress Daniel Boorstin. Ia pernah bilang, teknologi senantiasa mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat. Tetapi “seperti laiknya tuntutan alam, era digital tidak dapat dihentikan. Keunggulannya karena memiliki empat daya dahsyat yang mengantarkannya ke puncak kemenangan : desentralisasi, globalisasi, harmonisasi dan memberdayakan,” timpal “nabi digital” dari MIT, Nicholas Negroponte, dalam buku terkenalnya, Being Digital (1995).
Being Digital adalah buku tentang teknologi informasi yang mampu membuat saya menangis. Saya bangga menceritakan hal yang sama, dan berkali-kali. Menangis karena optimisme yang dijanjikan oleh penulisnya mengenai masa depan menawan ketika kehidupan umat manusia berbasis teknologi digital.
Sebuah ilustrasi tentang globalisasi sempat mencuat di city walk Solo malam itu. Di seberang saya nampak asyik berselancar dan berbagi cerita, Dwi Haryanto, bos Speedy Solo. Suatu saat ia membuka situs Google Earth, menemukan kota Solo, lalu melakukan penjelajahan dari pandangan mata burung.
Disamping dirinya duduk Wakil Walikota Solo, FX Hadi Rudyatmo. Juga Andoko, Ketua Apkomindo Surakarta. Ketika saya ikut nimbrung, saya mengusulkan untuk mencoba menemukan rumah Pak Rudy yang berada di kawasan Pucangsawit itu. Klik dan klik dalam perburuan lokasi itu pun lalu dimulai.
Bisnis digital yang lokal. Situs Google Earth itu memang eksotis. Melihat foto genteng dan hamparan halaman belakang, juga bercak pepohonan yang ada di rumah sendiri, di Kajen Wonogiri, membuahkan sensasi tersendiri. Perasaan itu jelas sulit muncul ketika kita melihat peta kota atau daerah yang biasa. Baik peta yang tercetak di kertas atau pun yang terpajang di media digital. Untuk yang terakhir ini, silakan coba klik www.soloyellowmap.com.
Halaman kuning dalam buku telepon yang kita kenal selama ini nampaknya oleh sebagian netpreneur Solo diupayakan bermigrasi dalam bentuk media digital. Untuk dikeduk peluang-peluang bisnis yang ada. Usaha yang dilakukan oleh SoloNet Solo itu pantas mendapatkan apresiasi.
Tetapi untuk kota yang “sekecil” Solo ini, dimana ketika kita bertanya tentang sesuatu lokasi kepada tukang becak atau penduduk setempat sudah mudah dalam memperoleh jawaban, bukankah peta digital ini masih merupakan hal yang redundant, cenderung berkelebihan ? Atau malah salah sasaran.
Mungkin, gumam saya, ini proyek yang futuristik. Berjangkauan jauh ke masa depan, dengan membayangkan berpuluh tahun kemudian ketika Solo sudah menjadi sebesar kota London, misalnya. Di Wonogiri, sekadar cerita, saya pernah mendapatkan hadiah dari teman dekat saya saat itu, yaitu dua map kotanya.
Satu berjudul M25 Main Road London dan London AZ New Edition 2006. Dengan panduan buku peta ini, secara mudah saya menemukan daerah Bromley, London Tenggara, rumahnya. Versi digital dari buku peta ini dapat diakses pada situs : http://www.a-zmaps.co.uk/.
Halaman kuning Solo versi digital itu, tentu memiliki kelenturan dan kelebihan yang menantang untuk dieksplorasi dibandingkan media berbasis kertas. Sebagaimana bunyi selebarannya, situs Solo Yellow Map dicita-citakan akan mampu menampung pelbagai jenis usaha di Solo. Setiap kegiatan usaha di Solo nantinya akan memiliki instant website masing-masing. Baik yang gratisan dengan isi ringkas atau berbayar dengan isi situs lebih komprehensif. Mungkin mirip layanannya dengan situs Tokobagus.com atau Indonetwork.co.id.
Inovasi itulah yang memicu saya mengirimkan email ke Ricky B. Hartono, SH. MH., Direktur Utama Solo Jala Buana (SoloNet), kreator situs Solo Yellow Map itu, tanggal 16 Juni 2008 yang lalu. Antara lain telah saya tulis : Maaf, menurut saya saat ini Solo Yellow Map/SYM itu masih ibarat sebagai “jalan yang sepi.” Fasilitas jalan itu bagus, mulus, di kiri kanan banyak toko, yang kesemuanya mudah ditemukan melalui mesin pencari yang ada. Tetapi tetap “sepi.”
Maksud saya, situs itu hanya berpeluang menarik dikunjungi oleh mereka yang HANYA butuh penunjuk jalan, dan bagi wong Solo sendiri hal itu adalah hal yang redundant. Engga terlalu diperlukan. Karena Solo adalah kota kecil membuat peta-peta di SYM menjadi trivia. Remeh-temeh. Situs ini jadinya mungkin lebih berguna bagi orang luar Solo, dan karena hal itulah menjadi agak “sulit” untuk di-generate sebagai suatu peluang bisnis.
(Menurut saya) Agar situs SYM menjadi lebih hidup, tinggi traffic-nya, berguna dan tidak menjadi situs yang sepi dikunjungi oleh warga Solo sendiri, maka harus dilakukan pelbagai inovasi. Idenya bagaimana mengundang warga Solo sendiri untuk getol mengunjungi situs SYM dengan pendekatan Web 2.0. a la Wikipedia atau amazon.com. Yaitu, membuat situs SYM kaya dengan isi yang justru dibuat oleh para pengunjung itu sendiri, user generated content (USG) dengan pelbagai derivatifnya.
Rumah hantu maya. Ide USG di atas adalah upaya untuk memecahkan masalah, betapa situs di internet senantiasa kesulitan men-generate lalu lintas pengunjung yang ramai di situs bersangkutan. Terutama bagi siapa saja yang ingin berniaga di dunia maya.
Majalah Harvard Business Review (November/Desember 1996) pernah menyajikan diskusi bertopik The Future of Interactive Marketing. Salah satu tulisan yang menarik adalah dari Martin Levin, petinggi Microsoft. Intinya ia membedakan eksekusi antara corporate website, situs perusahaan dengan marketing website, situs pemasaran.
Situs web perusahaan tugasnya mengelola komunikasi yang asal-muasalnya diprakarsai oleh konsumen. Ibarat layanan telepon bebas pulsa 0-800, yang menjawab semua kebutuhan informasi yang diajukan konsumen. Sementara itu situs web pemasaran harus tampil lebih agresif dalam upaya membujuk dan merangkul konsumen. Selain untuk membangun dialog di mana tujuan akhirnya adalah membidik terjadinya transaksi. Situs web pemasaran ini diprakarsai oleh pemasar.
Eksekusi situs pemasaran ini menghadapi kendala serius. Karena situs ini diharapkan mampu menarik konsumen, maka situs bersangkutan harus dieksekusi sebagaimana sebuah penerbitan. Misalnya dalam menyambut tahun ajaran Baru, Bulan Puasa, Hari Lebaran, Hari Natal sampai Tahun Baru, situs bersangkutan harus memiliki kandungan isi dan desain yang sesuai dengan tren atau pun musim. Sungguh suatu beban tugas yang tidak ringan untuk situs perusahaan yang besar sekali pun. Karena mereka harus hadir pula sebagai suatu perusahaan media yang juga besar adanya !
Mungkin saya keliru, tetapi pendekatan model situs pemasaran itu belum muncul dalam tampilan situs SYM tersebut. Saya tulis dalam email saya yang kedua, “Di Suara Merdeka, seorang pakar periklanan, Mas Adhy Trisnanto, antara lain bilang bahwa iklan-iklan baris (classified) di koran-koran itu tidak inovatif.
Iklan-iklan itu,menurutnya, selama ini hanya dieksekusi untuk hanya menarik bagi mereka yang kebetulan membutuhkan produk/jasa yang diiklankan. Sedang mereka yang tidak butuh barang/jasa, tidak akan tertarik membaca-baca iklan baris tersebut.
Mungkin, maaf, hal tersebut nanti juga identik terjadi di SYM pula. Karena SYM hanya menarik untuk dikunjungi oleh mereka yang punya kaitan langsung dengan beragam bisnis yang mejeng di SYM. Akibatnya yang terjadi, bila memperhitungkan berapa banyak populasi warga Solo yang sudah melek Internet apalagi tertarik melakukan transaksi online, mungkin SYM terancam hanya menjadi Solo Virtual City yang sepi. Berapa banyak kunjungan (hits) sejak SYM diluncurkan ?
Moga diskusi dan usil-usil saya ini dapat Pak Ricky anggap sebagai pendorong untuk kemajuan SYM di masa depan SYM. Dengan mengambil ibarat SYM sebagai arena citywalk (srawung warga) Solo, kini area itu (bagi saya) masih sangat sepi pula. Sehingga kiranya menjadi tantangan bagi Pak Ricky dan kru, mampukan Anda mengadakan event hura-hura secara kontinyu di citywalk maya Anda, sehingga mampu men-drive hadirnya banyak peselancar untuk hadir di situs SYM itu ?
Misalnya : kalau sebentar lagi konon Raja Solo Paku Buwono Tejowulan mau mengadakan pesta perkawinan agung bagi putrinya, juga mau ada kirab melewati rute jalan tertentu di Solo, bisakah event itu Anda olah menjadi program SYM hingga menjadi daya tarik bagi wong Solo, juga luar Solo, untuk membanjiri “Solo Virtual City” Anda ?
Contoh lain : kalau di Jl. Kalitan dan jalanan lain di Solo banyak temboknya dikotori dengan graffiti, corat-coret (hal serupa juga terjadi di Wonogiri dan saya tulis di URL ini : http://wonogirinews24.blogspot.com/2008/02/ancaman-di-balik-wabah-grafiti-di.html), dapatkah para seniman jalanan Solo itu bisa Anda ajak membuat graffiti di SYM saja ? Sehingga jalanan Solo menjadi lebih bersih ?
Tantangan (bagi situs) untuk bisa tersaji menarik sehingga dibanjiri peselancar adalah tantangan universal bagi situs web mana pun juga. Repotnya, situs yang dikunjungi jutaan peselancar pun, masih juga kerepotan berat untuk menghasilkan pemasukan.
Saya sertakan URL artikel mutakhir mengenai perjuangan situs MySpace dalam upaya mampu menghasilkan pemasukan. Ditulis oleh Brian Stelter di situs The New York Times (16 Juni 2008) : http://www.nytimes.com/2008/06/16/business/media/16myspace.html?_r=2&ref=business&oref=slogin&oref=slogin
Begitulah Pak Ricky, usul-usil lanjutan saya. Masih ada beberapa gagasan saya, tetapi dengan mempertimbangkan hal itu sebagai semacam hak karya intelektual, maka gagasan tersebut belum bisa saya ungkapkan di email ini. Walau pun demikian, semoga obrolan ini ada manfaatnya. Sukses untuk Anda, SoloNet dan Solo Yellow Map.”
Koran di lampu merah. Situs semacam Solo Yellow Map tersebut, bila kelak mampu dikelola dengan track yang benar, mampukah membunyikan bunyi alarm, tanda bahaya, bagi pengelola media massa utama, alias koran-koran dan media lama lainnya ?
Alarm itu memang ada yang mendengarkan. Bahkan mau memperbincangkannya. Adalah seorang Azrul Ananda, bos muda Jawa Pos Group, dalam rangka memperingati 59 Tahun koran Jawa Pos telah menulis kolom dengan judul “Newspaper is Dead” dan “Life Will Find a Way” (Jawa Pos, 1-2/7/2008).
Salah satu poin menarik tentang masa depan koran yang suram dengan mengambil contoh dirinya sendiri : yang baca online dua jam, baca koran 20 menit. “Saya baca majalah Fortune edisi baru-baru ini. Marc Andreessen, salah satu pendiri Netscape yang juga pebisnis media (online, tentunya!), punya rencana besar seandainya memiliki koran sebesar New York Times.
Dia bilang akan mematikan ’’koran fisik’’ itu sesegera mungkin, pindah penuh ke online. ’’Lebih baik merasakan sakit parah sekarang daripada bertahun-tahun kesakitan,’’ ucapnya. Dia juga menyinggung, sangat sulit bagi New York Times untuk mengamankan masa depan, karena jajaran direksinya gaptek. ’’Ada yang pakar binatang, ada yang pakar makanan. Tapi, tak ada yang mengerti internet,’’ katanya.
Kemudian Azrul Ananda mencontohkan seorang artis Madonna yang senantiasa mampu memperbarui diri, reinventing, sebagai teladan bagi koran-koran dalam menapaki masa depan.
“Di dunia media, koran tergolong yang paling kuno…Tapi koran telah selamat berkali-kali dari krisis harga kertas dan ancaman media format lain. Mungkin, dengan kerja keras dan energi muda, koran masih bisa selamat, minimal sekali lagi. Life will find a way,” tulis penutupnya.
Koran mungkin masih bisa selamat. Pada tanggal 3 Juli 2008 saya telah mengirim email ke Jawa Pos terkait tulisan Azrul Ananda yang putra Dahlan Iskan itu.
Salam sejahtera. Membaca dua seri tulisan Anda di Jawapos (1-2/7/08) berjudul “Newspaper is dead” dan “Life Will Find a Way,” saya merasa seperti di tengah masa Lebaran. Dan halal bihalal. Karena disana bertabur kata-kata permintaan maaf dari Anda untuk para orang-orang koran (juga PSSI) yang sudah tua-tua.
Orang-orang koran adalah orang-orang tua. Saya pernah ikut diskusi seputar koran di Solo, diadakan oleh Harian Suara Merdeka Semarang. Opini yang dominan disitu adalah opini-opini lama mengenai usul-usul mengubah content, tetapi sama sekali tidak menyinggung context. Kesan-kesan saya tentang acara itu lalu saya tulis dalam surat pembaca (saya pendiri Epistoholik Indonesia, komunitas penulis surat pembaca, bisa di klik di http://episto.blogspot.com/ dan http://esaiei.blogspot.com/ ).
Buntut dari surat pembaca itu saya diundang oleh Managing Director Suara Merdeka Group, Kukrit Suryo Wicaksono, ke Semarang. Saat itu ia membeberkan tabel-tabel dari kajian Nielsen mengenai makin surutnya pembaca surat kabar di kota-kota Asia dibanding audiens untuk TV dan Internet. Saat itu saya mengusulkan agar Suara Merdeka terbit secara gratisan. Saya lalu tunjukkan contoh koran yang saya bawa, yang terbit gratisan, yaitu The London Paper dan London Lite.
Mungkin karena usulan itu maka diskusi antara kita menjadi cepat berakhir. Saya memaklumi hal itu. Karena memang koran merupakan zona nyaman (comfort zone) bagi orang-orang koran. Mereka akan menjaga hal itu sebagai sapi keramat bisnis mereka. Karena dengan produk cetak itu mereka sudah fasih dalam cara-cara memperoleh uang, monetizing, demi hidup mereka. Mereka pun sekarang masih bingung, juga takut-takut, mengeksplorasi wilayah-wilayah yang baru.
Tetapi seperti yang Anda tulis, sapi keramat itu akan tergerus dan akan menjadi kurus. Menurut saya, orang-orang koran selama ini terlalu berambisi untuk membuat siapa saja agar menjadi pembacanya, walau senyatanya, sampai kapan pun, persentase para pembaca itu jauh lebih kecil dibanding populasi yang ada.
Maka seperti Anda mencontohkan pada diri seorang Madonna, maka koran pun harus berubah dan berubah. Ada istilah agar koran berubah menjadi utilitas informasi dan hubungan bagi masyarakat, yang layanannya tidak hanya terbatas kepada pembaca dan pemasang iklan belaka (rumus triangle media) seperti lajimnya selama ini.
Sebagai pembaca 4-5 koran di perpustakaan umum Wonogiri, sehingga jarang membeli karena kemahalan dan tidak efisien bagi minat saya, saya tunggu pergulatan Jawapos dan koran-koran lainnya dalam mengarungi 5 tahun ke depan. Untuk ikut urun rembug mengenai masa depan koran, di bawah ini saya sertakan surat-surat pembaca yang pernah saya tulis seputar topik bersangkutan. Semoga bermanfaat. Terima kasih untuk perhatian Anda.
Bambang Haryanto
PS : Kapan kita membuat gerakan untuk menggusur tokoh-tokoh tua di PSSI itu ? Saya telah ikut berbagi pikiran mengenai orientasi mereka yang menjadikan sepakbola Indonesia hanya sebagai ajang bisnis sekelompok kecil mereka dan bukan untuk prestasi di blog Suporter Indonesia di : : http://suporter.blogspot.com/2007_12_01_archive.html#8505612158633538660
SM di Laut Merah
Harian Suara Merdeka, Selasa, 6 November 2007
Saya diajak Mayor Haristanto, Presiden Republik Aeng-Aeng, mengikuti acara sumbang saran (brainstorming) bertopik pengembangan penetrasi harian Suara Merdeka ini di Solo. Kita tahu, Suara Merdeka pernah berjaya di Solo dan kini bertekad hendak merebut kuenya terdahulu yang belakangan tergerus oleh pesaing baru mereka.
Sebagai seorang epistoholik, dalam acara itu saya protes karena kolom surat pembaca yang dulu di halaman 6 kini “dionclang” ke halaman 22. Padahal menurut saya, dalam wacana jurnalisme warga (citizen journalism), kolom itu idealnya harus berada di halaman pertama !
Hal menarik lain, sebagian besar peserta acara itu generasi di atas 40-an. Pembaca koran kelompok jadul, jaman dulu. Sehingga tak ayal, sebagian besar saran mereka berputar-putar seputar perbaikan isi (content) dan tidak menyinggung-nyinggung konteks (context).
Saran mereka itu membuat saya terpana dan mengingatkan saya akan tesis tentang red ocean strategy? (strategi laut merah) vs blue ocean strategy (strategi laut biru) dari W. Chan Kim dan Renée Mauborgne (Harvard Business School Press, 2005). Menurut saya, para pengusul itu ibaratnya menceburkan Suara Merdeka ke tengah laut merah, lautan di mana pasar sudah mendekati jenuh, terjadi kompetisi ketat, karena banyak sekali penerbitan yang serupa memperebutkan pasar yang sama pula.
Apalagi di tengah perkembangan teknologi komunikasi dan informasi yang cepat dan berubah-ubah, koran kini ibaratnya bukan lagi sebagai matahari sebagai pusat edar bumi kita ini. Koran kini hanya sebagai salah satu planet di mana matahari sebagai pusat edar gerakan benda-benda angkasa adalah para konsumen informasi. Koran kini harus bersaing mati-matian melawan empat layar media lainnya, sejak layar bioskop, televisi, komputer (internet) dan yang terbaru layar telepon genggam.
Fenomena mutakhir, hadirnya layanan berita seketika melalui telepon genggam seperti yang baru-baru ini diluncurkan oleh kelompok Kompas, Langlang, adalah pertarungan konteks. Dengan mengusung blue ocean strategy (strategi laut biru)-nya Kim dan Mauborgne di atas, karena belum ada preseden sebelumnya, Langlang tersebut berpotensi membuat koran-koran yang baru bisa menyalurkan informasinya ke pembaca pada keesokan hari terancam menjadi tidak relevan. Termasuk bagi Kompasnya sendiri, karena penerapan teknologi baru selalu tersimpan potensi dahsyat terjadinya kanibalisasi.
Persaingan koran di Solo, juga di bagian mana pun di dunia, kini tak bakal bisa dimenangkan hanya dengan mengutak-utik isi belaka. Gary Hammel dalam bukunya Leading the Revolution (Harvard Business School Press, 2000) menandaskan, perang bisnis masa depan berada di medan konteks dan bukan pada isi. Bukan pada produk, tetapi pada model bisnis.
Bagi saya, sungguh menarik mengikuti apa yang akan terjadi dalam perang koran di Solo dan di Indonesia pada masa-masa mendatang ini. Sebagai penulis surat pembaca, saya akan mendukung media yang mampu menampung kiprah dan aspirasi mazhab jurnalisme warga yang embrio aksinya telah lama dipraktekkan jauh-jauh hari oleh kaum epistoholik selama ini, yang mencita-citakan demokratisasi media sehingga bermanfaat maksimal bagi semua.
Bambang Haryanto
(EI/081329306300)
Jl. Kajen Timur 72 Wonogiri 57612
Email : humorliner (at) yahoo.com
Angket dan Sup Batu
Harian Suara Merdeka, Kamis, 29 November 2007 : L.
Mencermati Angket Pembaca 2007 Suara Merdeka, saya teringat dongeng sup batu. Dikisahkan, seseorang sedang menyalakan tungku di tengah lapangan. Di atas tungku ditaruh gentong berisi air dan ia masukkan sebungkah batu. Ia pun dengan riang mengaduk-aduknya.
Aksinya itu menarik perhatian orang untuk datang dan bertanya-tanya. Si orang pertama itu berkata, ia sedang memasak sup yang lezat. Tetapi ia kekurangan garam. Orang kedua yang datang segera pulang, ambil garam, dan kembali ke lapangan untuk memasukkannya ke gentong.
Orang-orang berikutnya berlaku pula demikian. Ada yang menyumbangkan irisan daun bawang, kaldu, merica, daging, bumbu penyedap dan mereka bergantian mengaduknya. Akhirnya, memang tersaji masakan sup yang lezat dan semua orang dapat secara adil menikmatinya secara bersama-sama.
Dongeng sup batu itu di era Internet sering dipakai untuk menggambarkan resep suksesnya toko buku online Amazon.com sampai ensiklopedi online Wikipedia. Kedua bisnis itu mengandalkan partisipasi massa penggunanya, bukan kalangan ahli, dalam menghimpun dan menyajikan isi situsnya. Istilah kerennya : user generated content. (UGC). Strategi ini kini lajim diaplikasikan dalam pelbagai strategi bisnis di Internet.
Lalu apa kaitannya sop batu, UGC dan Suara Merdeka ? Dalam pertemuan saya dengan Mas Kukrit Suryo Wicaksono, Managing Director Suara Merdeka Group (8/11), saya agak protes karena keberadaan media maya Suara Merdeka tidak masuk dalam angket. Dan sebagai pendiri komunitas Epistoholik Indonesia (EI), saya juga heran berat mengapa kolom surat pembaca tidak ditonjolkan secara signifikan dalam angket yang sama.
Padahal menurut saya sembari merujuk kesimpulan World Editors Forum (WEF) 2007, situs web media dan eksistensi kolom surat pembaca merupakan cikal bakal manifestasi filosofi UGC, user generated content. Inilah gerbang utama semua media mainstream, termasuk Suara Merdeka, dalam melangkah menuju masa depan.
Bambang Haryanto (EI/081329306300)
Jl. Kajen Timur 72
Wonogiri 57612
Koran Masa Depan
Harian Suara Merdeka, Senin, 3 Desember 2007 : L
Sebagai seorang epistoholik, saya menulis surat pembaca yang pertama kali di Suara Merdeka. Tahun 1973 atau 1975. Tetapi baru 32 atau 34 tahun kemudian saya pertama kali bisa mengunjungi kantornya, di Jl. Pandanaran 30, Semarang. Yang segera menarik perhatian saya adalah kehadiran papan baca koran di depan kantor itu, yang ramai dikerubungi pembaca.
Mengingatkan saya ketika masa kecil di Yogyakarta, bahwa untuk bisa mengikuti cerita bersambung kisah Nagasasra-Sabukinten dari koran setempat, saya rajin membacanya juga melalui papan baca.
Berhubung saya hadir ke kantor Suara Merdeka (8/11/2007) itu atas undangan Mas Kukrit, saya mudah ingat pidatonya setahun yang lalu saat ia menandatangani kerjasama antara Suara Merdeka Group dengan Pemkot Semarang berupa penyediaan papan baca di 177 kelurahan se-Kota Semarang (24/11/2006). Setiap pagi, di papan itu akan ditempelkan koran Suara Merdeka dan sore harinya diganti dengan Wawasan.
Dengan kerja sama itu, Kukrit berharap warga Semarang kian terbiasa dengan berita dan informasi. Sebagai timbal baliknya, mereka bisa menyampaikan kritik atas pemberitaan yang disampaikan. Sekiranya ada pemberitaan di Suara Merdeka yang kurang pas, kurang menggigit, atau dipandang salah, warga bisa menyampaikannya untuk perbaikan.
''Panjenengan semua adalah 'pemegang saham' terbesar kami. Mohon disampaikan langsung masukan dan kritik itu sehingga kami bisa hadir seperti yang Anda harapkan, seperti yang Anda inginkan,'' tandasnya.
Bagi saya, papan-papan baca itulah prototip koran masa depan. Koran sebagai entitas bisnis, menurut Gary Hamel dari London Business School, harus seperti amuba, membelah-belah diri, bahkan hingga mampu memuaskan pembaca secara individual.
Semua itu mampu mendekati kenyataan bila yang mengisi koran di papan-papan baca itu justru warga setempat. Tiap papan baca akan berbeda isinya dengan papan baca di kelurahan lain. Bahasa kerennya, isinya hyper-local, dan itulah tren koran dunia atau pun situs informasi di masa depan.
Bambang Haryanto (EI/081329306300)
Jl. Kajen Timur 72 Wonogiri 57612
Koran Gratisan
Harian Suara Merdeka, Jumat, 7 Desember 2007 : M
Teman dekat saya membawa oleh-oleh yang saya harapkan. Yaitu koran gratisan yang terbit di kota tempat tinggalnya. Koran berbentuk tabloid itu bernama The London Lite dan The London Paper. Keduanya terbitan sore hari, sayang saya tidak memperoleh Metro, yang terbit tiap pagi.
Kedua koran sore gratis ini di masa-masa awal konon dicetak sekitar 400.000 eksemplar setiap harinya. Bila bisa dijamin seperempat saja yang setiap hari ada yang membacanya, jelas pemasang iklan tidak keberatan menghabiskan ongkos iklan ke koran bersangkutan. Artinya koran tetap gratis tapi keuntungan mengalir. Dan memang begitulah tren di beberapa tempat dunia.
Harian pagi gratis Metro di London, misalnya, kini sudah menyebar ke beberapa kota lain, di Manchester dan setiap harinya mencapai oplag sekitar 1,9 juta, lebih tinggi dari koran-koran ternama Inggris seperti The Times atau The Guardian, yang masih harus dibeli. Harian gratis Metro kini juga terbit di beberapa tempat lain di daratan Eropa, dan kemudian memicu lahirnya koran-koran gratis lainnya.
Di Kopenhagen, ibukota Denmark, sejak 2006 telah terbit 5 koran gratis. Sehingga memunculkan guyonan, penduduk Kopenhagen sulit bekerja karena semua orang berebutan memberi surat kabar kepada mereka. Dampak positifnya, kalau koran-koran tradisional kesulitan merekrut pembaca-pembaca muda, maka koran gratisan senantiasa memiliki pembaca yang lebih muda.
Jadi apakah kelak koran di masa depan akan gratis semua? Entahlah. Tapi saya sendiri tak sabar menunggu koran Suara Merdeka ini dibagikan gratis untuk kita, para pembacanya !
Bambang Haryanto (EI/081329306300)
Jl. Kajen Timur 72 Wonogiri 57612
Apa balasannya ? Mas Adi Ekopriyono membalas ( 16/6/08) : “Matur nuwun masukannya Mas. Akan saya teruskan ke teman-teman.” Sementara Mas Kukrit melalui BlackBerry menulis agak lebih panjang : “Mas bambang, terima kasih sekali atas semua sarannya, sy sangat terharu atas segala perhatian yg mas berikan untuk kemajuan SM, dlm wkt dkt saya akan coba implementasikan ide2 mas tsb.”
Sementara itu Ricky B. Hartono membalas email pertama saya dengan menceritakan (mengulangi) isi selebaran Solo Yellow Map. Ia mencita-citakan situsnya secara menarik, antara lain : “Masyarakat tidak hanya mendapatkan penunjuk jalan, namun dapat mencari segala macam informasi di kota Solo dari A sampai Z. Bahkan masyarakat dapat melakukan transaksi online melalui Solo Yellow Map: pembelian buku online, booking kamar hotel sekaligus melihat gambar & lokasi kamar yang akan dipesan, beli rumah atau kendaraan secara online, dan sebagainya,” tulisnya. Email saya yang kedua, tidak ada balasannya. Sementara itu dari Azrul Ananda/Jawa Pos, tidak ada kabar sama sekali.Terima kasih.
Wonogiri, 21 Juli 2008
ee
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Daripada tidak / belum ada comments, saya isi saja dg mengajak anda "copy-paste-click" ketopik diskusi pada SNS (Social Networking Site)kami :"THE FUTURE OF MEDIA BUSINESS and THE PROSPECT OF MOBEE ON-DEVICE PORTAL (ODP) TECHNOLOGY / MASA DEPAN BISNIS MEDIA DAN SOLUSINYA
ReplyDeletehttp://mobeeknowledge.ning.com/forum/topic/show?id=2090583%3ATopic%3A1104
Attachment : 1. White Paper Masa Depan Bisnis Media dan Solusinya.pdf
Selamat menikmati.
Trims