Oleh : Bambang Haryanto
Esai Epistoholica No. 25/Juli 2005
Email : epsia@plasa.com
Home : Epistoholik Indonesia
They've seen places beyond my land
and they've found new horizons
They speak strangely but I understand
And I dream I'm an eagle
(ABBA, “Eagle”)
HIDUPKU IBARAT KOMET. Prof. Soenario, SH adalah orang yang sangat beruntung. Beliau yang mantan Menteri Luar Negeri RI itu berkesempatan menonton komet Halley dua kali. Tahun 1910 dan 1986. Untuk penyaksiannya yang terakhir, dini hari 28 Maret 1986, di lantai 26 Gedung Balaikota DKI Jakarta, saya beruntung bisa mendengarkan langsung cerita-cerita beliau. Kalau Anda saat itu belum menyaksikannya, jangan kuatir. Tunggu saja di tahun 2061 nanti !
Komet sebelumnya pernah saya saksikan di tahun 1965. Saat itu, pagi-pagi, saya dibangunkan oleh ibu saya (ayah saya bertugas di Yogya) untuk melihat ke arah timur. Saya melihat pemandangan menakjubkan, seperti semburan kembang api raksasa dari bawah ke atas. Ibuku menyebutnya sebagai lintang kemukus dan konon pertanda atau isyarat yang tidak baik bagi bangsa dan negara ini. Entah benar atau tidak, kemudian meletuslah apa yang kemudian oleh Orde Baru disebut sebagai peristiwa G 30 S. Sampai kini, saya juga belum tahu apa nama komet yang muncul di tahun 1965 itu.
Bulan Maret-April-Mei 1986, bagi saya, adalah bulan mabuk Komet Halley. Saya terjun bergaul dengan para penyambutnya. Mempelajarinya. Memburu dan memotretnya. Menceritakannya. Menuliskannya. Mencari cinta dari sana. Sekaligus mencari uang dari semua hiruk pikuk yang terjadi.
Hari ini, hampir tepat dua puluh tahun kemudian, aku tersentak betapa peristiwa itu merupakan gambaran panggung hidupku selama ini. Hidupku sepertinya memang bagai komet !
MABUK KOMET ! Nonton penampakan komet Halley di puncak Gedung Balaikota DKI adalah sebuah awal. Dipicu berita koran Sinar Harapan (25/3/1986) mengenai acara tersebut, di hari Kamis malam (27/3) itu saya pamit dari ajang main remi dengan tetangga di komplek Balai Pustaka Timur, Rawamangun. Bersama tetangga, Bustami dan Momon, memakai mobil Datsunnya Andre, kami meluncur ke Balaikota DKI. Datang tanpa undangan dan mengaku sebagai anggota Himpunan Astronomi Amatir Jakarta (HAAJ), kami yang berpakaian urakan itu dicegat oleh Satpam DKI. Dilarang memasuki gedung.
Kami tahu diri dan tidak protes. Kami sabar menanti di luar pintu gedung. Jam 01.30. Masih ada waktu. Saat itu saya memakai sweater yang bertuliskan Case Western Reserve University. Ini nama universitas ternama di kota Michigan, Ohio, AS. Sweater itu merupakan oleh-oleh dari dosen saya yang memperoleh gelar doktor ilmu perpustakaan dan ilmu informasi dari sana.
Saat itu saya juga membawa edisi terbaru majalah Newsweek (24/3/1986), koran Sinar Harapan (25/3/1986) dan selebaranku untuk mempromosikan t-shirt bertema “Hello Halley” yang aku produksi dan dijual secara mail order atau lewat pos. Konon 10 Menteri Kabinet Pembangunan IV seperti Abdul Ghafur, Munawir Sjadzali dan Fuad Hassan, akan hadir di dini hari itu.
Berbekal majalah Newsweek yang berisi uraian lengkap seputar kehadiran Komet Halley, saya melakukan show of force, menceritakan seluk beluk komet Halley kepada Bustami dan Momon. Para Satpam DKI rupanya menjadi tertarik. Pimpinannya ikut bergabung dan bertanya-tanya pula.
Es telah mencair.
Kami bertiga kemudian diijinkan untuk naik lift, menuju lantai 23. Dari sana naik tangga, mencapai pelataran teratas tempat helikopter bisa mendarat. Sayang, dini hari itu awan begitu tebal di atas Jakarta, membuat komet temuan astronom Inggris Edmund Halley (1656–1742) itu tidak muncul untuk bisa ditonton. Untunglah saya bisa mendapatkan cerita dari Prof. Soenario. Komet Halley pun semakin memercikkan api penasaran !
Tanggal 5 April 1986 saya bergabung dalam rombongan tur menonton Komet Halley yang dikoordinasikan oleh Himpunan Astronomi Amatir Jakarta (HAAJ). Tempat ngumpulnya di Planetarium Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini. Rombongan naik bis PPD, berangkat sekitar jam 16.00 dan tiba di area Bumi Perkemahan Cibubur sekitar jam 18.00.
Tempat duduk saya di bis bersebelahan dengan beberapa anak muda, pelajar SMA. Di antara mereka ada yang membawa mini compo. “Lho, kok tidak dibunyikan ?”, tanyaku. Mereka nampak ragu-ragu. “Ayo, dibunyikan. Musik !”, tegasku.
Keraguan mereka pun cair. Mereka bergembira karena seolah mendapatkan teman. Sungguh mengejutkan, yang terdengar justru lagu-lagu dari The Beatles. Kami lalu nyanyi bareng-bareng di sepanjang perjalanan. Di antaranya yang menggaung di hatiku saat itu adalah nomor Ingin Kurengkuh Tanganmu. “I Want To Hold Your Hand”.
I'll tell you
tell you something
I think you'll understand
When I say that something
I want to hold your hand
I want to hold your hand
I want to hold your hand
Oh please, say to me
you'll let me be your man
and please, say to me
You'll let me hold your hand
now let me hold your hand
I want to hold your hand
Tangan lembut yang benar-benar ingin kurengkuh saat itu, untuk menemaniku menonton peristiwa angkasa sekali dalam seumur hidup manusia itu, adalah milik Ranti “Anti” Katriana.
“I want to hold your hand, Anti”.
Gadis berpenampilan selalu gembira ini suka menyanyi dan menari. Selain berkuliah di Fakultas Ekonomi, ia bangga menjadi “artis” di tempat kerjanya, perusahaan asuransi besar di Indonesia. Ketika Anti menghadiahiku foto saat dirinya tampil menyanyi, entah kenapa, ia nampak bersemangat menerangkan bahwa saat itu ia memakai gel agar rambutnya nampak selalu basah. Ah, ah, ah.
Anti beberapa hari sebelumnya saya kontak untuk saya ajak nonton Komet Halley. Aku engga kepikiran dia sudah tahu atau tidak tentang Komet Halley, pokoknya aku telah mengeluarkan isi hati. Mungkin ini suatu kejutan. Atau bahkan indecent proposal baginya. Karena kami hanya baru bertemu sekali, selebihnya hanya kontak surat dan telepon, tetapi aku nekad mengajaknya untuk menerbangkan angannya guna menjelajah angkasa raya di fikirannya. Menjelang Hari-H tur, aku kesulitan mengontaknya. Akhirnya Ranti memang tidak bersamaku saat berburu Halley dini hari itu.
Aku mendapat kemah nomor 12. Bersama Hartanto, siswa klas I SMA 31 Jakarta yang berasal dari Lampung, Mukhlis dan Ison yang keduanya mahasiswa APP Jakarta, ditambah beberapa anak SMP Negeri I Jakarta. Saya suka anak-anak muda yang meminati ilmu pengetahuan. Di tengah kegelapan hutan Cibubur, diadakan ceramah dan pemutaran slide. Juga ada pembacaan doa, memohon kepada Tuhan agar tur ini berhasil melihat komet Halley yang ciptaanNya.
Jam 1 dini hari, di angkasa terhampar rasi bintang Scorpio. “Jelas mana kepala, jantung kalajengking yang berupa bintang merah Antares, lalu buntut yang terdiri dua bintang Alfa dan Beta Centauri, tetapi Komet Halley yang ditunggu masih terblokir awan”, begitu yang aku tulis dalam buku harianku.
“Ketika awan menyibak, protokol dari HAAJ mulai memandu pandangan peserta. Melalui binokular milik Hartanto aku mengikuti, dan, ya Tuhan, aku bisa melihat Komet Halley, sekitar jam 02.00 dini hari, hari Minggu 6 April 1986 (Saat itu aku berumur 33 tahun, aku bekerja cari makan dengan menulis, jualan t-shirt ; saat itu aku memakai t-shirt Halley yang kudesain sendiri, walau atas nama IHW/International Halley Watch ; teks t-shirt itu : HELLO HALLEY ! International Halley Watch. NASA”
Aku memotretnya, memakai slide merk OGA (Obergassner KG. D-8000 Munchen 40) ASA 1000. Saat itu, dalam kegelapan, aku bisa bertemu wartawan harian Pikiran Rakyat, yang sebelumnya telah aku temui saat bareng-bareng nonton Halley di lantai 26 Gedung Balaikota DKI yang lalu.
Hari-hari mabuk Halley, sesudah malam itu, membuat saya harus tiga-empat kali lagi mendatangi komplek Cibubur yang saat itu langitnya masih gelap, karena penetrasi pemukiman belum semasif saat ini. Satu kali gagal masuk area, karena Presiden Soeharto sedang pula ingin melihat komet legendaris itu.
Pagi-pagi, ketika tiba kembali ke rumah, aku melihat warga kampungku di Rawamangun sedang mempersiapkan acara Bazaar Hari Kartini. Aku tulis di buku harianku : “Well, aku lagi sibuk liat angkasa raya dan tak acuh pada kegiatan di bumi”
AKU MASUK RADAR. Godaan mengurusi angkasa raya itu hampir berlanjut semakin parah. Tanggal 22 Mei 1986, saya mengikuti rapat HAAJ di Planetarium, TIM. Sekalian temu kangen sama teman-teman, dan mau mempromosikan lagi t-shirt Komet Halley.
Saat itu, selain merancang kaos untuk ITSC (Ideas T-Shirt Club) yang aku dirikan, aku juga merancang desain untuk kaos-kaos yang dijual di konter bursa mahasiswa di lingkungan Universitas Indonesia. Salah satu bonus kepuasan rohani sebagai desainer adalah : suatu saat saya duduk bersebelahan dengan seorang gadis, di bis kota. Aku tidak mengenalnya. Ia mengenakan kaos Komet Halley rancangan saya !
Kembali ke rapat HAAJ. Rapat saat itu malah rusuh. Antarpengurus terbelah jadi dua, dalam suasana demokratis mereka saling serang, membongkar aib masing-masing. Akhirnya rapat memutuskan membentuk Komisi A, yang mempersiapkan tatacara pemilihan pengurus HAAJ yang baru.
Ternyata aku harus terlibat. Keikutsertaanku dalam acara berburu Halley di Cibubur yang lalu ternyata masuk radar pantauan warga HAAJ. Aku sama sekali tidak menduganya. Inilah buktinya : sekelompok anak-anak HAAJ yang hanya pernah kenal selintasan dalam ngobrol-ngobrol denganku di Cibubur itu, tiba-tiba saat itu mendaulatku agar aku mau menjadi Ketua Komisi A !
Aku tahu diri. Aku tak tahu medan. Dengan melucu, aku hanya bersedia dipilih sebagai anggota saja. “Dwi Raharja dan Johnny T. Setiawan, orang-orang pendahulu HAAJ dan pengurus yang baru dikup, nampak menyayangkan penolakanku itu. Ada apa ini ? Bimo yang nampak diorbitkan kelompoknya untuk jadi ketua HAAJ yang baru nampak berubah dingin, tak acuh....Ada apa pula ini ?”, begitu tulisku di buku harian.
Saat bubar, aku pulang dikerubungi anak-anak HAAJ yang tadi mendaulatku. Rupanya aku mereka pandang sebagai seseorang yang bisa mereka percayai. Tanpa aku minta, mereka bercerita tentang adanya klik-klikan dalam tubuh HAAJ. Di antara yang mendaulatku itu ada mahasiswa yang bernama Fofo Setiaatmaja. Fofo menginginkan agar aku nanti sebagai wakil Ketua HAAJ sebagai wakil aspirasi mereka.
Hari-hari kemudian aku rada sering ngobrol sama Fofo. Bahkan ia pernah pula main ke tempat kosku. Pesan kaos bertema Khadaffy. Ia tak pernah cerita siapa dirinya. Teman mainnya hanya bilang kepadaku, “ia tinggal di Menteng, anak jenderal”. Beberapa tahun kemudian, aku membaca di surat kabar : Fofo kini adalah salah satu anggota Dewan Komisaris SCTV !
INTELLECTUAL HEDONIST. Terjun total dalam hiruk-pikuk berburu komet Halley sampai terlibat dalam keributan di HAAJ, mungkin merupakan perwujudan pribadiku yang memang menyukai hal-hal baru. Saya juga suka memunculkan hal-hal baru.
Marina Margaret Heiss pernah menulis ciri kepribadian seseorang yang disebut sebagai Introverted, iNtuitive, Thinking, Judge (INTJ). Julukannya : The Mastermind. Pribadi INTJ adalah kaum perfeksionis, pendamba kesempurnaan, memiliki kapasitas tak terbatas untuk berusaha memperbaiki segala hal yang menjadi minatnya. Satu-satunya yang dapat mengerem kekronisannya mengejar kesempurnaan adalah sikap pragmatisme yang juga ia miliki.
Ia selalu dihantui pertanyaan, “Apakah ini bisa berhasil ?”, yang ia ajukan terus-menerus baik dari kancah riset atau norma-norma sosial umum yang ia jumpai. Dampaknya, ia menikmati kebebasan pikir yang istimewa, terbebas dari terkaman penguasa, konvensi atau sentimennya sendiri.
Apakah saya seorang INTJ ? Mungkin ya. Mungkin tidak. Tetapi saya lebih menyukai istilah yang pernah diberikan oleh majalah Fortune untuk seorang Richard Saul Wurman. Wurman memiliki forum kongkow-kongkow yang ia sebut sebagai TED. Dalam acara yang bercampur antara karakter seminar yang serius dengan acara obrolan bak acara makan model lesehan, tak jarang muncul sosok-sosok seperti Bill Gates, Donald Trump, Nicholas Negroponte, Tim Berners-Lee, Andrew Grove, Paul Krugman, sampai nama-nama para pemenang Nobel.
Julukan majalah Fortune untuk penulis buku Information Anxiety (1989) itu adalah : intellectual hedonist! Julukan yang hebat. Saya juga merasa boleh ge-er sebagai orang yang gemar berfoya-foya dengan hal-hal yang terkait dengan olah intelektual, dengan ilmu pengetahuan. Semampunya. Sebisanya.
Kata mutiara dari penyair, kritikus dan leksikografer Inggris, Samuel Johnson (1709-1784), menjadi pegangan saya. Samuel Johnson terkenal dengan ucapannya ini : Knowledge is of two kinds. We know a subject ourselves, or we know where we can find information upon it. Ilmu pengetahuan terdiri dua jenis. Kita tahu subjek ilmu pengetahuan itu sendiri atau kita mengetahui di mana memperoleh informasi tentang ilmu pengetahuan bersangkutan.
Saya bisa mengklaim : saya ahli dalam ilmu pengetahuan jenis yang kedua. Saya memperoleh pendidikan di Universitas Indonesia tentang hal khusus itu. Kalau orang lain dikaruniai kemudahan untuk meraih pangkat atau meraup uang, saya merasa dikaruniai kemudahan untuk memperoleh informasi.
Modal awalnya adalah apa yang disebut oleh psikolog Joyce Brothers sebagai bujukan untuk komitmen total. Begitu Anda terjun ke dalamnya, akan terjadi sesuatu yang hebat. Anda mulai melihat pemecahan, menemukan cara dan sarana yang sebelumnya tidak tertangkap oleh perhatian Anda.
Dengan bekal kemudahan akses informasi itu membuat saya bisa bebas menari, kesana dan kemari. Berloncatan dari satu bunga ilmu pengetahuan tertentu ke bunga ilmu pengetahuan yang lainnya. Untuk mereguk putik atau saripati bunga bersangkutan.
Untuk semua kesenangan itu saya selalu mencoba meninggalkan bekas. Dengan menuliskannya. Dengan menceritakannya. Beberapa contoh eksplorasi saya tersaji di bawah ini.
EPISTOHOLIK INDONESIA DALAM BAHAYA. Kalau hari-hari ini dunia mengenang 60 tahun peledakan bom nuklir yang pertama di gurun terpencil Jornado del Muerto, dekat Alamogordo, New Mexico, 16 Juli 1945, saya pun pernah menuliskan peristiwa bersejarah itu.
Dalam artikel berjudul, “Hidup Bersama Maut” di majalah Aha ! Aku Tahu (September 1985), saya menceritakan hari itu sebagai hari “Trinity”, nama kode hari peledakan yang dipilih oleh J. Robert Oppenheimer. Dia adalah ilmuwan fisika dan direktur Laboratorium Los Alamos tempat bom itu dibuat dengan nama sandi Proyek Manhattan. Oppenheimer menyukai hal-hal yang berbau Indonesia sehingga mobilnya bernama Garuda dan ia juga menyukai nasi goreng.
Ketika Presiden Ronald Reagan mencanangkan Prakarsa Pertahanan Strategis (Strategic Defence Initiative/SDI), 23 Maret 1983, yang kemudian dikenal sebagai Perang Bintang (Star Wars), saya pun menulis di kolom Ilmu & Teknologi Harian Sinar Harapan, “Sinar Laser Dalam Perang Bintang” (20/3/1985).
Menyusul terjadinya bencana kebocoran reaktor nuklir Chernobyl, saya menulis artikel seputar kontroversi pemanfaatan tenaga nuklir. Saya mengutip pendapat ilmuwan tenaga nuklir dari Universitas Pittsburg (AS), Bernard L. Cohen yang mendukung penggunaan teknologi nuklir dalam bukunya yang tidak memihak dan cemerlang, Before It’s Too Late : A Scientist’s Case for Nuclear Energy (1983). Hasilnya telah saya tulis di harian Jayakarta (20/9/1988).
Masalah kartun pun saya rambah. Sebagai orang yang dikaruniai keluarga yang suka membuat kartun, di mana adik saya terkecil Basnendar HPS yang kini pengajar di STSI Solo masih terus melakoninya, saya pernah menulis artikel berjudul “Kemelut Bisnis Kartun” di Kompas, 13/11/1994.
Ketika Internet masih hal baru di Indonesia, di harian Media Indonesia, Sinar Harapan dan Suara Karya, antara tahun 1996-1998, saya rutin menulis artikel seputar Internet dan komputer. Termasuk artikel “Mengintai Pengunjung Web Porno di Internet” (Kompas, 11/7/1998). Menjelang kampanye pemilihan presiden, saya telah menulis artikel “Internet Sebagai Senjata Kampanye Presiden” (Kompas, 8/3/2004) yang memperbandingkan kesaktian situs web kandidat presiden AS, John Kerry dengan situs web calon presiden, Amien Rais.
Jauh sebelumnya, artikel saya berjudul “Bila Demam Bisnis Internet Makan Korban” (Solopos, 25/9/1999) memenangkan Juara Harapan I Kategori Kelompok Umum dalam Lomba Karya Tulis Teknologi Telekomunikasi dan Informasi (LKT3I) III/1999 yang diselenggarakan oleh PT Indosat, Harian Kompas, Republika dan LIPI.
Sebagai suporter sepakbola Indonesia, saya tercatat di Museum Rekor Indonesia (MURI) sebagai pencetus Hari Suporter Nasional, 12 Juli (2000). Impian besar saya mengenai paradigma baru suporter sepakbola yang saya tulis di Tabloid BOLA (13/7/2001) berjudul “Suporter Sang Penghibur”, kemudian saya elaborasi berbentuk esai, akhirnya memenangkan kontes Hondas’s The Power of Dreams Contest 2002. Profil saya sebagai suporter sepakbola ditayangkan di TransTV, 27/7/2002.
Impian saya tahun 1992, yaitu membentuk komunitas penulis surat pembaca, ternyata gagal saya ujudkan saat itu dan gagal lagi di tahun 1994. Ketika dalam masa pasif itu ternyata ide saya tersebut dicaplok oleh seseorang bernama Erwin, SH, dari Medan. Ia menulis surat pembaca, persis isi surat pembaca saya, tetapi hanya beda penyebutan nama organisasi para penulis surat pembaca yang ingin ia dirikan. Ia pun mengirimi saya surat, di mana dalam rancangan daftar personil pengurusnya dirinya tampil sebagai ketua. Saya lupa apa jabatan saya dalam organisasi itu. Tetapi bukan ketua.
Yang sangat menyedihkan, dengan organisasi baru itu Erwin berencana mengirimkan proposal ke Sekretariat Negara, yang saat itu menterinya dijabat oleh Murdiono. Inti isi proposalnya adalah, apa lagi, kalau bukan minta bantuan dana. Gagasan yang sungguh bertentangan dengan cita-cita dan nurani saya.
Komunitas penulis surat pembaca yang saya impikan adalah komunitas yang hadir sebagai salah satu pilar penegakan demokrasi. Impian dan cita-cita yang tidak sembarangan. Saya mencita-citakan komunitas yang saya cintai ini warganya menulis secara independen, kritis, bernalar dan tajam, tetapi saat itu di tangan seorang Erwin rupanya harus dlosor dan pasrah bongkokan, merendahkan diri demi imbalan uang, menyerahkan diri untuk terkooptasi oleh rejim Orde Baru yang sangat represif saat itu. Sokurlah, ide Erwin itu tidak menjadi kenyataan !
Impian membentuk komunitas penulis surat pembaca, yang dilandasi dengan cinta, akhirnya menjadi kenyataan ketika saya gulirkan lagi di bulan Oktober 2003. Berdirilah Epistoholik Indonesia. Kehadiran Epistoholik Indonesia yang dipicu munculnya teknologi blog di Internet, saya yakini bila berpadu, akan mampu memberi otot dan bobot yang hebat bagi eksistensi Epistoholik Indonesia sebagai pilar demokrasi.
Prestasi ini membuat saya diprofilkan di majalah Intisari (Juli 2004), memenangkan Mandom Resolution Award 2004, tercatat di Museum Rekor Indonesia 2005 dengan Piagam No. 1441/R.MURI/III/2005, dan mendeklarasikan tanggal 27 Januari (2005) sebagai Hari Epistoholik Nasional. Profil saya juga muncul dalam tayangan Bussseeet ! di TV7, 20/3/2005 dan 18/5/2005.
Komunitas Epistoholik Indonesia, sejauh ini, membesarkan hati. Banyak warganya yang dedikatif dan tulus dalam memberikan darma kepada masyarakat, melalui karya-karya penanya. Tetapi tak ada gading yang tak retak. Saya masih harus menelan ludah karena bujukan saya agar mereka mau mengelola situs blog dan menjadikannya sebagai sarana ekspresi sebagai penegak pilar demokrasi, masih mengecewakan.
Saya juga meraba munculnya deviasi. Betapa kemuliaan aktivitas menulis surat pembaca yang tertumpu kepada filosofi reward is in the doing, pahala atau berkah otomatis ternikmati ketika kita asyik menulis surat pembaca itu sendiri, kini ada yang tega menggelincirkannya.
Sebagai seseorang yang sudah menulis surat pembaca lebih dari 30 tahun, hanya baru-baru ini saya menemui beruntun keganjilan. Saya mendeteksi kolom surat pembaca menjadi ajang parade berindikasikan aksi rekaculika demi memuaskan rasa kemaruknya terhadap kebanggaan pseudo, dengan melakukan self-congratulatory, memuja-muji diri sendiri. Sungguh merupakan upaya memburu popularitas dengan modus kreativitas pas-pasan bagi pelakunya. Benar-benar aksi episturbasi !
Nama besar Epistoholik Indonesia juga terendus disalahgunakan untuk melakukan pemerasan terhadap sesuatu perusahaan yang produknya memang memiliki kekurangan. Bagi saya, semua hal itu sangat menyedihkan !
GOETHENDIPITY ! Pelbagai kemewahan atau capaian dalam mengeksplorasi beragam cabang ilmu pengetahuan, antara lain karena saya merasa dikaruniai kemampuan untuk belajar cepat. Kalau ada motivasi kuat, semua bisa aku kerjakan. Pernah ketika di awal Januari 2002, saat mabuk menggagas masa depan suporter sepakbola, di Perpustakaan British Council, Gedung Widjojo, Jakarta, saya sempat merenung : untuk apa semua ini aku lakukan ? Siapa pula yang menyuruh ?
Di depan saya, saat itu, terdapat setumpuk majalah sepakbola Inggris, FourFourTwo, buku Kevin Keegan : My Autobiography (1997), juga biografinya David Beckham, My World (2000), buku hebat suntingan Gary Armstrong dan Richard Giulianotti, Football Cultures and Identities (1999) dan juga Fear and Loathing in World Football (2001). Belum lagi literatur penunjang seperti karya Raymond Boyle dan Richard Haynes, Power Play : Sport, the Media and Popular Culture (2000) dan bukunya Frank Kew, Sport : Social Problems and Issues (1997). Semuanya mengundang untuk dipelajari dan diresapi.
Imbalan untuk aksi terbujuk melakukan komitmen total dalam mengkaji masalah suporter sepakbola, mungkin mirip fenomena yang diungkapkan oleh Tony Buzan, yaitu goethendipity. Amalgamasi cerdas antara ajaran penyair, novelis dan dramawan Jerman, Johann Wolfgang von Goethe (1749-1832) dengan kata serendipity , yang artinya kesanggupan untuk menemukan sesuatu keterangan secara tak disengaja waktu mencari sesuatu yang lain :
“Saat seseorang benar-benar melakukan sesuatu, maka takdir juga bergerak : Segala sesuatu terjadi untuk menolong saya, yang bila saya tidak melakukan sesuatu, maka itu tidak akan pernah terjadi. Seluruh aliran peristiwa berasal dari keputusan yang akan menyebabkan timbulnya semua insiden dan bantuan material yang tidak diduganya, di mana tidak seorang pun dapat menduga kalau itu akan terjadi kepadanya. Apa pun yang Anda lakukan atau impian yang Anda impikan, mulailah. Keberanian memiliki kejeniusan, kekuatan dan keajaiban di dalamnya. Mulailah saat ini”
Pertanyaan saya di Perpustakaan British Council itu, untuk apa semua ini aku lakukan, rupanya segera memperoleh jawaban. Takdir bergerak ke arah yang terjanji. Esai saya berjudul “The Power Of Dreams : Revolusi Mengubah Budaya Suporter Sepakbola Yang Destruktif Menjadi Penghibur Kolosal Yang Atraktif” masuk final dalam Honda’s The Power of Dreams Contest 2002. Sekaligus kemudian memenangkannya !
Pengalaman lain. Ketika berkuliah di Jurusan Ilmu Perpustakaan FSUI, saat teman-teman saya sibuk mempelajari catatan, diktat dan buku pegangan, saya menambahi sendiri dengan mereguk informasi dari majalah-majalah profesi. Di majalah tersaji informasi-informasi yang mutakhir.
Faham saya, cara terbaik untuk menyerap dan memahami semuanya itu, adalah dengan menuliskannya. Sebab menulis adalah aktivitas berpikir. Baik berbentuk surat pembaca atau pun artikel. Ketika dimuat, selain ilmu tersebut meresap secara otomatis ke dalam sanubari, nama dan reputasi pun menjulang. Menjadi bahan perbincangan para dosen. Menulis adalah bukti cinta, keseriusan dan dedikasi. Ramuan kimia yang kemudian terjadi antara diri saya dan dosen-dosen saya, menjadi lebih cair, lebih memudahkan untuk membangun harmoni dalam berinteraksi.
Dorongan untuk mampu belajar cepat dalam menerjuni beragam pengetahuan-pengetahuan baru, mengingatkan saya isi nasehat penting sebuah features di surat kabar USA Today (12/2/1992). Isinya menceritakan anjuran Harry Davis, Deputi Dekan Program MBA dari Sekolah Bisnis Universitas Chicago. Ia mengajar mahasiswa MBA-nya untuk menjadi performer andalan.
Menurutnya, salah satu keterampilan kritis untuk menjadi performer andalan adalah kemampuan dalam mengobservasi dan belajar. Ia merujuk kemampuan itu pada orang Jepang. “Orang-orang Jepang pergi keliling dunia, mereka melakukan observasi, dan mengumpulkan data. Dari himpunan data itu mereka mengambil keputusan”. Produk-produk asal Jepang yang memenuhi selera pasar, kemudian membanjir untuk menguasai dunia !
Harry Davis menyarankan kepada mahasiswanya untuk selalu membawa-bawa bloknot kemana saja dan kapan saja, hingga mereka selalu siap mencatat hasil observasinya yang dapat dimanfaatkan bagi kemajuan karier atau pun dalam kehidupannya.
Ia juga menyarankan agar kita selalu mengembangkan sikap rendah hati. “Kita harus tahu bahwa dalam sepanjang karier kita, kita harus mengganti inventaris pengetahuan kita beberapa kali”. Artinya, seseorang harus selalu siap untuk mempelajari keterampilan-keterampilan baru. Anjuran ini bagi saya merupakan undangan untuk terjun ke ajang foya-foya, sebagai perwujudan sebagai sosok seorang hedonis ilmu pengetahuan !
NGGA ADA LOE, NGGA RAME. Menjadi bintang, walau bintang sekecil pun, sering menyenangkan dan juga menyusahkan. Yang menyenangkan, banyak orang sering meminta kita untuk terlibat dalam kegiatan mereka. Heboh rapat di HAAJ dan permintaan sebagian besar dari mereka kepadaku, walau baru saja saling kenal, adalah sekadar contoh.
Di ujung tahun 1970-an, di Gallery Mandungan Muka Kraton Surakarta, teman-teman seniman Solo akan kecewa kalau saya tidak mau bermain scrabble melawan mereka. Karena mereka selalu penasaran untuk bisa mengalahkan diri saya. Kontender saat itu adalah HB Sutopo, kini profesor di Seni Rupa UNS, Conny Suprapto, juga dosen di UNS, Murtidjono yang kini Kepala Taman Budaya Surakarta (TBS), Broto yang saat itu mahasiswa FE UGM, Harsoyo Rajiyowiryono yang kini staf di TBS, sampai almarhum H. Marsudi, dramawan dan tokoh ketoprak Solo.
Di sisi lain, pengetahuan saya tentang film-film baru, membuat beberapa teman sering mengajak berdiskusi atau minta pendapat saya tentang sesuatu film. The Graduate. The Godfather. Last Tango In Paris. The Arrangement. Tidak jarang mereka mengajak nonton. Lalu sambil nongkrong di warung jajanan khas Solo, yang disebut hik, kami menyeruput jahe kopi panas dan mengobrolkan film tadi sampai puncak malam tiba.
Saking getol terhadap film, saya pernah menulis surat pembaca berisi protes kepada pengelola gedung bioskop di Solo. Pasalnya, begitu film mendekati usai dan terjadi di saat klimaks cerita, petugasnya sering terlalu dini membuka gordin yang menutup pintu keluar. Suara kait gordin yang terdengar nyaring itu ibarat suara teror yang seolah menyatakan bahwa film akan segera usai.
Hal lain yang juga saya protes keras, adalah tidak ditayangkannya secara lengkap kredit judul di bagian akhir tayangan film. Padahal di sini tersaji informasi, baik casting dan juga nama-nama tenaga kreatif film bersangkutan. Bagi saya, itu data penting. Setelah surat pembaca saya dimuat, gangguan semacam praktis berkurang.
Tahun 1978, saya mendapatkan “beasiswa” untuk belajar film. Suprapto Suryodarmo, saat itu selaku salah satu pimpinan di Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI), Solo, meminta saya untuk mondok di desa Sawahan, Bantul. Di sana sedang dibuat filmnya Teguh Karya, November 1828. Saya berangkat dan sekitar 20-an hari saya berkenalan dan berinteraksi dengan aktor seperti Slamet Rahardjo, Herman Felani, Mang Udel, Budi Mualam sampai tenaga kreatif seperti Labes Widar, Benny Benhardi dan Rudy Badil. Tahun 1982, tak sengaja di Pusat Teknologi Pendidikan di Jakarta, saya ketemu lagi sama Labes Widar yang dosen film di IKJ.
IMPIAN YANG KANDAS. Tahun 1980 saya meninggalkan Solo menuju tempat studi baru ke Jakarta, dengan agak berat hati. Karena saya saat itu sedang bersemangat mengurus workshop melukis anak-anak. Saya merasa dekat dengan mereka, bahkan saya hafal murid-murid saya satu per satu. Kemudian menikmati perkembangan lukisan mereka, dari minggu ke minggu, yang selalu saja menimbulkan rasa takjub pada diri saya. Bila ada yang tidak masuk sampai dua kali, mereka saya kirimi surat dengan cerita-cerita lucu.
Niat untuk mengobarkan api kreativitas mereka mendorong saya untuk menciptakan interaksi yang beragam. Mereka dan orang tuanya, saya undang bila ada pameran lukisan. Menonton pemutaran film. Mengikutsertakan karya mereka dalam pelbagai lomba. Mengenalkan mereka dengan pelukis cilik yang berprestasi, misalnya saat itu Dian Kurniasih Wahyusari Nador, dari Yogya.
Sebagian anak-anak itu, kadang malah mengundang saya. Ketika mengadakan acara berkemah, misalnya, saya diminta datang. Saya datang, membawa sebungkus permen, lalu ngobrol-ngobrol sebentar. Mereka senangnya bukan main. Ketika saya tinggal di Jakarta, ada beberapa yang terus kontak dengan surat.
Tahun lalu, di majalah Intisari ada bekas murid saya, Sri Hascarya, yang menulis artikel. Saat itu ia tinggal di Australia. Ia sedang mengambil program Doktor. Saya segera membongkar-bongkar album foto digital saya dan ketemu : foto dia saat menjadi murid saya. Saat itu ia duduk di kelas 2 SD. Melalui redaksi Intisari, foto yang tak pernah ia sangka ada itu, sampai ke padanya. Ia pun membalas dengan keterkejutan dan rasa sukacita.
Saat itu saya juga menciptakan Anugerah Samskara Pinastika (Imajinasi Yang Terpilih) untuk pemenang lomba melukis anak-anak se-DIY dan Jawa Tengah. Penghargaan ini ingin saya proyeksikan sebagai cikal bakal penghargaan lomba lukis anak-anak kelas dunia.
Selama yang saya ketahui, lukisan anak-anak Indonesia termasuk sering menjuarai lomba-lomba kelas dunia. Misalnya di kancah Shankar’s International Children’s Competition di India yang mengambil nama penggagasnya, K. Shankar Pillai (31 July 1902–26 December 1989), sejak tahun 1950. Sementara di Amerika Serikat ada lembaga International Child Art Foundation (ICAF) di Washington AS yang tiap 4 tahun sekali mengadakan Olimpiade Seni Lukis anak-Anak.
Kepindahan saya ke Jakarta ingin saya gunakan untuk menggalang jaringan dengan penggiat seni lukis anak-anak di Jakarta. Dengan asumsi rekan-rekan di Solo yang saya tinggalkan masih terus menghidup-hidupkan workshop yang ada, hingga suatu saat bisa memunculkan kolaborasi. Saya sempat bergembira ketika teman-teman di Solo itu berencana mengadakan pameran lukisan anak-anak se-Jawa. Ide bagus.
Saya pun diminta ikut membantu. Saya dengan senang hati melakukan kontak ke pelbagai sanggar lukis anak-anak di Jakarta. Misalnya Sanggar UI Rawamangun, Sanggar LPKJ (kini IKJ) di TIM sampai Sanggar Museum Fatahilah yang salah satu muridnya sangat terkenal, berprestasi internasional, yaitu Lie Fhung. Beberapa tahun kemudian, Lie Fhung yang lulusan Seni Rupa ITB itu, adalah adik kelas doi saya, Tya, di SMA Tarakanita 2 Jakarta.
Pameran itu jadi berlangsung, tetapi akhirnya saya harus merasa kecewa. Dalam katalog pameran, nama saya tidak diikutkan. Tidak pula dicantumkan sebagai salah satu pendukung terselenggaranya kegiatan ini. Padahal pengantar dalam katalog itu persis sama dengan isi panduan bagi pengajar yang saya tulis selama ini.
Cinta saya yang masih berkobar-kobar terhadap sanggar/workshop di Solo yang baru saja saya tinggalkan dengan berat hati itu, ternyata tidak mendapatkan apresiasi yang memadai dari bekas teman-teman saya itu. Mungkin mereka memang sengaja menyingkirkan bekas-bekas kehadiran saya.
Sesudah pameran itu, workshop pun tutup. Teman-teman saya, yang sebenarnya memiliki pendidikan formal di bidang seni rupa, rupanya tidak memiliki nafas panjang atau kecintaan dalam menyemai hingga menumbuhkan bibit-bibit generasi baru yang berpotensi memiliki, setidaknya apresiasi, terhadap seni rupa di masa depan. Sejak saat itu, sepengetahuan saya, Solo tidak punya lagi sentra pengembangan seni lukis anak-anak yang memiliki visi, kegairahan, kewibawaan dan berkesinambungan.
Hingga kini.
ANAK ANJING YANG DITENDANG. Tahun 1986 saya mendapatkan undangan untuk mengikuti tes bahasa Inggris guna mendapatkan bea siswa Fulbright, belajar untuk memperoleh gelar Master di Amerika Serikat. Untuk mencoba mencari dukungan moral, dalam suatu pertemuan, saya ceritakan hal undangan tes itu kepada dosen saya. Saya merasa dekat dengannya. Ia sosok yang saya kagumi pula.
Saya senang mempersonifikasikan diri saya sebagai seekor anak anjing. Hanya dengan sobekan kain atau perca, bola, atau kain meja, ia mampu bermain dan bergembira. Berlarian kesana dan kemari. Mengitari si empunya, atau siapa saja yang dirasa bersahabat, untuk digodanya, diajaknya bermain dan bercanda.
Sebagai seseorang yang dikaruniai intuisi peka, saya terkaget ketika melihat perubahan muka pada dosen saya saat itu. Justru menunjukkan ketidaksukaan. Perasaan tidak bahagia muncul dari wajahnya. Walau hanya sekejap, dan sesudah itu dirinya berusaha untuk netral dan memberikan dorongan, tetapi saya sudah terlanjur kecewa setelah mengetahui apa isi terdalam dirinya tentang diriku ini. Saya merasa seperti seekor anak anjing, yang semula bergairah mengajaknya bercanda, tetapi kemudian justru memperoleh tendangan yang kuat darinya.
Begitulah. Di kancah akademisi, hidup saya tergambar ibarat perjalanan sebuah komet. Melintas sebentar. Bercahaya terang. Dan kemudian menghilang.
MIMPIKAN MEDIA INTERNET RAKSASA. Tahun 2001 saya memperoleh pekerjaan di perusahaan Internet Jakarta. Juga berkat kemampuan belajar cepat itu. Setelah membaca profil perusahaan tersebut di koran Solopos, saya tertarik pada filosofinya, lalu saya mem-browsing situsnya. Saya pun mengirimkan email, memberinya pujian.
Buntutnya adalah, mereka meminta saya untuk berkunjung ke kantornya di Jakarta. Ongkos transportasi dan akomodasi, ditanggung mereka. Pemiliknya adalah orang Sunda yang beribu Jerman. Mereka mulanya menawarkan agar saya bisa bekerja secara jarak jauh, terhubung secara online antara Jakarta-Wonogiri. Ide yang hebat. Sayang, saat itu saya belum memiliki komputer. Akhirnya diputuskan, sebulan kemudian, saya sudah bekerja di Jakarta. Tanpa perlu menulis surat lamaran. Tanpa ditanya lulusan dari mana.
Situs ini konsep aslinya berasal dari Amerika dan mempunyai cabang di Jerman. Situs yang berbahasa Jerman itulah yang kemudian dijiplak pemilik situs tempat saya bekerja yang memang blasteran Jerman tersebut. Pemilik ini mempunyai bawahan, Direktur Umum, yang menjadi atasan saya.
Situs ini menghimpun opini konsumen terhadap sesuatu jasa atau barang yang mereka konsumsi. Dalam opininya, mereka juga memberikan skor. Opini para konsumen lainnya untuk produk yang sama kemudian dihimpun dan menghasilkan skor akhir. Berdasar skor akhir inilah seseorang konsumen dapat menimbang-nimbang sampai memutuskan ketika mereka hendak mengonsumsi sesuatu produk atau jasa tertentu.
Para pemberi opini itu dibayar. Dengan poin yang bila mencapai akumulasi tertentu dapat dirupiahkan dan ditransfer langsung ke rekening bank mereka. Kalau opini mereka dihargai oleh pemberi opini lainnya, bayarannya pun bertambah.
Sebagai Direktur Komunikasi, setiap saya menemukan surat pembaca yang isinya mengeluhkan mutu produk atau layanan/jasa tertentu, segera saya kontak penulisnya. Saya ajak mereka untuk menuliskan opini mereka di situs saya. Saya juga berusaha membakar semangat warga komunitas situs ini untuk gencar saling berinteraksi, saling menilai, hingga suasana gaulnya menjadi hidup dan bergairah.
Saat itu saya sudah mengangankan bahwa akan tiba saatnya telepon genggam mampu untuk mengakses Internet. Kemudian akan hadir pemandangan yang mengagumkan : seseorang yang belanja di supermarket, sebelum memilih merek barang tertentu akan memencet tombol telepon selulernya. Mereka perlu berkonsultasi secara online untuk memperoleh informasi produk terbaik dari himpunan opini yang tersimpan di situs tempat saya bekerja itu.
Angan-angan liar saya yang lain, situs saya ini akan melewati peranan organisasi perlindungan konsumen. Demikian pula, kalau selama ini terdapat lembaga riset pemasaran yang meriset kepuasan konsumen dan dirayakan setahun sekali seperti penganugerahan Indonesia Consumers Satisfaction Awards (ICSA), situs saya ini mampu memberikan laporan kepuasan konsumen tiap minggu atau tiap bulannya untuk setiap kategori produk yang ada. Peranti lunak secara otomatis yang mengerjakannya. Daftar penting ini berpeluang dijual atau dilanggan oleh banyak perusahaan atau pun individu.
Agregasi atau himpunan opini para konsumen yang bersatu hingga kuat melalui situs saya ini, akan membuat keder produsen yang asal-asalan atau menghasilkan produk/jasa yang medioker. Saya yakin, situs saya ini akan menjadi sebuah “gempa bumi” yang hebat dalam dunia niaga di Indonesia. Karena ideologinya memang sejalan dengan revolusi di era Internet di mana konsumenlah yang menjadi raja !
Begitu saya bekerja di situs ini, saya belajar banyak. Dan cepat. Inovasi pun mencuat. Ketika di almari kantor saya temukan beberapa merchandise yang nganggur, seperti tas, poster, stiker dan leaflet, saya minta ijin bos saya bahwa benda-benda itu akan saya jadikan sebagai hadiah. Begitulah, tiap minggu kami mengadakan lomba menulis opini untuk warga komunitas situs ini mengenai pelbagai kategori produk. Ada kegairahan baru muncul di kantor ketika melakukan undian dalam menentukan pemenangnya.
Saya telah pula merancang tulisan untuk media massa, bahkan juga berusaha menggalang kontak agar berpeluang untuk diliput oleh televisi. Pamrih saya, situs saya ini harus ngetop dan populer. Jabatan saya sebagai Direktur Komunikasi, dengan lingkup tugas mencakup pemasaran, komunikasi dan kehumasan, bukankah kepopuleran merupakan indikasi dan nilai yang melekat sebagai indikator keberhasilan ?
Tetapi hal buruk yang tidak saya duga, kemudian muncul. Inovasi dan beragam gagasan saya itu rupanya justru mulai mengusik ketenteraman bos saya. Bos saya yang keahliannya pada pemrograman dan webmaster, yang lebih banyak bekerja di balik layar dan ngumpet di belakang monitor komputer, rupanya menjadi ketakutan bila nama atau unjuk kerjanya menjadi tenggelam oleh kepopuleran diri saya. Lalu siapa yang keliru dalam hal ini ?
Ganjalan itu baru saya ketahui ketika maklumat untuk warga komunitas situs tersebut, yang saya buat, terkirim tanpa nama saya sebagai pejabat tugas-tugas komunikasi. Nama saya dalam email itu telah dihapus oleh bos saya. Saya kecewa berat. Pernah pula saya menggalang kontak dengan salah satu calon pemasang iklan. Mereka ingin ketemu. Tetapi oleh bos saya, saya tak disediakan waktu atau pun mobil untuk menemui calon klien tadi.
Kimia antara dia dan diri saya kemudian memburuk. Dalam suasana tak serasi itu, saya gunakan akses Internet kantor itu untuk mencari hiburan : humor, humor dan humor. Pada puncak konflik, ia memberi saya tugas hitung-hitungan, menjumlah angka kunjungan ke situs bersangkutan, secara manual. Saya menolak. Itu bukan tugas bidang saya. Sorenya, ia menitipkan surat kepada bagian sekretaris untuk disampaikan kepada saya. Dirinya tidak berani berhadapan muka. Isi surat itu : saya kena PHK.
Itulah kiprah saya di dunia pekerjaan. Kembali, hidup saya mungkin memang ibarat perjalanan komet. Melintas sebentar, bercahaya terang, dan kemudian menghilang. Mungkin juga seperti isi lirik lagu dari ABBA yang bercerita tentang seekor elang :
Ia menerbangi daerah-daerah di luar daerahku
untuk menemukan horison-horison baru
berbicara aneh tetapi bisa aku mengerti
Benarkah diriku yang suka “berbicara aneh” ini bisa dimengerti ?
Ranti “Anti” Katriana tidak mengerti. Tidak apa-apa, Anti. Itu karena kesalahanku. Teman dalam workshop melukis anak-anak, tidak mengerti. Warga Epstoholik Indonesia yang belum mengelola blog, tidak mengerti. Dosen saya tidak mengerti. Bos Internet saya juga tidak mengerti..
Diriku mungkin harus bahagia tertakdir ibarat elang dalam mengarungi karunia Tuhan yang bernama hidup ini. Mungkin hanya mereka-mereka yang berada di atas-atas awan sana yang mau atau bisa mengerti diriku ini. Para juri dalam kontes Honda’s The Power of Dreams Contest 2002, mengerti. Juri Mandom Resolution Award 2004, juga mengerti.
Ketika merenung dan mengilas balik, ah, hidupku memang bukan seperti matahari yang rutin dan setia hadir setiap pagi. Baik dalam cita-cita, minat, pekerjaan, atau pun cinta. Tetapi ibarat perjalanan komet yang melintas-lintas dalam banyak langit, di banyak angkasa, pada banyak waktu yang berbeda-beda. Dalam cita-cita, minat, pekerjaan, atau pun cinta.
The great source of pleasure is variety, begitu tutur Samuel Johnson. Variety is the soul of pleasure, tandas lagi Aphra Behn (1640-1689) yang dramawan, penyair dan novelis Inggris. Komet memang tertakdir hadir penuh ragam dan pesona, tetapi memiliki ciri abadi :
Muncul sebentar.
Menimbulkan kehebohan.
Kemudian menghilang.
Wonogiri, 16-19 Juli 2005
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Mas Bambang Hariyanto, membaca esai anda, saya, 52th, seperti melanglang bagaikan komet yang tak dikenal ke alam raya dengan pemandangan yang serba memukau.
ReplyDeleteBahkan saking terpukaunya saya sejenak turun ke bumi menulis sms ke anak II saya yang baru lulus hampir terbaik Angkatan I dari FTI-Prog studi Sistem Informasi ITS sbb:
kalau ingin "sukses" apapun profesimu nanti, coba buka..(web mas). Papa tidak lagi bisa lebih jauh mebimbingmu.
Demikian -+ isi sms saya, kemudian kembali melanglang ke jagad esai mas Bambang.
Ada sangat sedikit kesamaan antara saya dengan mas, yakni angan2 dan nurani mungkin, + sama2 pernah melihat Halley/lintang kemukus th 1965
Karena apa?
I. Latar belakang akademis.
Saya, ketika awal merantau dari Ponorogo ke Sumatera selatan 30 y.l.dengan bekal ijazah SMA-Paspal, pernah ada semangat dan idea -+ spt mas.
Sambil bekerja di Pertamina Plaju saya coba kuliah Fak Ekon di Usri hanya bertahan 2 th karena suatu hal.
Th.79 saya pindah ke Kilang Cilacap kemudian terus ke Cirebon.
Di pertaminapun wawasan akademis hanya di bidang minyak s/d D2.
II. Keinginan untuk selaras(mungkin) dengan visi hidup mas yang pernah ada di saya hanya ditunjang oleh bacaan2 yang tak terarah, perenungan atas kejadian2 di tingkat lokal s/d nasional.
III. Karena hal2 tersebut di I dan II itu maka keinginan saya untuk berkontribusi sedikit dalam ikut membangun bangsa yang s/d sekarang masih carut marut di semua bidang ini, walau hanya melalui surat pembacapun belum pernah terlaksana. Karena tidak pede!
IV.Awal 2005 baru akrab dengan internet dan Agustus y.l. atas saran anak saya tadi, saya masuk ke media Blog karena "mungkin pas dengan papa komunitasnya", katanya.
Itu saja dulu mas, anggap ini sebagai "salam kenal".
Terima kasih kalau diterima.
Dan seterusnya, setelah familiar dan + paham apa itu komunitas epistoholik berikut visi dan misinya, mudah2an saya akan menemui lagi.
Nanti tak oleh2i "pengalaman hidup saya yang mungkin mas belum mengalami"
Di langit masih ada langit, kan?!
Wassalam.
sukamto wiraman.
sukamto1003@yahoo.co.id
eska@pertamina.com
..kamto.blogspot.
sukamto1003
kira kria dimana dian kurniasih sekarang ya? dia salah satu pesaing tangguh saya dan kakak saya saat itu :)
ReplyDelete