Oleh : Bambang Haryanto
Esai Epistoholica No. 98/Juli 2010
Email : epistopress (at) gmail.com
Home : Epistoholik Indonesia
"Sampah," demikian kata Prof. Rhenald Kasali dari Universitas Indonesia, "merupakan masalah kronis yang kini mengepung Indonesia. Dari Sabang sampai Merauke."
Pernyataan pakar pemasaran itu mencuat saat berbincang-bincang dengan host Mayong Suryo Laksono dalam salah satu acara di stasiun televisi TVOne beberapa waktu lalu. Memang benar, sampah kini menjadi biang beragam masalah. Di samping mengganggu keindahan, sampah juga menjadi sarang penyakit, bahkan bisa mengakibatkan banjir.
Sebagai contoh, di Bandung, seperti lapor koran Solopos (13/7/2010), "sampah per harinya mencapai 7.500 meter kubik. Jumlah tersebut setara dengan berat 1.000 gajah !"
Menurut Rhenald Kasali, solusi yang terbaik untuk mengatasi wabah sampah itu harus dimulai dan dipecahkan sendiri oleh masyarakat setempat. Dan itu harus dimulai dari tiap-tiap individu warga negara di daerah bersangkutan.
Solusi Bantul. Salah satu solusi kreatif yang muncul dari gerakan akar rumput telah dipelopori oleh warga Dusun Badegan, Trirenggo, Bantul, Yogyakarta. Berawal dari kesadaran individu, warga mulai mengumpulkan sampah di rumahnya. Sampah tersebut lalu disetorkan ke Bengkel Kerja Kesehatan Lingkungan atau yang kini lebih dikenal dengan nama Bank Sampah Gemah Ripah yang dipelopori oleh Bambang Suwerda. Tokoh muda yang pernah menjadi bintang acara Kick Andy ini dapat Anda sambangi di akun Facebook-nya.
Di tempat ini sampah ditimbang, dicatat dan kemudian ditentukan harga dari sampah tersebut sesuai beratnya. Disinilah letak fungsi bank karena pencairannya dilakukan setiap tiga bulan sekali. Setelah tiga tahun berjalan, warga yang menjadi petugas bank sampah pun cukup kreatif. Tidak semua sampah dijual ke pihak ketiga.
Mereka mulai memisahkan sampah yang bisa diproduksi kembali seperti sampah styrofoam yang diolah menjadi hiasan kotak penyangga bendera atau bekas bungkus makanan dan minuman yang disulap menjadi barang kerajinan. Ternyata, jika sampah dikelola dengan baik bisa mendatangkan manfaat, membawa berkah bagi warganya.
Kabar baik dari Aceh. Solusi dalam pengelolaan sampah plastik juga muncul dari Lhokseumawe, Aceh. Seperti tertulis dalam kolom profil harian Kompas 6/7/2010, dengan judul "Wirausahawan Sampah Plastik," kita mengenal tokoh Baharudin Sanian (54)(foto). Insinyur mesin yang bekerja sebagai Senior Mechanical Engineering pada PT Exxon Mobile, tapi sering dianggap sebagai "gila" karena terjun menggeluti bisnis sampah dan mengurusi para pemulung. Keunikan pria yang suka bercanda ini membuat dirinya didaulat harian nasional itu sebagai figur inspiratif.
Pak Baharudin Sanian menggeluti dunia sampah plastik sejak bencana tsunami menghantam Serambi Mekkah, Desember 2004. Untuk aksi sosialnya ia kemudian mendirikan yayasan, Palapa Plastic Recycle Foundation (PPRF). Emailnya : ppr151.foundation@yahoo.co.id. Penghargaan internasional pun mengalir. Tetapi sempat juga agak mengeluh, "saya lebih dikenal di Jakarta, atau Jawa, tetapi tidak di bumi Aceh sendiri," akunya.
Tertarik dengan kiprah-kiprah kreatif itu, saya kini bersama teman saya Abdul Khaliq Ariestasya sedang berusaha merayu para calon bupati di Wonogiri yang akan maju Pilkada. Untuk menyelenggarakan temu wicara bertopik pengelolaan sampah secara inovatif yang dikaitkan dengan program ekonomi kerakyatan di Wonogiri.
Gayung bersambut. Memang bukan atau belum dari para calon bupati kota saya itu. Tetapi dari Pak Baharudin Sanian. Email saya yang menceritakan bahwa saya ingin menular-nularkan inovasi dan kepedulian sosial beliau, utamanya untuk kota Wonogiri saya, begitu cepat ia respons. Baru saja Jumat malam ini (16/7/2010), beliau malah menelpon saya langsung dari Lhokseumawe.
Dalam obrolan, nampak kimia antara kita sepertinya mudah ada kecocokan.Banyak tertawa dan banyak canda. Ia juga sempat mengomentari blog Esai Epistoholica saya. "Anda rupanya gila buku. Saya tidak. Tetapi saya gila sampah plastik," candanya.
"Kebersihan adalah sebagian dari iman," begitu antara lain kata penutupnya dalam obrolan. "Tetapi kalau kita tidak mampu mengelola sampah-sampah kita sendiri, lalu bagaimana kualitas iman kita ini ?"
Terima kasih, Pak Baharudin.
Obrolan via telepon itu segera menjadi inspirasi sehingga menjadi tulisan ini. Semoga Pak Rhenald Kasali, Mas Bambang Suwerda dan Pak Baharudin, antara lain lain berkat tulisan sederhana ini :-), segera semakin bertambah rekan-rekan barunya di pelbagai penjuru tanah air.
Utamanya teman yang memiliki visi dan ide serupa dalam ikut serta mencari solusi terbaik terkait pengelolaan sampah yang kini menjadi masalah kronis di negeri tercinta kita ini pula. Anda mau ikut serta ? Bagaimana pendapat Anda ?
Wonogiri, 16/7/2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment