Oleh : Bambang Haryanto
Esai Epistoholica No. 26/Agustus 2005
Email : epsia@plasa.com
Home : Epistoholik Indonesia
I know your eyes in the morning sun
I feel you touch me in the pouring rain
And the moment that you wander far from me
I wanna feel you in my arms again
And you come to me
On a summer breeze
Keep me warm in your love
Then you softly leave
And it's me you need to show
How deep is your love
(The Bee Gees, “How Deep Is Your Love”)
DIKEJAR HANTU ORDE BARU ! Orang tua sering tidak merasa melakukan hal paradoks terhadap anaknya. Ketika masih balita, mereka dengan kasih sayang tak henti-hentinya mengajari agar mampu dan lancar berbicara. Sekadar contoh keterpesonaan orang tua ketika mendengar celoteh anak balitanya, kita dapat menyimak dari salah satu adegan memikat dalam sitkom “Friends” yang terkenal.
Terkisah Rachel Green (Jennifer Aniston) merasa sungguh bahagia ketika anaknya, Emma, yang masih balita, menurut pendengarannya telah mampu mengatakan sesuatu kata yang baru baginya.
Gleba.
Pasangan kumpul kebonya, Ross Geller (David Schwimmer), seorang dosen dan doktor paleontologi yang sering mengagung-agungkan statusnya sebagai ilmuwan, justru tidak begitu terkesan ketika memperoleh informasi itu. Kata gleba, menurutnya, adalah kata yang benar-benar tidak ada maknanya !
Rachel menjadi penasaran. Ia pun membuka kamus. Ketemu. Ternyata gleba adalah spora mirip daging yang di dalamnya berisi himpunan massa jamur. Barulah Ross tertarik. Ia pun langsung berkomentar, bercampur rasa bangga berlebihan bahwa Emma memiliki bakat kuat sebagai ilmuwan kelak bila dewasa.
Kita tidak tahu bagaimana interaksi antara Rachel dan Ross dengan Emma kelak dewasa. Tetapi, kita tak jarang menyaksikan paradoks yang mendera para orangtua dalam mengasuh anak mereka. Ketika anaknya tumbuh dewasa, dapat berpikir, bernalar dan tentu saja bicara, para orang tua justru lebih sering membentak agar mereka tutup mulut. Alias tidak boleh bicara. Hal serupa juga telah dilakukan oleh pemerintah Orde Baru. Mereka sepanjang 32 tahun sengaja membungkam rakyatnya dengan segala macam cara.
Salah satunya, seperti disebut oleh psikolog Richard W. Brislin dari Universitas Hawaii, dalam bukunya The Art of Gettings Done : A Practical Guide To The Use of Power (1991), adalah creating a bogeyman. Menciptakan hantu. Untuk menakut-nakuti rakyatnya sendiri.
Persis cara orang tua menakut-nakuti anaknya agar mereka patuh, misalnya mau memakan sayuran atau mengerjakan pekerjaan rumah dari sekolah. Pemerintah Orde Baru paling getol dan paling jago dalam menciptakan hantu. Misalnya bahaya laten komunisme, PKI Malam, ekstrim kiri, ekstrim kanan sampai ancaman organisasi tanpa bentuk.
Untuk meraih keberhasilan taktik tersebut, Pak Harto sangat ahli dalam memasang bawahannya sebagai apa yang oleh Brislin dinamai dengan sebutan lightning rod, penangkal petir. Merekalah figur-figur yang gencar menyuarakan dan menghadirkan hantu-hantu di atas ke dalam benak masyarakat. Mereka sering pula digambarkan sebagai tokoh-tokoh yang memiliki kepribadian abrasive, kasar kayak ampelas.
Menengok ke belakang, jabatan Pangkopkamtib, Panglima ABRI sampai Menteri Dalam Negeri pada era Orde Baru, nampaknya sengaja dipangku oleh para penangkal petir ini. Mereka pasang badan sebagai sasaran frustrasi atau kemarahan publik, sementara Pak Harto sendiri dihindarkan sebagai sasaran langsungnya.
Menjelang penyerbuan kantor pusat PDI di Jl. Diponegoro, 27 Juli 1996, misalnya, Jenderal Feisal Tanjung sebagai Panglima ABRI telah menuduh acara mimbar bebas massa PDI saat itu sebagai gerakan makar, “yang harus dilibas”. Bahkan Tanjung juga memvonis mimbar bebas itu telah disusupi oleh PKI. Hantu lama yang masih ampuh.
Saat peristiwa itu terjadi, saya berada di Perpustakaan LIA, Jl. Pramuka, sekitar 2 km dari arena kebrutalan pemerintah Orde Baru itu.
Ketika pasca-penyerbuan terhadap mimbar bebas massa PDI itu berlangsung, disusul meletus kerusuhan dan pembakaran beberapa gedung, segera aktivis Partai Rakyat Demokrasi (PRD) yang dinilai pemerintah sebagai “kekiri-kirian” dijadikan sebagai tertuduh pemicu kerusuhan. Mereka langsung menjadi hantu ciptaan Orde Baru yang “lebih baru”. Tentu saja, harus pula diuber-uber dan diburu !
Pada jaman Presiden Ronald Reagan, para penangkal petir itu misalnya James Watt, Donald Regan sampai Larry Speakes. Di era kepresidenan SBY saat ini, siapakah hantu-hantu itu ? Tentu saja, antara lain, Dr. Azahari, Nurdin Muh Top beserta jaringannya. Mungkin juga flu burung. Sementara Andi Malarangeng merupakan sosok penangkal petir bagi SBY masa kini ? Lihat-lihat dulu sajalah.
MENYAMBALEWA ! Orde Baru telah tumbang. Tetapi pelbagai stigma yang pernah mereka torehkan, termasuk tentang ancaman organisasi tanpa bentuk, rupanya residunya masih tertanam dan bergentayangan, linger, menyambalewa, pada banyak benak khalayak. Sampai saat ini.
Sekadar ilustrasi, sobat kita yang sesama warga Epistoholik Indonesia, Purnomo Iman Santoso dari Semarang telah menyebut-nyebut hal itu pula. Dalam surat pembaca berjudul “Partai EI” yang muncul di Kompas Jawa Tengah (21/7/2005) yang lalu, ia telah menulis :
“Tanggal 27 Januari 2005 dideklarasikan sebagai hari Epistoholik Indonesia (EI) oleh Bambang Haryanto. Untuk langkah maju lagi, sudah saatnya komunitas EI semakin mempertegas kehadirannya agar tidak dituduh sebagai organisasi tanpa bentuk dengan mendirikan Partai Epistoholik Indonesia (EI)...Partai EI memiliki komitmen kuat sebagai partai oposisi sepanjang masa....tidak perlu daftar agar diverifikasi Komisi Pemilihan Umum (KPU).Tak perlu ikut pemilu.
Partai EI dibiayai oleh warga EI dengan perangko @ Rp. 1.500 per surat pembaca yang dikirim ke media dalam rangka mewujudkan fungsinya melakukan check and balances. Masa kampanye atau tidak, pemerintah dan presiden boleh silih berganti, moto partai EI adalah Episto ergo sum = saya menulis surat pembaca karena saya ada.
Platform Partai EI mendukung hal yang bersifat pro saling mencerdaskan, kejernihan pemikiran, kreativitas, dan semangat pantang menyerah. Sebaliknya, waspada bahaya laten pembodohan, monopoli intrepretasi, tidak mendukung keloyoan, dan antibudaya menjiplak. Cita-citanya adalah mengajak sebanyak mungkin warga negara Indonesia untuk menulis.”
Terima kasih, Mas Pur. Saya suka ide Anda ini. Saya suka ide-ide baru. Pernah saya membaca kata mutiara mengenai manfaat lain dari ide-ide baru. Untuk mengetahui umur sejati seseorang, jangan hanya menanyakan kapan tahun kelahirannya. Tetapi paparkan kepada mereka ide-ide baru.
Walter Bagehot (1826–1877), esais dan ekonom Inggris, pernah bilang, one of the greatest pains to human nature is the pain of a new idea. Salah satu rasa sakit yang paling sakit bagi umat manusia adalah ketika terpapar ide-ide baru. Begitulah, sudah sering saya temukan anak-anak muda, yang sebenarnya umurnya jauh lebih muda dibanding diri saya, tetapi mereka nampak kesakitan ketika dirinya terpapar ide-ide baru. Dirinya cepat sekali menjadi defensif dan konservatif. Cepat sekali menjadi tua !
Ide Purnomo Iman Santoso, perlu dielaborasi, karena ada beberapa kontradiksi. Tetapi bagi saya, yang paling penting, mari kita kubur stigma Orde Baru mengenai sebutan organisasi tanpa bentuk itu. Istilah rekaculika ini merupakan bentukan Orde Baru sebagai senjata perang wacana saat mereka menindas suara-suara atau gerakan yang mengritisi pemerintah Soeharto saat itu.
Padahal menurut Encyclopedia of the New Economy, organisasi tanpa bentuk identik dengan adhocracy, organisasi tanpa struktur :
Adhocracy : Organization without structure.
Adhocracies have long been used by creative enterprises - film studios and ad agencies, for instance - to produce a steady flow of differentiated products. They are a mirror image of the well-defined bureaucracies that built most industrial organizations: Instead of a strict rule book, there exists an evolving collection of shared goals. Start-up software companies are a classic example. Instead of fixed tasks and job descriptions, everyone does what needs to be done. Computer networks encourage adhocracy by enabling people to continuously share information and coordinate themselves informally.
Kejayaan Hollywood, yang mengolah dan membisniskan karya kreativitas, merupakan contoh nyata kedigdayaan organisasi tanpa bentuk tersebut. Epistoholik Indonesia juga bersendikan pada olah kreativitas. Kerja otak. Demi menyuburkan dan menjunjung tinggi olah kreativitas tersebut maka tidak ada aturan-aturan ketat yang harus dipatuhi oleh warganya.
Krida warga Epistoholik Indonesia dipandu oleh tujuan bersama, yang antara lain telah juga ditegaskan secara menarik oleh surat pembaca Purnomo Iman Santoso. Hubungan antarwarga tak ada hirarki, tanpa ada garis komando, tanpa diatur-atur, tanpa pula ada deskripsi kerja. Setiap warga Epistoholik Indonesia sebagai pribadi yang dewasa dan bertanggung jawab, walau ada yang masih duduk di bangku SMA seperti Eric Levi Siranda dari Malang, telah mengetahui apa yang harus mereka kerjakan.
Sayang sedikit, ini penilaian subjektif saya, jaringan komunikasi melalui komputer yang mampu mendorong kinerja adhocracy, sehingga antarwarga EI dapat secara berkesinambungan berbagi informasi dan mengkoordinasikan diri secara informal, operasionalnya masih jauh dari memadai.
Padahal fasilitas itu sudah tersedia dan gratis. Sejak awal saya telah memberikan contohnya. Bahkan juga telah mengetikannya untuk masing-masing contoh upaya pendokumentasian karya-karya mereka.
Blog, blog, blog !
DIKEJAR-KEJAR MACAN ! Dramawan Putu Wijaya dalam sebuah acara bedah sastra di Jakarta yang juga saya ikuti pernah bilang, menulis itu ibarat dikejar macan. Katanya, ada dua jenis macan. Macan di luar dan macan di dalam.
Macan di luar adalah dorongan menulis untuk memenuhi kebutuhan fisik. Memperoleh uang. Hingga ada kiasan bahwa aktivitas menulis tidak ubahnya perilaku seorang pelacur. Pertama-tama demi memperoleh kesenangan, lalu pelan-pelan beralih guna memperoleh uang. Saya mengalami kejaran macan dari luar itu, hingga kini. Saya sebagai penulis freelance, suka dukanya dikejar macan dari luar itu bisa ditulis panjang lebar.
Bahkan kolom surat pembaca pun dapat secara kreatif saya olah menjadi sarana memperoleh uang. Dengan cara menawarkan solusi, kemudian diwartakan melalui kolom surat-surat pembaca. Di tahun 1985-1995 saya berbisnis kiat-kiat sukses strategi berburu pekerjaan. Penjualannya melalui jasa pos. Mereka yang tertarik terhadap informasi yang saya tuliskan di kolom surat pembaca, lalu menggalang kontak dengan saya. Terjadi diskusi, dan tidak jarang akhirnya mereka membeli informasi-informasi panduan yang saya tawarkan.
Bisnis pertanian melalui surat pembaca juga pernah saya terjuni. Akibat krismon di awal 1998, saya pun harus hengkang dari Jakarta. Kembali mudik ke Wonogiri.
Dalam perjalanan bis Solo-Wonogiri, saya temukan penjaja asongan yang menawarkan produk unik. Yaitu paket kecil berisi sepuluh jenis biji-bijian, benih tanaman sayuran. Ada bayam, kangkung, lombok, sawi, tomat, gambas sampai mentimun. Saya membeli dan minta alamat penjualnya. Dirinya tinggal di daerah Sukoharjo. Harga satu paket, Rp. 1.000. Kalau belinya banyak, harganya Rp. 600 per paket.
Pertanian adalah subjek yang saya buta sama sekali. Saya anak tentara, bukan anak petani. Selama 18 tahun saya pun tinggal di Jakarta. Kini tiba saatnya, pikir saya, untuk belajar menjadi petani. Saya segera mencari info ke Departemen Pertanian. Bahkan kemudian menemukan tempat yang menjual pupuk organik. Juga membaca-baca majalah pertanian Trubus. Di masa krisis moneter itu cabe harganya mencapai puluhan ribu per kilogram, aku pikir, gerakan swadesi alias mencukupi kebutuhan diri sendiri model Mahatma Gandhi sebaiknya dicoba untuk dipromosikan.
Saya segera menulis brosur. Isinya mengenalkan arti pentingnya pertanian organik dan cara-cara mudah untuk membudidayakan lahan sekitar rumah, bahkan hanya dengan kaleng-kaleng cat sebagai pot, setiap rumah tangga berpeluang mencukupi kebutuhan sayur-mayurnya sendiri. Saya segera mempromosikan bisnis baru saya ini melalui surat pembaca. Walau tidak spektakuler, ternyata memperoleh sambutan yang menggembirakan. Saya sempat bermimpi seperti menjalankan bisnis peralatan pertanian secara mail order model Smith & Hawken yang terkenal di Amerika Serikat.
Harga paket benih saya jual Rp. 2. 500. Belum termasuk ongkos kirim. Paket benih itu kadang hanya sebagai pintu masuk, gimmick, untuk membuka bisnis yang lebih menguntungkan. Benih saya berikan secara gratis bila mereka sudi membeli paket pupuk organik, pot-pot plastik sampai alat-alat pertanian ringan. Tidak jarang, ada yang memesan kiriman benih tertentu di luar paket.
Ketika perekonomian negara kita semakin membaik, pasokan dan harga sayur mayur di pasar semakin normal, bisnis pertanian saya pun harus rela surut. Saya tidak tergerak untuk melakukan inovasi lagi, walau sebenarnya tetap terbuka pelbagai pilihan. Bagi saya, yang terpenting, pengalaman saat itu menyenangkan. Karena bisa menyemai gagasan atau ide-ide baru untuk diolah menjadi sebuah kenyataan !
Kembali ke masalah kejaran macan. Kehadiran situs blog di Internet, bagi saya, membukakan dimensi baru dalam aktivitas menulis. Sebagai blogger, yang menulis di blog, saya memang tidak memperoleh bayaran apa pun. Seperti halnya kita, para warga Epistoholik Indonesia selama ini, ketika menulis surat-surat pembaca di media massa cetak.
Dorongan untuk menulis di blog meletup semata-mata berkat kejaran macan dari dalam. Gairah untuk terus menulis. Berekspresi. Mengomunikasikan gagasan. Melakukan rekreasi. Relaksasi. Menguber terapi.
Apalagi saya semakin sering merasakan banyak ketidaksesuaian dengan media cetak. Saya tidak akan protes. Saya menghormati kebijakan dan pilihan mereka. Mungkin karena aspirasi, cita-cita atau pun selera yang berbeda. Tulisan-tulisan saya yang mendapat penolakan dari mereka, melalui blog tetap terbuka peluang untuk bisa saya komunikasikan dengan pembaca. Melalui blog pula saya dapat menulis menurut pola atau gaya yang saya sukai. Kejaran macan dari dalam yang selalu menuntut pembebasan itu akhirnya memperoleh pelampiasan, outlet yang wajar dan sehat, yang mampu memberi kesegaran bagi jiwa.
Dalam introspeksi saya, fasilitas situs blog sangat penting dan sangat berharga karena telah memberikan arena bagi saya untuk berlari dan berlari dari kejaran macan yang ada di dalam diri saya. Sebagai seseorang yang berkepribadian introver, dengan gaya hidup yang “tidak normal”, selain didorong untuk memberikan sesuatu kontribusi gagasan sampai aspirasi kepada masyarakat, dalam diri saya terdapat banyak sekali uneg-uneg yang terus antri untuk dikeluarkan !
“Jika Anda punya jerangkong, kerangka manusia, di dalam lemari Anda, keluarkanlah. Dan menarilah bersamanya”, begitu nasehat Caroline MacKenzie seperti dikutip Susan Shaughnessy dalam bukunya Walking on Alligators : A Book of Meditations for Writers (1993) yang edisi bahasa Indonesianya berjudul Berani Berekspresi : Buku Meditasi Untuk Para Penulis ( 2004).
Terus terang, kerangka-kerangka manusia itu banyak sekali menumpuk di lemari saya. Dan di lantai blog itulah saya bebas dan bisa bersenang-senang untuk berdansa dengan mereka.
Menulis di blog, mungkin juga tidak ada yang membaca. Paling tidak, peluangnya mungkin lebih tipis dibandingkan bila termuat di media massa cetak. Kata mungkin perlu diberi garis bawah, karena di jagat maya Internet juga dikenal apa yang disebut sebagai lurker, pembaca atau fans yang tersembunyi. Bila mereka muncul, dan sering menyapa secara tidak terduga-duga, saya segera merasakan betapa apa yang saya kerjakan selama ini bukan hal yang sia-sia.
HOW DEEP IS YOUR LOVE ! Fenomena lurker itu saya alami jauh sebelum saya mengenal Internet. Berkat menulis di media massa sejak tahun 1973, saya pernah merasakan suatu kejutan yang manis. Maafkan saya, untuk menunda sementara cerita tentang fenomena lurker tersebut.
Peristiwa kejutan manis dari seorang lurker itu terjadi bersamaan ketika saya menjadi saksi saat Krisdinah “Miduk” Purnamaningsih diwisuda sebagai Sarjana Muda Administrasi Negara, Fisipol UNS, 1979. Lokasi : Kampus Fisip UNS Pabelan, Solo. Saya memotretnya. Saya senantiasa bangga dan bahagia mengenang dirinya sebagai wanita paling cantik yang pernah membuat saya jatuh cinta.
Lupakan sebentar Isabelle Adjani, Jackie Bisset atau Sherry Bilsig. Miduk lebih istimewa. Kalau Anda pernah melihat Emma Bunton atau Baby Spice dari kelompok Spice Girls, kilatan senyumnya mirip senyum Miduk yang membuat duniaku penuh warna. Untuk mempermudah gambaran, bayangkan senyum Arie Kusmiran, ketika masih muda dan menawan.
Miduk menyebut atau memberi label cinta saya kepadanya dengan mengambil tamsil dari judul lagu yang ngetop saat itu. Lagu yang tetap indah sampai kini. Lagu diskonya The Bee Gees, ‘’How Deep Is Your Love”. Aku belum mengenal lagu itu, saat itu. Ketika aku lagi praktek kerja di Bengkel Yasa PJKA Madiun, dan, oh senangnya ketika surat Miduk tiba untuk mengabarkan nada-nada indah di hatinya itu.
I believe in you
You know the door to my very soul
You're the light in my deepest, darkest hour
You're my saviour when I fall
And you may not think I care for you
When you know down inside that I really do
And it's me you need to show
How deep is your love
How deep is your love
How deep is your love
I really mean to learn
'Cause we're living in a world of fools
Breakin' us down
When they all should let us be
We belong to you and me
Mereka yang tolol, penghuni dunia kaum tolol, yang akhirnya malah memisahkan hubungan cinta kami, tidak lain adalah diri saya sendiri. Sesudah wisuda, tentu saja Miduk telah menghitung betapa jam biologisnya sebagai perempuan terus saja berdetak. Sebagai perempuan ia pasti pula mengharapkan komitmen penuh dari seorang lelaki yang dipilihnya, dan tentu saja bukan hanya cinta semata walau seindah apa pun, untuk hari-hari hidupnya mendatang.
Semuanya itu, bagi saya, saat itu, justru merupakan sinyal-sinyal yang menakutkan. Sinyal breakin' us down itu akhirnya semakin menegas ketika, suatu hari Minggu malam, saya main ke rumahnya.
“Kok tangannya dingin”, gurau Ibu Mulyadi, ibunya. Saya hanya menyeringai dan menahan malu. Beliau yang saya salami di pojok ruangan sedang membatik. Mungkin hawa panas dari tungku arang, anglo, di dekat beliau yang membuat tangan dingin saya, pertanda gugup dan cemas, semakin kontras terasakan olehnya.
Keluarga ini masih kental darah birunya yang terkait dengan Keraton Surakarta. Kalau Anda bertanya kepada warga Solo nama-nama Minul, Miduk, Dyah, Nina, Nani dan Ndari dari Purwotomo, semoga Anda akan memperoleh cerita yang memadai. Cerita tentang keluarga yang putrinya cantik-cantik semuanya.
Ibu Mulyadi saya temui sebelumnya, sebagai pendamping satu-satunya ketika Miduk diwisuda yang lalu. Untuk ikut merayakan keberhasilannya, saya membawa buku Peringatan Seratus Tahun Kartini, sebagai hadiah wisudanya.
Gurauan Bu Mulyadi itu mungkin isyarat bahwa sambutan Miduk malam itu akan mendingin pula. Betul. Miduk memang hanya mengajakku ngobrol sebentar. Ia telah ditunggu lelaki lain, teman sekantornya, untuk date di luar. Krisandari Yuningrum, adik terkecilnya, menunjukkan raut muka tidak begitu senang karena kakaknya justru meninggalkanku saat itu. Ah, saat itu Ndari tentu belum tahu cara berpikir orang yang lebih dewasa.
nDari adalah murid saya di Workshop Melukis Anak-Anak Gallery Mandungan Muka Kraton Surakarta. Saat itu ia duduk di kelas 6 SD Mangkubumen 15 Solo. Ia sering saya goda karena konon ditaksir oleh Jeffrey, juga murid sanggar melukis saya, yang sekelas dengannya. nDari dengan komplotannya seperti Anita, Ningrum dan Mira, adalah sebagian dari murid sanggar yang dekat dengan saya.
Malam itu akhirnya saya berusaha bersenang-senang, dengan membantu dan menemani nDari dalam belajar. Mata pelajaran biologi. Bareng-bareng menghafal pelajaran, misalnya apa guna kulit sampai manfaat tulang bagi tubuh kita. Tulang antara lain berguna untuk membentuk kerangka manusia !
“Penulis harus menari bersama jerangkong, tulang kerangka mereka sendiri !”, timpal Susan Shaughnessy atas pendapat Carolyn MacKenzie tadi. Kerangka manusia adalah kiasan untuk hal yang paling Anda hindari untuk dituliskan. Misalnya rasa malu yang membuat Anda bergidik dan menciut, yang pada akhirnya akan muncul juga dalam tulisan Anda.
Mengapa ? Karena di sanalah energi jiwa Anda tertimbun. Dengan menuliskannya, Anda meratakannya. Energi itu mengalir ke dalam tulisan Anda dan membuatnya hidup. Jerangkong itu kering dan tak bernyawa. Tetapi mereka bisa menari.
Kini, hari ini, jerangkong diri saya yang terkait dengan Miduk telah saya ajak untuk menari. Seperti tertuang dalam lanjutan cerita tentangnya di bawah ini :
Miduk saya temui lagi, tak sengaja, 1982, di Toko Buku Gramedia Blok M, Jakarta Selatan. Malam hari. Saat itu ia berdiri di dekat pintu masuk. Begitu saya mendorong pintu untuk masuk toko, sungguh tidak ada peluang untuk menghindar. Di dalam hati kecil saya, semoga ia tidak melihat. Miduk melihatku. Jelas melihatku. Aku juga melihatnya.
Di balik kacamata beningnya, saya jelas melihat pupilnya berkilau dan nampak sekejap membesar. Nyala api asmara masih berkobaran di matanya. Nyala yang sama juga masih membakar isi dadaku pula.
Mengingatkan pada tuturan penjelajah dan kerabat Istana Inggris, Walter Raleigh (1552–1618), bahwa “true love is a durable fire, in the mind ever burning, never sick, never old, never dead”. Cinta sejati itu adalah api abadi, selalu membara di hati, tanpa pernah sakit, uzur, atau pun mati.
Sejurus kemudian, suaminya ikut bergabung. Miduk mengenalkanku sebagai Hari, orang yang memberi hadiah buku Seratus Tahun Kartini. Suaminya maklum. Dirinya lalu meninggalkan kami berdua untuk bertegur sapa. Hanya terjadi obrolan formal. Sekarang ada di mana, bagaimana kuliahnya dulu, dan kerja di mana. Antara kami juga tidak bertukar alamat atau nomor telepon.
Malam itu saya pulang dengan merasakan dunia bagaikan runtuh. Juga merasakan pedihnya sayatan ironi. Saat di Gramedia tersebut saya hanya membeli buku primbon perbintangan, Star Sign for Lovers, untuk mencari tahu sifat-sifat diri dan kepribadian Niken Chandra, mahasiswi ASMI Jakarta, yang mengisi hatiku saat-saat ini. Dalam cinta saat itu aku masih berkutat di dunia teori, teori dan teori.
Sementara Krisdinah Purnamaningsih, malam itu wajahnya terasa semakin cemerlang. Dirinya terbalut aura kecantikan alami yang agung, divine, penuh pesona, yang memang senantiasa menyertai seorang wanita yang sedang berbadan dua. Dalam cinta, Miduk telah mempraktekkannya dan memperoleh kebahagiaan darinya. Semoga sampai hari ini pula.
NEGROPONTE DAN AIR MATA. Kembali ke tahun 1979. Di tengah upacara wisudanya Miduk, duduk saya dikerubungi beberapa mahasiswa FISIP UNS, utamanya dari Jurusan Komunikasi. Saya hanya mengenal seorang dari mereka, Widodo, yang aku kenal saat sama-sama membidani terbitnya koran kampus UNS.
Sebagai mahasiswa Fakultas Keguruan Teknik, Jurusan Mesin, saya memang rada diguyur kemewahan karena bisa populer di kalangan sivitas akademika Jurusan Komunikasi UNS. Dosennya pun, Pak Parwoto, Pak Sardjono, sampai Pak Suparnadi, aku kenal akrab. Malah pak Sardjono pernah pinjam bukuku, karya klasiknya Marshall McLuhan, Understanding Media : The Extensions of Man (1964), untuk difotokopi.
Saat itu, salah satu teman Widodo, tiba-tiba nyeletuk kepadaku. Inilah kejutan, sapaan seorang lurker yang tidak pernah terduga :
“Saya pernah di kantor pos dan bareng-bareng ambil kiriman poswesel, bersama kamu”, katanya. Saya merasa ini kejutan yang rada membingungkan. “Saya tahu”, lanjutnya, “wesel yang kamu terima hanya sepersepuluh dari wesel yang aku terima. Tetapi yang membuat diriku rendah diri, weselmu itu berasal dari honormu menulis. Sedang wesel yang aku terima, adalah kiriman dari orangtuaku”
Oh.
Kini sebagai blogger, kemewahan serupa juga terjadi. Melalui email, terbaca sebuah pertanyaan dan sekaligus pernyataan : “Mengapa Pak Bambang harus rela meneteskan air mata sesudah membaca bukunya Nicholas Negroponte yang berjudul Being Digital itu ? Saya telah membaca habis buku tersebut dua kali. Tetapi gara-gara pernyataan Bapak, saya ingin kembali membaca untuk ketiga kalinya”
Email itu ditulis oleh Oki Rosgani. Dari Subang. Sebelumnya, saya tidak pernah mengenal dirinya sama sekali. Ia memiliki dua situs blog yang beralamatkan :
http://okirosgani.blogspot.com
http://rosgani.blogspot.com
Bahkan di situs saya, Komedikus Erektus !, dalam tulisan berjudul "Erika Cantik Makan Jangkrik dan Sitkom Kita", Oki pun bermurah menorehkan komentarnya :
BH : “Tragedi-tragedi dalam hidup hari ini bisa menjadi cerita lucu di hari yang lain”
Meminjam kata-kata yang di ucapkan Nicholas Negroponte di bukunya yang berjudul Being Digital : "Perubahan kecil hari ini bisa menjadi perubahan besar di masa depan."
Setuju, Oki. Dengan memiliki situs blog, kita telah melakukannya. Perubahan kecil yang kita lakukan saat ini, akan menjadi perubahan besar di masa depan. Saya optimis, seperti rasa optimisme yang ditebarkan oleh bukunya Nicholas Negroponte tersebut.
Terakhir, ralat sedikit, pendapat tentang tragedi hidup itu bukan pendapat orisinal diriku sendiri. Melainkan aku kutip dari pendapat Nora Ephron, penulis yang menghasilkan film-film terkenal seperti When Harry Meet Sally, Sleepless in Seattle sampai You’ve Got Mail yang bercorak komedi-romantis itu.
Saya setuju kok dengan pendapat Nora. Tragedi hidup di masa lalu ketika dibongkar-bongkar lagi di masa kini, yang muncul memang letupan komedik di sana-sini ketika kita rela menuliskannya. Syaratnya, adalah keberanian untuk menertawai kebodohan dan kekurangan diri sendiri.
Merasa nyaman untuk berdamai dengan diri sendiri. Itulah keberanian untuk menari bersama tulang kerangka sendiri, di mana pada akhirnya sungguh-sungguh merupakan tarian perayaaan bagi kebebasan jiwa.
Melalui situs blog ini, tarian jerangkong saya, tarian perayaaan bagi kebebasan jiwa itu, bisa saya kabarkan kepada dunia.
Wonogiri, 31 Juli 2005
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Wuah.. Nice Post!
ReplyDeleteRajin sekali menulis bagitu panjang.. Salut!!
Aku merasakan kegairahan yang sama dalam menulis.. mengeluarkan segala isi di kepala.. Mengasah pola pikir kita setiap saat..
Viva blogger deh...